Tuesday, April 12, 2016

LANDASAN NORMATIF PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL





A.    Pendahuluan
Lembaga pendidikan Islam di era sekarang dihadapkan kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan  siswa yang nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang  berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal  dari sebuah proses pendidikan agama, ada  dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)” lembaga tersebut, terutama pendidik/guru agama Islam, yakni: para pendidik  tersebut sudah sa’atnya  butuh pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu  pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Baru kemudian,  para pendidik ini harus bisa membantu siswanya untuk jadi sadar akan penting memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan, khususnya Islam, sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu.Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali. Dalam tulisan ini, hanya satu aspek yang bisa disampaikan, yakni landasan
normatif (ayat-ayat al-Qur’an) sebagai inspirasi pendidikan Islam di era multikultural.     
  1. Pendidikan Islam Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latarbelakang budaya siswa yang bermacama-macam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Yang demikian dirancang untuk menunjang dan memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan dan demokrasi. Ada pula yang mengatakan pendidikan multikultural  adalah sebuh ide atau konsep, sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep ini muncul atas dasar bahwa semua siswa, tanpa menghiraukan jenis dan statusnya,  punya kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah formal. Dua definisi di atas tampaknya lahir pada setting historis khusus, yakni pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu di wilayah  Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh sistem pendidikan yang mengandung diskriminasi etnis, yang belakangan hari mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan (Islam) yang ditemukan di Asia, terutama Indonesia, yang sejak awal    tidak begitu menampakkan diskriminasi radikal di dalam kelas.  Perbedaan ruang kelas antara pria dan wanita pada lembaga-lembaga tertentu pada lembaga pendidikan Islam misalnya,  tidak bisa langsung  diartikan sebagai tindakan diskriminatif, karena yang demikian lebih dimaknai sebagai antisipasi terhadap pelanggaran moral baik dalam pandangan Islam dan kultur masyarakat.Oleh karena itulah, pendidikan Islam multikultural di sini lebih diartikan sebagai sistem pengajaran yang lebih memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yang membicarakan betapa pentingnya  memahami dan menghormati budaya dan agama orang lain.Secara konseptual, rumusan pendidikan Islam multikultural belum menunjukkan jati dirinya secara maksimal, khususnya di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam formal. Bukan hanya pendidikan Islam multikultural yang belum dikembangkan, tetapi juga pendidikan agama multikultural saja belum ditemukan bentuknya seperti apa. Barangkali   pada lembaga-lembaga  tertentu sudah ada, tetapi dalam status  mata pelajaran muatan lokal.
C. Landasan Normatif  Pendidikan Islam Multikultural ada 4 (empat) isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang   keagamaan, yaitu:
1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu).
2)  kesatuan kenabian.
3) tidak ada paksaan dalam beragama.
4) pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena  sudah merupakan ketetapan Tuhan.  Masing-masing   klasifikasi  didukung oleh  teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.
Dari aspek  kesatuan  ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari  al-Qur’an surat an-Nisa’: 131: “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan  kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan juga kepadamu agar  bertakwa kepada Allah”.
