Penulis : Rahmad Fitriyanto
Tahun 150 H, seorang bayi lahir dari rahim seorang Muslimah
di Gazza. Entah kebetulan atau tidak, kelahirannya sarat dengan isyarat-isyarat
yang menakjubkan. Pada hari lahirnya, dua ulama besar meninggal dunia, mufti
terkenal Hijaz yaitu Imam Ibnu Juraij dan pendiri mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu
Hanifah.
Sewaktu hamil, sang ibu bermimpi melihat bintang keluar dari
perutnya, membubung tinggi ke atas, lalu pecah tercerai berai di langit
menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Dalam prediksi para ahli, hal itu
pertanda akan lahir seorang bayi yang nantinya memiliki pengetahuan yang luas.
Bayi itu tidak lain adalah Muhammad bin Idris yang kemudian lebih akrab dengan
sebutan Imam asy-Syafii. Ternyata, berpuluh-puluh tahun kemudian, Imam
asy-Syafii menjadi mujtahid muthlaq seakan menjawab takwil dari mimpi sang ibu.
Imam Asy-Syafii menyuguhkan sosok pemikiran fikih yang
segar, baru dan moderat antara fikih tradisionalis dan fikih rasionalis. Konsep
dan teori fikihnya mencoba mengambil jalan tengah antara dua kutub kecendrungan
intelektual yang berbeda: antara aliran Hadits (ahl al-Hadîts) dan aliran
rasional (ahl ar-ra’yi).
Posisi beliau sebagai penengah sekaligus pendatang baru ini
tidak membuat ide-idenya kalah pamor. Imam asy-Syafii tampil mengimbangi
perputaran mazhab pemikiran di zamannya. Imam asy-Syafii mendapatkan sorotan
tajam, diteliti, diuji, lalu mulai diminati dan bahkan akhirnya diikuti.
Pengalaman-pengalaman apa saja yang membentuk fikih
asy-Syafii? Untuk mengetahui hal ini, kita perlu menjelajahi jejak pengembaraan
intelektualnya dari jenjang terendah sampai jenjang yang lebih tinggi.
Awal Belajar
Sebelum Imam asy-Syafii muncul sebagai mujtahid besar dengan
mazhab yang baru, asy-Syafii mengumpulkan perangkat ijtihadnya melalui proses
belajar yang panjang. Fikih asy-Syafii merupakan rumusan baru dari berbagai
komposisi fikih yang beliau pelajari semasa hidupnya.
Tempat yang menjadi ‘madrasah’ pertama bagi Imam asy-Syafii
adalah kota Mekah. Beliau sudah singgah di Kota Suci itu sejak dibawa oleh sang
ibu saat masih berusia dua tahun. Dalam proses belajar yang dijalaninya, asy-Syafii
menampakkan kelebihan sebagai cikal bakal bibit unggul seorang ulama. Pada usia
9 tahun saja, beliau sudah bisa menghapal 30 juz al-Qur’an dengan lancar, dan
satu tahun berikutnya, beliau sudah mampu membaca kitab Muwattha’, salah satu
karya fenomenal Imam Malik.
Bakat dan kecerdasan asy-Syafii sangat membantunya untuk
menguasai seluk-beluk bahasa Arab dan ilmu tata bahasanya. Beliau mempelajari
bahasa Arab langsung dari sumber yang aslinya, yaitu kabilah-kabilah pedalaman
yang bahasanya masih belum tercampur oleh bahasa asing.
Pada usia 15 tahun, asy-Syafii sudah menjadi seorang mufti,
sebanding dengan para ulama sepuh di zamannya. Ulama-ulama Mekah yang berjasa
menularkan ilmunya kepada Imam asy-Syafii adalah Imam Sufyan bin Uyainah,
Muslim bin Khalid az-Zanji dan Said bin Salim al-Qaddah. Mereka merupakan
murid-murid dari ulama Tabiin yang keilmuannya sangat masyhur, di antaranya
Mujahid bin Jabr yang terkenal dengan periwayatannya tentang qaul-qaul Ibnu
Abbas mengenai tafsir al-Qur’an; ‘Atha’ bin Abi Rabah, pakar fikih Mekah yang
dikenal dengan ilmu manasik hajinya yang lengkap; dan Thawus bin Kisan yang
menjabat sebagai mufti sekaligus salah satu murid spesial Ibn Abbas. Bila
dirunut lebih jauh, fikih Mekah sejatinya berafiliasi pada dua sahabat besar,
yaitu Muadz bin Jabal dan Abdullah bin Abbas.
