Penulis : Rahmad
Fitriyanto
Perlu
diketahui bahwa silang pendapat dikalngan mazhab-mazhab teologi (baca : ilmu
kalam ) dalam bidang akidah tidak sampai menyentuh inti akidah itu sendiri atau
tauhid, tetapi hanya berkisar mengenai persoalan-persoalan filosofis diluar
masalah keesaan Allah (Tauhid), keimanan kepada para rasul, malaikat, hari
akhir dan berbagai ajaran Nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk
memperdebatkannya. Persoalan khilafiyah hanya berputar di sekitar persoalan kebebasan
dan keterpaksaan manusia (al-jabr wa al ikhtiyar), pelaku dosa besar dan hukumannya, atau apakah Al-Qur’an
mahluk atau bukan mahluk.
Mazhab-mazhab tersebut kemudian terbagi
menjadi, Jabariyah, Qadariyah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Asy’ariyah,
dan Maturidiyah.
Persoalan pertama atau masalah kebebasan dan ketrepaksaan perbuatan
manusia menjadi problem mazhab Jabariyah dan Qadariyah. Oleh karena itu
formulasi problem tersebut berkisar pada masalah-masalah : Apakah perbuatan
manusia itu bebas (mutlak) ataukah terikat dengan ketentuan Tuhan:
faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbuatan manusia dalam menentukan kehendak
dan pilihannya: sampai berapa jauh daya kemampuan manusia dalam merealisasikan
kehendak dan perbuatannya? Hal inilah yang dikalangan Qadariyah dan
Jabariyah terjadi silang pendapat yang antagonis. Implikasi dari diskursus
tersebut muncul asumsi bahwa Jabariyah dianggap menghambat pembangunan dan
sebaliknya Qadariyah yang sesuai dengan teologi pembangunan. Pembahasan kedua
mazhab tersebut bukanlah suatu keterlambatan, tetapi studi historis ini dapat
dimanfaatkan sebagi cermin dimasa datang. Maka agar pembahasan ini sasaran
maksimal diketengahkan terlebih dahulu asal usul perkembangannya, diikuti
pemuka-pemuka dan ajaran-ajarannya, kemudian dianalisis untuk dapat ditarik
kesimpulan.
A. ASAL USUL DAN PERKEMBANGANNYA
- Jabariyah
Nama Jabariyah berasl dari
kata jabara yang berarti memaksa. Dinamakan demikian karena kaum
Jabariyah mempunyai faham bahwa manusia melakukan perbautan-perbuatan itu dalam
keadaan terpaksa. Dalam riteratur barat atau teolohi modern faham Jabariyah ini
disebut dengan nama Fatalism atau Predistination yaitu bahwa perbuatan-perbuatan
manusi itu telah ditentukan sejak azali oleh qadha dan qadar Tuhan. Secara
terminologis, Jabariyah adalah salah satu aliran teologi Islam yang
berpandangan : bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan
kehedak dan perbuatannya : Manusia terikat pada kehendak Allah dalam
pengertian bahwa manusia itu telah terlebih dahulu ditakdirkan dalam qadha
dan qadar Allah[1].
Pandangan yang demikian
dilatarbelakangi pleh ada penyebabnya, yaitu sikap dan pembawaan suku-suku
bangsa Arab yang serba sederhana jauh dari pengetahuan, terpaksa
menyesuaikan suasana pada saat itu. Sebab mereka tinggal di padang pasir di
bawah terik matahari dan ddi kelilingi gunung-gunung yang gersang. Menghadapi
situasi yang demikian, merka tidak banyak merekayasa untuk menyangkal atau
merubah kondisi kehidupan sehari-hari mereka yang tergantung kehendak alam. Hal
inilah yang membawa mereka kepada sikap fatalistis, yang pada gilirannya
menimbulkan sikap pasrah[2].
