Penulis : Rahmad
Fitriyanto
Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum
(bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau
lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini.
Sehingga, sungguh tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly
dalam bahasa inggrisnya. Maka sekularisme secara bahasa
bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja
dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali
kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah
kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Oleh karena itu, sekularisme secara terminologi sering
didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state
and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi
tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang
berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti
hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama
yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan.
Masing-masing haruslah berada pada jalurnya
sendiri-sendiri. Namun sebelum lebih
jauh mengenal sekularisme secara terminologi dan epistemologinya, ada hal
penting yang harus diketahui dan difahami terlebih dahulu sebagai “pintu masuk”
untuk bisa menjawab pertanyaan yang mendasar, mengapa sekularisme itu
“terlahir” ke dunia ini. Pintu masuk tersebut tiada lain adalah sejarah dan
latar belakang lahirnya sekularisme.
Sejarah Sekularisme
Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk
kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama kristen saat itu
(abad 15 an). Di mana kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat
ke dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat
yang sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya.
Sehingga ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau
mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan
sesuatu yang berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah
mereka “bergesekan” dengan umat Islam di perang salib hal tersebut ternyata
menjadi kawah candradimuka lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya
di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-buku filsafat yunani berbahasa arab
dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam bahasa latin.
Pada saat Eropa mengalami the dark age, kristen yang
sudah melembaga (baca: Gereja) saat itu menguasai semua ranah kehidupan
masyarakat Eropa. Politik, ekonomi, pendidikan dan semuanya tanpa terkecuali
yang dikenal denga istilah ecclesiastical jurisdiction (hukum Gereja).
Semua hal yang berasal dari luar kitab suci Injil dianggap salah. Filsafat yang
notabene sebagai al-umm dari ilmu pengetahuan dengan ruang lingkupnya
yang sangat luas, mereka sempitkan dan dikungkung hanya untuk menguatkan
keyakinan mereka tentang ketuhanan yang trinitas itu. Mereka menggunakan
filsafat hanya sekedar untuk menjadikan trinitas yang irasional menjadi
kelihatan rasional. Dengan demikian secara otomatis filsafat yang seharusnya
menjadi induk semang dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada menjadi mandul dan
tidak berfungsi.
Padahal sebenarnya apa yang dilakukan kristen saat itu sudah
bertentangan dengan falsafah kristen itu sendiri. Di mana dalam falsafah
kristen mengenal adanya dua kerajaan. Kerajaan dunia dan kerajaan langit (baca:
kerajaan tuhan). Manusia hidup di dunia ini hanya sekedar menjalani hukuman
atas dosa warisan nenek moyang manusia, Adam. Sehingga
kerajaan langit adalah satu-satunya tujuan manusia dengan cara membebaskan diri
dari segala dosa. Sampai akhirnya tuhan sendiri yang turun/menurunkan anaknya dan
mengorbankannya sebagai penebus dosa seluruh manusia.
Maka sesuai dengan sabda Yesus sendiri yang dikisahkan Injil, “Berikan kepada
kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan juga kepada tuhan apa yang menjadi
haknya”. Sabda ini secara gamblang menyatakan bahwa urusan kehidupan dunia
diatur oleh penguasa negara.
Tetapi pada tatanan praktis selanjutnya teori “two swords”
yang menjadi bagian dari falsafah agama kristen itu dilanggar, dengan
menjadikannya “one sword” (satu kekuasaan saja, kekuasaan kristen, ecclesiastical
jurisdiction). Dua sisi ruh (spiritual) dan materi (keduniaan) yang
dimiliki manusia yang mana ruh dikuasai/diperintah oleh kekuasaan kristen
(baca: Gereja) dan materi diatur oleh kekuasaan raja/penguasa negara, dijadikan
satu yaitu sisi ruh dan materi manusia diatur oleh kekuasaan kristen saja.
Padahal kristen itu sendiri adalah ajaran ruhi an sich dan tidak
memiliki ajaran materi (bagaimana mengatur urusan manusia dalam sisi materinya
seperti syari’ah di dalam Islam). Tentu hal tersebut mengakibatkan “kekacauan”
pada tatanan kehidupan manusia selanjutnya. Bagaimana tidak, sisi manusia yang
bersifat materi yang identik dengan rasionalitas, immanent, profan harus diatur
dan diperintah oleh kekuasaan yang bersifat ruhi an sich yang identik dengan
irasionalitas, permanent, sakral. Yang pada akhirnya kekacauan falsafah inilah
yang menenggelamkan masyarakat Eropa ke dalam jurang the dark age
berabad-abad lamanya.
Ilmu pengetahuan yang menopang majunya sebuah peradaban
malah dimusuhi. Ketika ada penemuan baru yang dianggap bertentangan dengan isi
injil dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus ditebus dengan nyawa.
Sebagaimana yaang dialami Copernicus yang menyatakan teori heliosentrisnya yang
notabene bertentangan dengan injil yang mengemukan teori geosentris.
Sesuai dengan teori arus air, jika ia ditahan maka lama
kelamaan akan menjadi tenaga yang begitu dahsyat untuk mengahancurkan
penahannya. Begitu juga yang terjadi di Eropa pada abad 15 dengan apa yang
disebut renaissance sebagai lambang dari pembebasan masyarakat Eropa dari
kungkungan kristen. Gerakan renaissance ini mulai digerakkan di berbagai
lini, seni, gerakan pembaruan keagamaan yang melahirkan kristen protestan,
humanisme dan penemuan sains. Yang selanjutnya
diteruskan dengan masa enlightenment pada abad ke-18 satu abad setelah
lahirnya aliran Filsafat Moderen pada abad ke-17.
Tirani Gereja
Kristen—sebagaimana yang kita ketahui—merupakan agama yang
cinta damai, welas asih dan agama cinta kasih. Ini bisa dilihat dari perkataan
Yesus yang memerintahkan murid-muridnya untuk memberikan pipi kanan jika
dipukul pipi yang kiri. Namun, pada kenyataannya Gereja sebagai kristen yang
melembaga justru menjadi tirani bagi bangsa Eropa pada abad pertengahan, yang
membuat Eropa terpuruk selama berabad-abad dalam masa yang disebut the dark
age. Maka timbulah pertanyaan, apa sebenarnya yang membuat Gereja menjadi
tirani di Eropa saat itu.
Hal tersebut sebenarnya kembali kepada masa-masa ketika
kristen baru lahir atau semenjak wafatnya Yesus di tiang salib—yang setelah
tiga hari bangkit kembali, menurut keyakinan mereka. Pada masa-masa awal
lahirnya kristen, umat kristen harus terus bersembunyi (baca: menyembunyikan
iman mereka) dari pemerintahan Romawi. Terutama para murid Yesus yang terus
menyebarkan ajaran guru mereka dengan sembunyi-sembunyi. Dan pada periode yang
penuh tekanan inilah injil ditulis dengan gaya
bahasa mereka (baca: murid-murid Yesus, baik yang langsung ataupun tidak)
masing-masing. Sehingga bercampurlah di sana
antara firman tuhan dan persepsi mereka sendiri tentang ajaran Yesus.
