Saturday, April 16, 2016

MEMAHAMI KAJIAN AGAMA KATOLIK




Oleh : Rahmad Fitriyanto



Tasawuf falsafi atau tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang memadukan visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini mulai muncul dengan jelas dalam khasanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokoh-tokohnya mulai dikenal setelah seabad kemudian. 
            Tasawuf ini juga mempunyai bentuk dan karakteristik yang berbeda dengan tasawuf yang lain terutama tasawuf sunni, namun juga mempunyai ciri yang hampir sama yaitu memfokuskan dalam dzikir. Ajaran tasawuf falsafi yang sangat terkenal ada empat bentuk diman antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan, yaitu: al-Fana, al-Ittihad, al-Hulul, dan al-Wahdat as-Syuhud.
Dalam pembahasan nantinya juga akan kami singgung masalah tasawuf Ibn Arabi, diman ajarannya mempengaruhi ajaran al-Wahdat as-Syuhud yang dibawa oleh Umar Ibn al-Faridh (w.632h).
Berikut ini, secara umum akan kami bahas pokok-pokok ajaran para sufi falsafi dan karakteristik ajaran mereka.  








1
 
 
PEMBAHASAN

Tasawuf filosofis ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf sunni, semisal tasawuf al-Ghozali, tasawuf filosofis menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya.

A. Obyek Tasawuf Filosofis Dan Karakteristiknya
            Para pengkaji tasawuf filosofis, berpendapat bahwa perhatian para penganut aliran ini terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzawq), yang merupakan titik-tolak ajaran tasawuf mereka.
            Ibn Khaldun dalam karyanya, al-muqoddimah, menyimpulkan bahwa ada empat obyek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yaitu:
a.         Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instrupeksi diri yang timbul darinya.
b.         Iluminasi ataupun hakekat yang tersingkap dari alam ghaib, semisal sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya maupun penciptaannya.
c.        
2
 
Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan.
d.        Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samara-samar (syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujuinya, atau menginterprentasikannya.
Adapun tentang latihan tingkatan (maqom) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzawq) yang ditimbulkannya, para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sebelumnya. Sebab masalah tersebut, menurut Ibn Khaldun, adalah masalah yang memang tidak seorang pun menolaknya, segenap rasa (dzawq) para sufi filosof ini adalah benar, dan akan mengantarnya menuju kebahagiaan hakiki.
3
 
Mengenai iluminisasi ataupun tersingkapnya hakikat realitas yang wujud, Ibn Khaldun dalam hal ini mengemukakan bahwa para filusuf tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan zikir. Dengan zikir menurut keyakinan mereka, jiwa bisa memahami hakekat realitas-realitas tersebut, dan jika hal itu tercapai, maka yang wujud pun telah terkonsentrasikan dalam memahami seseorang, yang berarti ia berhasil menyingkap seluruh realitas yang wujud. Ibn Khaldun berpendapat bahwa iluminasi yang begini, tidak boleh tidak timbul dari kelurusan jiwa. Kelurusan adalah jiwa seperti halnya cermin yang rata, akan bisa memantulkan berbagai gambar. Menurutnya, para sufi yang juga filosof tersebut disamping menaruh perhatian terhadap iluminasi, juga memperbincangkan realitas-realitas wujud yang atas dan bawah. Namun mereka menutup mata terhadap tujuan, sebab perbincangan mereka yang terutama adalah apa-apa yang termasuk dalam ruang lingkup rasa serta intuisi, yang tidak tunduk di bawah pengamatan atau pembuktian. Kerena itulah, maka orang-orang yang tidak terlibat dengan mereka tidak  mungkin bisa memahami ucapan-ucapan mereka. Para sufi sengaja menimbulkan teka-teki dengan meminjam terminologi-terminologi filosofis, yang umumnya tidak dimengerti kalangan luar, sehingga ucapan mereka sering kali “sulit dimengerti kaum rasionalis, saking samar dan tertutupnya ungkapan tersebut.” Untuk memperkuat pendapatnya di atas, Ibn Khaldun selanjutnya mengemukakan pendapat para sufi filosof ini tentang wujud, antara lain tentang hakekat Muhammad (al-Haqiqah al-Muhammadiyyah), kesatuan wujud yang mutlak, serta terminologi-terminologi lain.
Pada dasarnya Ibn Khaldun menolak pandapat mereka tentang kesatuan wujud. Menurutnya, pendapat para sufi-filosuf ini timbul dari kekeliruan interpretasi tentang kefanaan. Kesimpulan ini dapat kita baca dari apa yang ditulis Ibn Khaldun tentang mereka: mereka, dalam hal ini, benar-benar menghindarkan diri dari sintesa dan pluralitas. Dan pandangan mereka tantang kesatuan timbul dari ilusi dan imaginasi mereka saja.
Dari kutipan ini tampak jelas bahwa Ibn Khalduln, dalam kedudukannya sebagai penganut sunni, menganggap betapa kelirunya para sufi yang mengatakan kesatuan wujud. Sebab pendapat tersebut mereka nyatakan hanya berdasarkan keadaan fana dan perpaduan semata. Ibn Khaldun dalam hal ini jelas seiring dengan al-Ghazali dan para sufi-sunni lainnya.
4
 
