Tuesday, April 12, 2016

JABARIYAH DAN QODARIYAH





Penulis : Rahmad Fitriyanto



            Perlu diketahui bahwa silang pendapat dikalngan mazhab-mazhab teologi (baca : ilmu kalam ) dalam bidang akidah tidak sampai menyentuh inti akidah itu sendiri atau tauhid, tetapi hanya berkisar mengenai persoalan-persoalan filosofis diluar masalah keesaan Allah (Tauhid), keimanan kepada para rasul, malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran Nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Persoalan khilafiyah hanya berputar di sekitar persoalan kebebasan dan keterpaksaan manusia (al-jabr wa al ikhtiyar),  pelaku dosa besar dan  hukumannya, atau apakah Al-Qur’an mahluk atau bukan mahluk.
           
Mazhab-mazhab tersebut kemudian terbagi menjadi, Jabariyah, Qadariyah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
           

Persoalan pertama atau masalah  kebebasan dan ketrepaksaan perbuatan manusia menjadi problem mazhab Jabariyah dan Qadariyah. Oleh karena itu formulasi problem tersebut berkisar pada masalah-masalah : Apakah perbuatan manusia itu bebas (mutlak) ataukah terikat dengan ketentuan Tuhan: faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbuatan manusia dalam menentukan kehendak dan pilihannya: sampai berapa jauh daya kemampuan manusia dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya? Hal inilah yang dikalangan Qadariyah dan Jabariyah terjadi silang pendapat yang antagonis. Implikasi dari diskursus tersebut muncul asumsi bahwa Jabariyah dianggap menghambat pembangunan dan sebaliknya Qadariyah yang sesuai dengan teologi pembangunan. Pembahasan kedua mazhab tersebut bukanlah suatu keterlambatan, tetapi studi historis ini dapat dimanfaatkan sebagi cermin dimasa datang. Maka agar pembahasan ini sasaran maksimal diketengahkan terlebih dahulu asal usul perkembangannya, diikuti pemuka-pemuka dan ajaran-ajarannya, kemudian dianalisis untuk dapat ditarik kesimpulan.





A.    ASAL USUL DAN PERKEMBANGANNYA

  1. Jabariyah
Nama Jabariyah berasl dari kata jabara yang berarti memaksa. Dinamakan demikian karena kaum Jabariyah mempunyai faham bahwa manusia melakukan perbautan-perbuatan itu dalam keadaan terpaksa. Dalam riteratur barat atau teolohi modern faham Jabariyah ini disebut dengan nama Fatalism atau Predistination yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusi itu telah ditentukan sejak azali oleh qadha dan qadar Tuhan. Secara terminologis, Jabariyah adalah salah satu aliran teologi Islam yang berpandangan : bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan kehedak dan perbuatannya : Manusia terikat pada kehendak Allah dalam pengertian bahwa manusia itu telah terlebih dahulu ditakdirkan dalam qadha dan qadar Allah[1].
           
Pandangan yang demikian dilatarbelakangi pleh ada penyebabnya, yaitu sikap dan pembawaan suku-suku bangsa Arab yang serba sederhana jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan suasana pada saat itu. Sebab mereka tinggal di padang pasir di bawah terik  matahari dan  ddi kelilingi gunung-gunung yang gersang. Menghadapi situasi yang demikian, merka tidak banyak merekayasa untuk menyangkal atau merubah kondisi kehidupan sehari-hari mereka yang tergantung kehendak alam. Hal inilah yang membawa mereka kepada sikap fatalistis, yang pada gilirannya menimbulkan sikap pasrah[2]. penyebab lain yang juga penting adalah adanya nash-nash yang mendorong kepada manusia untuk tidak berbuat sesuatu karena sudah ditentukan oleh Allah. Tinggal pasrah kepada yang Maha Kuasa, tidak perlu protes. Nash itu diantaranya :
1. Firman Allah Swt. Dalam surat As-Shoffat : 96
      ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ           
            Artinya : “Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (As-Shoffat: 96)
2. Firman Allah Swt. Dalam surat Al-Insan : 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
Artinya:Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