Kristen terus menyebar dengan cara seperti itu, di mana
injil hanya dikuasai oleh para murid Yesus saja dan terus turun temurun kepada
murid-murid mereka. Sehingga akhirnya injil hanya boleh dibaca oleh para pemuka
agama kristen saja. Orang biasa tidak diperbolehkan untuk langsung membaca
injil dan memahaminya sendiri. Karena, di samping bahasa asli injil itu sendiri
yang tidak bisa dipahami oleh orang biasa, ditambah lagi dengan kondisi saat
itu yang masih di bawah tekanan Romawi, sehingga para penyebar kristen harus
berhati-hati dalam mengajarkan ajaran Yesus tersebut.
Monopoli pemahaman dan penafsiran injil itu oleh para pemuka
kristen (rijâlu ad-dîn) terus berlaku sampai akhirnya kristen mejadi agama resmi
Romawi. Justru semenjak itu pula kristen melembaga menjadi institusi Gereja.
Monopoli kitab suci semakin menjadi. Yang mana monopoli kitab suci tersebut
berbuah kepada monopoli keberagamaan kristen. Monopoli itu pula menjadikan umat
kristen sangat bergantung kepada institusi Gereja. Dan justru ketergantungan
itu malah menambah keangkuhan para pemuka kristen sehingga menjadi tirani di
Eropa.
Kekuasaan Gereja saat itu tidak hanya terbatas dalam bidang
agama saja, lebih dari itu seluruh aspek kehidupan dikuasai seluruhnya oleh
Gereja.
v Aspek keagamaan
Dalam aspek keagamaan, kristen setelah menjadi sebuah agama
resmi yang formal (baca: melembaga) melalui counsil Nicea pada tahun 325 M. Di
mana secara resmi para pemuka kristen—terutama Gereja barat—menobatkan Yesus
sebagai tuhan anak. Dan siapa saja yang melawan keputusan counsil tersebut akan
mendapatkan hukuman yang berat selain dicap sebagai seorang heretic. Melalui
counsil-counsil yang selanjutnya dilakukan secara rutin untuk membahas
permasalahan akidah dan syari’ah yang menurut mereka perlu disempurnakan
itulah, Gereja memonopoli keagamaan umat kristen. Melalui counsil-counsil itu
pula Gereja dengan mudah mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Contohnya saja
tentang wajibnya khitan dirubah menjadi haram, daging babi dan bangkai yang
asalnya haram berubah menjadi halal, menyembah patung yang asalnya syirik
menjadi pengungkapan rasa ketakwaan kepada tuhan dan lain sebagainya.
Ajaran Yesus (baca: Nabi Isa) yang asalnya berasakan tauhid
berubah 180 derajat menjadi ajaran yang tidak ada bedanya dengan agama Romawi
kuno, paganisme.
Seseorang tidak akan bisa berkomunikasi dengan tuhan kecuali
melalui lembaga Gereja (para pendeta). Itulah anggapan mereka sehingga membuat
mereka dianggap sebagai orang-orang yang suci dan tidak akan pernah salah.
Anggapan itulah yang terus melahirkan sikap angkuh dan tirani para pendeta dan
penguasa Gereja, selain adanya ketergantungan yang sangat dari umat kristen
kepada lembaga Gereja dalam menjalankan kegiatan keberagamaan mereka.
v Aspek politik
Ketika kehidupan keagamaan masyarakat berhasil dikuasai,
maka secara otomatis kekuasaan politik pun dikuasai pula. Raja-raja Eropa tidak
bisa dengan sembarangan memberikan keputusan ataupun kebijakannya tanpa meminta
pertimbangan Gereja. Saking berkuasanya Gereja, seorang uskup mempunyai
wewenang untuk menurunkan seorang raja dari tahtanya. Atau minimalnya memboikot
kekuasaan mereka, sehingga mereka menjadi raja tanpa kekuasaan.
Father Nicola pertama mengatakan, bahwa anak tuhan (Yesus)
telah membangun Gereja dan menjadikan Petrus (muridnya) sebagai kepala Gereja
tersebut. Dan para uskup Roma telah mewarisi kekuasaan tersebut terus menerus
secara turun-temurun. Seorang uskup adalah wakil Allah di muka bumi ini, oleh
karena itulah ia harus mempunyai kekuasaan yang mutlak atas para umat nashrani
baik mereka itu sebagai raja atau pun rakyat biasa.
Father Grigorie ketujuh mengatakan, bahwa Gereja adalah
undang-undang tuhan oleh karena itu sudah menjadi hak dan kewajiban seorang
father untuk mencopot kekuasaan seorang raja yang tidak taat terhadap ajaran
kristen, serta mengangkat seseorang menjadi raja sesuai dengan tuntutan
keadaan.
v Aspek ekonomi
Kristen adalah agama yang banyak mengajarkan zuhud terhadap
keduniaan. Namun anehnya para uskup penguasa Gereja sungguh terbalik keadaannya
dengan yang seharusnya. Ketika mereka seolah mengharamkan bagi para pengikutnya
untuk mencari harta duniawi, tetapi justru mereka sendiri yang meraup harta
sebanyak-banyaknya melalui denda untuk menebus dosa. Di mana para pengikut
kristen bisa terampuni dosanya jika telah mendapatkan pengampunan dari pendeta
dengan cara membayar denda berupa uang.
- Kepemilikan tanah dengan sistem feodalisme
Will Durant mengatakan bahwa Gereja saat itu (midle age)
merupakan tuan tanah terbesar di Eropa. Misalnya saja Biarawan Velda yang
memiliki 15000 istana kecil, seorang saint Jul memiliki 2000 orang budak
pekerja. Ada
juga salah seorang pemuka Gereja yang memiliki 20.000 orang budak. Para raja dan para uskup saling membantu dalam menjaga
kepemilikan dan kekuasaan mereka. Mereka saling mengikat loyalitas satu sama
lain. Demikianlah Gereja menjadi bagian dari sistem feodalisme yang ada saat
itu.
- Wakaf tanah
Gereja memiliki sebagain tanah yang ada di daratan Eropa
sebagai wakaf dengan dalih untuk kebutuhan pembangunan Gereja dan dan
mempersiapkan perang salib. Seorang reformis kristen, Weiklaf mengatakan bahwa
Gereja menguasai tanah-tanah di Inggris dan memungut pajak-pajak/upeti-upeti
dari tanah-tanah yang bukan milik Gereja
- Sepersepuluh dari penghasilan atau panen
Wales mengatakan bahwa Gereja selain
memungut pajak juga memungut upeti sebesar sepersepuluh dari penghasilan
masyarakat. Upeti tersebut bukan hanya sekedar sedekah dari para pengikut
kristen tetapi juga merupakan hak Gereja yang menjadi kewajiban atas mereka.
