Penulis : Rahmad
Fitriyanto
A.
Latar Belakang
Ilmu tauhid merupakan ilmu yang sangat penting bagi
keberlangsungan hidup manusia. Berbicara mengenai ilmu tauhid maka kita tidak
akan lepas dari keEsaan Alloh SWT. Ilmu tauhid membahas tentang keEsaan Alloh
SWT. Ilmu tauhid merupakan induk darin semua ilmu. Interkoneksi antara disiplin ilmu tauhid dengan
disiplin ilmu lain terutama ilmu filsafat hamper sama. Sebagai contoh, dalam
membicarakan Tuhan dalam ilmu tauhid maka telah melibatkan metafisika sebagai
disiplin filsafat, jika membicarakan wahyu sebagai sumberkebenaran tauhid, maka
telah melibatkan epistimologi sebagai disiplin filsafat.
Oleh karena
sangat pentingnya ilmu tauhid, maka makalah ini kami susun untuk menguraikan
secara ringkas mengenai ilmu tauhid.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TAUHID
Tauhid secara estimologis berasal
dari kata wahhada yuwahhidu tauhiidan yang berarti menjadikannya esa.
Mentauhidkan Allah SWT berarti menjadikan, mengakui dan meyakini bahwa Allah
SWT itu Esa. Sedangkan ilmu Tauhid berarti ilmu yang membahas mengenai bagaiman
acara mengetahui, menjadikan, mengakui, dan meyakini bahwa Allah SWT itu Esa.
Secara terminologis, banyak ulama
yang telah membahas dan mmendefinisikan Ilmu Tauhid. Di antaranya adalah:
a. M.
Yusuf musa mendefinisikan Ilmu tauhid sebagai ilmu yang membicarakan tentang
wujud Tuhan Yang Esa, Yang tidak ada sekutu bagi-Nya,
baik zat, sifat maupun perbuatan-Nya, Yang mengutus
utusan-urusan untuk memberi petunjuk kepada alam dan manusia kepada jalan
kebaikan, Yang meminta pertanggungjawaban seseorang di akhirat dan memberikan
balasan kepadanya atas apa yang telah diperbuatnya.
b. Muhammad
Abduh menyatakan bahwa Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud
Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh pada-Nya,
sifat-sifat yang tidak boleh ada pada-Nya, membicarakan tentang
Rasul-rasul Allah SWT untuk menetapkan
keutusan mereka dan sifat-sifat yang bolehj dipertautkan kepada mereka dan
sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka.
c. Muhammad
bin Jasat al-Tharabulisy menyatakan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
tentang kepercayaan atau akidah agama islam dengan dalil-dalil yang meyakinkan.
d. Ibrahim
bin Sa’dullah dalm kitabnya Idlah al Dalil fi Qitha’i Chiojaji Ahli
al-Ta’thil menjelaskan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang bertujuan untuk
mengetahui apa yang wajib ada pada-Nya dan apa yang mustahil ada pada-Nya, dan
segala sesuatu yang terkait dengan rukun iman yang enam.
Dari berbagai definisi diatas
dapat diambil pengertian bahwa ilimu tauhid adalah ilmu yang membahas mengenai
wujud Allah SWT dan segala yang bertalian dengan-Nya berdasarkan dalil-dalil
yang meyakinkan, agar supaya dengan ilmu tersebut manusia dapat men-tauhid-kan
Allah SWT.
Dalam istilah arab, ada
beberapa padanan yang biasa digunakan untuk menyebut Ilmu Tauhid. Di antaranya
adalah Ilmu Kalam, yakni ilmu yang membahas tentang dzat dan sifat Allah SWT serta
segala hal yanbg mungkin berdasarkan ajaran islam (Al-Qur’an dan Hadits) dalam
kerangka logika dan filsafat. Dinamakan demikian karena fokus penbicaraannya
tentang firman Tuhan (kalam Allah), apakah hal itu azali atau non azali.
Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi
alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan
menggunakandalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan-keoercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Ilmu tauhid juga disebut
sebagai ilmual ‘Aqaid karena fokus pembicaraannya adalah tentang kepercayaan
atau keimanan atau credos. Dan juga ilmu tauhid disebut ilmu ushuluddin karena
membahas tentang dasar-dasar kepercayaan agama, dengan menggunakan dasar-dasar
nalar yang bisa mengantarkan manusia untuk membangun aqidahnya didalam akal
pikirannya.
Hal pertama dan yang paling
dasar harus dipercayai dalam agama adalah Tuhan. Dalam istilah modern, ilmu
yang membahas mengenai Tuhan disebut teologi, yang dalam islam disebut
Teologi Islam. Theology
berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti
ilmu. Jadi theology berarti ilmu tentang membahas Tuhan atau Ketuhanan. Teologi
membahas tentang ajaran-ajaran dasar yang harus diyakini dan dipercayai dari
suatu agama, yakni Tuhan. Sedangkan Teologi islam adalah ilmu yang membahas
tentang Tuhan(allah) sebagai hal yang paling dasar dan utama harus dipercayai.
Oleh karenanya ilmu ini juga disebut ilmu ‘aqaid.
