Penulis: Rahmad Fitriyanto
Dalam
filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, antara lain progresivisme,
esensialisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme. penjelasannya sebagai berikut :
1.
Aliran Progresivisme
Aliran
progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam
sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua
tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan
(Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)
Adapun
tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John
Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.
Aliran
progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat
ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada
anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir,
guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh
karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John
Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992:
62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil
kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding
pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik
tidak cukup di sekolah saja.
Dengan
demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi
dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan
untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau
kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan
yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi
karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme
menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning
by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan
kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu
diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan
pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai
pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan
berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara
sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
2. Aliran Esensialisme
Aliran
esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme
muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan
progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk
perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme,
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan
menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang
belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia
objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang
tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila
orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi
bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi
manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
buikanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi
membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir
tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina
dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi
dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental. Dikatakan
bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia
pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam
social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh
nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan
diteruskan pada angkatan berikutnya.
3.
Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan
sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat
ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah,
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang
jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut
perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan
ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan
berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan
pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang
akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu
diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan
anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan
pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada
masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat
menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi,
matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak
memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman dulu.
Tugas
utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kea rah kematangan. Matang
dalam arti hiodup akalnya. Jadi, akl inilah yang perlu mendapat tuntunan kea
rah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan
serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan
berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan
yang lain.
Sekolah,
sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah
kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru
adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik.
Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat tergantung
kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Rekonstruksionisme
Kata
Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme
merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut
Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran
rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual
yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan
nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga
terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di
samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan
suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan
dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang
sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan,
sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran
serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.