Penulis: Rahmad Fitriyanto
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Fase remaja merupakan segmen perkembangan
individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik
(seksual) sehingga mampu berproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja
merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke
arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan
perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Menurut Hurlock (1981) remaja adalah
mereka yang berada pada usia
12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan
usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003)
usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang
diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama,
tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga
dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Menurut Erickson masa remaja adalah masa
terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini
dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas
diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium,
foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003,
Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang
sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan
masalah pada diri remaja.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan moral remaja?
2. Bagaimana kegiatan keagamaan remaja ?
3. Apa saja permasalahan di masa remaja ?
4. Bagaimana solusi dalam mendorong aktifitas
keagamaan remaja ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan
Moral Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos”
(Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata
cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral
itu, seperti:
1. Seruan untuk
berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2. Larangan
mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila
tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung
tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai
remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian
mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus
dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu
anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral
yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi
sebagai pedoman bagi perilakunya.Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus
mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang
tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang
harus dilakukan oleh remaja yaitu:
1). Pandangan
moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2). Keyakinan
moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3). Penilaian
moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis
kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil
keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4). Penilaian
moral menjadi kurang egosentris.
5). Penilaian
moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa
remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut
tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu
mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan
mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat
memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil
banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral
ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa
remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri
dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan
dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan
standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara
keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan
ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri
sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa
hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas
pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1). Mengganti
konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2). Merumuskan
konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3). Melakukan
pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral adalah salah satu topic
tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia.
Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang
dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak
etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang
dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral (moral development)
berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus
dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika
dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi
yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar
memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah
laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
B.Kegiatan Keagamaan Remaja
Agama, seperti yang kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan,
sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar
pemujaan.Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang
menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan
jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat
mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.Dari sudut
pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang
bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan
orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada
masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka,
namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang
pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang
tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard
dan Boll, 1943).
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama
pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams &
Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat
seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah
laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada
didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang
tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak
misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir
simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa
remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang
Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama
ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal
anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada
masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka
mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama
selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962)
tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang
teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman
agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, di
mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis.
Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak
dan remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan
bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang
kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat
pertimbangan tentang agama.Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa
remaja ini hanya merupakan ciri-ciri pokoknya saja.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja
dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan
mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja
yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk
menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan
menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama
antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti
pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat
ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran
moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan
perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami
perkembangan.
Para ahli
umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis
besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga
tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun
penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1). Masa awal
remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a) Sikap
negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya
yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura)
yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b) Pandangan
dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar
berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
c) Penghayatan
rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan
melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan
kepatuhan.
2). Masa remaja
akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
a) Sikap
kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b) Pandangan
dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan
dipilihnya.
c) Penghayatan
rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja
ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia
penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat
berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya
diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
C.Permasalahan yang di hadapi di
masa remaja
Menurut Erickson masa remaja adalah
masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan
Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status
identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium,
foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003,
Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang
sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan
masalah pada diri remaja.
Gunarsa
(1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai
permasalahan pada diri remaja, yaitu:
- Kecanggungan
dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
- Ketidakstabilan
emosi.
- Adanya
perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
- Adanya
sikap menentang dan menantang orang tua.
- Pertentangan
di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang
dengan orang tua.
- Kegelisahan
karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi
semuanya.
- Senang
bereksperimentasi.
- Senang
bereksplorasi.
- Mempunyai
banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
Kecenderungan membentuk kelompok dan
kecenderungan kegiatan berkelompok. Beberapa konflik yang biasa terjadi antara
remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti
jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik
seperti ini jarang menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan
obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja.
Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara
orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang
terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja.
Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun
pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami
degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada
dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan
moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan
nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan
ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi
bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.
Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang
dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah
sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal
perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan
perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari
serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
D. Cara Untuk mendorong kepada kegiatan keagamaan remaja
Banyak cara untuk mendorong kepada pendidikan Agama remaja
anatara lain:
1.
Lingkungan keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertema bagi
anak yang mempunyai pengaruh yang sanagat tinggi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak atau generasi muda.yang harus dilakukan bagi para orang tua
adalah :
a.Keseimbangan antara ke majuan teknologi dan perkembangan serta
perubahan sosial yang cepatdan luas dengan kesiapan keluarga dalam mendidik
anak.
b.Kewibawaan orang tua harus di hargai oleh anak
c.Harus adanya pengertian antara anak dan
orang tua dalam hubungan sehari-hari.
d.Mendidik anak ke arah keagamaan seperti
pengajian,kegiatan remaja masjid.
2. Lingkungan
Sekolah
Pendidikan
di sekolah juga sangat berpengaruh terhadap pendidikan agama seorang remej
yaitu dengan adanya pendidikan yang benar dan selaras dapat membuat remaja
menjahui perbuatan- perbuatan yang kurang selaras di didirinya.Di sekolah
banyak penyaluaran hobi-hobi bahkan bakat yang di punyai seorang remaja
sehingga dengan bakat yang ia miliki dapat memberikan energi positif bagi
dirinya dan tak lupa juga seorang guiru harus tetap mengarahkan dan membimbing
dalam pewrjalanan remaja.
3.
Lingkuanagn
masyarakat
Masyarakat memeilki pengaruh yang sangat
tinggi dalam pembentukan kepribadian remaja.Masyarakat yang Baik akan
memberikan pengaruh yang baik juga bagi para remaja sehingga dapat memberikan
energi positif bagi remaja,misalnya daerah yang mempunyai masyarakat yang
agamis akan mempengaruhi remaja yaitu dalam setiap kegiatan akan memberikan
pengerahan agama maupundalam pengarahan sosisal.
BAB III
PENUTUP
Seseorang
remaja dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompoknya.
Fase remaja merupakan segmen perkembangan
individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik
(seksual) sehingga mampu berproduksi. Oleh karena itu perlu pengarahan rasa
keagamaan seorang remeja sehingga mampu mengarahkan dan mendidik kepada pengetahuan
yang benar dan tidak tersesat dalam kelenaan di masa remaja.
Daftar pustaka
Samsul
arifin bambang,Psikologi agama,CV. Pustaka Setia,Bandung,2008
Fatimah
Enung,Psikolgi perkembangan,CV.Pustaka Setia,Bandung,2006
Syamsu Yusuf, 2004, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
No comments:
Post a Comment