- Pajak tahun pertama
Selain wakaf, dan upeti sepersepuluh dari pendapatan, Gereja
juga memungut pajak baru yang disebut pajak tahun pertama. Pajak ini pertama
kali didakan oleh Father Hana ke-22. dalih Gereja memungut pajak tersebut
adalah untuk membiayai perang salib dan perayaan-perayaan suci.
- Hadiah
Para pemuka Gereja banyak menerima
hadiah dari para tuan tanah dan orang-orang kaya. Mereka banyak memberi harta
kepada pihak Gereja dikarenakan takut Gereja tidak akan memberikan ampunan
ketika mereka akan mati.
- Kerja secara Cuma-Cuma
Ketamakan Gereja tidak hanya sebatas memiliki ribuan budak
pekerja saja, mereka pun ternyata masih meminta masyarakat untuk bekerja secara
Cuma-Cuma untuk Gereja. Di antaranya untuk mengurusi ladang-ladang milik
Gereja, terutama untuk membangun Gereja, dan pekerjaan lainnya tanpa dibayar
sepeser pun. Biasanya Gereja mewajibkan satu hari dalam seminggu untuk masyarakat
aga bekerja untuk Gereja.
Pergumulan antara Gereja dan sains
Ada dua hal setidaknya yang dilakukan
Gereja sehingga menghasilkan peperangan yang tidak pernah berakhir antara
Gereja dan sains. Pertama, Gereja telah banyak melakukan penyimpangan terhadap
wahyu yang sebenarnya pada kitab suci Injil. Kedua, mereka memaksakan kehendak
untuk berkecimpung dalam tatanan yang bukan bidangnya.
Dari kesalahan pertama yang mereka lakukan menghasilkan
banyaknya khurafat dan takhayul yang menghiasi ajaran agama kristen. Sehingga
tidak bisa dibedakan lagi antara ajaran yang berupa wahyu sesungguhnya dengan
ajaran yang hanya khurafat dan takhayul belaka.
Sedangkan dari kesalahan kedua yang mereka perbuat adalah
adanya monopoli kebenaran yang mereka klaim sendiri dan menolak yang selain
dari itu. Gereja secara paksa ingin menyebarkan faham atau konsep yang mereka
anut kepada akal seluruh masyarakat ketika itu. Atau dengan kata lain mereka
ingin memaksakan diri mengalahkan sains yang berlandaskan kepada eksperimen dan
observasi secara kongkrit dengan takhayul dan khurafat yang mereka yakini
kebenarannya sebagai ajaran kitab suci.
Britain mengatakan, bahwa pada abad
pertengahan para ilmuwan terdiri dari orang-orang yang masih bagian dari
institusi Gereja. Di mana Gereja sudah berusaha untuk mengintervensi setiap
ruang gerak manusia dan mengarahkannya sesuai kehendaknya, terutama ruang gerak
akalnya; berupa pemikiran dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian para ilmuwan
Gereja tersebut berusah untuk memonopoli kehidupan pemikiran saat itu. Gereja
saat itu merupakan ceramah, surat
kabar, percetakan, perpustakaan, sekolah, dan kuliah. Dan para ilmuwan Gereja
maupun para pelajar kristen biasa yang senang menggeluti dunia filasafat, saat
itu sangat dan banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani terutama filsafat
Aristoteles dan Bathlemus. Mereka dengan sekuat tenaga berusaha untuk
mensikretiskan keyakinan agama mereka dengan pemikiran-pemikiran filsafat
tersebut. Sehingga lahirlah dari gabungan keduanya filsafat kristen, yaitu
percampuran antara filsafat Yunani dan ajaran yang terdapat dalam perjanjian
lama dan perjanjian baru, juga perkataan para saint terdahulu. Dalam frame
filsafat mereka itulah, para filosof kristen memiliki teori-teori tersendiri
tentang alam semesta, geografi dan sejarah. Gereja berpendapat dengan filsafat
kristen yang mereka racik itu mereka bisa mempertahankan diri dari para
pengkritik ajaran kristen. Teori-teori yang mereka hasilkan itu untuk kemudian
dianggap sebagai bagian dari ajaran kristen yang terdapat dalam ajaran kitab
suci.
Pada awal mulanya filsafat dan sains hanya dikenal di
kalangan Gereja saja. Akan tetapi, lama kelamaan orang-orang Eropa menemukan
apa yang nantinya menjadi benih-benih periode renaissance nantinya.
Mereka menemukan sisa-sisa peninggalan umat Islam di pusat-pusat peradaban di
Eropa; Andalus, Sicilia, dan Italia selatan, berupa ilmu pengetahuan. Mereka
mengenal metodologi penelitian dan metodologi berpikir yang benar dari kaum
muslimin di tempat-tempat tersebut. Sehingga akhirnya muncullah para ilmuwan
yang bukan dari kalangan Gereja.
Sebut saja salah satu contohnya Copernicus. Ia menemukan
teori heliosentris tentang tata letak tata surya kita, bahwa mataharilah yang
menjadi pusat tata surya yang dikelilingi oleh planet-planet, seperti bumi
salah satunya. Tentu itu bertentangan dengan teori Gereja yang dianggap sebagai
keyakinan bagian dari ajaran kristen, bahwa bumilah yang menjadi pusat tata
surya dengan alasan karena di bumilah tempat anak tuhan turun dan mengorbankan
nyawanya sebagai tebusan atas dosa-dosa manusia, di mana matahari dan
benda-benda langit lainnya beredar mengitari bumi. Karena itulah, Gereja
menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena telah berani menentang keyakinan
kristen, ajaran tuhan.
Beberapa lama setelah itu, muncul Galileo Galilei yang
memunculkan lagi teori heliosentri. Bahwa bumi bergerak mengitari matahari. Dan
ini bertentangan dengan apa yang disebutkn di antaranya di dalam Perjanjian
Lama, Psalm 104:5, “[the LORD] set the earth on its foundations; it can never
be moved.” Galileo pun dijatuhi hukuman yang sama, hukuman mati. Namun, berbeda
dengan Copernicus, Galileo ruju’ dari pendapatnya tersebut dan akhirnya
dibebaskan.
Revolusi Perancis
Di atas sudah disebutkan bahwa Eropa saat itu bersistemkan
Feodalisme yang membuat rakyat Eropa yang sebagian besar petani menjadi
sengsara. Tentu sudah menjadi sunnatullah, bahwa orang-orang yang tersakiti
lambat laun akan menyusun kekuatan untuk melepaskan diri dari pihak yang telah
menyakitinya secara terus menerus.
Bangsa Eropa justru baru menyadari akan kelemahan dan
kebobrokan sistem Feodalisme yang mereka pakai, seteleh bergesekan secara
langsung dengan kaum muslimin di pusat peradaban Islam di Eropa dan ketika di
perang salib. Sehingga tidak aneh jika revolusi pertama melawan sistem
feodalisme terjadi di Perancis pada abad keempat belas di tangan para petani,
karena secara geografis Perancis dekat dengan Andalusia sebagai bekas pusat
peradaban Islam di samping jauhnya Perancis dari pusat kristen di Roma.