                Secara historis embrio pemikiran Jabariyah sudah muncul pada masa Rasulullah, hanya saj belum resmi menjadi suatu aliran?mazhab. salah satu sumber riwayat menyatakan bahwa pada suatu saat Rasulullah menjumpai para sahabatnya yang sedang berdebat tentang masalah Qadar. Salah seorang diantara mereka berkata: “Bukankah Allah berfirman bahwa qadar itu begini?” yang lain menjawab, bahawa Allah telah berfirman yang namanya qadar itu begini. Mendengar debat itu Rasulullah tersinggung yang kemudian bersabda: “Untuk beginikah kamu sekalian diperintahkan?”  Ingatlah umat sebelum kamu binasa/rusak gara-gara berbuat seperti kamu, mereka saling mempertentangkan ayat-ayat Tuhan. Ayat Al-Qur’an itu diturunkan agar kamu terima kebenarannya, lantas kamu kerjakan, dan sebaliknya jauhilah apa-apa yang dilarang[3].
           
Embrio pemikiran tersebut secara pelan tapi pasti akhirnya tumbuh menjadi suatu aliran dalam teologi Islam yang dimotori pertama kali oleh Al-Ja’ad Ibn Dirham yang kemudiandisiarkan oleh Jahm bin Shofwan[4]. Riwayat lain menyatakan, Ja’ad menerima faham ini dari Iban bin Sam’am dan iban menerima dari Thalut bin Ukhtu Lubaid bin Ukhtu A’sham yang hidup semasa Rasulullah dan ia memusuhinya. Dia dianggap sebagai seorang ahli sihir yang berani mengatakan Al-Qur’an itu makhluk. Lubaid mengambil faham ini dari orang-orang Yahudi Yaman, yang kemudian diambil oleh Ja,ad yang seterusnya dibina oleh Jahm bin Sofwan[5].
           
Tentang riwayat hidup Ja’ad ini, semula ia sngat dekat dengan keluarga khalifah, terbukti ia pernah ditugasi mendidik dan mengasuh seorang Amir dari Bani Umayyah, yang bernama Marwan bin Muhammad. Itulah sebabnya Marwan pernah dipanggil dengan nama Marwan al-Ja’ad[6].
           
Kehidupan Ja’ad diawali di Damsyik. Karena pendapatnya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka ia dikejar-kejar oleh penguasa Bani Umayyah. Kemudian ia lari ke Kufah untuk menetap disana seterusnya. Di Kufah ini, ia kemudian bertemu dengan Jahm bin Shofwan yang setia menjadi muridnya yang kemudian menyebarkan ajarannya. Di kufah ini juga ia tertangkap dan di amankan oleh khalifa Khalid bin Abdullah al-Qasyri. Akhirnya Ja’ad dihukum mati pada hari raya Idul Adha seusai pelaksanaan sholat ‘Id. Pada akhir khatbah Khalid mengatakan kepada Mustami, “kembalilah dan sembelilah hewan korban kalian”semoga Allah menerima korban kita. Hari ini aku akan berkorban Ja’ad karena ia telah dengan sengaja lancang mengatakan Allah tidak bercakap-cakap dengan Nabi Musa a.s. dan tidak menjadikan Nabi Ibrahim kekasih-Nya, Maha suci Allah dari apa yang dikatakan oleh Ja’ad itu. Kemudian Khalid turun dari mimbar dan kemudian memotong leher Ja’ad dibawah mimbar itu juga”[7].

  1. Qadariyah

Sebenarnya faham Qadariyah sudah ada sebelum munculnya Mu’tazilah yaitu sejak kaum muslimin mulai mempersoalkan masalah teologi. Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya.

Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk kehendak atau kebebasan unutuk berbuet. Sebenarnya nam Qadariyah itu lebih pas dialamakn kepada kelompok yang menyatak bahwa qadar Allah telah menentukan segala tingkah laku manusia baik prilaku yang baik maupun yang jahat sekalipun[8] .

Faham Qadariyah muncul setelah kaum muslimin menguasai daerah yang luas sehingga terjadi asimilasi dan penetrasi kebudayaan dengan orang non Arab. Pada waktu yang sama banyak bangsa non Arab masuk Islam, diantara mereka masih banyak terpengaruh agama dan kebudayaan nenek moyangnya. Oleh sebab itu, tak dapat dihindari timbulnya asumsi bahwa faham Qadariyah dipengruhi oleh teologi dan kebudayaan dari luar Islam yaitu Masehi dan Yunani[9].

