Idealisme,
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan
menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada
taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk
memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan
Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui
indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih
dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah
mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada
pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang
terarah bukanlah budi kepada
benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai
jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina
dan menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan
tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan
rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja
yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu
adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh
nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan
di teruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan
realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi
terbatas:
1. Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang
tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama
membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat
tercipta suasana hidup yang harmonis.
2. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai
belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini
berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan
akan pengawas yang diperlukan.
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal
pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya
mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal,
yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan
dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas
ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan
sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat
terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain,
kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup
manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata
surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat
yang diperluas.
2. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar
kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .
3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat,
kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual
sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan
kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun
secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas
tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk
ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah
dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich
menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi .
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan
teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang
paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam,
yang sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling
kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan
bersifat harmonis.
No comments:
Post a Comment