Wales mengatakan bahwa revolusi yang
dilakukan melawan Gereja bukanlah penentangan mereka terhadap kristen,
melainkan perlawanan mereka terhadap kesewenang-wenangnan pihak Gereja terhadap
rakyat kecil yang suka menindas mereka seenaknya dengan dalih agama. Mereka
bukannya ingin terlepas dari pengawasan agama, justru yang mereka inginkan
uskup sebagai pengayom umat kristen bisa menjalankan tugasnya dengan
sesungguhnya sebagai pemimpin umat kristen dan bukannya menjadi para pengumpul
harta kekayaan.
Namun usaha pertama tersebut menemui kegagalan. Akan tetapi
walaupun demikian upaya itu ternyata menjadi benih bagi gerakan-gerakan
revolusi selanjutnya dan menyebar ke seluruh daratan Eropa. Dan akhirnya pada
abad ke 18 perjuangan rakyat Perancis melawan para feodal berhasil memetik
buahnya. Sehingga lahirlah negera pertama di Eropa yang berbentuk Republik
yaitu sebuah bentuk negara yang tidak berdasarkan kepada ajaran agama (baca:
kristen). Negara yang mengatasnamakan kerakyatan dan bukannya ketuhanan,
seperti sebelumnya.
Teori Evolusi
Setelah terjadinya revolusi Perancis, penemuan Newton tentang gaya
tarik bumi, munculnya teori mekanisme yang merubah cara pandang terhadap alam
semesta dan tuhan membuat masyarakat Eropa mempunyai pandangan yang berubah
terhadap kristen. Mereka mulai menaruh keraguan terhadap kristen sebagai ajaran
yang benar. Namun walaupun demikian kristen masih tetap memiliki pamornya
sebagai agama bangsa Eropa kala itu.
Dalam kondisi Eropa yang seperti itu, muncullah Charles
Darwin dengan teori evolusinya yang secara tersirat tapi pasti menolak adanya
tuhan dan penciptaan. Mulai dari sinilah kristen digantikan perannya oleh agama
naturalis yang diagung-agungkan oleh para filosof dan ilmuwan yang atheis.
Teori evolusi ini sebenarnya adalah jawaban dari pertanyaan
yang belum terjawab setelah munculnya teori mekanisme, sebagai buah dari terori
gravitasi yang ditemukan Newton.
Teori mekanisme mengemukakan bahwa semua yang ada di alam semesta ini bergerak
secara otomatis yang diikat oleh hukum sebab akibat. Sungguh bertentangan
dengan kepercayaan kristen yang menolak hukum sebab akibat, semua yang terjadi
di alam semesta ini adalah karena kuasa tuhan. Maka menurut teori mekanisme ini
tuhan hanya bertugas menciptakan alam semesta ini dari tiada menjadi ada dan
membiarkannya bergerak dengan sendirinya secara otomatis. Tuhan menurut teori
ini bak seorang pembuat arloji yang setelah arloji itu terbentuk, ia berjalan
dengan sendirinya tanpa campur tangan si pembuatnya. Teori mekanisme ini adalah
sebagai penafsiran terhadap hukum alam yang berlaku bagi fenomena alam yang
terjadi. Maka bagaimana dengan makhluk hidup.
Lahirnya teori evolusi ini merupakan teori yang menjadi
hukum bagi perkembangan makhluk hidup yang berdasarkan kepada terori mekanisme
di atas. Bahwa secara mekanisme lahirnya makhluk hidup yang beraneka ragam ini
muncul dari satu makhluk yang bersel satu. Lalu kemudian lambat laun berubah
menjadi makhluk yang bersel banyak. Lalu terus sedikit demi sedikit secara
gradual menjadi makhluk yang lebih kompleks dari sebelumnya. Yang mana teori
evolusi ini berdasarkan kepada teori seleksi alam, bahwa yang kuatlah yang akan
terus hidup dan mengalami evolusi sehingga menjadi makhluk yang terkuat dan
sempurna.
Dengan munculnya teori ini, otomatis peran tuhan kristen
yang didefinisikan sebagai sosok yang pemarah—karena menghukum adam dan
keturunannya hanya karena memakan buah larangan—dan kejam—karena mengorbankan
anaknya sendiri untuk dijadikan tumbal dosa-dosa manusia—sudah bisa digantikan
dengan nature. Bahwa, naturelah yang sudah berbaik hati
menciptakan makhluk hidup, terlebih khusus manusia.
Dari teori ini, muncullah pengaruh-pengaruh sebagai berikut:
- Hancurnya keyakinan terhadap agama, khususnya kristen
- Menafikan adanya tujuan dan maksud dari penciptaan
- Menganggap manusia tak ubahnya sama dengan binatang dan hanya terdiri dari materi.
- Mutlaknya relativisme
Sebab-Sebab Lahirnya Sekularisme Dari Rahim Kristen Barat
Jika di atas merupakan sekilas tentang pembahasan mengenai
sebab-sebab lahirnya sekularisme secara umum, maka di sini akan dibahas mengani
sebab-sebab lahirnya sekularisme dari rahim kristen barat, secara khususnya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab
lahirnya sekularisme dari rahim kristen barat. Diantaranya ialah:
Pertama, kristen barat berdasarkan kacamata
Islam, sebenarnya adalah bukan lagi murni agama samawi. Dan penamaan kristen
sendiri justru bukan lahir saat agama itu diturunkan kepada Nabi Isa (Yesus).
Penamaan itu lahir setelahnya. Tidak seperti Islam yang penamaannya sudah
terpatri dan terukir dalam kitab sucinya Al-Qur’an. Sehingga penamaan Islam itu
sendiri ada sejak agama itu mulai ada.
Sejarah pun membuktikan, bahwa sepeninggal Nabi Isa as.
ajaran yang beliau bawa sedikit demi sedikit mengalami perubahan (baik yang
bersifat reduksi, adopsi, maupun asimilasi). Dan perubahan yang sangat mendasar
terjadi ketika Paus pertama ada. Atas nama sebagai rasul yang diutus Yesus guna
menyebarkan ajaran kristen ke seluruh dunia, dia merubah syari’ah seperti
khitan, aqidah dengan trinitas dan juga melakukan sakralisasi politik yang
tersurat dalam teori two swordsnya yang akhirnya menjadi one sword dengan
alasan guna mengejewantahkan paradigma the kingdom of God.
Sehingga karena kristen sudah bukan orijinal ajaran Tuhan lagi, maka tentu
konsekuensinya sebagai ajaran budaya ia akan mengalami perubahan hatta
dalam pokok ajarannya (dogma) sesuai dengan semangat zaman. Sampai akhirnya
ajaran tersebut dianggap usang dan tidak perlu digunakan lagi. Sehingga di
barat kristen sebagai agama hanya dianggap sebagai salah satu proses manusia
(barat) dalam menemukan jati dirinya yang menurut mereka kini telah ditemukan.