Setelah dari Mekah, asy-Syafii dalam usia 13 tahun berpindah
ke daerah sebelahnya, Madinah, daerah yang pernah didiami Rasulullah r selama
kurang lebih 10 tahun. Madinah merupakan salah satu gudang ilmu yang dihuni
oleh tokoh-tokoh Shahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman, Ali bin
Abi Thalib, Abbdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Aisyah.
Ilmu mereka menurun pada Tabiin, di antaranya Said bin Musayyib, Urwah bin az-Zubair
dan lain-lain. Kemudian berpindah pada kalangan Tabi’ut Tabiin seperti Ibnu
Syihab az-Zuhri, Nafi’ mantan budak Umar bin Khattab, Rabiah ar-Ra’yi, Yahya
bin Said dan Abu az-Zannad Abdullah bin Dzakwan. Hingga pada akhirnya beralih
ke Imam asy-Syafii melalui perantara Abdul Aziz ad-Darawardi, Abdullah bin
Nafi’ dan Imam Malik.
Selama di Madinah, Imam asy-Syafii berhasil merampungkan
belajar fikih Maliki sampai wafatnya sang guru, Imam Malik, pada tahun 179 H.
Imam asy-Syafii menguasai corak dan metodologi fikih ala Mazhab Maliki yang
notabenenya merupakan aliran Hadits (ahl al-Hadîts).
Mazhab Maliki menyatakan bahwa Hadits Âhâd (Hadits yang
jalur riwayatnya tidak banyak) yang sahih atau hasan harus didahulukan sebagai
dasar hukum dibanding dari qiyâs (analogi). Hanya saja, menurut Mazhab Maliki
Hadits Âhâd tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum jika berlawanan dengan
perbuatan penduduk Madinah. Karena suatu perbuatan yang diterima oleh khalayak
ramai, posisinya sama dengan riwayat yang masyhur, sehingga harus didahulukan
ketimbang riwayat yang hanya dibawa oleh satu orang saja.
Belajar lagi dan Lagi
Setelah mangkatnya imam Malik, asy-Syafii melanjutkan
pengembaraan intelektualnya ke negeri di ujung selatan Semenanjung Arab, yaitu
Yaman. Lingkungan dan kondisi Yaman-dengan corak sosial budaya lokalnya dan
kedudukan asy-Syafii yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris gubernur
plus mufti-merupakan suatu tantangan dan pengalaman baru yang menuntut lebih
aktifnya Imam asy-Syafii dalam memahami latar belakang persoalan dan mencoba
menghubungkannya dengan konsep fikih yang dimilikinya.
Kenyataan tentunya akan memberikan pengaruh yang baru bagi
pola mazhab yang dirancang oleh Imam asy-Syafii. Dan, di Yaman ini beliau juga
banyak meraup Hadits dan berbagai ilmu lainya dari para ulama Yaman seperti Abu
Ayyub Muthraf bin Mazin al-Shan’ani, Abu Abdirrahman Hisyam bin Yusuf , Amr bin
Abi Salmah (murid imam al-Auzai), dan Yahya bin Hassan (salah satu ulama
pengikut Imam al-Laits bin Sa’d. Fikih mereka berpangkal pada Shahabat Mu’adz
bin Jabal, Khalid bin Walid dan Ali bin Abi Thalib.
Ketegaran dan komitmen asy-Syafii dalam menegakkan hukum
Islam menyebabkan rasa dendam pada orang-orang yang tidak menyukainya. Oleh
karena itu, pada tahun 184 H, asy-Syafii harus berlawat ke Baghdad menemui
Khalifah Harun ar-Rasyid karena dituduh menjadi penyebar ajaran syiah. Namun,
beliau berhasil bebas dengan terhormat setelah terbukti tidak bersalah.
Kesempatan pergi ke Iraq, merupakan peluang besar untuk
memperkaya khazanah ilmu pengetahuannya. Kebetulan kondisi sosial dan
kecenderungan intelektual Iraq, terutama Baghdad, beda jauh dengan Hijaz dan
Yaman. Sebagai ibukota Dinasti Abbasiyah tentu saja Baghdad menjadi kota dengan
kemajuan peradaban yang luar biasa. Baghdad adalah pusat pertanian,
perdagangan, ilmu pengetahuan, penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya.
Hijaz (Mekah, Madinah sampai Yaman) unggul karena kekayaan
khazanah Haditsnya, sedangkan Iraq memiliki perbendaharaan Hadits yang minim.