penyebab lain yang juga penting adalah adanya nash-nash yang
mendorong kepada manusia untuk tidak berbuat sesuatu karena sudah
ditentukan oleh Allah. Tinggal pasrah kepada yang Maha Kuasa, tidak perlu
protes. Nash itu diantaranya :
1. Firman Allah Swt. Dalam surat
As-Shoffat : 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya : “Padahal Allahlah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (As-Shoffat: 96)
2. Firman Allah Swt. Dalam surat Al-Insan
: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
Artinya:”Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Secara
historis embrio pemikiran Jabariyah sudah muncul pada masa Rasulullah, hanya
saj belum resmi menjadi suatu aliran?mazhab. salah satu sumber riwayat
menyatakan bahwa pada suatu saat Rasulullah menjumpai para sahabatnya yang
sedang berdebat tentang masalah Qadar. Salah seorang diantara mereka berkata: “Bukankah
Allah berfirman bahwa qadar itu begini?” yang lain menjawab, bahawa Allah
telah berfirman yang namanya qadar itu begini. Mendengar debat itu Rasulullah
tersinggung yang kemudian bersabda: “Untuk beginikah kamu sekalian
diperintahkan?” Ingatlah umat
sebelum kamu binasa/rusak gara-gara berbuat seperti kamu, mereka saling
mempertentangkan ayat-ayat Tuhan. Ayat Al-Qur’an itu diturunkan agar kamu
terima kebenarannya, lantas kamu kerjakan, dan sebaliknya jauhilah apa-apa yang
dilarang[3].
Embrio
pemikiran tersebut secara pelan tapi pasti akhirnya tumbuh menjadi suatu aliran
dalam teologi Islam yang dimotori pertama kali oleh Al-Ja’ad Ibn Dirham yang
kemudiandisiarkan oleh Jahm bin Shofwan[4].
Riwayat lain menyatakan, Ja’ad menerima faham ini dari Iban bin Sam’am dan
iban menerima dari Thalut bin Ukhtu Lubaid bin Ukhtu A’sham yang hidup semasa
Rasulullah dan ia memusuhinya. Dia dianggap sebagai seorang ahli sihir yang
berani mengatakan Al-Qur’an itu makhluk. Lubaid mengambil faham ini dari
orang-orang Yahudi Yaman, yang kemudian diambil oleh Ja,ad yang seterusnya
dibina oleh Jahm bin Sofwan[5].
Tentang
riwayat hidup Ja’ad ini, semula ia sngat dekat dengan keluarga khalifah,
terbukti ia pernah ditugasi mendidik dan mengasuh seorang Amir dari Bani
Umayyah, yang bernama Marwan bin Muhammad. Itulah sebabnya Marwan pernah
dipanggil dengan nama Marwan al-Ja’ad[6].
Kehidupan
Ja’ad diawali di Damsyik. Karena pendapatnya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
itu makhluk, maka ia dikejar-kejar oleh penguasa Bani Umayyah. Kemudian ia lari
ke Kufah untuk menetap disana seterusnya. Di Kufah ini, ia kemudian bertemu
dengan Jahm bin Shofwan yang setia menjadi muridnya yang kemudian menyebarkan
ajarannya. Di kufah ini juga ia tertangkap dan di amankan oleh khalifa Khalid
bin Abdullah al-Qasyri. Akhirnya Ja’ad dihukum mati pada hari raya Idul
Adha seusai pelaksanaan sholat ‘Id. Pada akhir khatbah Khalid mengatakan kepada
Mustami, “kembalilah dan sembelilah hewan korban kalian”semoga Allah menerima
korban kita. Hari ini aku akan berkorban Ja’ad karena ia telah dengan sengaja
lancang mengatakan Allah tidak bercakap-cakap dengan Nabi Musa a.s. dan tidak
menjadikan Nabi Ibrahim kekasih-Nya, Maha suci Allah dari apa yang dikatakan
oleh Ja’ad itu. Kemudian Khalid turun dari mimbar dan kemudian memotong leher
Ja’ad dibawah mimbar itu juga”[7].