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawah kedalam kalangan mereka oleh orang-orang Islam yang bukan berasl dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam ungkapan antar lain : bahwa “kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.

Bukti lain bahwa terdapat ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sendiri yang memberikan isyarat untuk melakukan ikhtiar. Dalam meninterpretasikan nash yang demikian inilah menyebabkan muncul golongan Qadariyah[10].

A.    PEMUKA JABARIYAH DAN AJARANNYA

Pencetus ajaran ini adalah Al-Ja’ad ibn Dirham yang kemudian disebarkan oleh muridnya Jahm bin Sofwan (w.745). aliran ini berkembeng menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat. Jabariyah Ekstrim berpendirian bahwa pada prinsipnya manusia tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Segala sesuatunya bergantung pada takdir Allah.
Dalam konteks ini, manusia diibaratkan sebagai wayang, dan Allah diibaratkan sebagai dalangnya. Berbeda dengan Jabariyah Moderat yang berpendirian, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak tetapi tidak aktif. Kelompok moderat ini di dukung oleh Husein bin Muhammad al-Najar (Najariyah) dan Dhirar bin ‘Amr (Dhirariyah)[11]. Pemikiran-pemikiran ketiga tokoh ini adalah sebagai berikut :

  1. Jahm bin Sofwan.

Ia lahir di Samarkand, Khurasan yang kemudian menetap di Kufah di daerah Tirmiz untuk menyebarkan ajarannya yang diterima dari gurunya Ja’ad bin Dirham. Ia menetap di Tirmiz sampai dengan al-Harits ibn Suraij mengajak intuk melakukan pemberontakan (makar) terhadap pemerintah bani Umayyah, tetapi ternyata dikemudian hari tertangkap sampai akhirnya ia dihukum qishas pada tahun 131H[12]. Fakta ini menunjukkan, bahwa kematiannya bukan karena pendiriannya dalam soal-soal teologi, melainkan berkaitan erat dengan polotik. Hal ini nampak jelas mengingat ajarannya hanya berkisar persoalan manusia dari dimensi teologi, tidak mengajarkan soal teori politik. Adapun soal teologi Jahm menyangkut:

    1. Persoalan ketuhanan

Dalam persoalan ini dirinci menjadi empat hal yaitu:
1). Persoalan antara dzat dan sifat Allah
Allah adalah dzat, dan dzat itu bukan merupakan sesuatu. Bila dzat itu berupa sesuatu, maka hal itu artinya sama dengan menyerupak Allah dengan sesuatu. Allah itu bukan dari sesuatu dan tidak dalam sesuatu[13]. Oleh sebab itu ia menolak sifat-sifat Allah yang serupa dengan sifat-sifat manusia: Maujud, hayyun, ‘alimun, dan muridun. Allah boleh disifati dengan :  qadirun, Fail, Kholik, Muhyi dan mumit[14].  Hal semacam ini dimaksudkan hanya semata-mata untuk mensucikan.

2. Persoalan melihat Allah.

Allah tidak bisa (mungkin) dilihat, karena tidak memiliki sifat maujud. Logisnya, segala sesuatu yang tidak maujud pasti tidak bisa (mungkin) dilihat[15].
            3). Persoalan kehancuran Surga dan Neraka
Surga dan neraka akhirnya akan menjadi rusak juga setelah penghuninya masing-masing menempati. Maksudnya: penghuni surga telah menikmati kebahagian di surga, dan penghuni neraka merasakan kesengsaraan siksa di neraka[16].
Penegasan ayat-ayat keabadian surga dan neraka seperti : KHALIDINA FIHA, adalah mengandung arti mubalagoh dan ta’kid semata-mata, bukan berarti hakikatnya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud : 108.
 $¨Br&ur tûïÏ%©!$# (#rßÏèß Å"sù Ïp¨Ypgø:$# tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù $tB ÏMtB#yŠ ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur žwÎ) $tB uä!$x© y7/u ( ¹ä!$sÜtã uŽöxî 7ŒräøgxC ÇÊÉÑÈ
Artinya : “ Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya”.
            Dalam ayat ini mengandung keabadian yang bersyarat, sedangkan keabadian itu adalah hal yang tanpa syarat[17]. Nampaknya pandangan semacam ini dimaksudkan untuk mensucikan Allah, yakni tiada yang abadi kecuali hanya Allah.
4). Persoalan Al-Qur’an adalah makhluk.
            Al-Qur’an itu sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah. Ia mengingkari kemutakalliminan Allah, otomatis penyandaran ini berarti Al-Quran itu makhluk Allah, bukan qadim tetapi baru[18].

