A.
Pendahuluan
Lembaga
pendidikan Islam di era sekarang dihadapkan kepada perubahan yang mendasar,
terutama mempersiapkan siswa yang nantinya akan berintegrasi dengan
masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan
agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan
agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)” lembaga tersebut,
terutama pendidik/guru agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah
sa’atnya butuh pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap
isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum.
Baru kemudian, para pendidik ini harus bisa membantu siswanya untuk jadi
sadar akan penting memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat,
khususnya di bidang keagamaan.Jika tidak demikian, tampaknya lembaga
pendidikan, khususnya Islam, sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model
pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya
ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama
di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran
moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal
itu.Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya
pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali. Dalam tulisan ini, hanya
satu aspek yang bisa disampaikan, yakni landasan
normatif (ayat-ayat al-Qur’an)
sebagai inspirasi pendidikan Islam di era multikultural. - Pendidikan Islam Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan
strategi pembelajaran yang menjadikan latarbelakang budaya siswa yang
bermacama-macam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa
di kelas dan lingkungan sekolah. Yang demikian dirancang untuk menunjang dan
memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan dan demokrasi. Ada pula
yang mengatakan pendidikan multikultural adalah sebuh ide atau konsep,
sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep ini muncul atas dasar
bahwa semua siswa, tanpa menghiraukan jenis dan statusnya, punya
kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah formal. Dua definisi di atas
tampaknya lahir pada setting historis khusus, yakni pada lembaga-lembaga
pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh
sistem pendidikan yang mengandung diskriminasi etnis, yang belakangan hari
mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini berbeda dengan sistem
pendidikan (Islam) yang ditemukan di Asia, terutama Indonesia, yang sejak
awal tidak begitu menampakkan diskriminasi radikal di dalam
kelas. Perbedaan ruang kelas antara pria dan wanita pada lembaga-lembaga
tertentu pada lembaga pendidikan Islam misalnya, tidak bisa
langsung diartikan sebagai tindakan diskriminatif, karena yang demikian
lebih dimaknai sebagai antisipasi terhadap pelanggaran moral baik dalam
pandangan Islam dan kultur masyarakat.Oleh karena itulah, pendidikan Islam
multikultural di sini lebih diartikan sebagai sistem pengajaran yang lebih
memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yang membicarakan betapa
pentingnya memahami dan menghormati budaya dan agama orang lain.Secara
konseptual, rumusan pendidikan Islam multikultural belum menunjukkan jati
dirinya secara maksimal, khususnya di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam
formal. Bukan hanya pendidikan Islam multikultural yang belum
dikembangkan, tetapi juga pendidikan agama multikultural saja belum
ditemukan bentuknya seperti apa. Barangkali pada
lembaga-lembaga tertentu sudah ada, tetapi dalam status mata
pelajaran muatan lokal.
C. Landasan Normatif
Pendidikan Islam Multikultural ada 4 (empat) isu pokok yang
dipandang sebagai dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya di
bidang keagamaan, yaitu:
1) kesatuan dalam aspek ketuhanan
dan pesan-Nya (wahyu).
2) kesatuan kenabian.
3) tidak ada paksaan dalam beragama.
4) pengakuan terhadap eksistensi
agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan
ketetapan Tuhan. Masing-masing klasifikasi didukung
oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk
justifikasi yang lain.
Dari
aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya
dari al-Qur’an surat an-Nisa’: 131: “Dan milik Allah-lah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan
kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan juga kepadamu agar
bertakwa kepada Allah”.