- Qadariyah
Sebenarnya
faham Qadariyah sudah ada sebelum munculnya Mu’tazilah yaitu sejak kaum
muslimin mulai mempersoalkan masalah teologi. Sedangkan nama Qadariyah
diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan
pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan
(qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya.
Dalam
teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of
willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk kehendak
atau kebebasan unutuk berbuet. Sebenarnya nam Qadariyah itu lebih pas dialamakn
kepada kelompok yang menyatak bahwa qadar Allah telah menentukan segala
tingkah laku manusia baik prilaku yang baik maupun yang jahat sekalipun[8]
.
Faham
Qadariyah muncul setelah kaum muslimin menguasai daerah yang luas sehingga
terjadi asimilasi dan penetrasi kebudayaan dengan orang non Arab. Pada waktu
yang sama banyak bangsa non Arab masuk Islam, diantara mereka masih banyak
terpengaruh agama dan kebudayaan nenek moyangnya. Oleh sebab itu, tak dapat
dihindari timbulnya asumsi bahwa faham Qadariyah dipengruhi oleh teologi dan
kebudayaan dari luar Islam yaitu Masehi dan Yunani[9].
Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawah kedalam kalangan
mereka oleh orang-orang Islam yang bukan berasl dari Arab padang pasir, hal itu
menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham Qadariyah itu mereka
anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah
ini dapat dilihat dalam ungkapan antar lain : bahwa “kaum Qadariyah adalah
kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.
Bukti
lain bahwa terdapat ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sendiri yang
memberikan isyarat untuk melakukan ikhtiar. Dalam meninterpretasikan nash yang
demikian inilah menyebabkan muncul golongan Qadariyah[10].
A.
PEMUKA JABARIYAH DAN AJARANNYA
Pencetus
ajaran ini adalah Al-Ja’ad ibn Dirham yang kemudian disebarkan oleh muridnya
Jahm bin Sofwan (w.745). aliran ini berkembeng menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim
dan moderat. Jabariyah Ekstrim berpendirian bahwa pada prinsipnya
manusia tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Segala sesuatunya bergantung
pada takdir Allah.
Dalam
konteks ini, manusia diibaratkan sebagai wayang, dan Allah diibaratkan
sebagai dalangnya. Berbeda dengan Jabariyah Moderat yang
berpendirian, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak tetapi tidak
aktif. Kelompok moderat ini di dukung oleh Husein bin Muhammad al-Najar
(Najariyah) dan Dhirar bin ‘Amr (Dhirariyah)[11].
Pemikiran-pemikiran ketiga tokoh ini adalah sebagai berikut :
- Jahm bin Sofwan.
Ia
lahir di Samarkand, Khurasan yang kemudian menetap di Kufah di daerah Tirmiz
untuk menyebarkan ajarannya yang diterima dari gurunya Ja’ad bin Dirham. Ia
menetap di Tirmiz sampai dengan al-Harits ibn Suraij mengajak intuk melakukan
pemberontakan (makar) terhadap pemerintah bani Umayyah, tetapi ternyata
dikemudian hari tertangkap sampai akhirnya ia dihukum qishas pada tahun
131H[12].
Fakta ini menunjukkan, bahwa kematiannya bukan karena pendiriannya dalam
soal-soal teologi, melainkan berkaitan erat dengan polotik. Hal ini nampak
jelas mengingat ajarannya hanya berkisar persoalan manusia dari dimensi
teologi, tidak mengajarkan soal teori politik. Adapun soal teologi Jahm
menyangkut:
- Persoalan ketuhanan
Dalam persoalan ini dirinci menjadi empat hal yaitu:
1).
Persoalan antara dzat dan sifat Allah
Allah adalah dzat, dan dzat itu bukan merupakan sesuatu.
Bila dzat itu berupa sesuatu, maka hal itu artinya sama dengan menyerupak Allah
dengan sesuatu. Allah itu bukan dari sesuatu dan tidak dalam sesuatu[13].