Corak fikih di Iraq lebih banyak menggunakan pertimbangan akal dibanding fikih
Hijaz. Fikih Iraq merupakan warisan Shahabat Abdullah bin Mas’ud yang kemudian
diusung oleh Abu Hanifah, seorang mujtahid besar dan pendiri Mazhab Hanafi.
Selanjutnya, fikih tersebut diwarisi oleh Waki’ bin al-Jarrah dan Muhammad bin
al-Hasan asy-Syaibani. Kepada mereka berdualah, Imam asy-Syafii berguru fikih
di Iraq.
Setelah cukup lama malang melintang ke berbagai wilayah,
Imam asy-Syafii akhirnya kembali ke Mekah. Di sana, beliau mengajar dan aktif
menyebarkan ilmu.
Dengan pengembaraan yang luar biasa ini, Imam asy-Syafii
memiliki sekian banyak perbandingan. Dalam diri beliau terkumpul serpihan demi
serpihan gagasan, yang siap untuk dirumuskan dan diolah menjadi buah pemikiran
yang segar.
Kelahiran dan Pertumbuhan Mazhab asy-Syafii
Setelah mengantongi seabrek pemikiran fikih dari Mekah,
Madinah, Yaman dan Iraq, maka pada tahun 195 H, Imam asy-Syafii mendeklarasikan
mazhabnya yang baru. Hal ini terjadi bersamaan dengan kunjungan beliau ke
Baghdad untuk kedua kalinya. Pada momen-momen inilah pemikiran Imam asy-Syafii
memasuki tahap pengujian sebelum akhirnya diterima masyarakat luas. Dengan
intens, Imam asy-Syafii menyebarkan mazhabnya di Iraq sekitar 2 tahun, baik
lewat lisan maupun tulisan. Di Baghad beliau menulis kitab ar-Risâlah yang
kemudian menjadi pelopor lahirnya ilmu ushul fikih. Imam asy-Syafii memiliki
para pengikut (ashâb) seperti Imam Ahmad bin Hanbal, az-Za’farani, al-Karabisi
dan Abu Tsaur. Seluruh pendapat dan karya Imam asy-Syafii selama berada Baghdad
ini kemudian disebut dengan qaul qadîm (pendapat lama dari Imam asy-Syafii).
Kematangan dan Kesempurnaan Mazhab asy-Syafii
Titik awal tahap ini dimulai sejak kedatangan Imam
asy-Syafii ke Mesir pada akhir-akhir tahun 199 H sampai wafatnya tahun 204 H.
Meskipun dalam kurun waktu yang sebentar, yaitu tidak lebih dari 5 tahun dari
sisa usianya, masa-masa ini merupakan masa-masa yang menebarkan keharuman dan
keagungan Imam asy-Syafi’i. Masa-masa yang penuh dengan inovasi dan
kreasi-kreasi subur dari hasil kerja olah pikir Imam asy-Syafii. Pergumulannya
dengan para ulama dan pemikiran-pemikiran di Mesir serta pengamatannya yang
tajam terhadap kondisi sosial budaya dan kemasyarakatan yang berbeda dengan
daerah Hijaz dan Iraq, membuat Imam asy-Syafii menengok kembali
pendapat-pendapat yang pernah beliau publikasikan sewaktu berada di Baghdad
(qaul qadîm). Imam Syafii pun mengeluarkan revisi atas qaul qadîm-nya. Revisi
ini yang kemudian lebih dikenal dengan istilah qaul jadîd. Pemikiran-pemikiran
barunya dibukukan ke berbagai kitab, di antaranya kitab al-Ummu yang menjadi
salah satu kitab induk dalam mazhab asy-Syafii.
Inovasi-inovasi asy-Syafii ini membuat beberapa ulama-ulama
besar dari mazhab lain berbelok arah menjadi pengikutnya, seperti Imam
al-Muzani yang sebelumnya bermazhab Hanafi dan al-Buwaithi yang pada awalnya
menganut Mazhab Maliki.
Sampai di sini, kita tahu betapa keras perjuangan Imam
asy-Syafii dalam melakoni proses pencarian jati diri pemikirannya. Berkat
perjuangan, pengembaraan, dan kemauan yang tak kenal lelah, didukung dengan
kecerdasan yang tinggi, Allah menganugerahi Imam asy-Syafii kemampuan untuk
menjadi mujtahid. Ijtihadnya melahirkan fikih yang matang dan akomodatif,
akumulasi dari fikih Hijaz, Iraq, Yaman, dan Mesir. Inilah fikih yang
mengeksplorasi kekayaan tradisi dengan pemahaman mendalam tentang dalil-dalil
syariat.