Surat
Al ‘Imran: 64:
Katakanlah (Muhammad), Wahai
Ahlu-l-Kitab Marilah kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang
sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak
menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama
lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim. Dari
aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam surat an- Nisa’:
163: Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah
mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan
(pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya; ‘Isa, Ayyub,
Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami telah memberikan Kitab Zabur kepada
Dawud. Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya
dari al-Qur’an surat al-Anbiya’: 73: “Dan Kami menjadikan mereka
itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi pentunjuk dengan
perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan,
melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka
menyembah”. Kemudian surat Al ‘Imran: 84: Katakanlah (Muhammad), Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma’Il, Ishaq,Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah
diri. Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama
didasarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah: 256: “Tidak ada paksaan dalam
(mengaut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang
benar dengan jalan yang sesat”. Terakhir adalah mengenai pengakuan al-Qur’an
surat al-Maidah: 69 akan eksistensi agama-agama lain: “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan orang-orang Nasrani, barang siapa
beriman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka
tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati”. Kemudian surat
al-Maidah: 82: Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik. Dan pasti kamu dapati orang yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
“Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani”. Yang demikian itu karena
di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga)
karena mereka tidak menyombongkan diri. Semua ayat tersebut dipahami
dalam perspektif teologis-normatif, yaitu dengan pengertian, di dalamnya tidak
ada keraguan sedikit pun dan bersifat mutlak. Pemahaman dari
ayat-ayat tersebut tetap diletakkan dalam konteksnya sebagai yang mutlak.
Karena bersifat mutlak, maka cara kerja yang ditempuh seorang guru
agama harus selalu berusaha mengkaji ulang untuk membuktikan substansi
kebenarannya. Dalam mengkaji ulang itu, teknis yang dilakukan sebaiknya
dengan menjelaskan konsep-konsep hubungan berbagai agama dengan
narasi atau logikanya sendiri, kemudian semua disimpulkan dengan mengutip ayat
al-Qur’an yang relevan. Jadi model untuk menjelaskan sesuatu, pada dasarnya
sudah dibungkus paradigma teologis lebih awal, sehingga apa yang
disampaikan kepada siswa, sesungguhnya merupakan penjelasan logis saja dari
wahyu. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa gagasan tentang
pengetahuan (kebenaran wahyu) tidak seperti halnya dalam pengetahuan
positivistik yang berkeyakinan bahwa gagasan tentang pengetahuan
direduksi menjadi pengetahuan ilmiah, dan gagasan mengenai pengetahuan ilmiah
direduksi menjadi intellijensia. Jadi “mengetahui” harus berarti mengekspresikan
relasi-relasi yang bisa diamati (observable) antara fakta yang ada dalam
konteks relasi matematis. Jadi, dalam perspektif ini, sudah diyakinkan terlebih
dahulu bahwa terdapat sekumpulan kebenaran adikodrati yang statis yang
diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia, dan proses sejarah dalam pewahyuan, di
era ini, tidak begitu penting.Bila cara seperti ini yang ditempuh, maka
seluruh pengetahuan yang terkait dengan isu-isu hubungan antara agama
menurut pandangan Islam terkesan semua baik. Mungkin ada yang mengatakan bahwa
cara ini apologis. Tetapi tidak mengapa, terutama bagi siswa yang baru saja
mengalami sistem pembelajaran agama model ini. Barangkali, relevan dengan apa
yang pernah ditulis al-Faruqi bahwa konseptualisai atas inti kedua agama itu
berbeda satu sama lain dan sesuai dengan sejarahnya. Oleh sebab
itu, tidak mungkin untuk melakukan identifikasi antara
masing-masing agama tersebut, karena masing-masing lengket dengan sejarahnya.