Mengenai sythahhiyat, yaitu mengenai ungkapan-ungkapan ganjil para sufi yang juga para filusuf tersebut, Ibn Khaldun berpendapat sebagai berikut: kata-kata samara, yang mereka ungkapkan dengan nama syathahhiyat, telah membuat mereka dikecam para fuqoha. Ketahuilah! Sebenarnya mereka itu orang-orang yang sirna dari perasaannya. Apa yang menimpa mereka begitu menguasai dirinya, sehingga mereka menuju arah yang tidak mereka niatkan. Orang yang dalam keadaan sirna (tidak menyadari diri) tidak terkena perintah, dan orang yang terpaksa pun bisa dimaafkan. Barang siapa diantara mereka merupakan orang yang terkenal dengan keutamaan dan keteladanannya, maka ungkapannya hendaklah diinterpretasikan bahwa hal itu dilakukan dengan niat baik. Sebab ungkapan perasaan demikian sulit ditafsirkan, karena dia kehilangan susunannya (maksudnya, sufi tersebut tidak dalam keadan sadar yang bisa menyusun ungkapanya secara baik), seperti yang terjadi pada Abu Yazid  al-Busthami atau para sufi sejenisnya. Dan barang siapa di antara mereka merupakan orang yang tidak diketahuai keutamaanya serta tidak pula terkenal, maka ungkapan-ungkapan yang bisa diinterpretasikan itu hendaklah ditolak.begitu pula dengan orang yang menyatakan ungkapan sejenis, padahal dia menyadari perasaanya ataupun tidak dirasuki keadaan rohaniah, maka hendaknya ungkapanya juga ditolak. Atas dasar inilah maka para fuqaha dan para tokoh sufi menjatuhkan fatwa hukum mati terhadap al-Hallaj, sebab dia telah menyatakan ungkapannya yang terkenal itu dalam keadaan sadar serta menguasai keadaan dirinya. Dan Allah yang lebih tahu.
5
 
Selain itu, Ibn Khaldun dalam karyanya al-Muqoddimah, juga mengadakan perbandingan antara sufi filosuf dengan sekte isma’illiyah dari syiah, yakni sekte yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini jelas terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan quthb, dan abdal. Bagi para filusuf quthb adalah puncaknya ‘Arifin, dan abdal adalah merupakan perwakilan. Ibn Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga tentang pakaian compang-camping, yang oleh para sufi filosuf dinisbatkan dengan dengan asal tarikat mereka serta dirujukkan kepada imam Ali, maka menurut Ibn Khaldun, hal ini juga adalah karena pengaruh aliran Syi’ah.
Dari serangkaian pendapat Ibn Khaldun di atas, kini dapat kita simpulkan bahwa tasawuf filosufis mempunyai beberapa karakteristik tertentu, antara lain: tasawuf ini, seperti halnya dengan tasawuf lainnya, oleh para penganutnya didasarkan pada latihan-latihan rohaniyah, yang dimaksudkan sebagai tangkatan moral, yakni kebahagiaan. Tasawuf ini juga mengandung iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana. Para pengikut tasawuf ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas ajaran mereka dengan berbagai simbol.
6
 
Perlu dicatat bahwa dalam beberapa segi, para sufi filosuf ini melebihi para filosuf sunni. Pertama, karena mereka adalah para teoritis yang baik tentang wujud, sebagai mana terdapat dalam karya-karya atau puisi-puisi mereka, yang untuk hal ini mereka tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syathahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan lambang-lambang atau symbol , sehingga ajarannya tidak begitu saja bisa dipahami oleh orang lain diluar mereka. Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmu-ilmunya. Kesiapan ini, sekalipun tidak oleh mereka semuanya, tetapi paling sedikit dilakukan oleh kebanyakan mereka.