Jika kita memperhatikan istilah tauhid yang memiliki makna
menjadikannya esa, dan jika hal ini dikaitkan dengan objeknya yaitu manusia
yang diperintahkan oleh Allah agar mengEsakan-Nya, maka dalam perintah
pemahaman bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak meng-Esa-kan-Nya, sehingga
perlu perintah untuk mentauhidkan Allah. Manusia dikatakan men-tauhid-kan allah
apabila manusia bisa mengetahui dan menyatukan bahwa semua kekuatan yang ada di
alam semesta ini bersumber dari Allah. Kekuatan segala sesuatu sangat terbatas,
dan semua itu pun dari Allah, sedangkan
kekuatan Allah adalah mutlak tak terbatas dan merupakan sumber dari
segala kekuatan yang ada di alam semesta ini. Hal inilah yang ditunjukkan
Al-Qur’an dan Hadits. Tanpa adanya petunjuk dan rambu-rambu berupa Al-Qur’an
maupun al-Hadits, manusia cenderung lupa dan tidak men-yauhid-kan-Nya karena
akal manusia terbatas dan jika tidak didukung oleh petunjuk dari Allah, manusia
kesulitan untuk bisa men-tauhid-kan Allah.
Hasan Hanafi menyatakan bahwa
tauhid bisa sebagai ilmu (pengetahuan, teori) dan juga amal (tindakan). Ilmu
tauhid adalah dasar teoritis bagi adanya tindakan tauhid(‘amal al-tauhid), sedangkan
tindakan tauhid (‘amal al-tauhid) adalah penyatuan perasaan (tauhid
al-mujtama’), kemudian penyatuan alam semesta (tauhid al-‘alam) dalam
satu sistem, yaitu sistem wahyu nizham al-wahyi). Ini berarti bahwa
untuk bisa men-tauhid-kan Allah, manusia harus berusaha memahami dan mengetahui
dengan kemampuan akal yang telah diberikan oleh Allah kepadanya tanda-tanda
Allah, baik berupa ayat-ayat Qur’aniyyah maupun Kauniyyah.
B. OBJEK
KAJIAN DAN FUNGSI ILMU
TAUHID
Objek kajian ilmu tauhid
adalah Allah dan segala sesuatu yang terkait dengan-Nya, baik dzat, sifat,
maupun perbuatan Allah, segala yang wajib ada pada-Nya dan segala yang mustahil
ada pada-Nya, dan segala hal yang diciptakan oleh Allah.
Tujuan
mempelajari ilmu tauhid adalah agar supaya dengan ilmu tersebut manusia bisa
mengetahui Allah (ma’rifatullah) dengan segala hal yang wajib ada
padanya dan yang mustahil ada pada-Nya, kemudian bisa membenarkan-Nya (tashdiquhu),
dan kemudian mengEsakan-Nya (tauhidullah)
C.
AKAL DAN
WAHYU
Akal
dan wahyu dalam ilmu Teologi digunakan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai
ke-Tuhanan dan kewajian manusia terhadap-Nya.Akal, sebagai daya berfikir yang
ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhandan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam
metafisika yang turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan
dan kewajiban-kewaiban manusia terhadap-Nya.
Dalam
buku-buku klasik tentang ilmu kalam persoalan akal dan wahyu ini dihubungkan
dalam dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua, yaitu:
1.
Masalah mengenai Tuhan
a. Mengetahui
Tuhan dan
b. Kewajiban
mengetahui Tuhan
2.
Mengenai persoalan baik
dan buruk.
a. Mengetahui
baik dan jahat dan
b. Kewajiban
mengerjakan perbuatan yang baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.
Polemik yang terjadi
antara aliran-aliran teologi islam yang bersangkutan ialah yang manakah di
antara ke empat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana
melalui wahyu ?masing-masing aliran memberikan jawaban yang berlainan.
1.)
Mu’tazilah
Berpendapat
bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban
dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.Dengan demikian berterimakasih
kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan buruk wajib
diketahui melalui akal demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
jahat adalah pula wajib.(hal.80)
Dalam
hubungan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya
wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan dan jika ia tidak
berterimakasih kepada Tuhan, orang sedemikian akan mendapat hukuman. Baik dan
jahat menurutnya juga dapat diketehui melalui perantara akal.(ibid.,81)
Dengan
demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, jawaban kaum mu’tazilah atas
pertanyaan di atas adalah “ke empat masalah pokok itu dapat diketahui oleh
akal”.
2.)
Asy-ariah
Aliran
ini menolak sebagian besar dari pendapat mu’tazilah di atas.Dalam pendapatnya
segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui dengan wahyu.Akal tak dapat
membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.Betul akal dapat
mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan
berterimakasih kepada-Nyya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang
patuh kepada Tuhan akan mendapat upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan
mendapat hukuman.(ibid.,82)
Selanjutnya,
penjelasannya dapat dicari dalam keterangan para pengikutnya, salah satunya
adalh Al-Ghazaliyang berpendapat bahwa akal tak dapat membawa
kewajban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukn oleh
wahyu.Dengan demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan
menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Mengenai
soal baik dan jahat ia menerangkan bahwa suatu dikatakn baik, jika perbuatan
itu sesuai dengan tujuan si pembuat di masa depan (akhirat), dan disebut buruk
jika tidak sesuai dengan tujuan si pembuat yang berlawanan dengan perbuatan
yang baik. Adapun soal mengenai Tuhan, uraian Al-Gazali bahwa wujud Tuhandapat
diketahui dengan pemikiran tentang alam yang berifat dijadikan dalam artian
dapat diketahui melalui akal.