Seseorang dapat melihat Islam dan Kristen sebagai dua agama yang berbeda,
akan tetapi, ada kemungkinan besar untuk keluar dari perbedaan ini, yaitu
dengan melihat inti asli (substansi) agama tersebut, memusatkan
perhatian secara penuh terhadapnya dan membangun berbagai argumentasi di
atasnya. Aspek normatif ini juga dapat dilihat pada ayat-ayat sebagai
dasar umum hubungan antara agama, pada surat Al ‘Imran: 113 yang berisikan
pujian atas ahli kitab yang bersifat jujur; surat at Taubah: 31 yang
berisikan kepercayaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan
‘Uzair dan al-Masih itu putra Allah, bahkan mereka mempertuhan
rahib-rahib dan orang alim mereka sendiri, padahal mereka disuruh hanya
menyembah Allah; surat al-Hadid: 27 yang berisikan bahwa mereka yang
mengikuti Kitab Injil, yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa, memiliki hati
penuh dengan rasa santun dan kasih sayang; surat an Nisa’: 171
yang berisikan pandangan al-Qur’an terhadap Nabi ‘Isa, yang menyebutkan bahwa
al-Masih, ‘Isa putra Maryam itu utusan Tuhan, dan larangan untuk mengatakan
bahwa Tuhan itu tiga; surat al-‘Ankabut: 47 yang berisikan bahwa bagi
orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat, juga beriman
kepada al-Qur’an.Secara doktrinal, seluruh bentuk hubungan itu tidak pernah
berubah, kecuali setelah ia memasuki wilayah historis (konteks) yang cukup
panjang. Hubungan yang dimaksud di sini meliputi hubungan yang bernuansa
positif dan bernuansa negatif, yaitu dalam pengertian kritik. Proses kritik
kelihatan berjalan dengan baik, karena tiga agama, Yahudi, Kristen dan
Islam, merupakan tiga agama yang bersaudara, yang sudah barang tentu bertugas
saling mengingatkan. Dalam paradigma inklusif, kritik adalah sesuatu yang
penting dilakukan. Hal ini berbeda dengan paradigma pluralis yang
bersifat lebih “membiarkan”. Oleh sebab itu tidak salah jika seorang guru
agama Islam memasukkan ayat-ayat (teks) yang mengkritik keyakinan dan sikap
penganut Kristen dan Yahudi sebagai dasar hubungan agama-agama. Kritik di
sini tidak dipahami sebagai sebuah cacian hinaan maupun sebuah vonis, akan
tetapi lebih merupakan sebuah peringatan yang menantang untuk melakukan
dialog.Di samping menjelaskan wahyu melalui pendekatan rasional sebagai
bukti otentik hubungan antara agama, unsur normatif pendidikan Islam juga
bisa memusatkan kajiannya terhadap apa yang disebut oleh al-Qur’an
sendiri sebagai hanif, yang dipandang sebagai sebuah perkembangan
pemikiran dan cenderung filosofis. Terma hanif merupakan terma yang
banyak ditemui dalam al-Qur’an, bahkan bisa dijadikannya sebagai “alat perekat”
hubungan berbagai agama dalam sejarah. Di sini perlu digambarkan hanif
sebagai orang yang bersandar kepada tradisi Ibrahim, menolak tuhan-tuhan palsu
(shirk), menolak tradisi pagan, cinta kepada pengetahuan dan penemu
kebenaran. Semua ini merupakan ciri khas kebenaran sebuah agama. Terma hanif
dijadikan alat perekat terhadap berbagai tradisi keagamaan atau sebagai
titik temu antara agama-agama Semitik, dan karenanyalah isu-isu besar tentang
kesatuan kebenaran dalam agama-agama akan mungkin diwujudkan. Berbeda
memang dengan pemikiran pluralis yang didasari oleh tradisi perenial yang
lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek esoteris agama-agama
sebagai muara bertemunya kebenaran masing-masing. Pengakuan Islam
terhadap Tuhan agama Yahudi dan agama Kristen sebagai Tuhannya sendiri,
pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri, komitmennya
dengan ajakan Ilahi terhadap ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup
bersama di bawah genggaman Allah, merupakan satu-satunya langkah yang pertama
dan nyata menuju persatuan dari dua agama dunia yang besar. Karen Armstrong
mengatakan: “dikatakan hanif sebagai tradisi Ibrahim berarti menyingkirkan
semua pandangan khusus tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah
keimanan yang “murni dan tidak bercampur dengan konsep apa pun”. Bersamaan dengan
hanif, paham monoteisme dan etika agama pra Islam Arab, Yahudi,
Nasrani dan Islam membentuk sebuah kesadaran agama yang esensi dan
pusatnya satu. Kesatuan agama-agama ini, dengan mudah, dapat ditemukan
para sejarawan dalam kebudayaan Timur Dekat Purba. Yang demikian masih berbekas
dalam literatur-literatur kuno, dan kesamaan tradisi tersebut didukung
oleh kesatuan geografi, bahasa (Semit) dan kesatuan ekspresi artistik mereka.