    1. persoalan manusia

1). Terpaksa

Manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan atas segala sesuatu. Manusia tidak mempunyai kehendak dan pilihan. Semua perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dalam diri-Nya. Sama halnya gerakan yang diciptakan oleh Allah dalam benda mati, seperti pohon berbuah, air mengalir, matahari terbit dan tenggelam. Jika dikatakan manusia itu berbuat, maka itu bukan dalam arti hakekatnya, tetapi dalam artian majazi. Senada dengan rumusan, bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul atas kehedak sendiri, melainkan dipaksakan oleh Allah atas dirinya. Tanpa adanya gerak dari Allah, manusia tidak mampu berbuat apa-apa[19].

Secara lahiriyah, faham Jabariyah yang ekstrim akan menimbulkan kesan bahwa manusia tidak perlu berusaha, cukup menerima apa yang diberikan Allah, sesuai dengan ketentuan segala sesuatu telah diatur oleh Allah sejak zaman azali. Implikasi dari faham ini akan mengarah pada pembentukan sikap statis dan fatalis. Bahkan secara ekstrim manusia akan melepaskan tanggung jawab atas perbuatannya, dan kemudian menyandarkan tanggung jawab itu kepada Allah.

Bisa saja kesan semacam itu tidak akan muncul kalau kita benar-benar memahami duduk persoalannya tanpa tanpa terlebih dahulu menghakiminya. Jabariyah berpandangan seperti dimaksudkan upaya memurnikan tauhid secara mutlak. Artinya perbuatan Allah itu sungguh-sungguh murni, lepas dari campur tangan manusia.

2). Akal
           
            Akal manusia secara sempuna mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, kendatipun tanpa ada wahyu yang memberikan bimbingan[20]. Penghargaan akal yang sampai sedemikian ini bukanlah untuk mengingkari peranan wahyu. Itulah sebabnya ajaran ini dapat diinterpretasikan, bahwa akal manusia dapat sampai kepada ajaran dasar ajaran agama, yaitu adanya Allah dan masalah kebaikan dan keburukan. Setelah itu akal manusia baru dapat mengetahui kewajiban terhadap Allah dan kewajiban untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menghindari perbuatan jahat. Wahyu dalam keempat hal ini datang untuk memperkuat pendapat akal dan untuk memberi rincian tentang apa yang telah diketahuinya itu[21].

  1. Husein bin Muhammad an-Najjar

An-Najjar dapat disebut tokoh kedua Jabariyah moderat, pandangan-pandangannya meliputi :

a. Perbuatan manusia
     
Perbuatan manusia baik dan buruk adlah ciptaan Allah. Manusia hanya mempunyai andil dalam mewujudkannya. Tenaga dan daya yang diciptakan oleh Allah dalam diri manusia mempunyai dampak dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Tenaga dan daya itu disebut teori Kasab atas usaha[22].
      Pandangan An-Najjar ini jauh berbeda dengan Jaham yang meniadakan sama ekali kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya, lantaran manusia tidak mempunyai daya apa-apa. Manusia hanya menerima gerakan perbuatan dari Allah.

b. Kehendak Allah

Allah itu berkehendak bagi dirinya sebagaimana Dia mengetahui akan Diri-Nya. Kehendaknya tidak karena dipaksa. Dialah yang yang menciptakan segala perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk. Kendatipun demikian manusia mempunyai andikl dari perbuatan itu (kasab). Yakni dalam mewujudkan perbuatan itu harus ada kemampuan manusia[23].

c. Melihat Allah
     
      Manusia tidak mungkin melihat Allah dengan mata telanjang. Hanya ada kemungkinan manusia melihat-Nya dengan cara Allah merubah kekuatan didalam kalbu (Ma’rifah) menjadi penglihatan mata.

