Penulis: Rahmad Fitriyanto
Muhammad Iqbal adalah sosok besar dalam khazanah
kebudayaan Islam. Pemikirannya dikemasnya dalam bentuk puisi, dan itu
membuatnya abadi. Muhammad Iqbal, lahir 9 November 1877. Dia adalah seorang
filsuf, pemikir, cendekiawan, ahli perundangan, reformis, politikus, dan yang
terutama: penyair. Dia berjuang untuk kemahuan umat Islam dan menjadi “bapa
spiritual” Pakistan.
Iqbal adalah saksi dari zamannya yang saat itu sedang dalam titik terendah
kesuraman. Negerinya, sebagaimana negeri Islam lainnya saat itu, sedang dalam
keadaan terjajah, miskin, bodoh, dan terbelakang. Dan Iqbal, dengan kecerdasan
intelektual, emosional,dan spiritual yang dianugerahi Tuhan, bergerak dan
melesat, khususnya dalam hal penulisan dan pemikiran, bahkan tenaga dan waktu.
Dia menulis dan terus menulis, dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggeris.
Dia berkelana ke Eropah, bergaul dengan banyak pemikir dan intelektual, untuk bekal perjuangannya.
Dia berkelana ke Eropah, bergaul dengan banyak pemikir dan intelektual, untuk bekal perjuangannya.
Iqbal berjuang di All-India Muslim Leage di awal 1930an.
Bersama Muhammad Ali Jinnah, dia merumuskan konsep Negara bagi Muslim India,
dan tak pernah melihat berdirinya Pakistan tahun 1947 kerana sudah wafat pada
1938. Iqbal juga dijuluki Muffakir-e-Pakistan
(Pemikir dari Pakistan) dan Shair-i-Mashriq
(Penyair dari Timur), dan hari lahirnya dirayakan sebagai hari cuti umum dan
dinamai �Iqbal Day� di Pakistan.
Iqbal lahir di Sialkot. Ayahnya, Shaikh Nur Muhammad
adalah seorang penjahit yang taat beragama, dan mendalami tasawuf. Ibunya, Imam
Bibi, pun seorang muslimah yang taat.
Iqbal menyelesaikan sekolah rendahnya di Sialkot. Bakatnya
sebagai seorang penyair dimulai di sini, dan mulai dirasakan gurunya, Syed Mir
Hasan. Iqbal pun lulus Scotch Mission School pada 1892 dan melanjutkan ke
jurusan Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) dan lulus ujian
pada 1895. Setelah itu, ia melanjutkan ke Governtment College, Lahore dan
mendapatkan gelaran Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa
Arab, dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899. Iqbal turut
menerima pingat emas kerana menjadi satu-satunya calon yang sukses di bidang
filsafat. Setelah itu, Iqbal mendalami bahasa Arab di Oriental College, Lahore,
sebelum menjadi penolong profesor mata pelajaran Filsafat dan Sastera Inggris
di Government College, Lahore, pada 1903.
Saat mendapatkan gelaran Master inilah, Iqbal bertemu
dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan yang pakar filsafat moden, yang
kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat, dan mempengaruhinya untuk
melanjutkan pendidikan di Eropah.
Pada 1905, Iqbal pergi ke Inggeris untuk belajar di
Trinity College, Cambridge University, dan juga belajar ilmu hukum di Lincoln
Inn. Dia meraih gelar Bachelor of Arts dari Cambridge University tahun 1907,
dan meraih gelaran Ph.D. di bidang filsafat dari Fakulti Filsafat di
Ludwig-Maximilians University di Munich di tahun yang sama. Gelaran doktoralnya
ini diraihnya dengan disertasi The
Development of Metaphysics in Persian dengan bimbingan Prof Dr Friedrich
Hommel.
Saat di Eropah inilah, Iqbal mulai menulis puisi dalam
bahasa Parsi, kerana boleh dimengerti lebih banyak orang, seperti di Iran dan
Afghanistan. Dan, saat di Inggeris, untuk pertama kalinya, Iqbal terjun ke
politik. Tahun 1908, ia terpilih menjadi ahli jawatankuasa eksekutif The Muslim
League cawangan Inggeris. Bersama Syed Hassan Bilgrami dan Syed Amir Ali, dia
ikut membuat konsep perlembagaan Muslim League.