B. Ajaran-ajaran Dalam Tasawuf Falsafi
            1. Fana
            Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’an nafs). Fana’an nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu dengan iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah.
            Menurut al-Junaidi, pengertian al-Fana ialah hilangnya daya kesadaran qalbu daru hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang dilihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang di sadari dan dirasakan oleh indera.
7
 
            Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau yang fana itu adalah kemampuan dan kepekaan terhadap yang bersifat materi atau indrawi, sedangkan materi atau jasad manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, hal ini sebagai mana dikemukakan oleh al-Qusyairi “Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
            Dalam proses al-Fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang, yaitu al-Sakar, al-Sathohat, al-Jawal al-Hijab, dan ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa as di bukit tursina. Secara bahasa, sathohat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar. al-Zawal al-Hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah “berada” di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Sedangkan Ghalab al-Syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya.
            Pada perkembangannya al-Fana terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama menggunakan paham moderat yang diwakili oleh al-Junaid al-Bagdadi, aliran ini dikenal dengan sebutan Fana Fi’t Tauhid, yaitu apabila seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid. Aliran fana yang kedua dipelipori oleh Abu Yazid al-bisthami yang mengartikan fana sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.

            2. al-Ittihad
8
 
            Apabila sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah menyatu dengan tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-Baqo’. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad. Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari nur-Ilahi, akunya manusia adalah pancaran dari yang maha esa. Barang siapa yanag mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya, atau mampu meniadakan dari dirinya dari kesadaran sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu dengan yang tunggal , yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan yang seperti itulah yang di sebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun.

            3. al- Hulul
            Doktrin al-Hulil adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Mansyur al-Halaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan dipandang sesat oleh pengusa pada masa itu.
9
 
            Pengertian al-Hulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana atau ekstase. Sebab menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda yaitu sifat ke-Tuhan-nan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga Tuhan mempunyai sifat ganda yaitu sifat-sifat ilahiyat atau lahut dan sifat insaniah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat ilahiyahnya melalui fana, maka Tuhan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
            Konsepsi tentang lahut dan nasut di dasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam surat al-Baqarah : 34. Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah pada malaikat sujud kepada Adam itu karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus di sembah sebagaimana ia menyembah Allah. Bagaimana hulul itu, dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:
            Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu, bagai anggur dan air bening berpadu, bila engkau tersentuh, terusik pula aku, karena ketika itu, kau dalam segala hal adalah aku. Aku yang ku rindu, dan yang ku rindu aku juga, kami dua jiwa padu jadi satu raga, bila kau lihat aku tampak jua Dia dalam pandangan mu, jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu  tampak nyata.
             Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah.

            4. al-Wahdat as-Syuhud
10
 
            Konsepsi al-Wahdat as-Syuhud merupakan ajaran tasawuf yang mirip dengan paham al-Wahdat al-Wujud oleh karenanya sebagian pengamat berpendapat, bahwa doktrin ini mendapat pengaruh dari Ibn Arabi. Ajaran ini adalah karya mistis dari Umar Ibn al- Faridh(w. 632H).
            Menurut Ibn al-faraidh, tasawuf bukanlah hanya sekedar ilmu agama dan bukan pula sekedar amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak saja sekedar ma’rifat, tetapi taswuf adalah ilmu, amal serta ma’rifat sekaligus. Dalam perjalanan tasawufnya, Ibn al-Faraidh dikenal sebagai orang yang memiliki kepekaan perasaan yang sangat mendalam. Apabila ia melihat sesuatu yang indah, mak keindahan itu akan langsung akan dilihat dan dirasakannya. Bahkan, dalam usahanya untuk mengenal dirinya sebagai seorang sufi, ia mencari dirinya melalui penghayatan perasaan, sehingga ia menemukan dirinya sebagai sesuatu yang lain.
            Cinta Ibn al-Faraidh berpadu dalam keindahan, terarah khusus kepada pencipta keindahan itu, yaitu Allah yang terus bergerak dalam jiwa dan selalu menjagi dambaan kalbu. Oleh karena karya-karyanya yang selalu bertemakan cinta, ia digelari sebagai “Sultan al-Asyiqin” atau si raja cinta. Kesatuan dalam terminology Ibn al-Faraidh bukan penyatuan dua wujud, tetapi penyatuan dalam arti disaksikan hanya satu, yaitu wujud yang maha esa. Pluralitas yang tadinya nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu”menghadirkan” Tuhan dalam dirinya melalui tajalliyatnya Illahi.
            Menurut pemahaman Mustafa Helmi, tajalli dalam konsep al-Faraidh ada dua segi, yang pertama ialah tajalli secara dzahir, yakni melihat Yang Esa pada yang aneka; yang kedua, tajalli secara batin, ya’ni melihat aneka pada Yang Esa.