Hal di atas diperkuat dengan keterangan
Al-Gazali selanjutnya bahwa obyek pengetahuan itu terbagi tiga, yaitu:
1. Ada
yang dapat diketahui dengan akal saja
2. Ada
yang dapat diketahui degan wahyu saja dan
3. Ada
yang dapat diketahui dengan akal dan
wahyu.(hal., 83 dst)
Dari
kutipan-kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa menurut pendapat al-Asy’ariah akal tak mampu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan.Akal dalam pada itu
hanya dapat mengetahui wujud Tuhan.Untukketigasoal yang lainnya diperukan wahyu
karena akal saja tak cukup untuk mengetahuinya.
3.)
Al-Maturidi,
Al-Maturidi
bertentangan dengan pendirian Asy-ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajian manusia berterimakasih kepada
Tuhan, dengan demikian bagi al-Maturudi akal dapat mengetahui tiga persoalan
pokok, sedang yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang
buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu.(ibid., 87 dst.)
Paham
di atas dapat diterima oleh para pengikutnya di Samarkand, tapi pengikutnya di
Bukhara mempunyai sedikit paham yang berbeda mngenai persoalan kewajiban pada
Tuhan.Dalam paham mereka akal tidak mampu menentukan kewajiban, akal hanya
mampu mengetahui sebab kewajiban.Akibat dari pendapat demikian ialah bahwa
mengetahui Tuhan dalam arti berterimakasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu
tidak wajib bagi manusia.Alim ulama Bukhara, kata Abu Uzbah berpendapat bahwa
sebelum adanya rasul-rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak
percaya kepada Tuhan bukanlah merupakan dosa. Pendapat serupa juga diungkapkan
al-Bazdawi dalam memmberi komentar
terhadap ayat :
Ia mengatakan bahwa menurut ayat ini
kewajiban-kewajiban belum ada sebelum pengiriman rasul-rasul dan dengan
demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib karena
kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan
itu tak dapat diketahui kecuali melalui wahyu.(ibid., 90 dst.)
Dari ke tiga aliran di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa Mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal.Maturidiah
Samarkand memberikan daya yang kurang besar dari Mu’tazilah dan Asy-Arialah
yang memberikan daya terkecil pada akal karena lebih memproritaskan pada fungsi
wahyu.
Fungsi Wahyu
Mengenai soal fungsi wahyu
terdapat beberapa pendapat dari para ahli dan golongan, diantarana:
1.
Mu’tazilah
Wahyu
bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelaasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat, wahyu mempunai fungsi
konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan
menerangkan apa-apa yang belum diktahui akal, berarti menyempurnakan
pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal. Jadi tidaklah selamanya wahyu yang
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal bagi Mu'tazil’h dapat
mengetahui sebahagian dari yang baik dan sebahagian dari yang buruk.(hal., 98
dst.)
2.
Al-Khayyat
Memberi
fungsi lain selain fungsi yang di atas. Rasul-rasul di kirim untuk menguji
manusia, dalam arti siapa yang patuh kepada Tuhan dan siapa yang tidak patuh
kepada Tuhan. Tuhan telah menunjukkan jalan ke surga dan jalan ke neraka, dan
terserah kepada manusia jalan mana yang akan mereka lalui nantinya.(ibid., 99.)
3.
Al-Syahrastani
Disebutkan
oleh al-Syahrastani, fungsi wahyu ialah mengingatkan manusia akan kelalaian
mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.(ibid.,99.)
4.
Asy-ariah
Wahyu
bagi mereka mempunyai fungsi yang banyak sekali.Wahyu boleh dikata menentukan
segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas berubat apa saja yang dikehendakinya,
dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk
mengatur manusia dan memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di
dunia.(ibid., 100)
5.
Maturidiah
Bagi cabang Samarkand, berpendapat
yang lebih kurangnya sama dengan pendapat pada wahyu dalam faham Bukhara. Wahyu
bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan
buruk, sedang dalam pendapat golongan ke dua, wahyu perlu untuk mengtahui
kewajiban-kewajiban manusia.(ibid.,101.)
Sebagai kesimpulan dari
uaraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunai
kedudukan terpenting dalam aliran As-ariah dan fungsi terkecil dalam paham
Mu’tazilah.Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan
daya sendiri dan dengan demikian menggambarakan kemerdekaan dan kekuasaan
manusia.Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu
diturunkan Tuhan untuk mnolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
D. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TAUHID
1.‘Alam Tauhid Dari Zaman Nabi Adam Hingga
Nabi Nuh A.S
Adam mengajarkan tauhid yang khalis murni
kepada anak cucunya. Merekapun tunduk kepada ajaran adam yang meng-esakan Alloh
SWT.