Prinsip-prinsip ini membedakan antara orang-orang Arab dari lainnya di seluruh
dunia. Semua ini merupakan dasar tempat bersatunya agama Yahudi, Nasrani dan
Islam, sekaligus membuat mereka menjadi sebuah gerakan dalam sejarah
kemanusiaan kendati mereka berbeda. Kesatuan kesadaran keagamaan dan kultur
semitik tersebut bukan pengaruh tradisi Mesir Kuno (1465-1165 BC), tidak
juga oleh orang-orang Philistin, bangsa Hitti, Kassit dan orang Aria, yang juga
sebenarnya telah mengalami semitisasi dan asimilasi (semitized and
assimilated) lewat penaklukan para militer mereka. Dalam teori progresif
agama-agama tersebut, apakah dapat dikatakan satu agama yang belakangan
adalah pinjaman dari yang sebelumnya? Al-Faruqi, seorang tokoh Islam,
pernah mengkritik Barat yang sering mengatakan Islam telah banyak meminjam
dari tradisi Yahudi dan Kristen. Dia mengatakan ko-eksisten dan penyamaan
berbagai tradisi agama, tidak dipandang sebagai saling meminjam. Dia menekankan
bahwa adalah suatu yang naif dan memalukan untuk menggunakan istilah “pinjaman
meminjam” di antara dua gerakan besar, yang di dalamnya juga ditemukan
kelanjutan dan perbaikan terhadap pendahulunya.Yang aneh lagi, menurut
al-Faruqi, kebanyakan sarjana Barat justru tidak pernah mengatakan bahwa
Kristen sebagai pinjaman dari Yahudi, Buddha pinjaman dari Hindu dan Protestan
pinjaman dari Katolik. Demikian Islam menyebutnya identik dengan Yahudi dan
Kristen, tetapi tetap direformasi dari penyimpangan-penyimpangan yang pernah
terjadi. Berdasarkan bacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, agama-agama lain bisa
dilompokkan ke dalam tiga bagian, yakni: 1. Agama Yahudi dan Nasrani
(Kristen) 2. Seluruh bentuk agama/kepercayaan masyarakat yang
dipandang sebagai sebuah ekspresi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan3. Manusia
secara umum (Humans Überhaupt). Hubungan Islam dengan agama-agama lain
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Islam memberikan status
istimewa kepada agama Yahudi dan Nasrani. Hal ini karena secara tekstual
al-Qur’an menyebut kedua agama tersebut agama Tuhan. Para pendiri agama
ini adalah Ibrahim, Musa, Daud dan ‘Isa sebagai nabi-nabi Tuhan dan Kitab-Kitab
yang mereka bawa seperti, Taurat, Injil, dan Zabur juga merupakan wahyu Tuhan.