Surat  Al ‘Imran: 64:
Katakanlah (Muhammad), Wahai Ahlu-l-Kitab Marilah kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama   antara kami dan kamu, bahwa   kita tidak  menyembah selain Allah dan  kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun,  dan bahwa kita tidak   menjadikan satu sama lain   tuhan-tuhan selain  Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim. Dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam surat an- Nisa’: 163: Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya; ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud. Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya dari al-Qur’an surat al-Anbiya’:  73: “Dan Kami  menjadikan mereka itu  sebagai pemimpin-pemimpin  yang memberi pentunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan  kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka  menyembah”. Kemudian surat Al ‘Imran: 84: Katakanlah (Muhammad), Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami  dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’Il, Ishaq,Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri. Pandangan Islam yang terkait dengan  kebebasan menganut agama didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah: 256: “Tidak ada paksaan dalam (mengaut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat”. Terakhir adalah mengenai pengakuan al-Qur’an surat al-Maidah: 69 akan eksistensi agama-agama lain: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan orang-orang Nasrani, barang siapa  beriman kepada Allah,  kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati”. Kemudian surat al-Maidah:  82:  Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.  Dan pasti kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya  kami adalah orang Nasrani”. Yang demikian itu  karena  di antara mereka  terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena  mereka tidak menyombongkan diri. Semua ayat tersebut dipahami dalam perspektif teologis-normatif, yaitu dengan pengertian, di dalamnya tidak ada keraguan sedikit pun dan bersifat  mutlak. Pemahaman  dari ayat-ayat tersebut tetap diletakkan dalam konteksnya sebagai yang mutlak. Karena bersifat mutlak, maka cara  kerja yang ditempuh seorang guru agama  harus  selalu berusaha mengkaji ulang untuk membuktikan substansi kebenarannya. Dalam mengkaji ulang itu, teknis yang dilakukan sebaiknya  dengan   menjelaskan konsep-konsep hubungan berbagai agama dengan narasi atau logikanya sendiri, kemudian semua disimpulkan dengan mengutip ayat al-Qur’an yang relevan. Jadi model untuk menjelaskan sesuatu, pada dasarnya sudah dibungkus  paradigma teologis lebih awal, sehingga apa yang disampaikan kepada siswa, sesungguhnya merupakan penjelasan logis saja dari wahyu. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa gagasan tentang pengetahuan (kebenaran wahyu) tidak seperti halnya dalam pengetahuan positivistik yang berkeyakinan bahwa gagasan tentang pengetahuan  direduksi menjadi pengetahuan ilmiah, dan gagasan mengenai pengetahuan ilmiah direduksi menjadi intellijensia. Jadi “mengetahui”  harus berarti mengekspresikan relasi-relasi yang bisa diamati (observable) antara fakta yang ada dalam konteks relasi matematis. Jadi, dalam perspektif ini, sudah diyakinkan terlebih dahulu bahwa terdapat sekumpulan kebenaran adikodrati yang statis yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia, dan proses sejarah dalam pewahyuan, di era ini, tidak begitu penting.Bila cara seperti ini yang ditempuh, maka  seluruh pengetahuan yang terkait dengan isu-isu hubungan antara agama  menurut pandangan Islam terkesan semua baik. Mungkin ada yang mengatakan bahwa cara ini apologis. Tetapi tidak mengapa, terutama bagi siswa yang baru saja mengalami sistem pembelajaran agama model ini. Barangkali, relevan dengan apa yang pernah ditulis  al-Faruqi bahwa konseptualisai atas inti kedua agama itu berbeda satu sama lain dan  sesuai dengan sejarahnya.  