Setelah adam wafat, banyak lagi nabi-nabi
yang dibangkitkan ganti berganti, untuk menuntun dan memimpin umat. Karena
fitrah manusia yang suka dipimpin dan diatur, jika pemimpinnya sudah tidak ada
lagi atau wafat, maka kehilangan pemimpin itu mengakibatkan
penyimpangan-penyimpangan dari jalan yang lurus dari ajarn semula, menjadi
keadaan yang kacau balau. Semenjak adam wafat semuanya kocar-kacir tidak
berketentua, untuk mengatasi itu Allah mengutus pula seorang nabi yang akan
mengatur dan memimpin umat manusia. Dan yang diutus ialah nabi nuh.
Dialah sebagai bapak atau nenek moyang
yang kedua. Dialah pemimpin dan pengatur manusia setelah kehidupannya porak
poranda setelah sepeninggalnya nabi adam.
Sebelum nabi nuh ini ada pula nabi-nabi yang
tugasnya sama yaitu meneruskan ajaran nabi adam a.s.
Setelah nabi nuh wafat ummat kehilangan
pemimpin pula dan kacaulah kembali sehingga datangilah utusan Allah yang
bernama nabi ibrahim a.s. nabi ibrahim
selain mengajarkan dan memimpin ketauhidan juga membawa dan mengajarkan syariah
yang diantaranya disyariahkan dalam agama yang dibawa nabi muhammad sebagai
bukti adanya hubungan yang erat antara syariah nabiibrahim dan syariah nabi
muhammad.
Diantara nabi ibrahim dan nabi muhammad
banyak sekali nabi-nabi yang diutus Allah untuk mengemban ketauhidan umat
manusia dintaranya: nabi musa dan nabi isa.
2. Alam Tauhid Dizaman Nabi Muhammad
Hingga Sekarang.
Kerosulan nabi muhammad adalah untuk
engembalikan dan memimpin umat kepada tauhid dan mengakui keesaan Allah dengan
ikhlas dan semurni-murninya sebagai yang dibawa dan diajarkan oleh nabi ibrahi
terdahulu. Tauhid yang diajarkan oleh nabi muhammad ini adalah sebagai yang
digariskan dalam al qur’an dan al hadis.
Karena segala sifat-sifat Allah terkandung
dalam alquran maka tidak pernah orang-orang dimasa tu menanyakan sifa-sifat
Allah kepada nabi. Mereka hanya menanyakn soal ibadah ( sembahyang, haji, puasa
dan lain-lain).
Tidak terdapat dalam hadis atau
astar-astar yang membuktikan diantara sahabat yang menyelidiki kepada rosul
tentang sifat-sifat Allah dan kedudukan sifat-sifat Allah adalah sifat zat atau sifat fi’il. Adapun
kaum muslimin yang tetap murni ketauhidannya bangun menentang pendapat jaham
dan menyatakan bahwa pendapat itu sesat. Beberapa tokoh tampil dan menyangkal
pendapat jaham ibnu shafwan itu.
Dikala ulama-ulam itu sibuk membicarakan
dalil untuk menolak pendapat jaham tiba-tiba timbul pula suatualiran yang
bernama mutazilah yang dicetus oleh washil ibnu khata’.
3. Tauhid Dan Filsafat
Sejak akhir pemerintahan umayah dunia
islam mulai jebol kemasukan kebudayaan-kebudayaan asing yang datang dari
persia, yunani, india dan sebagainya. Diakala pemerintahan abbasiyah yaitu masa
khalifah makamun umat islam telah sampai kepuncak ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang tinggi.
Segala kitab-kitab ilmu pengetahuan
kebudayaan dan falsfah terutama yang datang dari yunani semuanya diterjemahkan
kedalam bahasa arab. Ilmu logika adalah pertama kali yang diterjemahkan kedalam
bahasa arab.
Dan sejak masuknya kebudayaan-kebudayaan
asing itu lahirlah perbedaan-perbedaan pandangan dalam ilmu tauhid. Dimasa itu
pulalah timbul golongan-golongan : jahamiyah, karamiyah, murjiyah, khawarij,
dan muktazilah.
Akan tetapi dizaman khalifah makamun semua
aliran-aliran itu boleh dikatakan lenyap
begitu pula ahli sunah waljamaah. Muktazalahlah yang subur hidupnya sebab
disokong dan dilindungi oleh khalifah makmun.
Setelah khalifah makmun wafat dibawah
khalifah-khalifah penggantinya mulai timbul kembali aliran-aliran yang
dahulunya tertekan dan tak berpengaruh. Muktazilah tidak mendapat
lindungan-lindungan dan pembelaan lagi bahkan mengalami serangan-serangan dan
kemunduran.
Dimasa itulah timbul mazhab yang hanya
berpegang pada hadis-hadis rosul saja yang dinamakan hadis muhadistin. Golongan
muktazilah mengalami kemunduran.
Di masa itulah timbul mazhab yang
berpegang kepada hadis rosul saja yang dinamakan mazhab muhadistin. Golongan
muktazilah terus menerus mengalami kemunduran sehingga muncul seorang pemimpin
dari golongan ahli sunah waljamaah yang bernama imam asy ‘ari.
4.Sejarah Tauhid
Tauhid artinya mengenal allah , mengetahui
dan meyakini bahwa allah itu tunggal tidak ada sekutunya. Sejarah menunjukan
bahwa pengertian manusia terhadap tauhid
itu sudah tua sekali, yaitu sejak diutusnya anak adam kepada anak cucunya.