Iqbal memang sedang ingin berjuang untuk martabat bangsa
dan umatnya. Saat itu, bangsa Muslim berada dalam kemunduran dan penjajahan
Barat. Iqbal merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib bangsa dan umatnya itu,
salah satunya dengan pembaharuan pemikiran Islam agar kontekstual dengan jiwa
zaman saat itu. “Sesungguhnya sudah masanya bagi kita saat ini untuk memelihara
asas-asas Islam,” serunya. Dengarlah semangatnya:
Bangunlah, hai Muslim, hembuskan hidup yang
baru Pada segenap jiwa yang hidup Bangkitlah dan nyalakan semangat Orang yang
bernyawa Bangkitlah dan letakkan kakimu di jalan lain
Pada
1908, Iqbal pulang, dan sejak itu dia meniti karier di bidang akademik,
perundangan, dan, yang paling didalaminya: puisi. Dia bekerja sebagai penolong
profesor di Government College, Lahore, yang kemudian dilepaskannya pada 1909
kerana niatnya untuk memberi tumpuan penuh sebagai peguam. Tapi, dalam
perjalanannya, Iqbal tidak dapat memberikan fokus sebagai seorang peguam,
tetapi membahagi waktunya untuk perundangan dan perkembangan intelektual serta
spiritualnya.
Tahun 1911, Iqbal membacakan pusinya Shikvah (Keluhan) pada pertemuan tahunan dari organisasi Anjuman
Himayat-e-Islam, Lahore. Dan, pada 1913 puisinya Javab-e-Shikyah (Jawaban dari Keluhan) dibacakan di Mochi Gate,
Lahore.
Asrar-i-Khudi
(Rahsia Diri) terbit pada 1915. Inilah antologi puisi pertama Iqbal, dan
ditulis dalam bahasa Parsi. Bukan sekadar puisi, tapi terkandung filsafat
agama. Isinya berisi tentang pentingnya Ego.
Bagi Iqbal, jawapan atas pertanyaan-pertanyaan esensial berkenaan dengan Ego sangatlah penting untuk persoalan
moral, baik untuk individual ataupun masyarakat.
Rumuz-i-Bekhudi
(Rahsia Kedirian), dibuat dalam bahasa Parsi tahun 1918. Tema utamanya berisi
tentang masyarakat ideal, etika dan prinsip sosial dalam Islam, dan hubungan
antara individu dan masyarakat. Di sini, Iqbal juga menjelaskan aspek-aspek
penting dari agama lain. Iqbal melihat bahawa individu dan masyarakatnya
sebenarnya saling mencerminkan satu dengan lainnya. Individu harus menjadi jiwa
yang kuat sebelum bersatu dengan masyarakatnya. Dan, dengan berinteraksi dengan
anggota masyarakat lainnya, Ego
belajar menerima batas-batasan kebebasannya dan makna cinta.
Pada 1919, dia terpilih sebagai Setiausaha Agung Anjuman
Himayat-e-Islam. Dan tahun 1923, sebagai penyair terkenal, Iqbal menerima gelar
bangsawan dari Kerajaan Hindia-Belanda kerana antologi puisi Asrar-i-Khudi.
Pada 1931, Mohammad Ali (Jauhar) wafat, dan Muhammad Ali
Jinnah hijrah ke London untuk memimpin organisasi di sana, maka secara
automatik Iqbal memimpin umatnya, setidaknya sampai kepulangan Ali Jinnah pada
1935. Tak berlama-lama, pada 1931 dan 1932, Iqbal mengadakan diskusi dalam
bentuk Persidangan Meja Bulat di Inggeris untuk membincangkan nasib India.
Bahkan, pada 1930, Iqbal sebenarnya sudah memperkenalkan
konsep sebuah negara Muslim yang terpisah dari India, yang menjadi asas kepada
pembentukan Pakistan. Tepatnya, pada 29 Disember 1930, pada sebuah acara
All-India Muslim League, di Allahabad. Hal serupa, khususnya soal nasionalisme
Muslim di India, dipertegas lagi saat pertemuan tahunan pada 21 Mac 1932.
Selama di Inggeris itu, Iqbal merenung dan menulis. Javid Nama adalah salah satu karyanya
yang terkenal yang dibuat tahun 1932, dan dianggap sebagai Divine Comedia dari Timur. Iqbal terpengaruh Ibnu Arabi, Marri, dan
Dante. Iqbal, dipandu oleh Rumi sang guru, berjalan menembus langit menuju Sang
Maha Tinggi. Ada berbagai permasalahan hidup yang dibahas, dan dijawab. Pada
karya ini, si “aku” melakukan perjalanan ke langit, melewati langit demi langit
sampai ke tangga tertinggi. Pada masing-masing langit, Iqbal menempatkan
sejumlah tokoh (Barat dan Timur) yang menpengaruhi pemikirannya, mereka
“ditempatkan” sesuai pencapaian pemikirannya dalam ehwal manusia bereksistensi
penuh.