11
 
 
            5. al-Isyraqiyah
Konsep tasawuf al-Isyraq, barangkali adalah tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil diantara konsep-konsep tasawuf yang sealiran. Sebab ditinjau dari konseptornya yaitu Suhrawardi al-Maqtul adalah seorang yang luas dalam berbagai aliran filsafat Yunani maupun filsafat Persia dan India. Ia dilahirkan di Suhrawardi dan dihukum bunuh karena ajarannya di Aleppo pada tahun 578 H atas pemerintahan Shalahudin Ayyubi.
            Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-Kasyf. Akan tetapi bila dilihat pada inti ajaran ini, maka al-Isyraq lebih tepat diartikan penyinaran atau illuminasi. Didalam karya tulisnya Hikmatul Isyraq dijelaskan bahwa corak perenungannya yang dikombinasikan dengan pemikiran spekulatif, yaitu merupakan gabungan tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran. Menurut Suhrawardi, sumber dari segala yang ada ialah Cahaya Yang Mutlak yang ia sebut dengan Nur al-Anwar, mirip matahari. Walaupun ia memancarkan cahaya terus-menerus, namun cahayanya tidak pernah berkurang dan bahkan sama sekali tidak terpengaruh. Nur dalam konsep ini nampaknya analogis dengan rahmat Tuhan.
            Paham al-Isyraq ini menyatakan, bahwa ala mini diciptakan melalui penyinaran atau iluminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya tertinggi dan sebagai sumber dari segala sumber itu ialah Nurul Anwar atau Nurul A’dzam dan inilah Tuhan yang azali.
           


12
 
 
Suhrawardi mengajarkan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui agar dapat bersatu dengan Allah sebagai berikut:
a.       La illaha illallah, yang pertama harus ada ikrar dengan lidah dan pengakuan dalam hati tentang tidak ada Tuhan selain Allah.
b.      La hua illa Hua, hanya Allah yang berhak disebut Dia. Yang sungguh-sungguh hanya Allah, sedangkan yang selainnya itu hanyalah cahaya dari yang ada (Allah).
c.       La anta illa Anta, hanya Allah yang hanya pantas disebut engkau.term engkau dalam kalimat ini menunjukkan, bahwa pada saat yang demikian sudah terjadi syuhud dalam posisi saling berhadapan sehingga terbuka dialog antara manusia dengan Tuhan.
d.      La ana illa Ana, hanya Allah yang disebut Aku. Hal ini berarti, bahwa pada fase ini yang memiliki personaliti hanya Allah, sedangkan aku manusia sudah lebur dari kesadarannya karena sudah fana dan pada saat itu sudah tidak ada jarak antara manusia dengan Tuhan.
e.       Kullu syai halikun illa wajhahu, selain Allah sudah lebur dan yang tinggal abadi hanya Dia. Karena manusia sudah fana fi’illah, maka dia memasuki alam ilahiyat sehingga manusia kekal bersama Dia.
Menurut paham ini, sarat mutlak yang harus dilalui agar bisa kembali kepada sumber aslinya, adalah latihan rohaniyah sampai pada tingkat kemampuan mengidentifikasi esksistensinya dengan Nur al-Anwar.



13
 
 
C. Tasawuf Falsafi Ibn Arabi
            Nama lengkap dari Ibn Arabi ialah Abu Bakr Muhammad ibn Ali ibn Ahmad Ibn Abdullah al-Tha’I, lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan.
            Ibn Arabi termasuk salah seorang pemikir besar islam. Beberapa pemikir Eropa, antara lain Dante, terpengaruh oleh ajarannya; sebagiman dikemukakan Asin Palacios dalam salah satu kajiannya. Pikiran Ibn Arabi juga berpengaruh pada para sufi dan mistikus setelahnya baik di barat maupun di timur. Diriwayatkan bahwa dia menyusun lima ratus karya di bidang tasawuf, kebanyakan dalam bentuk manuskrip; dan dua ratus diantaranya dikemukakan Brockelman dalam karyanya Geschichte Der Arabies Cen Literature. Karyanya yang paling penting ialah al-Futuhat al-Makkiyyah, sebuah ensiklopedi tentang tasawuf.