Dalam artian kristen sudah tidak diperlukan lagi oleh mereka. Dan ini sesui
dengan teori evolusi manusia. Ketika masa middle age manusia masih dalam
fase anak-anak yang memerlukan bimbingan dari “luar” (alam metafisis).
Sedangkan pada masa moderen (dimulai dari masa renaissance) manusia
dianggap telah mencapai fase kedewasaan dan kematangannya dalam berpikir
sehingga tidak perlu lagi mendapatkan bimbingan dari “orang lain”. Akal manusia
saat itu sudah dianggap dewasa dan tidak perlu lagi tuntunan tuhan (baca:
agama) untuk hidup di dunia ini. Maka inilah mungkin yang menjadi semangat
sebuah buku yang berjudul “Secularism is The Will of God”, bahwa
sekularisme tiada lain merupakan suatu keniscayaan dan termasuk ke dalam
sejarah manusia atau bisa dikatakan sebagai pembentuk dari sejarah itu sendiri.
Kedua, ketika kristen bergeesekan dengan
budaya Romawi dan filsafatnya yang notabene berbaukan ajaran paganisme, secara lambat
laun namun pasti kristen terpengaruh oleh ajaran paganisme tersebut.
Filsafa-filsafat Yunani (ketika itu Yunani sudah dikuasai Romawi) pun ikut
mempengaruhi pokok-pokok ajaran kristen. Hal tersebut bisa dilihat dari
simbol-simbol yang digunakan. Dan sebenarnya filsafat Yunani itulah yang
mengandung benih-benih sekuler di dalamnya. Sebagaimana yang kita ketahui
setelah filsafat naturalisme menggeser mitologi di Yunani, saat itu Yunani
sudah beroirentasikan kepada meterialisme. Dalam artian, sudah tidak terlalu
peduli dengan hal-hal yang bersifat supranatural dan metafisis. Terbukti dengan
pemikiran-pemikiran para filosof saat itu yang memandang bahwa alam ini terbuat
dari unsur-unsur materi seperti air sebagaimana yang dikatakan Thales, tanpa
memandang bahwa ada kekuatan metafisis yang menciptakan alam semesta ini tanpa
bahan sekalipun.
Maka, ketika kristen mengadopsi filsafat
Ariostotelesianisme, alih-alih ingin menguatkan dogma kristen dengan filsafat
yang terjadi malah berujung dengan sekularisasi dalam ajaran kristen tersebut.
Bagaimana tidak, filsafat aristotelesianisme yang menjadi dasar filsafat
materialisme tentu akan bertentangan dengan inti falsafah kristen yang bersifat
imateri, ruhi an sich. Sehingga ketika masa renaissance
tiba, filsafat Yunani menemukan jati diri asalnya yang lebih condong kepada
materialisme sebagai ruh dari paganisme. Karena literatur-literatur kuno
filsafat Yunani dihidupkan kembali apa adanya, dengan artian tanpa ada usaha
untuk menjadikan filsafat sebagai alat legitimasi dogma sebagaimana yang
dilakukan oleh kristen (baca: Gereja) pada masa-masa sebelumnya. Otomatis
pemikiran-pemikiran yang bersifat nyeleneh pun hidup kembali saat itu,
seperti pemikiran-pemikiran kaum Sofis yang menjadikan relativisme sebagai inti
dari filsafat mereka. Yang mana relativisme ini jugalah yang menjadi salah satu
inti dari epistemologi sekularisme.
Ketiga, karena dalam kristen ada teori two
swords yang menyatakan bahwa adanya dua kekuasaan yaitu kekuasaan Tuhan
yang diwakili oleh Gereja dan kekuasaan dunia yang diwakili oleh raja atau
penguasa, dan hal ini adalah apa yang disabdakan sendiri oleh Yesus sebagaimana
yang dikisahkan injil, ’’Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar
dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan”. Pada teori two
swords inilah sebenarnya sudah mengandung benih-benih sekularisme. Karena ternyata sekularisme sebagai konsep yang
berisikan memisahkan urusan agama dan dunia (negara) sudah—bisa
dibilang—menjadi pokok ajaran kristen itu sendiri. Maka tidak aneh ketika ada
theolog-theolog kristen yang setuju dengan sekularisme dengan alasan bahwa itu
merupakan ajaran yang dinyatakan oleh injil itu sendiri.
Keempat, Kristen tidak mempunyai ajaran
yang berbentuk syari’at. Karena Nabi Isa diutus oleh
Allah untuk meluruskan syari’at Taurat yang telah diselewengkan dan bukan untuk
membawa syari’at yang baru. Oleh sebab itu, di dalam injil lebih banyak
berisikan ajaran akhlak dari pada ajaran aqidah atau syari’ah. Hal ini disadari
oleh para penganut kristen beberapa abad sepeninggal Nabi Isa bahwa kristen
tidak memiliki aturan yang baku
yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Maka oleh sebeb itulah munculnya
council-council umat kristen sedunia untuk membahas segala
permasalahan-permasalahan yang muncul di antara mereka. Seperti Council Nicea,
Konstantinopel dan sebagainya. Di sini semakin terlihat
kristen tidak bisa menjadi ajaran tuhan yang seharusnya mampu menjadi solusi
dari setiap permasalahan yang mengelilingi manusia setiap harinya. Sehingga
masyarakat Eropa saat itu (abad ke-15, renaissance disusul dengan enlightenment)
menganggap bahwa ilmu pengetahuanlah yang mampu membantu manusia untuk
menyelesaikan segala problematika hidupnya dan sebaliknya mengangap agama tidak
mempunyai kemampuan sebagai solusi problematika hidup.
Dari empat sebab itulah (diantaranya) kristen mempunyai
potensi besar untuk melahirkan sekularisme.
Terminologi Sekularisme
Sebagaimana yang dibahas di atas bahwa sekularisme sering
diartikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama atau
dengan kata yang lain sekularisme sering diartikan sebagai sebuah ideologi
politik. Padahal sekularisme sebenarnya mempunyai arti yang lebih dalam dan
mengakar. Hal ini disadari oleh para pemikir Islam diantaranya :
Dia membagi sekularisme pada dua macam; pertama,
sekularisme parsial (‘almaniyah juziyyah) dan sekularisme totalistik (‘almaniyah
syamilah). Sekularisme parsial diartikan sebagai paham yang memisahkan
antara negara dan agama, sebagai definisi sekularisme yang sering dipakai,
padahal pemahaman ini hanyalah sebagian bentuk dari sekularisme yang
seseungguhnya, yaitu sekularisme totalistik. Sedangkan yang dimaksud dengan
sekularisme totalistik adalah melepaskan kehidupan ini dari nilai-nilai humanisme,
moral dan agama. Inilah sekularisme yang sebenarnya yang berimplikasi sangat
berbahaya kepada cara pandang manusia kepada kehidupan ini. Kehidupan ini hanya
dianggap sebagai materi yang jauh dari hal-hal yang berbau metafisis dan
spiritual. Yang nanti pada ujungnya akan menyeret kepada pemahaman atheisme dan
agnotisisme.