Oleh sebab itu,  tidak mungkin untuk melakukan identifikasi  antara masing-masing agama tersebut, karena masing-masing lengket dengan sejarahnya. Seseorang dapat melihat Islam dan  Kristen sebagai dua agama yang berbeda, akan tetapi, ada kemungkinan besar untuk keluar dari perbedaan ini, yaitu dengan melihat inti asli (substansi) agama tersebut, memusatkan perhatian secara penuh terhadapnya dan  membangun berbagai argumentasi di atasnya. Aspek normatif ini juga dapat dilihat pada  ayat-ayat sebagai dasar umum hubungan antara agama, pada surat Al ‘Imran: 113 yang berisikan pujian atas ahli kitab yang bersifat jujur;  surat at Taubah: 31 yang berisikan kepercayaan orang-orang Yahudi dan Nasrani  yang mengatakan ‘Uzair   dan al-Masih itu putra Allah, bahkan mereka mempertuhan rahib-rahib dan orang alim mereka sendiri, padahal mereka disuruh hanya menyembah Allah; surat al-Hadid: 27 yang berisikan bahwa mereka yang mengikuti Kitab Injil, yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa,  memiliki hati penuh dengan rasa  santun dan kasih sayang; surat an Nisa: 171 yang berisikan pandangan al-Qur’an terhadap Nabi ‘Isa, yang menyebutkan bahwa al-Masih, ‘Isa putra Maryam itu utusan Tuhan, dan larangan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tiga; surat al-‘Ankabut: 47 yang berisikan bahwa bagi orang-orang yang diturunkan kepada  mereka kitab Taurat, juga beriman kepada al-Qur’an.Secara doktrinal, seluruh bentuk hubungan itu tidak pernah berubah, kecuali setelah ia memasuki wilayah historis (konteks) yang cukup panjang. Hubungan yang dimaksud di sini meliputi hubungan yang bernuansa positif dan bernuansa negatif, yaitu dalam pengertian kritik. Proses kritik kelihatan berjalan dengan baik, karena tiga agama,  Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan tiga agama yang bersaudara, yang sudah barang tentu bertugas saling mengingatkan. Dalam paradigma inklusif, kritik adalah sesuatu yang penting dilakukan. Hal ini berbeda dengan paradigma pluralis yang bersifat  lebih “membiarkan”. Oleh sebab itu tidak salah jika seorang guru agama Islam memasukkan ayat-ayat (teks) yang mengkritik keyakinan dan sikap penganut Kristen dan Yahudi  sebagai dasar hubungan agama-agama. Kritik di sini tidak dipahami sebagai sebuah cacian hinaan maupun sebuah vonis, akan tetapi lebih merupakan sebuah peringatan yang menantang untuk melakukan dialog.Di samping  menjelaskan wahyu melalui pendekatan rasional sebagai bukti otentik hubungan antara agama, unsur normatif pendidikan Islam juga bisa   memusatkan kajiannya terhadap apa yang disebut oleh al-Qur’an sendiri sebagai hanif, yang dipandang sebagai sebuah perkembangan pemikiran dan cenderung filosofis. Terma hanif merupakan terma yang banyak ditemui dalam al-Qur’an, bahkan bisa dijadikannya sebagai “alat perekat” hubungan berbagai agama dalam sejarah. Di sini perlu digambarkan hanif sebagai orang yang bersandar kepada tradisi Ibrahim, menolak tuhan-tuhan palsu (shirk), menolak tradisi pagan, cinta kepada pengetahuan dan penemu kebenaran. Semua ini merupakan ciri khas kebenaran sebuah agama. Terma hanif dijadikan alat perekat terhadap berbagai tradisi keagamaan atau sebagai titik temu antara agama-agama Semitik, dan karenanyalah isu-isu besar tentang kesatuan kebenaran dalam agama-agama akan mungkin diwujudkan.  Berbeda memang  dengan pemikiran pluralis yang didasari oleh tradisi perenial yang lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek esoteris agama-agama  sebagai  muara bertemunya kebenaran masing-masing. Pengakuan Islam terhadap Tuhan agama Yahudi  dan agama Kristen sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri, komitmennya dengan ajakan Ilahi terhadap ahli kitab  untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah genggaman Allah, merupakan satu-satunya langkah yang pertama dan nyata menuju persatuan dari dua agama dunia yang besar.  Karen Armstrong mengatakan: “dikatakan hanif sebagai tradisi Ibrahim berarti menyingkirkan semua pandangan khusus tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah  keimanan yang “murni dan tidak bercampur dengan konsep apa pun”. Bersamaan dengan hanif, paham monoteisme  dan etika agama  pra Islam Arab, Yahudi, Nasrani dan Islam   membentuk sebuah kesadaran agama yang esensi dan pusatnya satu. Kesatuan agama-agama ini, dengan mudah, dapat  ditemukan para sejarawan dalam kebudayaan Timur Dekat Purba. Yang demikian masih berbekas dalam literatur-literatur kuno, dan kesamaan tradisi tersebut  didukung oleh kesatuan geografi, bahasa (Semit) dan kesatuan ekspresi artistik mereka. Prinsip-prinsip ini membedakan antara orang-orang Arab dari lainnya di seluruh dunia. Semua ini merupakan dasar tempat bersatunya agama Yahudi, Nasrani dan Islam, sekaligus membuat mereka menjadi  sebuah gerakan dalam sejarah kemanusiaan kendati mereka berbeda. Kesatuan kesadaran keagamaan dan kultur semitik tersebut bukan pengaruh tradisi Mesir  Kuno (1465-1165 