Penulis: Rahmad Fitriyanto
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang
tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula.
Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang
sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme
juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu
pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada
dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada
apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati
oleh subjek
tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut
idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang
apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan
diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman
emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai
tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus
dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme,
pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia
besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai-
nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Perenialisme
berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang
ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang
telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia
dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah
persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai
indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa
pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
Adapun
norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta
kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
serta cinta kerjasama.Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang
lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang
berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi
terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme
yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum
perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali
nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak
menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih
bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam
perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis,
bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada
kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN
Perenialisme
berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa
“reality is universal that is every where and at every moment the same “
(2:299) “ realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja
dan sama di setiap waktu.� Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita
akan sampai pada pengertian – pengerian hakikat. Ontologi perenialisme
berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
• Benda individual
adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap
oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
• Esensi dari
sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik
intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah
berpikir
• Aksiden adalah
keadaan khusus yang dapat berubah – ubah dan sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang – barang antic
• Substansi adalah
suatu kesatuan dari tiap –tiap hal individu dari yang khas dan yang
universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato,
perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.
• Kausa materialis
yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula
untuk roti
• Kausa formalis
yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat,
gepeng, dll
• Kausa efisien
yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa
– tergesa,dll
• Kausa finalis
adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah
patung.
PANDANGAN
MENGENAI NILAI
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual,
sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia
merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan.
Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang
merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus
berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang
intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan
kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan
intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual
didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika
digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber
kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis
filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus
berakar pada dasar – dasar teologis, ketuhanan.
PANDANGAN MENGENAI
PENGETAHUAN
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan
dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan)
dengan benda – benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal – hal yang
adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh karena itu, menurut perenialisme
perlu adanya dalil – dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah
atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip – prinsip itu dapat
dirinci menjadi :
• Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya
apabila si Bopeng adalah benar – benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si
Panut.
• Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis),
yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung
sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni
benar atau salah.
• Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak
ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti
pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti
pernyataan yang berikutnya tidak benar.
• Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya
mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti
dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan
dengan filsafat.
• Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya
ialah pengetahuan yang disebut sebagai “empiriological analysis� yakni
analisa atas individual things dan peristiwa – peristiwa pada tingkat
pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa
dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan
metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan
data tertentu yang bersifat khusus.
• Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah “ilmu�
metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological
analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya
probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological
analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan
hukum – hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa
kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap
diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap
perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri
dan ditentukan oleh hukum –hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung
kepada ilmu pengetahuan.
Progresivisme
Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan
bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi
dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya
manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini
menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang
meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Hal ini karena progrevisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif,
dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan
dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu
mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk
menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau
kebudayaan dan pendidikan, progrevisme mengutamakan tinjauan ke depan dari pada
masa lalu (Barnadib, 1996:62).
Untuk menjelaskan pandangan progravisme, misalkan kita ambil contoh dari
antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat,
mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan
persdaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.
Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan
kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif
untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk
meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19).
Kebenaran menurut pandangan progrevisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat
membawa kepada kemajuan atau progress. Sefhubungan dengan ini ide-ide,
teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada
dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah
haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan
ilmu.
Untuk itulah progrevisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan
yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah
hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa
segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada
situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau Barnadib, 1996:31).
Esensialisme
Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan
progrevisme, kalau progrevisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu
mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan
berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat
karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya
pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu
(Barnadib, 1996:38).
Di samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya
keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai
pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan
norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan
pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.
Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang
diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan,
artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena
ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut
teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai
kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan
prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari
produk dan prestasi itu).
Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya
sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek
atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide.
Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang
merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta
gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya
adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161).
Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagi bentuk dan manifestasinya yang
senantiasa berkembang an berubah, merupakan refleksi dari kebudayaan
mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Perenialisme
Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk
mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang
lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah
tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan
filsafat pendidikan (Barnadib, 1996:59).
Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa,
perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada
dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah
yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan
liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme
bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya
sebagaimana telah diletakkkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.
Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan
nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa
nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad
ini (Barnadib, 1996:59).
Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang
dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada
kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir
dan benda-benda (Barnadib, 1996:67). Maksudnya adalah hal-hal yang adanya
bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian
mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah
memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang
dirumuskan.
Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan
berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada
masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menadnakan pembaharuan dan
pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63).
Perkembangan ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti
bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai
berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada
kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu
dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini
menciptakan budaay hegemoni sebagai ideologi.
George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple
tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu
tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat
bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3)
kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan
mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat . Sehingga menurut Apple
ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat
diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.
Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang
terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan
mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.
No comments:
Post a Comment