Sedangkan sekularisme parsial, menurut Abdul Wahab Al-Masiri
adalah suatu keharusan dan tidak bertentangan dengan Islam. Karena sekularisme
parsial (atau lebih dikenal dengan istilah fashl al-din ‘an al-daulah)
tidak lebih hanya sekedar membedakan mana yang menjadi urusan negara yang
notabena bersifat duniawi dan urusan agama yang bersifat ukhrawi. Selain itu,
karena pada tatanan praktisnya Rasulullah dan para sahabat sering mencontohkan
masalah ini. Sebagai salah satu contoh yang digunakan argumen oleh Abdul Wahab
Al-Masiri adalah ijtihad sahabat yang diusulkan kepada Rasulullah ketika perang
Badar. Di dalam contoh tersebut—menurutnya—secara gamblang menjelaskan bahwa
urusan yang bersifat dunawi seperti peperangan tidak memerlukan petunjuk wahyu
tetapi cukup hanya dengan ijtihad manusia saja. Karenanya Abdul Wahab Al-Masiri
bisa dikatakan setuju dengan konsep sekularisme Islam dalam arti yang sempit.
b. Jamal Al-Bana
Jamal Al-Bana pun membagi makna sekularisme kepada dua
macam; pertama sekularisme sebagai sebuah konsep pemisahan antara agama
dan negara yang disebut dengan sekularisme parsial (‘almaniyah juziyyah)
persis seperti istilah yang dipakai oleh Abdul Wahab Al-Masiri. Sedangkan yang kedua,
sekularisme yang diartikan sebagai konsep sakralisasi manusia dan menolak
adanya Tuhan, mengakui kehidupan dunia ini saja dan menolak adanya akhirat.
Tidak jauh berbeda dengan yang dipaparkan oleh Abdul Wahab Al-Masiri di atas
sebagai arti dari sekularismne totalistik (‘almaniyah syamilah).
Demikian juga dengan Jamal Al-Bana ia setuju dengan konsep
sekularisme Islam yang membedakan antara urusan yang menjadi garapan negara dan
urusan yang menjadi garapan agama. Karena menurutnya secara potensial Islam itu
sendiri sudah memiliki konsep sekularisme parsial (dalam artian mekanisme
teknis) tersebut, seperti konsep kebebasan berpikir di dalam Islam, konsep
bahwa Islam adalah agama dan umat, bukan agama dan negara, bahwa Islam adalah
agama dan bukan lembaga agama, dan lain sebagainya yang pada intinya semuanya
mengantarkan kepada legitimasi sekularisme Islam (‘almaniyatul Islam).
c. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas
Berdasarkan pembacaannya Al-Attas membedakan antara arti
sekularisme dan sekularisasi. Sekularisasi
didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian
dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. Itu berarti terlepasnya
dunia dari pengertian-pengertian religius, penemuan manusia akan kenyataan
bahwa dunia ada di tanganya sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atas
apa yang ia perbuat oleh tanganya sendiri, yang pada akhirnya hal tersebut
menggiring kepada defatalisasi sejarah, bahwa sejarah tidak diciptakan oleh
Tuhan melainkan perencanaan dan perbuatan manusia secara murni. Sekularisasi
menyiratkan suatu proses historis dimana masyarakat dan budaya terbebas dari
pengendalian religius dan pandangan metafisis yang tertutup. Sekularisasi
dianggap sebagai perkembangan pembebasan yang mana hasil akhirnya adalah berupa
relativisme historis. Sehingga sekularisasi dianggap sebagai proses pembentukan
sejarah itu sendiri (menurut para sekularis). Dari sini bisa terlihat bahwa apa
yang disebut sekularisasi adalah apa yang disebut dengan sekularisme totalistik
sebegaimana istilah yang dipakai Abdul Wahab Al-Masiri.
Sedangkan sekularisme tidak jauh maknanya dengan
sekularisasi hanya saja ia bersifat ideologi final artinya ia telah membentuk
nilai-nilai sendiri yang bersifat sekularisme. Sedangkan sekularisasi tidak seperti
itu, karena sekularisasi mengharuskan adanya dekonsekrasi nilai, sehingga tidak
ada istilah nilai yang mutlak menurut sekularisasi. Berbeda dengan sekularisme
yang pada akirnya memiliki nilai-niai sendiri yang bersifat sekularisme. Oleh
karena itulah sekularisme dianggap sebagai sebuah ideologi negara.
Berbeda dengan dua pemikir Islam di atas. Al-Attas
menganggap bahwa baik itu sekularisasi (sekularisme totalistik) maupun
sekularisme (sekularisme parsial) sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Karena keduanya mengandung nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Islam. Hatta
sekularisme persial sekalipun bukan hanya sekedar mekanisme teknis belaka,
namun di dalamnya sekaligus mengandung nilai-nilai yang bersifat ideologis. Dan
tentu Islam sebagai sebuah agama, peradaban dan bahkan kehidupan itu sendiri
tidak bisa disandingkan atau malahan diganti dengan ideologi lain.
c. Muhammad Imarah
Tidak jauh berbeda dengan para pemikir di atas, dia pun
membagi terminologi sekularisme menjadi dua bagian, yang dia membahasakannya
dengan istilah dua fase munculnya sekularisme. Pertama sekularisme yang
bersifat parsial hanya sebuah konsep yang membedakan antara negara dan agama,
tanpa menghilangkan pengakuan para sekularis dalam terminlogi ini terhadap
adanya Tuhan (baca: kebenaran agama). Ini adalah fase pertama munculnya
sekularisme di barat. Kedua, sekularisme yang bersifat atheis materialis yang
mengingingkan agar kehidupan ini terlepas dari keimanan terhadap agama. Untuk
fase pertama bisa disamakan dengan istilah sekularisme parsial, sedangkan untuk
fase yang kedua sama halnya dengan makna sekularisme totalistik.
Sama halnya dengan Al-Attas, Muhammad Imarah pun menolak
sekularisme dalam bentuk apapun di dalam Islam termasuk sekularisme dalam
artian sempit (faslu ad-din ‘ani al-daulah). Karena menurutnya Islam
bukan hanya sekedar agama tapi Islam adalah sebuah peradaban karenanya Islam
tidak perlu lagi mengadopsi nillai-nilai dari luar. Adapun yang beliau usulkan
adalah proposionalisme di dalam Islam sehingga Islam tidak berubah menjadi
sekularisme Islam juga tidak menjadi teokrasi Islam.