  1. Dhiror bin ‘Amr

Dhiror termasuk dalam faham Jabariyah moderat yang ajarannya antara lain adalah:

a.      Melihat Allah

Manusia itu mempunyai indera keenam yang dengan kekuatan indera itu manusia mampu melihat Allah di akhirat nanti. Sayangnya dia tidak menjelaskan apa indera keenam. Ia hanya mengembangkan pemikiran bahwa Allah dapat dilihat di akhirat nanti oleh penghuni surga. Apakah demikian berarti penghuni neraka tidak bisa melihat-Nya!

b. Perbuatan manusia

Perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah secara hakiki. Dalam pada itu hakikat perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah, yang kemudian manusia melaksanakan melalui kasab. Itulah sebabnya boleh sja terjadi satu bentuk perbuatan dilakukan oleh dua pelaku[24].
           
            c. Kemampuan akal
                       
Akal tidak perlu mengetahui baik dan buruk sebelum datang perintah dan larangan dari Rasul, dan Allah tidak wajib menghukum akal[25]. Ajaran Jabariyah baik yang ekstrim maupun yang moderat tersebut menimbulkan kritik konsturktif maupun destruktif  dari kalangan kaum muslimin sejak mulai timbulnya faham itu, bahkan sampai sekarang. Lepas dari reaksi tersebut, harus dimengerti merekalah yang lebih dahulu mengembangkan pendekatan wahyu secara raisonal. Rasional adalah lawan dari tradisional. Tetapi apakah Jabariyah sebagaiman faham fisafat rasionalisme? Dengan pendekatan rasional itu mereka mampu mendobrak tradisa irasional sebelumnya, yang memahami nash secara lahiriyah semata. Reaksi kaum Muslimin pada garis besarnya dapat dikategorikan menjadi 3 yaiu :
           
      1). Sikap penguasa saat itu Bani Umayyah sudah barang tentu diwarnai visi politik, dan bersifat dualistik. Misalnya ketika penguasa mengejar-ngejar dan akhirnya membunuh tokoh-tokoh Jabariyah, pada waktu yang sama penguasa memanfaatkan dan mencari pembenaran atas tindakan yang diperbuatnya.
      2). Sikap antagonis yang pada akhirnya justru membuahkan hal yang positif, yaitu munculnya faham Qadariyah yang memperluas, mengembangkan cakrawala pemikiran umat sehingga kreatifitas dan dinamika akan selalu muncul dalam teologi Islam.
      3.) sikap netral yang mau dan mampu memahami prilaku pikir Jabariya sebagai proses menuju kesucian teologi. Jabariyah tidak ingin lari dari teologi Islam. Mereka bertujan mulia memurnikan keesaan Allah, bukan sama sekali ingin merusak agama dan menyesatkan. Itulah cara yang menurut mereka telah berhasil membuktikan keesaan Allah.

B.     PEMUKA QADARIYAH DAN AJARANNYA

Suatu riwayat mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengatakan Qadar adalah Ma’bad al Juhani dan Ghoelan ad Dimasyqi [26]. Oleh karena itu yang dianggap sebagai bapak pendiri aliran ini adalah Ma’bad yang mengembangkannya sekitar tahun 70H./689 M. Faham ini muncul pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad mengembangkannya di Irak dan Ghoelan di ad-Dimasyqi daerah Syam. Sementara itu Ahmad Amin menambahkan seorang tokoh bernama Ja’ad bin Dirham. Mereka bertiga itulah yang disebut-sebut sebagai pelopor Qadariyah yang pertama.

1. Tokoh-tokoh Qadariyah

a. Ma’bad al Juhani

Menurut riwayat Ibnu Natabah Ma’bad mengambil faham Qadariyah (free will ad free act) dari seorang kristen yang masuk islam kemudian berbalika lagi murtad. Sementara itu, Adz Dzahabi dalam “Mizan al-I’tidal” menulis bahwa ia seorang tabi’in yang dapat dipercaya, kendatipun memberikan cintih yang kurang pas dalam masalh Qadariyah ini.[27] Ma’bad termasuk murid Abu Dzar al-Ghifari. Ia pernah juga berguru kepada Hasan Al Bashri. Ia dinyatakan orang yang pertama memebahas tenetang qadar. Dari sinilah mulai bangkit golongan Muslimin yang berijtihad secara rasional terhadap nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia yang telah membangkitkan semangat rasional itu ternyata akhir hayatnya dibunuh oelh al-Hajaj setelah memberontak bersama Ibnu al-Asy’at.[28] Dari sini dapat dikatakan bahwa ia dihukum bunuh karena terlibat persoalan politik dan bukan dibunuh sebagai seorang Zindiq.