BC), tidak juga oleh orang-orang Philistin, bangsa Hitti, Kassit dan orang Aria, yang juga sebenarnya telah mengalami semitisasi dan asimilasi (semitized and assimilated) lewat penaklukan para militer mereka. Dalam teori progresif agama-agama tersebut, apakah dapat dikatakan satu agama yang belakangan  adalah pinjaman dari yang sebelumnya? Al-Faruqi, seorang tokoh Islam, pernah  mengkritik Barat yang sering mengatakan Islam telah banyak meminjam dari tradisi Yahudi dan Kristen. Dia mengatakan ko-eksisten dan penyamaan berbagai tradisi agama, tidak dipandang sebagai saling meminjam. Dia menekankan bahwa adalah suatu yang naif dan memalukan untuk menggunakan istilah “pinjaman meminjam” di antara dua gerakan besar, yang di dalamnya juga ditemukan kelanjutan dan perbaikan terhadap pendahulunya.Yang aneh lagi, menurut al-Faruqi, kebanyakan sarjana Barat justru tidak pernah mengatakan bahwa Kristen sebagai pinjaman dari Yahudi, Buddha pinjaman dari Hindu dan Protestan pinjaman dari Katolik. Demikian Islam menyebutnya identik dengan Yahudi dan Kristen, tetapi tetap direformasi dari penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi. Berdasarkan bacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, agama-agama lain bisa dilompokkan ke dalam tiga bagian, yakni:  1. Agama Yahudi dan Nasrani (Kristen) 2. Seluruh bentuk agama/kepercayaan  masyarakat  yang dipandang sebagai sebuah ekspresi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan3. Manusia secara umum (Humans Überhaupt). Hubungan Islam dengan agama-agama lain tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Islam memberikan status istimewa kepada agama Yahudi dan Nasrani. Hal ini karena secara tekstual al-Qur’an menyebut kedua agama tersebut  agama Tuhan. Para pendiri agama ini adalah Ibrahim, Musa, Daud dan ‘Isa sebagai nabi-nabi Tuhan dan Kitab-Kitab yang mereka bawa seperti, Taurat, Injil, dan Zabur juga merupakan wahyu Tuhan. Untuk alasan ini, ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:Surat al-‘Ankabut ayat 46: “Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu dan kami hanya kepadaNya berserah diri”. Surat asy-Syura ayat 15 yang menyatakan: Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan  Allah  dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak perlu ada pertengkaran  antara kami  dan kamu Allah mengumpulkan  antara kita  dan kepadaNya-lah kita kembali. Surat al-Baqarah, ayat 140: “Ataukah kamu (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah: “Kamukah yang lebih tahu atau Allah?”  Surat Al ‘Imran ayat 84:  Katakanlah Muhammad: Kami berimana kepada Allah dan kepada  apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di atara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.  Surat an Nisa’ ayat 163:  Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana  kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan kami telah mewahyukan pula kepada  Ibrahim, Isma’il,  Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Dawud.  Surat Al ‘Imran ayat 2 dan 3: Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha hidup, Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan kitab-kitab  sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.  Surat al-Maidah ayat 69: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan  mereka  tidak  bersedih hati.Jadi, secara teologis, penghormatan Islam terhadap agama Yahudi dan Nasrani, pendiri dan kitab sucinya bukanlah sebuah penghormatan biasa, akan tetapi atas dasar kebenaran agama-agama tersebut, bahwa semua juga dari Tuhan yang sama. Islam memandang agama-agama tersebut tidak hanya sebagai pandangan lain yang  harus dihadapi dengan toleran, akan tetapi sebagai agama yang sah  atas kebenaran dari Tuhan. Dengan demikian, statusnya yang sah tidaklah dalam pengertian sosial politik, budaya atau peradaban, akan tetapi keagamaan. Oleh karena itu,  Islam dipandang begitu unik, karena tidak  ditemukan agama lain di atas dunia ini yang percaya kepada kebenaran agama lain sebagai syarat utama pada kebenaran kepercayaan agamanya dan kesaksiannya. Secara konsisten,  Islam melanjutkan dan mengakui kebenaran agama Yahudi dan Nasrani dan mengidentifikasikan diri dengannya. Di sini ditemukan sebuah hubungan teologis dan ideologis yang erat antara Islam, Kristen dan Yahudi, yaitu tiga  agama ini mengakui Tuhan yang satu. Pengakuan bersama ketiga agama tersebut atas  Tuhan yang satu  membawa konsekuensi bahwa wahyu