Oleh sebab itu ia menolak sifat-sifat Allah yang serupa dengan sifat-sifat
manusia: Maujud, hayyun, ‘alimun, dan muridun. Allah boleh disifati
dengan : qadirun, Fail, Kholik, Muhyi
dan mumit[14]. Hal semacam ini dimaksudkan hanya semata-mata
untuk mensucikan.
2. Persoalan
melihat Allah.
Allah tidak bisa (mungkin) dilihat, karena tidak memiliki
sifat maujud. Logisnya, segala sesuatu yang tidak maujud pasti tidak bisa
(mungkin) dilihat[15].
3). Persoalan kehancuran Surga
dan Neraka
Surga dan neraka akhirnya akan menjadi rusak juga setelah
penghuninya masing-masing menempati. Maksudnya: penghuni surga telah menikmati
kebahagian di surga, dan penghuni neraka merasakan kesengsaraan siksa di neraka[16].
Penegasan ayat-ayat keabadian surga dan neraka seperti : KHALIDINA
FIHA, adalah mengandung arti mubalagoh dan ta’kid semata-mata, bukan
berarti hakikatnya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud : 108.
$¨Br&ur tûïÏ%©!$#
(#rßÏèß
Å"sù
Ïp¨Ypgø:$# tûïÏ$Î#»yz $pkÏù $tB
ÏMtB#y
ßNºuq»yJ¡¡9$#
ÞÚöF{$#ur wÎ) $tB
uä!$x© y7/u (
¹ä!$sÜtã uöxî 7räøgxC
ÇÊÉÑÈ
Artinya
: “ Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga,
mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya”.
Dalam ayat ini mengandung keabadian
yang bersyarat, sedangkan keabadian itu adalah hal yang tanpa syarat[17].
Nampaknya pandangan semacam ini dimaksudkan untuk mensucikan Allah, yakni tiada
yang abadi kecuali hanya Allah.
4).
Persoalan Al-Qur’an adalah makhluk.
Al-Qur’an itu sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Allah. Ia mengingkari kemutakalliminan Allah, otomatis
penyandaran ini berarti Al-Quran itu makhluk Allah, bukan qadim tetapi baru[18].
- persoalan manusia
1).
Terpaksa
Manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan atas
segala sesuatu. Manusia tidak mempunyai kehendak dan pilihan. Semua perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah dalam diri-Nya. Sama halnya gerakan yang
diciptakan oleh Allah dalam benda mati, seperti pohon berbuah, air mengalir,
matahari terbit dan tenggelam. Jika dikatakan manusia itu berbuat, maka itu
bukan dalam arti hakekatnya, tetapi dalam artian majazi. Senada dengan
rumusan, bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul
atas kehedak sendiri, melainkan dipaksakan oleh Allah atas dirinya. Tanpa
adanya gerak dari Allah, manusia tidak mampu berbuat apa-apa[19].
Secara lahiriyah, faham Jabariyah yang ekstrim akan
menimbulkan kesan bahwa manusia tidak perlu berusaha, cukup menerima apa yang
diberikan Allah, sesuai dengan ketentuan segala sesuatu telah diatur oleh Allah
sejak zaman azali. Implikasi dari faham ini akan mengarah pada pembentukan
sikap statis dan fatalis. Bahkan secara ekstrim manusia akan
melepaskan tanggung jawab atas perbuatannya, dan kemudian menyandarkan tanggung
jawab itu kepada Allah.
Bisa saja kesan semacam itu tidak akan muncul kalau kita
benar-benar memahami duduk persoalannya tanpa tanpa terlebih dahulu
menghakiminya. Jabariyah berpandangan seperti dimaksudkan upaya memurnikan
tauhid secara mutlak. Artinya perbuatan Allah itu sungguh-sungguh murni, lepas
dari campur tangan manusia.
2).