Demikianlah nabi adam dan nabi-nabi yang
datang sesudahnya yaitu:idris, syis, nuh, ibrahim dan lain-lain hingga yang
terakhir yaitu nabi muhammad.
Diantara nabi-nabi yang 25 itu ada 5 orang
yang mendapat julukan ulul azmi yaitu: muhammad, ibrahim, musa, isa dan nuh.
Semua nibi-nabi itu mengajar dan memimpin umat untuk meyakinkan bahwa yang
menjadikan alam atau pencipta alam semesta ini adalah tunggal esa yaitu Allah
swt.
Demikianlah adanya suatu garis lurus sejak
nabi adam sampai kepada nabi muhammad, yang meyakini dan mempercayai suatu
keyakinan dan kepercayaan yang tunggal tentang sifat dn zat pencipta alam Allah
Swt.
E. ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU TAUHID
1.
Aliran Khawarij
Kata
“Khawarij” dalah jamak dari kata “kharij” yang artinya “orang yang keluar”.
Pengertian yang lazim yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kaum atau golongn
yang keluar dari pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Sikap oposisi aliran
ini terhadap pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib adalah didasarkan kepada
ketidaksetujuan mereka kepada perdamaian atau perundingan yang dilakukan kepada
Ali, di satu pihak kepada mu’awiyah, dipihak lain yang jelas-jelas hasil
perundingan itu, sangat merugikan pihak Ali. Sebab merupakan penipuan yang diperbuat
oleh delegasi yang diutus oleh muawiayh dalam perundingan itu.
Pemimpin
aliran Khawarij ini pada mulanya adalah Abadullah ibn Wahhab Arrasy yang
ditetapkan dalam satu permusyawaratan pada tahun 37 H (658 M). Oleh karena
mereka keluar dari pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib, maka khalifah Ali pun memerintahkan
agar Aliran Khawarij ini diperangi, yang kemudian terjadilah peperangan
diantara keduanya.
Faham aliran Khawarij
·
mengerjakan
dosa besar adalah mengakibatkan seorang Muslim menjadi kafir
·
tidak mengakui adanya hak manusia untuk mengatur
atau memimpin ummat Islam
·
Tidak mengakui kekuasaan “Khulafa al-Rasyidin” (khalifah
Abu bakar, Umar, Usman dan Ali) dan tidak mengakui mu’awiyah sebagai khalifah.
Begitu pula dengan khalifah-khalifah lainnya. [1]
2.
Aliran Mur’jiah
Mur’jiah memberikan pengertian “menangguhkan
hukum perbuatan seseorang sampai dihadapan Allah Swt”. Golongan ini berpendapat
bahwa muslim yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan kafir, tetap mukmin.
Mengenai dosa besar yang dilakukannya, diserahkan kepada keputusan Allah nanti.
Allah bisa mengampuni dosa itu, bisa pula tidak. Semuanya merupakan urusan
Allah Swt. Dengan demikian, muslim yang berdosa besar masih mempunyai harapan
mendapatkan ampunan Allah Swt.
Hal-hal yang
melatarbelakangi kehadiran Mur’jiah antara lain;
·
Adanya
perbedaan pendapat antara orang-orang Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan
pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengkafirkan orang yang
terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang Shiffin.
·
Adanya
pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan, yang menyebabkan terjadainya
perang Jamal.
·
Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang
ingin merebut kekuasaan Utsman Ibn Affan.
Ajaran-ajaran
Mur’jiah
·
Imam hanya membenarkan (pengakuan) di dalam
hati.
·
Orang
Islam yang melakukan dosa besar, tidak dihukum kafir. Muslim tersebut tetap
mukmin, selama ia mengakui 2 kalimat syahadat.
·
Hukum
terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.
Tokoh dalam sekte Mur’jiah
Pemimpin ulama mazhab Mur’jiah, ialah
Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Sallat al-Samman, dan Dirar ibn Umar.
Dalam perkemabangan selanjutnya, terjadi
perbedaan pendapat dikalangan pengikut Mur’jiah sehingga aliran ini pecah
menjadi bebrapa sekte, ada pula yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh Mur’jiah yang moderat adalah Hasan
Ibn Muahmmad ibn Ali ibn Abi Thalib. Ia berpendapat, bagaimana pun besarnya dosa
seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari Tuhan. Sedangkan yang ekstrem
ialah kelompok Jamhiyah, pengikut Jaham ibn Shafwan. Kelompok ini
berpendapat sekali pun seseorang menyatakan dirinya musyrik, oarang itu tidak
dihukum kafir.[2]
3.
Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah
adalh nama dari aliran faham/golongan yang disponsori oleh seorang tokoh terkemuka
bernama Washil Ibn Atha’. Aliran ini timbul pada masa pemerintahan khalifah
pada masa Abdul Malik Ibn Marwan, dari dinasti bani Umayyah. Mudahnya,
Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri.