  1. Al-Wahdat al-Wujud
Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul, yang dibawa oleh Muhyi al-Din ibn Arabi. Paham ini dikatakan sebagai perluasan dari konsepsi al-hulul karena nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan khalq (makhluk), sedang lahut menjadi al-Haqq (Tuhan).
14
 
Dalam teorinya tentang wujud, Ibn Arabi mempercayai terjadinya emanasi, yaitu Allah menampakkan segalasesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Ibn Arabi menginterpretasikan wujud segala yang ada sebagai” teofani abadi yang tetap berlangsung, dan tertampaknya Yang Maha Benar di setiap saat dalam bentuk-bentuk yang terhitung bilangannya.
Paham kesatuan wujud Ibn Arabi telah membut mustahil mengatakan hal yang mungkin sebagai kebalikan dari hal yang wajib. Yang dimaksud dengan hal yang mungkin ialah hal yang ada, baru, dan selalu berubah. Dengan demikian, menurut Ibn Arabi, terdapat dua peringkat, yaitu hal yang perlu serta hal yang tidak perlu. Dalam hal ini Ibn Arabi seiring dengan alirannya. Seandainya alam merupakan hal yang mungkin, menurutnya, maka hal ini bermakna bahwa, alam mengada pada suatu masa serta ia (alam) yang mengadakannya. Ini bertentangan dengan alirannya, yang menyatakan bahwa, dalam kenyataanya wujud adalah satu dan menjadi banyak hanya secara ilusif.
Jelasnya, menurut Ibn Arabi, realitas wujud ini hakikatnya tunggal. Sedangkan pembedaan antara dzat dan hal yang mungkin hanyalah sekedar pempedaan relative, sementara pembedaan hakiki yang dilakukan terhadap keduanya adalah akibat pembedaan yang dilakukan oleh akal-budi yang terbatas.
Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung dengan wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada, maka wujud yang selan Tuhan juga tidak ada. Dengan demikian, wujud yang lain itu tergantung pada wujud tuhan dan oleh karenanya yang memiliki wujud hakiki hanyalah Allah. Kalau demikian, nampaknya konsepsi Wahdatul Wujud ini bukanlah kesatuan subtansial atau kesatuan dzatiyah, sebab adanya yang selain Tuhan itu hanyalah bayangan belaka dari wujud mutlak, yaitu Tuhan.


15
 
 
D. Kesimpulan
Dalam bukunya, al-Muqoddimah, menyimpulkan bahwa ada empat obyek utama yang menjadi perhatian para sufi falsafi, yaitu: latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta intrupeksi diti yang timbul darinya, iluminisasi ataupun hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan, dan penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya samar-samar (syattahiyyat).
Sedangkan karakteristik dari tasawuf ini ialah; ia merupakan suatu kondisi pemahaman, ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna, dan ia merupakan suatu kondisi pasif.
Dalam ajarannya, tasawuf falsafi memuat lima macam ajaran, yairtu: al- Fana, al-Ittihad, al-Hulul, al-Wahdat as-Syuhud yang pada intinya mendapat pengaruh dari ajaran Ibn Arabi dan al- Isyrakiyah.
Dalam teori Ibn Arabi tentang al-Wahdat al-Wujud realitas wujud hakikatnya tunggal sedangkan pembeda antara dzat dan hal yang mungkin hanyalah sekedar penbedaan relative, semantara pembedaan hakiki yang dilakukan terhadap kedunya adalah akibat perbedaan yang dilakukan oleh akal- budi yang terbatas.





16
 
 
DAFTAR PUSTAKA

            Ahmadi, Abu. Perbabdingan Agama. Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991.
            Djam’annuri. Agama Kita ( Perspektif Sejarah Agama-Agama). Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2000.
            Groenen. Sejarah Dogma Kristologi. Yogyakarta : Knisius, 1992..
            Muhammad, Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta : Golden Terayon Press, 1986.
17
 
            Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2006.

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...