Akal
Akal manusia secara sempuna mampu
membedakan antara yang baik dengan yang buruk, kendatipun tanpa ada wahyu yang
memberikan bimbingan[20]. Penghargaan akal
yang sampai sedemikian ini bukanlah untuk mengingkari peranan wahyu. Itulah
sebabnya ajaran ini dapat diinterpretasikan, bahwa akal manusia dapat sampai
kepada ajaran dasar ajaran agama, yaitu adanya Allah dan masalah kebaikan dan
keburukan. Setelah itu akal manusia baru dapat mengetahui kewajiban terhadap
Allah dan kewajiban untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menghindari
perbuatan jahat. Wahyu dalam keempat hal ini datang untuk memperkuat pendapat
akal dan untuk memberi rincian tentang apa yang telah diketahuinya itu[21].
- Husein bin Muhammad an-Najjar
An-Najjar dapat disebut tokoh kedua Jabariyah moderat,
pandangan-pandangannya meliputi :
a. Perbuatan manusia
Perbuatan manusia baik dan buruk adlah ciptaan Allah.
Manusia hanya mempunyai andil dalam mewujudkannya. Tenaga dan daya yang
diciptakan oleh Allah dalam diri manusia mempunyai dampak dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Tenaga dan daya itu disebut teori Kasab atas usaha[22].
Pandangan An-Najjar ini jauh
berbeda dengan Jaham yang meniadakan sama ekali kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatannya, lantaran manusia tidak mempunyai daya apa-apa. Manusia
hanya menerima gerakan perbuatan dari Allah.
b. Kehendak Allah
Allah itu berkehendak bagi dirinya sebagaimana Dia
mengetahui akan Diri-Nya. Kehendaknya tidak karena dipaksa. Dialah yang yang
menciptakan segala perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk. Kendatipun
demikian manusia mempunyai andikl dari perbuatan itu (kasab). Yakni dalam
mewujudkan perbuatan itu harus ada kemampuan manusia[23].
c. Melihat Allah
Manusia tidak mungkin melihat
Allah dengan mata telanjang. Hanya ada kemungkinan manusia melihat-Nya dengan
cara Allah merubah kekuatan didalam kalbu (Ma’rifah) menjadi penglihatan
mata.
- Dhiror bin ‘Amr
Dhiror termasuk dalam faham Jabariyah moderat yang
ajarannya antara lain adalah:
a.
Melihat Allah
Manusia itu mempunyai indera keenam yang dengan kekuatan
indera itu manusia mampu melihat Allah di akhirat nanti. Sayangnya dia tidak
menjelaskan apa indera keenam. Ia hanya mengembangkan pemikiran bahwa Allah
dapat dilihat di akhirat nanti oleh penghuni surga. Apakah demikian berarti
penghuni neraka tidak bisa melihat-Nya!
b.
Perbuatan manusia
Perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah secara
hakiki. Dalam pada itu hakikat perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah, yang
kemudian manusia melaksanakan melalui kasab. Itulah sebabnya boleh sja
terjadi satu bentuk perbuatan dilakukan oleh dua pelaku[24].
c. Kemampuan akal
Akal tidak perlu mengetahui baik dan buruk sebelum datang
perintah dan larangan dari Rasul, dan Allah tidak wajib menghukum akal[25].
Ajaran Jabariyah baik yang ekstrim maupun yang moderat tersebut menimbulkan
kritik konsturktif maupun destruktif
dari kalangan kaum muslimin sejak mulai timbulnya faham itu, bahkan
sampai sekarang. Lepas dari reaksi tersebut, harus dimengerti merekalah yang
lebih dahulu mengembangkan pendekatan wahyu secara raisonal. Rasional adalah
lawan dari tradisional. Tetapi apakah Jabariyah sebagaiman faham fisafat
rasionalisme? Dengan pendekatan rasional itu mereka mampu mendobrak tradisa
irasional sebelumnya, yang memahami nash secara lahiriyah semata. Reaksi kaum
Muslimin pada garis besarnya dapat dikategorikan menjadi 3 yaiu :
1). Sikap penguasa saat itu Bani
Umayyah sudah barang tentu diwarnai visi politik, dan bersifat dualistik.