Ta’qib
Wacana tentang sekularisme Islam. Penulis berpendapat jika
yang dimaksud dengan sekularisme Islam tidak lebih hanya sekedar mekanisme
teknis agar Islam tidak terjebak ke dalam teokrasi Islam yang menyakralkan
kekuasaan—sehingga sang penguasa dianggap sebagai “orang suci” yang harus
selalu ditaati—maka sebenanrnya istilah sekularisme ini tidak cocok dengan
esensi dari wacana tersebut. Karena alih-alih ingin menjaga kemurnian Islam
dari teokrasi Islam—yang sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam, tapi
justru berasal dari ajaran paganisme Persia dan paganisme timur
lainnya—justru Islam akan terjebak ke jurang yang sama berbahayanya dengan
teokrasi yaitu sekularisme. Tidak berubah menjadi teokrasi, islam justru
berubah menjadi sekuler. Karena sekularisme hakekatnya bukan sekedar mekanisme
teknis melainkan mengandung nilai-nilai yang dianggap final dan mutlak. Dan
tentu itu bertentangan dengan Islam yang telah memiliki nilai-nilai yang sudah
final dan mulak pula—dari sejak lahirnya Islam tersebut.
Selain itu sekularisme walaupun dalam bentuknya yang
parsial, ia tetap memiliki esensi materialisme yang sama sekali bertentangan
dengan Islam. Karena sekularisme parsial pada hakekatnya merupakan bagian dari
sekularisme totalistik, dan itu sama sekali tidak bisa dipisahkan antara yang
satu dengan yang lainnya. Keduanya bersifat ‘umum wal khusush muthlaq. Maka
ketika menolak yang umum otomatis menolak yang khusus. Karena hubungan antara umum
merupakan lazim bagi khusus dan khusus adalah malzum. Maka ketika mengaffirmasi
yang khusus otomatis yang umum akan terbawa karena mengaffirmasi malzum
mengharuskan pula affirmasi lazim. Tetapi ketika menegasikan yang umum maka
otomatis menegasikan pula yang khusus, karena menegasikan yang lazim
mengharuskan negasinya yang lazim tadi.
Maka istilah yang tepat untuk mekanisme teknis dalam
bernegara—agar Islam tidak terjatuh ke dalam dua jurang sekularisme islam dan
teokrasi islam—maka istilah proporsionalisme adalah tepat. Karena dari kata
proporsional itu sendiri mengandung makna mekanisme teknis.
Adapun ijtihad para sahabat ataupun Rasulullah Saw. sendiri
dalam menyelesaikan permasalahan yang kebetulan bersifat duniawi yang dijadikan
argumen bahwa Islam mempunyai potensi sekularisme dalam artian sempit, tentu
tidaklah benar. Karena sebenarnya ijtihad para sahabat dan Rasulullah itu bukan
bermaksud ingin menerangkan bahwa di dalam Islam ada pemilahan antara duniawi
dan ukhrawi sebagai mekanisme teknis. Tetapi sebenarnya itu adalah contoh dari
cara menyelesaikan permasalahan yang tidak terdapat nashnya. Sebab ada beberapa
permasalahan yang sebenarnya bersifat duniawi namun ternyata Allah menurunkan
ayat tentang itu. Salah satu contohnya adalah ketika Zaid mencari jodoh lalu
kemudian ia terpikat dengan seorang gadis bernama Zainab. Namun Zainab seolah
menolak karena melihat Zaid yang berstatuskan maula Rasulullah Saw.
Akhirnya turun ayat yang secara tersirat memerintahkan Zainab untuk menerima
Zaid sebagai suaminya. Hal ini menunjukkan, jika nash
sudah berbicara maka ijtihad tidak bisa digunakan, terlebih lagi dengan nash
yang qathi’iyu al-dilalah, tanpa melihat ini urusan dunia atau akhirat.
Intinya adalah adakah nash dalam masalah tersebut, jika ada maka tidak ada
ijtihad. Sehingga ijtihad berlaku jika tidak ada nash atau nash tersebut masih zhanniyu
al-dilalah.
Epistimologi sekularisme
Untuk saat ini penulis akan meminjam istilah Abdul Wahab
Al-Masiri yang membagi istilah sekularisme kepada sekularisme totalistik dan
parsial, karena secara esensi sekularisme totalistik identik dengan
sekularisasi versi istilah Al-Attas. Sedangkan sekularisme parsial sebagai
ideologi negara identik dengan sekularisme (an sich) menurut Al-Attas.
Menurut pembacaan Al-Attas, sekularisme totalistik memiliki
tiga komponen integral, diantaranya: Penidak-keramatan alam, desakralisasi
politik dan dekonsekrasi nilai-nilai.
Yang dimaksud dengan penidak-keramatan alam adalah
pembebasan alam dari nada-nada keagamaan, memisahkannya dari Tuhan dan
membedakan manusia dari alam itu. Sehingga sekularisme totalistik menganggap
alam (baca: dunia) sebagai milik manusia sepenuhnya yang bisa digunakan
semaunya, yang dengan demikian membolehkannya untuk berbuat bebas terhadap alam
memanfaatkan menurut kebutuhan dan rencananya. Alam menurut paham ini sama
sekali tidak mempunyai nilai-nilai sakral bahwa alam sebenarnya adalah ciptaan
Tuhan yang selanjutnya manusia ditugaskan sebagai penjaga untuk
melestarikannya.
Dari penidak-keramatan alam ini sebenarnya mendorong
terlahirnya faham atheisme atau yang sedikit lebih halus dari atheisme, yaitu
agonitisisme. Bagaimana tidak, ketika alam dilepaskan dari sifatnya yang
supernatural, metafisis secara halus itu berarti menolak kepercayaan bahwa alam
ini diciptakan oleh Tuhan yang akhirnya mendorong kepada keyakinan bahwa Tuhan
tidak ada. Karena secara agonitisisme, ketika Tuhan sebagai esensi dan
eksistensi yang tidak mungkin dibuktikan keberadaannya baik secara akal maupun
secara empiris, maka tidak ada bedanya meyakini apakah Tuhan itu ada atau
tidak. Itulah istilah halus dari atheisme, agnotisisme.
Yang dimaksud dengan desakralisasi politik adalah
penghapusan legitimasi sakral kekuasaan politik, sebagaimana yang dipraktekan
oleh kristen barat di masa lalu yang menganggap kekuasaan politik sebagai
warisan Tuhan sehingga ada dogma yang menyatakan bahwa menghianati penguasa
berarti menghianati Tuhan. Hal itulah yang mendorong
lahirnya sekularisme dengan desakralisasi politik sebagai salah satu
komponennya.
Sekularisme memerlukan komponen ini untuk menghapus
legitimasi sakral politik sebagai prasyarat untuk terjadinya perubahan politik
yang selanjutnya akan mendorong terjadinya perubahan sosial lalu kemudian
diakhiri dengan perubahan sejarah. Karena sejarh menurut sekularisme adalah
rekayasa dan perencanaan manusia tanpa adanya campur tangan Tuhan di dalamnya.
Maka tentu yang namnya rekayasa perlu kepada skenario yang matang, dan
desakralisasi politik ini adalah salah satu dari skenario pembentukan sejarah
versi manusia.