b. Ghaylan ad-Dimasqi

Aya Ghaylan adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh sahabt Utsman bin Affan. Ghaylan tinggal di Damaskus. Ia mahir berpidao sehingga bamyak orang yang tertari kepadanya dan mengikuti faham Qadariyah ini. Karena faham ini dianggap menyesatkan maka Hisyam bin Abdul Malik menahan dan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangannya kemudian dibunuh an disalib.[29] Hal ini dikarenakan Ghaylan dianggap orang yang berbuat makar sebagaimana disinyalir Al-Qur’an dalam Surat Al-Maidah ayat : 33
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ
Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

[414]  maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan”.


2.      Ajaran-ajaran Aliran Qadariyah

Aliran Qadariyah mengajarkan, bahwa manusia memiki kehendak dalam perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbautan baik dan buruk, iman, kufur, dan ta’at atau maksiat.[30] Mereka juga berpendapat kebaikan atau perbuatan yang baik datang dari Allah, sedangkan perbuatan jahat dari manusia sendiri.[31]

Pendapat Ghaylan yang berkanaan dengan iman tidak jauh berbeda dengan aliran Murji’ah, yang menyatakan iman tiu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang, oelh karena itu, manusia sebaiknya tidak boleh mengaku paling utama dalam beriman. Dalam masalah sifat Allah sam dengan aliran Mu’tazilah yang menafihkan sifat-sifat Allah, seperti : Ilmu, qadrah dan lain-lain. Ia berpendapat sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri. Pada masalah Al-Qur’an, aliran ini berpendapat bahwa Al-Qur’an itu mahluk, maka tidak bersifat qadim. Sementara itu dalam masalah imamah, tidaklah hanya orang Quraisy yang berhak menjadi pemimpin, melainkan siapa saja orang islam berhak menjadi pemimpin selama berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah serta mendapat dukungan umat.[32]








  
           







                       


 






          


[1] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UII Pres, 1972), hlm 31.
[2] Ibid, hlm. 38
[3] Ali Mustafa al Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Mesir Mathba’ah Ali, Shabih wa Auladih, tt), hlm.13
[4] Harun Nasution, op cit, hlm. 33.
[5] Al Nasysyar, Nasy’ah al-fikrah al- Falsafiy Fii al-Islam (Kairo: t.p.1966), hlm. 30-31.
[6] Al-Ghurabi, op. cit. hlm. 13
[7] Al-Nasysyar, op cit. hlm.330-331
[8] Ahman Amin, Fajrul Islam (Siangapura: Sulaiman al-Mar’i, 1965. hlm 284
[9] Ibid, hlm. 284-285
[10] Yahya, Dirasah fii Ilmi al-kalam wa al falsafah al-Islamiyah (Kairo: Daar al-Nahdla al-Arabiyah :1972 hlm. 99
[11] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967)hlm.85-91
[12] Ahmad Amin, op cit. hlm. 286.
[13] An-Nasysyar, op cit, hlm.330.
[14]Al-Bagdhdadi, al-Farqu Baina al-Firaq (Mesir : Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, t.t)hlm.212
[15] Ibid, hlm. 87-88
[16] Al-Syahrastani, op. cit. hlm.37-38
[17]Ibid. hlm. 87-88
[18] Al-Ghurabi, op. cit hlm. 25
[19] Harun Nasution, op cit. hlm 34
[20] An-Nasysyar, op cit. hlm. 346.
[21] H.M rasyidi, Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang Islam ditijau Dari berbagai Aspeknya(Jakarta: Bulan Bintang, 1977)hlm. 108
[22]Al-Baghdadi, op cit, hlm. 208
[23] Al-Syahrastani, op cit. hlm. 89.
[24] Ibid hlm. 91
[25] Ibid
[26]Ahmad Amin op cit. ihlm. 284
[27]Ibid, hlm. 285
[28] Al-Nasysyar, op cit. hlm 318-319
[29] Ahmad Amin, op cit. hlm.318
[30] Al-Syahrastani, op cit. hlm. 47
[31] Yahya, op cit. hlm. 100
[32] Al-Ghurabi, op cit. hlm. 340

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...