Misalnya ketika penguasa mengejar-ngejar dan akhirnya membunuh tokoh-tokoh
Jabariyah, pada waktu yang sama penguasa memanfaatkan dan mencari pembenaran
atas tindakan yang diperbuatnya.
2). Sikap antagonis yang pada
akhirnya justru membuahkan hal yang positif, yaitu munculnya faham Qadariyah
yang memperluas, mengembangkan cakrawala pemikiran umat sehingga kreatifitas
dan dinamika akan selalu muncul dalam teologi Islam.
3.) sikap netral yang mau dan
mampu memahami prilaku pikir Jabariya sebagai proses menuju kesucian teologi.
Jabariyah tidak ingin lari dari teologi Islam. Mereka bertujan mulia memurnikan
keesaan Allah, bukan sama sekali ingin merusak agama dan menyesatkan. Itulah
cara yang menurut mereka telah berhasil membuktikan keesaan Allah.
B.
PEMUKA QADARIYAH DAN AJARANNYA
Suatu
riwayat mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengatakan Qadar adalah Ma’bad
al Juhani dan Ghoelan ad Dimasyqi [26]. Oleh karena itu
yang dianggap sebagai bapak pendiri aliran ini adalah Ma’bad yang
mengembangkannya sekitar tahun 70H./689 M. Faham ini muncul pada masa khalifah Abdul
Malik bin Marwan. Ma’bad mengembangkannya di Irak dan Ghoelan di
ad-Dimasyqi daerah Syam. Sementara itu Ahmad Amin menambahkan seorang tokoh
bernama Ja’ad bin Dirham. Mereka bertiga itulah yang disebut-sebut sebagai
pelopor Qadariyah yang pertama.
1. Tokoh-tokoh Qadariyah
a.
Ma’bad al Juhani
Menurut riwayat Ibnu Natabah Ma’bad mengambil faham
Qadariyah (free will ad free act) dari seorang kristen yang masuk islam
kemudian berbalika lagi murtad. Sementara itu, Adz Dzahabi dalam “Mizan
al-I’tidal” menulis bahwa ia seorang tabi’in yang dapat dipercaya,
kendatipun memberikan cintih yang kurang pas dalam masalh Qadariyah ini.[27]
Ma’bad termasuk murid Abu Dzar al-Ghifari. Ia pernah juga berguru kepada Hasan
Al Bashri. Ia dinyatakan orang yang pertama memebahas tenetang qadar. Dari
sinilah mulai bangkit golongan Muslimin yang berijtihad secara rasional
terhadap nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia yang telah membangkitkan semangat
rasional itu ternyata akhir hayatnya dibunuh oelh al-Hajaj setelah memberontak
bersama Ibnu al-Asy’at.[28] Dari sini dapat
dikatakan bahwa ia dihukum bunuh karena terlibat persoalan politik dan bukan
dibunuh sebagai seorang Zindiq.
b.
Ghaylan ad-Dimasqi
Aya Ghaylan adalah seorang budak yang telah dimerdekakan
oleh sahabt Utsman bin Affan. Ghaylan tinggal di Damaskus. Ia mahir berpidao
sehingga bamyak orang yang tertari kepadanya dan mengikuti faham Qadariyah ini.
Karena faham ini dianggap menyesatkan maka Hisyam bin Abdul Malik menahan dan
memerintahkan untuk memotong kaki dan tangannya kemudian dibunuh an disalib.[29]
Hal ini dikarenakan Ghaylan dianggap orang yang berbuat makar sebagaimana
disinyalir Al-Qur’an dalam Surat Al-Maidah ayat : 33
$yJ¯RÎ)
(#ätÂty_
tûïÏ%©!$#
tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû
ÇÚöF{$# #·$|¡sù br&
(#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r&
Nßgè=ã_ör&ur
ô`ÏiB
A#»n=Åz
÷rr& (#öqxÿYã
ÆÏB ÇÚöF{$# 4
Ï9ºs
óOßgs9 Ó÷Åz Îû
$u÷R9$# (
óOßgs9ur Îû
ÍotÅzFy$# ë>#xtã
íOÏàtã
ÇÌÌÈ
Artinya
: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar,
[414] maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan
kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan”.