Nama lain bagi
Mu’tazilah ialah;
Mu’tazilah adalah
golangan yang mengutamakan akal atau rasio. Oleh sebab itu, aliran ini sering
disebut:
·
Kaum rasionalis
(golongan yang mengutamakan akal)
·
Ahlul
kalam (Ahli berdebat) atau Mutakallimun.
·
Ahlul Qiyas (Ahli analogi, ahli membanding)
Faham aliran
Mu’tazilah:
·
Sebenarnya yang mengatakan baik atau buruk
kepada manusia adalah akalnya sendiri. Al-Qur’an dan hadis hanya memberikan
petunjuk-petunjuk saja.
·
Mengenal
Allah haruslah dengan akal.
·
Manusia
memiliki kekuasaan dan kemerdekaan untuk berbuat, tanpa ikut campur Allah Swt.
·
Di akhirat, Allah Swt tidak dapat dilihat.
·
Al-Qur’an adalah makhluk Tuhan
·
Allah tidak mempunyai sifat, sebab tuhan dan
sifat-sifatnya tidak dapat dipisahkan, karena Ia merupakan Keesaan.
4.
Aliran Asy’ari
Asy’ariah
adalah salah satu aliran dalam theology Islam periode klasik yang namanya
dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali Ibn Ismail al-Asy’ari.
Dalam belajar agama, al-Asy’ari mulai berguru pada Abu Ali al-Jubba’I, seorang
pemuka muk’tazilah. Al-Asy’ari pada mulnya adalah pengikut muktazilah dan sangat
memahami aliran tersebut.
Akan
tetapi, pada usia 40 tahun ia menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah, ketika
mengalami berbagai keraguan dan tidak puas terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah.
Al-Asy’ariah
gigih menyebarkan paham barunya sehingga terbentuk mazhab dalam theology Islam yang
dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jamaa’ah. Pengikut Asy’ari sering disebut
dengan Asy’ariah.
Pokok-pokok jarang
Asy-ariah diantara lain;
o
sifat tuhan
o
perbuatan manusia
o
pelaku dosa besar
o
keadilan Tuhan
5.
Aliran maturidiyah
Nama
aliran maturidi diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin
Muahammad. Kelahiran maturid. Kota kecil di daerah Samarkand. Ia mencari ilmu
pada pertiga terakhir dari abad ketiga hijriyah, dimana aliran muktazilah sudah
mulai mengalami kemundurannya.
Dalam
bidang fiqih, al-Maturidi mengikuti mazahab Hanafi. Dan ia sendiri banyak
mendalam soal-soal yang diperbuat oleh al-Asy’riah juga. Meskipun metode yang dipakai
oelh Maturidi berbeda dengan al-Asy’ari. Namun hasil pemikirannya, banyak yang
sama.
Menurut
ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran al-Maturidi dalam bidang aqidah, sama peran
dengan pendapat-pendapat imam Abu hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum menceburkan
dokrinnya dalam lapangan fiqh dan menjadi tokohnya, telah lama berkecimpung
dalam lapangan aqidah serta banyak pula mengadakan polemik dan perdebatan
seperti yang dikehendaki oleh suasana zamannya. Dalam salah satu buah karyanya
dalam lapangan akidah ialah bukunya yang berjudul ‘al-Fiqhul Akabar
F. KONSEP IMAN DALAM ALIRAN ILMU TAUHID
Pengertian iman menurut bahasa adalah
pembenaran-konfirmasi, sedangkan dalam pengertian syar’ adalah
pembenaran-konfirmatif Rasul terhadap segala sesuatu yang diketahui sumber
kehadirannya secara pasti.[4] Sedangkan menurut sekte Murji’ah iman
hanya diartikan sebagai ucapan semata, yakni pernyataan dua kalimat syahadat.
Lain hal dengan sekte Asy’arisme, beliau mengartikan iman sebagai ucapan dan
praktis-praktisnya. Sekte Mu’tazilah dan Khawarij hanya mengartikan sekte
sebagai praktis.
Iman erat hubungannya dengan akal dan
wahyu. Iman yang didasarkan pada wahyu disebut Tasdiq, yaitu menerima sebagai
benar apa yang didengar. Iman yang didasarkan pada akal disebut Ma’rifah,
mengetahui benar apa yang diyakini. Tasdiq berdasarkan pada pemberitaan, sedang
Ma’rifat berdasarkan pada pengetahuan mendalam.[5]
Muhammad Abduh memberikan kedudukan tinggi
kepada akal oleh karena itu beliau tidak menggambarkan iman sebagai Tasdiq.
Tetapi iman sebagai ‘ilm (pengetahuan), i’tiqad (kepercayaan) atau yaqin
(keyakinan). Bahkan Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar menjelaskan bahwa iman
adalah pengetahuan sebenarnya yang diperoleh oleh akal melalui argumen-argumen
kuat dan membawa jiwa seseorang untuk tunduk dan menyerah.[6] Iman mempunyai tiga unsur, yaitu: iman
kepada Tuhan, Iman kepada alam ghaib, dan melakukan amal yang membawa kebaikan
baik bagi pelakunya maupun bagi diri sesama manusia.
Bagi kaum Mu’tazilah dan ‘Abd al-Jabbar iman
bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal. Tegasnya iman menurut kaum
Asy’ariyah adalah tasdiq, dan batasan iman, sebagai diberikan al-Asy’ari, ialah
tasdiq Allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan.[7] Kaum Maturudiah mendukung pendapat kaum
al-Asy’ari. Batasan yang diberikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima
dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang
serupa dengan Dia.