Yang dimaksud dengan dekonsekrasi nilai adalah pemberian
makna sementara dan relatif kepada semua karya-karya budaya dan setiap sistem
nilai termasuk agama serta pandangan hidup yang bermakna mutlak dan final.
Sehingga dengan demikian nilai menurut sekularisme totalistik adalah relatif
atau nisbi, sehingga dengan kata lain sekularisme totalistik menganut paham
relativisme di dalam nilai. Bahwa tidak ada nilai absolut yang bisa dijadikan satu-satunya
rujukan atau standar oleh manusia. Sehingga etika dan moral menurut sekularisme
totalistik akan berbeda sesuai dengan tempat dan waktu yang berbeda pula.
Satu-satunya yang bisa dijadikan standar menurut sekularisme totalistik adalah
manusia itu sendiri.
Dekonsekrasi nilai inilah yang menurut Al-Attas yang menjadi
pembeda antara sekularisme totalistik dan parsial, di mana sekularisme parsial
membentuk sistem nilainya sendiri yang dipandang sebagai mutlak dan final,
karenanya sekularisme ini menjadi ideologi negara berbeda dengan sekularisme
totalistik yang lebih tepat untuk disebut sebagai sebuah filsafat.
Dengan dekonsekrasi nilai ini, maka sekularisme (dalam
artian totalistik) bukan sebuah ideologi yang bersifat tertutup, karena ia
tidak mengiginkan adanya nilai yang bersifat final dan mutlak. Karena secara
materi manusia selalu berubah, maka begitu pula dengan nilai-nilai yang ada
akan sesuai sifat materi manusia yang imanent dan profan.
Sebenarnya jika dirunut sejarahnya, adanya dekonsekrasi nillai
sebagai kompponen integral dari sekularisme ini adalah disebabkan oleh
kristenyang saat itu sebagai ajaran tuhan yang seharusnya mampu mendekonsekrasi
nilainilai yang bertentangan dengan ajaran tuhan, yang terjadi malah
sebaliknya, nilai-nilai paganisme yang terdapat pada peradaban-peradaban lain
yang sempat besinggungan dengan kristen malah diadopsi dan diasimilasikan
dengan ajaran kristen. Akhirnya kristen tidak lebih dari sekedar ajaran
gado-gado yang mencampurkan semua nilai yang ada.
Akhirnya dunia berhasil menduniakan kristen dan bukan seharusnya, yaitu kristen
yang mengkristenkan dunia.
Kesimpulan
Secara garis besarnya sekularisme secara terminologi terbagi
menjadi dua. Sekularisme totalistik (‘almaniyah syamilah) dan
sekularisme parsial (‘almaniyah juz’iyah), walaupun nantinya ada
beberapa pemikir yang menggunakan istilah yang berbeda-beda seperti
sekularisasi, sekularisme materialis atheis, sekularisme sakralisasi manusia, toh
pada esensinya sama saja faham ini menolak agama (baca: Tuhan).
Sedangkan yang kedua adalah sekularisme parsial yang oleh
para pemikir yang lain diistilahkan berbeda pula, seperti sekularisme an sich,
sekularisme religius, dan lain sebagainya yang pada intinya memiliki arti
sebuah faham fashlu al-din ‘an al-daulah.
Sedangkan secara epistemologi sudah jelas bertentangan
dengan Islam. Karena walaupun Islam mempunyai epistemologi yang bisa dikatakan
sama dengan ketiga komponen integral di atas.namun Islam mempunyaiesendi yang
berbeda.
Di dalam Islam ada penidak-keramatan alam. Maksdunya tentu
tidak sama dengan sekularisme. Penidak-keramatan alam menurut Islam adalah
menghilangkan unsur-unsur mistis, khurafat, takhayul dari alam. Bahwa alam
adalah ciptaan Allah semata dari tiada menjadi ada. Dan bukan terlahir dari
proses emanasi sebagaimana yang diyakini sebagian para filosof Islam. Kemudian
alam ini Allah amanatkan kepada manusia untuk memelihara dan menjaganya agar
tidak dirusak dengan mempergunakannya semena-mena.
Islam pun memiliki ajaran desakralisasi politik. Bahwa seorang
penguasa di dalam Islam sama sekali adalah seorang manusia biasa yang bisa
melakukan kesalahan. Sehingga ia tidak dianggap suci. Maka, ketaatan kepada
penguasa/pemimpin adalah dibatasi selama ada dalam koridor syari’ah yang telah
Allah tetapkan yaitu, la tha’ata fi ma’shiyati khaliq.
Dekonsekrasi nilai juga ada di dalam Islam, namun bedanya
sekularisme medekonsekrasi nilai tanpa batas. Artinya menganggap semua nilai
itu relatif dan tidak mutlak sama sekali. Sedangkan Islam mendekonsekrasi semua
nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berintikan pada ajaran
tauhid. Maka Islam menganggap bahwa nilai-nilai yang bersifat mutlak dan final
itu memang ada yaitu yang bersumberkan dari yang menciptakan manusia itu
sendiri yaitu Allah. Maka Islam mempunyai cita-cita mengislamkan dunia dan
bukannya menduniakan Islam. Dan kemutlakan nilai-nilai yang dikandung Islam
sudah mutlak ketika pertama kali Islam itu lahir dan tidak tunduk kepada proses
perkembangan. Wal-Lahu a’lam.
Lihat Dr. M. Sayid Ahmad
Al-Musayyar, Ushul Al-Nashraniyyah fi Al-Mizan, Kairo, t. thn, t.
penerbit, h. 51 dst.
Dr. M. Imarah, Al-Almaniyah,
Al-Mausu’ah Al-Islamiyah Al-‘Ammah, Kairo, 2003, Al-Majlis Al-A’la Li
Syu’un Al-Diniyah, h. 991
Safar bin Abdurrahman Al-Hawali, Al-‘Almâniyyah;
Nasy`atuha wa Tathawuruha wa Atsaruha fi Al-Hayah Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah,
Dar Al-Hijrah, t. th., h. 135.
Lihat Dr. Yusuf Qaradhawi, Al-Islam
wa Al-‘Almaniyah Wajhan Liwajhin, Kairo, 1994, Daru Al-Shahwah, h. 53
Lihat M. Abu Zahrah, Muhadharat
fi Al-Nashraniyah, Kairo, t. thn., Daru Al-Fikr Al-Arabi, h. 110 dst.
Lihat Abdul Wahab Al-Masiri, Al-‘Almaniyah
Al-Syamilah wa Al-‘Almaniyah Al-Juz’iyah, Kairo, Daru Al-Syurq, h. 6
Lihat M. Imarah, Al-Daulah
Al-Islamiyah Baina Al-‘ALmaniyah wa Al-Sulthah Al-Diniyah, Kairo, 1988,
Daru Al-Syurq, h. 178-179
Lihat Dr. M. Sayid Al-Musayyar, Ushul
al-Nashraniyyah fi al-Mizan, Kairo, t. thn, t. penerbit, h. 120
No comments:
Post a Comment