2.
Ajaran-ajaran Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah mengajarkan, bahwa manusia memiki
kehendak dalam perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbautan baik dan
buruk, iman, kufur, dan ta’at atau maksiat.[30] Mereka juga
berpendapat kebaikan atau perbuatan yang baik datang dari Allah, sedangkan
perbuatan jahat dari manusia sendiri.[31]
Pendapat Ghaylan yang berkanaan dengan iman tidak jauh
berbeda dengan aliran Murji’ah, yang menyatakan iman tiu tidak bisa
bertambah dan tidak bisa berkurang, oelh karena itu, manusia sebaiknya
tidak boleh mengaku paling utama dalam beriman. Dalam masalah sifat Allah sam
dengan aliran Mu’tazilah yang menafihkan sifat-sifat Allah, seperti : Ilmu,
qadrah dan lain-lain. Ia berpendapat sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri.
Pada masalah Al-Qur’an, aliran ini berpendapat bahwa Al-Qur’an itu mahluk, maka
tidak bersifat qadim. Sementara itu dalam masalah imamah, tidaklah hanya orang
Quraisy yang berhak menjadi pemimpin, melainkan siapa saja orang islam berhak
menjadi pemimpin selama berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah serta mendapat
dukungan umat.[32]
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UII Pres, 1972), hlm 31.
[2]
Ibid, hlm. 38
[3]
Ali Mustafa al Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Mesir Mathba’ah
Ali, Shabih wa Auladih, tt), hlm.13
[4]
Harun Nasution, op cit, hlm. 33.
[5]
Al Nasysyar, Nasy’ah al-fikrah al- Falsafiy Fii al-Islam (Kairo:
t.p.1966), hlm. 30-31.
[6]
Al-Ghurabi, op. cit. hlm. 13
[7]
Al-Nasysyar, op cit. hlm.330-331
[8]
Ahman Amin, Fajrul Islam (Siangapura: Sulaiman al-Mar’i, 1965. hlm 284
[9]
Ibid, hlm. 284-285
[10]
Yahya, Dirasah fii Ilmi al-kalam wa al falsafah al-Islamiyah (Kairo:
Daar al-Nahdla al-Arabiyah :1972 hlm. 99
[11]
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby,
1967)hlm.85-91
[12]
Ahmad Amin, op cit. hlm. 286.
[13]
An-Nasysyar, op cit, hlm.330.
[14]Al-Bagdhdadi,
al-Farqu Baina al-Firaq (Mesir : Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa
Auladih, t.t)hlm.212
[15]
Ibid, hlm. 87-88
[16]
Al-Syahrastani, op. cit. hlm.37-38
[17]Ibid.
hlm. 87-88
[18]
Al-Ghurabi, op. cit hlm. 25
[19]
Harun Nasution, op cit. hlm 34
[20]
An-Nasysyar, op cit. hlm. 346.
[21]
H.M rasyidi, Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang Islam ditijau Dari
berbagai Aspeknya(Jakarta: Bulan Bintang, 1977)hlm. 108
[22]Al-Baghdadi,
op cit, hlm. 208
[23]
Al-Syahrastani, op cit. hlm. 89.
[24]
Ibid hlm. 91
[25]
Ibid
[26]Ahmad
Amin op cit. ihlm. 284
[27]Ibid,
hlm. 285
[28]
Al-Nasysyar, op cit. hlm 318-319
[29]
Ahmad Amin, op cit. hlm.318
[30]
Al-Syahrastani, op cit. hlm. 47
[31]
Yahya, op cit. hlm. 100
[32]
Al-Ghurabi, op cit. hlm. 340
No comments:
Post a Comment