Tokoh-tokoh itu tak sekadar dihadirkan dan ditempatkan,
melainkan juga dikritik dan dipelajari tingkat “kesalahannya” dalam menempuh
jalan kemanusiaan. Nietzsche, misalnya, sebagai manusia Barat yang hanya sampai
pada “penolakan”, namun disayangkan tak sempat mengenyam “penemuan”. Nietzsche
hanya menyatakan kematian Tuhan, tanpa merumuskan gagasan baru mengenai Tuhan.
Terakhir, dia berbicara untuk kaum muda dan semacam membimbing generasi baru.
Semaklah puisinya:
Apakah kau sekadar debu?
Kencangkan simpul pribadimu
Pegang selalu wujudmu yang alit
Betapa keagungan memulas pribadi seseorang
Dan menguji cahayanya di kehadiran suria
Lalu pahatkan kembali rangka lama
kepunyaanmu
Dan bangunlah wujud yang baru Wujud yang bukan semu
Atau pribadimu cuma lingkaran asap
Dia
juga bertemu dengan filsuf Perancis, Henri Louis Bergson dan diktator Itali,
Benito Mussolini. Dan, kedatangannya ke Sepanyol membuatnya menulis tiga puisi
indah, yang terkumpul dalam Bal-i-Jibril
(Sayap Jibril) terbitan 1935.
The Reconstruction
of Religious Thought in Islam adalah karya bukan-fiksinya yang ketiga
setelah Ilm Al-Iqtisad (Ilmu Ekonomi,
1903) dan disertasinya. Buku kumpulan ceramahnya dari Madras, Hyderabad, dan
Aligargh ini adalah Magnum Opus-nya
di bidang filsafat dan menjadi pegangan bagi pemikir Islam hingga saat ini.
Isinya adalah “Pengetahuan dan Pengalaman Keagamaan”, “Konsep Tuhan dan Makna
Doa”, “Manusia-Ego”, “Pradestinasi dan Kehendak Bebas”, “Semangat Kebudayaan
Muslim”, dan “Prinsip Gerakan dalam Islam (Ijtihad)”. Iqbal meracik pengetahuan
Islam tradisional dengan filsafat Barat dengan gaya dan fikirannya sendiri,
tanpa terpengaruh oleh bangsa Barat.
Sekembalinya dari perjalanan ke Afghanistan tahun 1933,
kesihatan Iqbal menurun, namun pemikiran keagamaan dan politiknya makin
cemerlang, dan popularitinya berada dalam puncaknya. Salah satunya adalah idea
mendirikan Idara Dar-ul-Islam, sebuah institusi tempat pendidikan khusus Ilmu
Sosial Mutakhir dan Islam Klasik. Tampaknya, Iqbal ingin sekali menjadi
jambatan bagi filsafat dan pengetahuan popular dengan ajaran Islam.
Iqbal berhenti dari pengamal perundangan pada tahun 1934,
kerana kesihatannya menurun. Dan, akhirnya Iqbal wafat pada 21 April 1938 di
Lahore�yang kemudian menjadi bahagian dari Pakistan. Sesaat sebelum wafatnya,
sang penyair besar itu menggoreskan sajak:
Bila beta telah pergi meninggalkan dunia
ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta Tapi sebenarnya tak seorang
pun kenal kelana ini, Apa yang ia katakan Siapa yang ia ajak bicara Dan
darimana ia datang.
Namanya
diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International
Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai
seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi. Kerana, Iqbal
begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya
filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam
perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur
kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan.
Dan, yang patut dicatat, Iqbal anti dengan konsep “Seni untuk seni”.
Rabindranath Tagore, setelah mendengar kematiannya,
berkata bahawa kematian Iqbal menimbulkan keekosongan dalam kesusasteraan, yang
seperti luka parah dan memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. “India yang
tempatnya di dunia begitu sempit, boleh menanggung derita akibat hilangnya
seorang penyair yang sajak-sajaknya mengandung imbauan universal”, ujarnya.
Seorang kritikus sastera ternama, A.K. Brohi mengulas:
“Jika mahkota burung merak menjadi sebab bagi kebanggaan Iran, Kooh-I-noor bermakna kejayaan dan
martabat bagi mahkota Inggeris, maka Iqbal, kalau perlu, menjadi penghias dari
halaman puitis setiap negeri.”
Sementara ideolog Ali Shari’ati menyatakan bahawa:
“Nasihat terbesar Iqbal kepada kemanusiaan adalah: Mempunyai hati seperti Isa,
fikiran seperti Sokrates, dan tangan seperti tangan Caesar, tapi semuanya
berada dalam satu diri manusia, dalam satu makhluk kemanusiaan, berdasarkan
satu semangat, untuk mencapai tujuan. Itulah, menjadi seperti Iqbal.
No comments:
Post a Comment