Untuk alasan ini, ia mengutip ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:Surat
al-‘Ankabut ayat 46: “Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu dan kami hanya
kepadaNya berserah diri”. Surat asy-Syura ayat 15 yang menyatakan: Aku beriman
kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar
berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami
perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak perlu ada pertengkaran
antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita dan
kepadaNya-lah kita kembali. Surat al-Baqarah, ayat 140: “Ataukah kamu
(orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub
dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah:
“Kamukah yang lebih tahu atau Allah?” Surat Al ‘Imran ayat 84:
Katakanlah Muhammad: Kami berimana kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Ya’qub dan anak cucunya dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi
dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di atara mereka dan
hanya kepada-Nya kami berserah diri. Surat an Nisa’ ayat
163: Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad)
sebagaimana kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya,
dan kami telah mewahyukan pula kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami
berikan Zabur kepada Dawud. Surat Al ‘Imran ayat 2 dan 3: Allah,
tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha hidup, Yang terus menerus mengurus
makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) yang
mengandung kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menurunkan
Taurat dan Injil. Surat al-Maidah ayat 69: Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, barang siapa
beriman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak
ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih
hati.Jadi, secara teologis, penghormatan Islam terhadap agama Yahudi dan
Nasrani, pendiri dan kitab sucinya bukanlah sebuah penghormatan biasa, akan
tetapi atas dasar kebenaran agama-agama tersebut, bahwa semua juga dari Tuhan
yang sama. Islam memandang agama-agama tersebut tidak hanya sebagai pandangan
lain yang harus dihadapi dengan toleran, akan tetapi sebagai agama yang
sah atas kebenaran dari Tuhan. Dengan demikian, statusnya yang sah
tidaklah dalam pengertian sosial politik, budaya atau peradaban, akan tetapi
keagamaan. Oleh karena itu, Islam dipandang begitu unik, karena
tidak ditemukan agama lain di atas dunia ini yang percaya kepada
kebenaran agama lain sebagai syarat utama pada kebenaran kepercayaan agamanya
dan kesaksiannya. Secara konsisten, Islam melanjutkan dan mengakui
kebenaran agama Yahudi dan Nasrani dan mengidentifikasikan diri dengannya. Di
sini ditemukan sebuah hubungan teologis dan ideologis yang erat antara Islam,
Kristen dan Yahudi, yaitu tiga agama ini mengakui Tuhan yang satu.
Pengakuan bersama ketiga agama tersebut atas Tuhan yang satu
membawa konsekuensi bahwa wahyu dan agama-agama ini pada hakikatnya satu. Islam
tidak memandang dirinya lahir dari kondisi keagamaan yang kosong (ex nihilo),
tetapi sebagai penegasan kembali atas kebenaran yang pernah datang lewat para
nabi sebelumnya. Mereka semua dipandang Muslim, dan wahyu mereka satu dan
serupa dengan wahyu Islam.Dalam menerjemahkan Hadis Nabi Muhammad saw. tentang
kelahiran manusia yang fit}rah, ia menulis: “All men are born Muslims (in
the sense of being endowed with religio naturalis). It is their parents
(tradition, history, culture, nurture as opposed to nature) that turn them into
Christians and Jews. On this level of nature, Islam holds the believer and
non-believer as equal partakers of the religion of God.” Appresiasi Islam
terhadap agama lain, seperti yang terlihat dalam perspektif teologis di
atas, dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap hubungan antara penganut
agama-agama dalam perspektif Islam. Yang demikian dapat disimpulkan sebagai
berikut: Pertama, pernyataan tersebut memberikan dasar yang baik
bagi sebuah ekumene dunia di bidang keagamaan, yang di dalamnya
agama-agama saling menghormati klaim masing-masing, tanpa membantah klaim
mereka sendiri. Kedua, pandangan ini akan memberikan suatu dasar
yang sah untuk mencari kesatuan agama-agama yang diperuntukkan bagi umat
manusia. Jika dialog agama yang diinginkan bukan hanya sekedar basa-basi atau
saling tukar informasi, maka dialog itu harus mempunyai sebuah
norma keagamaan yang dapat mendamaikan berbagai perbedaan di antara
agama-agama. Penganut sebuah agama yang terlibat dalam sebuah dialog agama
harus memiliki norma tersebut dan selalu memposisikan diri di atasnya. Islam
menemukan norma ini di dalam agama fit}rah. Dengan norma ini
pihak-pihak yang mengikuti dialog merasa merdeka untuk menghadapi
tradisi-tradisi agama historis lainnya. Jadi, tidak ada ide yang lebih merangsang
kemerdekaan ini daripada ajaran Islam, bahwa suatu tradisi agama adalah
sebuah perluasan manusiawi dari agama fit}rah yang primal itu. Ketiga,
pandangan ini sangat erat hubungannya dengan agama lain, terutama Yahudi dan
Kristen yang tidak dianggapnya sebagai “agama-agama lain” akan tetapi sebagai
dirinya sendiri. Pengakuannya terhadap Tuhan agama Yahudi dan
Kristen sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi
mereka sebagai nabinya sendiri, dan komitmennya terhadap ajakan Ila>hi
terhadap ahli-ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah sabda
Alla>h merupakan satu-satunya langkah yang nyata menuju
persatuan dari tiga agama besar dunia tersebut.