Ada dua bentuk iman, yaitu: iman orang
khawas dan iman orang awam. Menurut Muhammad Abduh, hanya orang Khawas yang
sanggup untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib sehingga iman bagi orang Khawas
disebut iman iman haqiqi (iman sebenarnya). Orang awam harus bergantung kepada
wahyu dan penjelasan dari Khawas sehingga iman bagi oeang awam disebut iman
taqlid (iman tradisional).
Orang yang mempunyai iman haqiqi berbuat
baik, karena ia tahu bahwa perbuatan itu
adalah baik dan menjauhi perbuatan jahat, karena ia tahu bahwa perbuatan jahat
membawa akibat-akibat buruk. Iman haqiqi tidaklah merupakan iman yang diterima
begitu saja untuk menghormati orang tua dan leluhur serta tidak terdiri
pengetahuan saja tetapi juga amal. Karena iman haqiqi mendorong kepada amal.
Konsep iman yang dimajukan Muhammad Abduh
sejalan dengan konsep iman Mu’tazilah yang erat mengaitkannya dengan amal. Bagi
kaum Mu’tazilah orang yang berbuat dosa besar tidak bisa disebut mu’min, hanya
muslim. Perbuatannya menggambarkan iman.[8]
Lain halnya dengan al-Baghdadi, beliau
menyebut batasan iman yang lebih panjang. Iman tasdiq tentang adanya Tuhan,
Rasul-rasul dan berita yang mereka bawa, tasdiq tidak sempurna jika tidak
disertai oleh pengetahuan. Bagaimanapun iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan
tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar berita yang dibawa wahyu
bersangkutan.
Bagi golongan Samarkand, iman mestilah
lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan. Al-Maturidi menulis bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan dalam
ke-Tuhan-annya, Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya dan
Tauhid adalah mengenal Tuhan dalam ke-Esa-an-Nya.[9]
Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq
hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiah golongan
Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah golongan
Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq , yaitu Ma’rifah atau ‘amal.
G. KONSEP TAKDIR DAN PERBUATAN MANUSIA
Percaya
kepada takdir Tuhan merupakan salah satu rukun iman yang harus dipercayai oleh
setiap orang yang mengaku dirinya seorang mukmin.Namun mempercayai takdir Tuhan
masih menyisakan berbagai persoalan pemahaman yang rumit,karma keberadaanya
yang bersifat gaib,abstrak,dan tidak mudah difahami oleh nalar
manusia,sebagaimana rukun iman yang lainnya.Problem kegaiban dan keabstrakan
dari keenam rukun iman kemudian memunculkan berbagai problem pemahaman bagi
manusia terhadap yang gaib,termasuk didalamnya pemahaman tentang takdir Tuhan.
Wacana tentang takdir telah memunculkan
definisi yang beragam ,dan juga pemahaman yang saling bertentangan. Hal ini
tampak pada pendapat para ulama mengenai takdir Tuhan yang dipahaminya sebagai
ketetapan Tuhan yang saling berlawanan ,yaitu bisa berubah dan tidak bisa
berubah ,dan apakah manusia bebas atau tidak bebas atas perbuatannya.
1.Pengertian Takdir
Takdir
berasal dari bahasa arab qodaro-yaqdiru-qodron yang memiliki beberapa makna
diantaranya hukum,ketetapan yang sesuai dengan batasan.
Wacana
tentang takdir telah memunculkan definisi yang beragam.
§
Abu Hanifah:takdir adalah ketetapan Alloh atas
segala makhlukNya yang mencakup baik buruknya.
§
Al-Asy’ari:takdir adalah ketetapan Alloh kepada
semua makhluk,yang mencakup baik buruk,pahit,getir,dan manfaat madharat.
§
Fazlur Rahman:takdir adalah sebuah kekuatan buta
yang mengukur dan menetapkan hal-hal yang tidak dapat dikendalikanoleh
manusia,terutama yang berkaitan dengan kelahiran,rizki,dan mati.
§
M.Qurash shihab:takdir adalah semua peristiwa
yang terjadi di alam raya yang dari sisi kejadianya dalam kadar dan ukuran
tertentu pada tempat tertentu dan waktu tertentu.
Berdasarkan berubah atau tidaknya takdir dibagi menjadi dua
§
Takdir hatami:yaitu takdir yang tidk bisa
berubah
§
Takdir ghairu hatami yaitu takdir yang masih
bisa berubah
Ada juga yang berpendapat bahwa takdir itu menjadi dua
§
Musayyar:ketetapan Alloh pada manusia dan
makhluk lainnya yang manusia dan makhluk lain itu tidak memiliki kebebasan
untuk menolak atau merubahnya.Seperti warna kulit,jenis kelamin,dan bentuk
tubuh.
§
Mukhayyar:ketetapan Alloh pada manusia dan
makhluk lainnya yang manusia dan makhluk lainya itu memiliki kebebasan untuk
memilihnya.