dan agama-agama ini pada hakikatnya satu. Islam tidak memandang dirinya lahir dari kondisi keagamaan yang kosong (ex nihilo), tetapi sebagai penegasan kembali atas kebenaran yang pernah datang lewat para nabi sebelumnya. Mereka semua dipandang Muslim, dan wahyu mereka  satu dan serupa dengan wahyu Islam.Dalam menerjemahkan Hadis Nabi Muhammad saw. tentang kelahiran manusia yang fit}rah,  ia menulis: “All men are born Muslims (in the sense of being endowed with religio naturalis). It is their parents (tradition, history, culture, nurture as opposed to nature) that turn them into Christians and Jews. On this level of nature, Islam holds the believer and non-believer as equal partakers of the religion of God.” Appresiasi Islam terhadap  agama lain, seperti yang terlihat dalam perspektif teologis di atas, dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap hubungan antara penganut agama-agama dalam perspektif Islam. Yang demikian dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pernyataan  tersebut memberikan dasar yang baik bagi sebuah ekumene dunia  di bidang keagamaan, yang di dalamnya agama-agama saling menghormati klaim masing-masing,  tanpa membantah klaim mereka sendiri. Kedua, pandangan ini akan memberikan  suatu dasar yang sah  untuk mencari kesatuan agama-agama yang diperuntukkan bagi umat manusia. Jika dialog agama yang diinginkan bukan hanya sekedar basa-basi atau saling tukar informasi, maka  dialog itu harus mempunyai  sebuah norma keagamaan yang dapat mendamaikan  berbagai perbedaan di antara agama-agama. Penganut sebuah agama yang terlibat dalam sebuah dialog agama harus memiliki norma tersebut dan selalu memposisikan diri di atasnya. Islam menemukan norma ini di dalam agama fit}rah. Dengan norma ini  pihak-pihak yang mengikuti dialog  merasa merdeka untuk menghadapi tradisi-tradisi agama  historis lainnya. Jadi, tidak ada ide yang lebih merangsang kemerdekaan  ini daripada ajaran Islam, bahwa suatu tradisi agama adalah sebuah perluasan manusiawi dari agama fit}rah yang primal itu. Ketiga, pandangan ini sangat erat hubungannya dengan agama lain, terutama Yahudi dan Kristen yang tidak dianggapnya sebagai “agama-agama lain” akan tetapi sebagai dirinya sendiri.   Pengakuannya terhadap Tuhan agama Yahudi dan Kristen   sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri,  dan komitmennya terhadap ajakan Ila>hi terhadap ahli-ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah sabda Alla>h merupakan satu-satunya langkah  yang nyata menuju persatuan  dari  tiga agama  besar dunia tersebut.  Disamping dua agama Yahudi dan Nasrani, secara normatif Islam juga sudah membina hubungan dengan tradisi.  Cara yang ditempuh   untuk mendekatkan pengikut  agama-agama lain kepada Islam mungkin berbeda dengan cara yang ditempuh terhadap agama Yahudi dan Nasrani. Ini bisa saja terjadi, terutama seorang guru kesulitan dalam melacak cerita wahyu (sejarah sakral) tentang hubungan Islam dengan penganut agama selain Yahudi dan Nasrani tersebut. Ada cara praktis yang bisa ditempuh, seperti halnya yang dilakukan al-Faruqi,  yaitu dengan mengajukan konsep yang ia sebut ‘fenomena kerasulan’, kendatipun sebenarnya, secara tekstual, al-Qur’an menyebut golongan-golongan lain seperti: orang-orang Sabiin, orang Majusi, dan Thamud. Hal ini dilakukannya, paling tidak, atas dasar bahwa di samping golongan-golongan tersebut tidak dikelompokkan kepada Agama-Agama Ibrahim, juga data atas golongon tersebut relatif sulit ditemukan.  Menurut al-Faruqi, fenomena kerasulan itu universal, ia berlangsung  melewati semua ruang dan waktu.   Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 15 menyebutkan: Barang siapa  berbuat sesuai dengan petunjuk Allah, maka sesungguhnya   itu untuk keselamatan dirinya sendiri, dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya  kerugian itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. Jadi fenomena kerasulan itu sebenarnya merupakan konsep yang mengandung pengertian bahwa pada setiap umat, Tuhan mengutus seorang nabi untuk membimbing mereka. Sebagian para nabi itu diketahui dan sebagian yang lain tidak. Penyampaian dan penyebaran perintah Tuhan  yang demikian  disebut sebagai fenomena kerasulan. Sarana pemersatu umat beragama di sini tidak dilihat dari geneologi agama-agama dan pernyataan Tuhan secara tekstual, akan tetapi dilihat dari pesan semua nabi itu sama. Menurut al-Faruqi, universalitas dan absolusitas yang egaliterian