Disamping dua agama Yahudi dan Nasrani, secara normatif Islam juga sudah
membina hubungan dengan tradisi. Cara yang ditempuh
untuk mendekatkan pengikut agama-agama lain kepada Islam mungkin berbeda
dengan cara yang ditempuh terhadap agama Yahudi dan Nasrani. Ini bisa saja
terjadi, terutama seorang guru kesulitan dalam melacak cerita wahyu (sejarah
sakral) tentang hubungan Islam dengan penganut agama selain Yahudi dan Nasrani
tersebut. Ada cara praktis yang bisa ditempuh, seperti halnya yang dilakukan
al-Faruqi, yaitu dengan mengajukan konsep yang ia sebut ‘fenomena kerasulan’,
kendatipun sebenarnya, secara tekstual, al-Qur’an menyebut golongan-golongan
lain seperti: orang-orang Sabiin, orang Majusi, dan Thamud. Hal ini
dilakukannya, paling tidak, atas dasar bahwa di samping golongan-golongan
tersebut tidak dikelompokkan kepada Agama-Agama Ibrahim, juga data atas
golongon tersebut relatif sulit ditemukan. Menurut al-Faruqi, fenomena
kerasulan itu universal, ia berlangsung melewati semua ruang dan
waktu. Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 15 menyebutkan: Barang
siapa berbuat sesuai dengan petunjuk Allah, maka sesungguhnya
itu untuk keselamatan dirinya sendiri, dan barang siapa tersesat maka
sesungguhnya kerugian itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum
Kami mengutus seorang rasul. Jadi fenomena kerasulan itu sebenarnya
merupakan konsep yang mengandung pengertian bahwa pada setiap umat, Tuhan
mengutus seorang nabi untuk membimbing mereka. Sebagian para nabi itu diketahui
dan sebagian yang lain tidak. Penyampaian dan penyebaran perintah Tuhan
yang demikian disebut sebagai fenomena kerasulan. Sarana pemersatu umat
beragama di sini tidak dilihat dari geneologi agama-agama dan pernyataan Tuhan
secara tekstual, akan tetapi dilihat dari pesan semua nabi itu sama. Menurut
al-Faruqi, universalitas dan absolusitas yang egaliterian ditemukan dalam
konsep tersebut. Fenomena kerasulan itu bukan hanya dipandang universal, tetapi
isi dari masing-masing juga harus dipandang sama secara mutlak. Islam
mengajarkan bahwa ajaran para nabi yang ditemukan pada setiap waktu dan
tempat pada dasarnya adalah satu. Tuhan tidak pernah membeda-bedakan
utusan-Nya, sebab, jika hukum-hukum Tuhan yang disampaikan kepada umat itu
berbeda pada setiap tempat, maka fenomena kerasulan itu akan kurang
efektif.Dari pandangan tersebut, secara doktrinal-teologis, dapat dipahami
bahwa Islam memiliki akar yang kuat untuk melihat adanya hubungan yang erat
antara setiap umat manusia yang mengaku dirinya beragama, yang menurutnya
juga atas dasar kebenaran wahyu. Mereka juga disebut muslim dan harus
dihormati sebagai manusia yang memiliki kebenaran, kewajiban, tanggung jawab,
sistem peribadatan yang semuanya ditujukan kepada Tuhan. Karena kebenaran
hubungan ini bersumber dari informasi wahyu, tidak ada sarana lain yang
memperteguhnya kecuali iman sebagai sebuah sikap yang tidak menuntut
pembuktian.Di samping membina hubungan dengan kelompok umat yang disebut
beragama, Islam juga dasar normatif tersebut dapat dilihat dari Hubungan Islam
dengan Umat Manusia (all Humans Überhaupt) Dalam pandangan
berikutnya, Islam menetapkan adanya hubungan dengan manusia secara
umum, sekalipun mereka ini disebut sebagai umat tidak bertuhan (areligionists
dan atheists), yakni atas dasar adanya tanggung jawab untuk
mengembalikan mereka sebagai anggota integral masyarakat, manusia universal. Di
atas akar inilah ditemukan raison d’etre penciptaan manusia.
Dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 30:Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”.
Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami
bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman: ”Sungguh, Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Oleh karena manusia dalam
al-Qur’an dipandang sebagai khalifah, maka secara adikodrati dan teologis,
seorang Muslim wajib melaksanakan tugasnya untuk memperbaiki alam,
termasuk menjaga dan melestarikan hubungannya dengan manusia lain. Menjaga
hubungan di sini tidak berdasarkan tuntutan sosial, akan tetapi atas dasar
perintah Tuhan. Jadi, dalam perspektif ini, menjaga keselarasan hidup
umat manusia, membantu dan menjaga hak orang lain dipahami dalam kerangka
teologis. Doktrin tentang kesatuan eksistensial yang timbul dari keesaan
Tuhan, membiarkan sesuatu pada posisinya masing-masing,
tetapi melihatnya sebagai satu kesatuan. Keseluruhan masyarakat manusia
merupakan bagian dari keharmonisan global. Dalam gambaran tersebut
di atas, umat tersebut merupakan satu kesatuan.Jadi dengan pandangan tersebut,
era teologis normatif ternyata dapat melahirkan kesadaran akan adanya
keteraturan. Keteraturan sosial adalah keteraturan masyarakat dalam
mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, sehingga dapat menjamin
kehidupannya sebagai manusia. Ide ketuhanan bukan tidak bisa
menjadi justifikasi untuk faham-faham modern, seperti: humanisme, demokrasi,
kesamaan dan kebebasan.
D.
Penutup
Di bagian akhir ini disampaikan
bahwa pendidikan Islam multikultural bukan hanya secara konseptual memberikan
kesamaan hak atas peserta didik dalam kelas untuk mendapatkan kesempatan di
bidang apa saja, tetapi juga yang penting adalah menjelaskan kepada siswa
bagaimana Islam membina hubungan yang baik dengan penganut tradisi di luar
Islam yang pernah dibawa Nabi Muhammad beberapa abad yang silam. Pendidikan
Islam multikultural seyogianya menjadikan dasar-dasar normatif ini sebagai
landasan untuk merumuskan bagaimana semestinya proses pendidikan dalam Islam dikelola
sehingga ia tidak asing dari masyarakat yang secara hukum alam bpunya budaya
sendiri-sendiri. Salah satu pekerjaan rumah (PR) yang mendesak dikerjakan
adalah mengkaji ulang mata-mata pelajaran seperti kurikulum sejarah
kebudayaan Islam (SKI), atau yang terkait dengan proses pembelajaran mata
pelajaran tersebut di kelas. Sering ditemukan dalam pembelajaran SKI ini ialah
bahwa sejarah Islam itu selalu saja dimulai dari priode Nabi Muhammad,
tanpa melihat pada genetika maupun sejarah para nabi (Musa, Isa) yang membawa
agama besar lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani.
No comments:
Post a Comment