Berdasarkan waktu terjadinya ,takdir dibagi menjadi
§
Takdir azali,yang meliputi segala sesuatu
sebelum Alloh menciptakan bumi dan langit,yaitu takdir Alloh setelah
menciptakan Qolam.
§
Takdir ‘umri,yang meliputi segala yang terkait
dengan manusia seprti umur,rizki,bahagie,susah,dan mati yaitu takdir ketika
menciptakan manusia dalam rahim.
§
Takdir hauli atau sanawi,yang terkait dengan
malam lailatul qodar,yaitu takdir Alloh yang ditetapkan setiap tahun pada malam
lailatul qoadar.
§
Takdir yaumi,yaitu takdir Alloh setiap hari yang
terkait dengan semua peristiwa.
Takdir dianggap sebagai rahasia Alloh yang harus diyerima begitu saja
oleh manusia dan manusia tidak akan mampu mengetahuinya karena keterbatasan
ilmu manusia,bahkan nabi dan rosulpun tidak mampu mengetahui rahasia takdir
Alloh.
Tidak semua takdir atau hukum Alloh tidak bisa diketahui oleh
manusia.Akan tatapi banyak takdir Alloh yang bisa diketahui oleh manusia
melalui berbagi penelitian dan penemuan-penemuan ilmiahnya tentang alam
semesta,baik dalam bidang fisika,kimia,biologi,astronomi dan lainya,yang
ternyata setiap unsure di alam semesta ini memiliki hukumnya masing-masing,dan
semua berjalan melalui hukum atau takdir Alloh.
Seperti mengalirnya air dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah.Ternyata,setelah melalui penelitian ilmiah,diketahui bahwa bumi memiliki
daya tarik terhadap benda-benda yang kemudian disebut hukum gravitasi.Semua ini
adalah bagian dari takdir Alloh yang bisa diketahui oleh manusia.
2. Posisinya
Dalam Perbuatan Manusia
Persoalan lain yang berkaitan dengan
pemahaman takdir adalah perbuatan manusia.Perdebatan para ulama tentang takdir
yang terkait dengan perbuatan manusia ,talah memunculkan dua kelompok besar
dalam ilmu kalam,yaitu jabariyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan manusia
telah diciptakan oleh Alloh,dan Qodariyah yang berpendapat bahwa manusia
memiliki kebebasan atas perbuatannya.
Kalau
semua perbuatan manusia sudah diciptakan oleh Alloh sebagaimana pendapat
golongan jabariyah,maka hal ini berarti bahwa perbuatan manusia sejak masih
dikandungan sampai ia meninggal sudah diciptakan oleh Alloh,dan hal ini juga
menafikan keberadaan manusia yang berada dalam pengruh ruang dan waktu.
Sebaliknya,kalau
manusia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatanya
sebagaimana golongan Qodariyah,hal ini terkesan pada say manusia sudah dewasa
(‘aqil,baligh) yang sudah mampu dan bisa membedakan antara yang baik dan yang
buruk.Bagaimana halnya dengan anak yang msih kecil apakah ia memiliki kekuasaan
untuk merubah perbuatan?karna pada realitas yang ada,banyak anak kecil yang
berperilaku baik dan berperilaku jahat yang semua itu tidak lepas dari pengaruh
lingkungan.
BAB
III
PENUTUP
Ilmu tauhid adalah ilmu yang menyelidiki dan membahas
soal-soal yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Alloh SWT dan sekalian
utusan-Nya. Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah agar supaya dengan ilmu
tersebut manusia bisa mengetahui Allah (ma’rifatullah) dengan segala hal
yang wajib ada padanya dan yang mustahil ada pada-Nya, kemudian bisa
membenarkan-Nya (tashdiquhu), dan kemudian mengEsakan-Nya (tauhidullah).
Aliran-aliran dalam ilmu tauhid meliputi mur’jiah,
khawarij, mu’tazilah, asy’ariyah dan
maturidiyah.
Wahyu mempunai kedudukan terpenting dalam aliran As-ariah dan
fungsi terkecil dalam paham Mu’tazilah.Akal, dalam usaha memperoleh
pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian
menggambarakan kemerdekaan dan kekuasaan manusia.Wahyu sebaliknya,
menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk mnolong
manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
Iman erat
hubungannya dengan akal dan wahyu. Iman yang didasarkan pada wahyu disebut
Tasdiq, yaitu menerima sebagai benar apa yang didengar. Iman yang didasarkan
pada akal disebut Ma’rifah, mengetahui benar apa yang diyakini. Tasdiq
berdasarkan pada pemberitaan, sedang Ma’rifat berdasarkan pada pengetahuan mendalam.
[1]
Taufiq Idris, Aliran Populer dalam Theology Islam, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu Offset, 1980), hlm. 13.
[2]
Drs. H.M yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
persada, 1993), hlm.105.
[3] Taufiq
Idris, Aliran Populer dalam Theology Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu
Offset, 1980), hlm. 9.
[4] Hassan
Hanafi, Islamologi, (Yogyakarta:Lkis), Hal 44
[5] Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press),
Hal 89
[6] Ibid,
Hal 89
[7] Harun
Nasution, Teologi Islam, Hal 148
[8] Harun
Nasution, Hal 90
[9] Ibid,
Hal 148
No comments:
Post a Comment