ditemukan dalam konsep tersebut. Fenomena kerasulan itu bukan hanya dipandang universal, tetapi isi dari masing-masing  juga harus dipandang sama secara mutlak. Islam mengajarkan bahwa ajaran para nabi yang ditemukan pada  setiap waktu dan tempat pada dasarnya adalah satu. Tuhan tidak pernah membeda-bedakan utusan-Nya, sebab, jika hukum-hukum Tuhan yang disampaikan kepada umat itu berbeda pada setiap tempat, maka fenomena kerasulan itu akan kurang efektif.Dari pandangan tersebut, secara doktrinal-teologis, dapat dipahami bahwa Islam memiliki akar yang kuat untuk melihat adanya hubungan yang erat antara setiap umat manusia yang mengaku dirinya beragama,   yang menurutnya juga atas dasar kebenaran wahyu. Mereka juga disebut  muslim dan harus dihormati sebagai manusia yang memiliki kebenaran, kewajiban, tanggung jawab, sistem peribadatan yang semuanya ditujukan kepada Tuhan. Karena kebenaran hubungan ini bersumber dari informasi wahyu, tidak ada sarana  lain yang memperteguhnya kecuali iman sebagai sebuah sikap yang tidak  menuntut pembuktian.Di samping membina hubungan dengan kelompok umat yang disebut beragama, Islam juga dasar normatif tersebut dapat dilihat dari Hubungan Islam dengan Umat Manusia (all Humans Überhaupt)  Dalam pandangan berikutnya, Islam   menetapkan adanya hubungan dengan manusia secara umum, sekalipun mereka ini disebut sebagai umat tidak bertuhan (areligionists dan atheists), yakni atas dasar adanya tanggung jawab untuk mengembalikan mereka sebagai anggota integral masyarakat, manusia universal. Di atas akar inilah ditemukan  raison d’etre penciptaan manusia. Dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 30:Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan  khalifah di bumi”. Mereka berkata: “Apakah  Engkau hendak menjadikan  orang yang merusak  dan menumpahkan darah di sana, sedangkan  kami bertasbih  memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman: ”Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.  Oleh karena manusia dalam al-Qur’an dipandang sebagai khalifah, maka secara adikodrati dan teologis, seorang Muslim wajib melaksanakan  tugasnya  untuk memperbaiki alam, termasuk menjaga dan melestarikan hubungannya dengan manusia lain. Menjaga hubungan di sini tidak berdasarkan tuntutan sosial, akan tetapi atas dasar perintah  Tuhan. Jadi, dalam perspektif ini, menjaga keselarasan hidup umat manusia, membantu dan menjaga hak orang lain dipahami dalam kerangka teologis. Doktrin  tentang kesatuan eksistensial yang timbul dari keesaan Tuhan,    membiarkan sesuatu pada posisinya masing-masing, tetapi melihatnya sebagai satu kesatuan. Keseluruhan masyarakat  manusia merupakan  bagian dari keharmonisan global. Dalam gambaran  tersebut di atas, umat tersebut merupakan satu kesatuan.Jadi dengan pandangan tersebut, era teologis normatif ternyata dapat  melahirkan kesadaran akan adanya keteraturan.  Keteraturan sosial adalah keteraturan masyarakat dalam mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, sehingga dapat menjamin kehidupannya  sebagai manusia.  Ide ketuhanan bukan tidak bisa menjadi justifikasi untuk faham-faham modern, seperti: humanisme, demokrasi, kesamaan dan kebebasan.
D.    Penutup
Di bagian akhir ini disampaikan bahwa pendidikan Islam multikultural bukan hanya secara konseptual memberikan kesamaan hak atas peserta didik dalam kelas untuk mendapatkan kesempatan di bidang apa saja, tetapi juga yang penting adalah menjelaskan kepada siswa bagaimana Islam membina hubungan yang baik dengan penganut tradisi di luar Islam yang pernah dibawa Nabi Muhammad beberapa abad yang silam. Pendidikan Islam multikultural seyogianya menjadikan dasar-dasar normatif ini sebagai landasan untuk merumuskan bagaimana semestinya proses pendidikan dalam Islam dikelola sehingga ia tidak asing dari masyarakat yang secara hukum alam bpunya budaya sendiri-sendiri. Salah satu pekerjaan rumah (PR) yang mendesak dikerjakan adalah  mengkaji ulang mata-mata pelajaran seperti  kurikulum sejarah kebudayaan Islam (SKI), atau yang terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran tersebut di kelas. Sering ditemukan dalam pembelajaran SKI ini ialah bahwa sejarah Islam itu selalu saja  dimulai dari priode Nabi Muhammad, tanpa melihat pada genetika maupun sejarah para nabi (Musa, Isa) yang membawa agama besar lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani.

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...