Tuesday, April 19, 2016

ISLAM DAN KEBAHAGIAAN




Oleh : Rahmad Fitriyanto



BAB I
PENDAHULUAN
            Kebahagiaan terkait dengan proses kehidupan. Kehidupan terkait dengan keselamatan, kedamaian, ketenteraman. Wajar kalau setiap orang ingin hidupnya bahagia dunia-akhirat. Kalaupun di dunia tak bahagia dan menderita menurut ukuran manusia, maka orang masih berharap untuk bisa bahagia di negeri akhirat. Alangkah malangnya seseorang yang hidupnya di dunia merana, tetapi kemudian tidak memperoleh kebahagiaan apa-apa di kampung akhirat. Dan seandainya yang mati hidup kembali, maka tentu ia akan mencari bekal sebanyak-banyaknya buat kampung akhiratnya. Bahagia apabila seseorang meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, yang tenang jiwanya, yang datang kehadirat Tuhan dengan keadaan ridho dan diridhoi (QS. Al Fajr: 27-28 ).

            Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.




BAB II
PEMBAHASAN
A.       Subyektifitas Bahagia
     Apa bahagia itu? Dalam konteks kebahagiaan duniawi, tentu saja punya imbas ke kebahagiaan nir-duniawi. Ada yang mengatakan bahwa bahagia itu merupakan suatu perasaan yang membuncah, pasrah dan lega dan disertai syukur yang amat, atas peristiwa bermakna yang dialaminya. Jadi, bahagia adalah perasaan subyektif manusia, yang merupakan kebalikan dari perasaan menderita (sedih, takut, cemas). Tetapi perasaan bahagia lebih ajaib ketimbang menderita, karena bisa jadi kebahagiaan hadir justru di tengah kemenderitaan materi.
     Kebahagiaan itu misterius. Ada orang kaya raya, serba-kecukupan, tapi merasa tak bahagia. Ada orang yang miskin serba-kekurangan, tapi merasa cukup bahagia. Bahagia memang subyektif sifatnya. Bahagia tak dapat diukur dari materi, meskipun materi dapat menjadi penunjang kebahagiaan. Kebahagiaan itu ajaib, di mana kadang-kadang hadir di tengah “kemenderitaan”.
     Martin E.P. Seligman dalam bukunya Authentic Happines (Mizan, 2005) memandang kebahagiaan dari perspektif psikologi positif. Jika psikologi patogenis memusatkan perhatian pada penderitaan, maka psikologi positif justru menampilkan sifat-sifat indah manusia. Manusia tidak dipandang sebagai makhluk rakus, homo avarus, yang mementingkan diri sendiri, tetapi lebih merupakan yang mampu hidup normal, mencintai dan dicintai. Psikologi positif mempunyai tiga pilar utama: pengkajian terhadap emosi, sifat dan institusi positif. Psikologi positif menawarkan jalan keluar, ketika Anda terperangkap di pojok kehidupan dengan hanya sedikit kesenangan sesaat, kepuasan minimal dan kehampaan makna, menyusuri pedesaan kegembiraan dan kesyukuran, menuju kekuatan. [1]
     Kata kunci dari kebahagiaan yang ditawarkan oleh Seligman adalah perasaan dan watak positif. Perasaan, catat Seligman, adalah kejadian sementara yang tidak selalu merupakan sifat dari kepribadian. Sementara watak adalah karakteristik positif dan negatif yang terus muncul dalam berbagai situasi dan keadaan. Watak adalah perangai yang melekat untuk selamanya. Perasaan positif yang otentik tumbuh dari kebajikan. Bahagia terkait dengan pemahaman atas tujuan dan hakikat kehidupan. Bahagia terkait dengan kehidupan yang bermakna. Gagal memahami kehidupan, berarti gagal untuk menjadi bahagia. Kegagalan memahami kehidupan antara lain disebabkan oleh kegagalan mengembangkan perasaan dan watak positif. Negativitas menguras energi positif, sebab yang mengemuka adalah destruktivitas, bukan konstruksivitas. Negativitas hanya membuat kita berputus asa. Ketika asa atau harapan sudah tak ada, maka hilang pulalah kebahagiaan. Putus harapan berarti putus asa.[2]
     Cara pandang yang positif, sebagaimana ditawarkan Seligman, paralel dengan merupakan wacana yang diajarkan oleh Islam. Setiap Idul Fitri para pengkhotbah mengingatkan hakikat kefitrahan manusia. Bahwa pada hakikatnya, manusia cenderung pada segenap dimensi kebaikan yang dimilikinya. Islam memandang manusia dan mengarahkannya ke sisi-sisi positif. Energi kefitrahan manusia menggerakkan roda-roda kebahagiaan yang sejati, dan bukan artifisial. Bersyukur, harapan dan optimisme, merupakan hal-hal positif yang harus dipegang dan dikembangkan. Dengan berpikir, bersikap dan bertindak positif, maka ia akan menjadi energi yang terakumulasi, sebuah energi positf, energi kebahagiaan. Menebarkan energi positif adalah bagian dari ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat seluruh alam.
B.       Konsep Kebahagiaan Dalam Islam
     Dalam Islam “kebahagiaan” bukan konsep yang berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan konsep tauhid. Bahagia adalah perasaan yang membebaskan manusia untuk tidak menyembah siapa pun, kecuali Allah SWT (La ilaaha ila llah). Sikap pasrah total pada Tuhan (ber-Islam), menjadi bagian integral dari kebahagiaan itu sendiri. Hakikatnya manusia itu bukan apa-apa, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada hanya pinjaman dari-Nya.
     Dan Tuhan tidak tidur setelah menciptakan alam semesta dengan kepastian-kepastian hukum alamnya. Tuhan selalu hadir di tengah-tengah kita. Jauh dan dekatnya Tuhan, tergantung dari bagaimana upaya manusia untuk senantiasa menghadirkan-Nya setiap saat, dalam hidupnya.
     Manusia memang makhluk yang dikarunai Allah SWT berkehendak. Manusia, khalifatullah fil ardh itu, punya pilihan untuk berbuat baik atau berbuat jahat, dan mencampuradukkan keduanya. Manusia bisa menentang kehendak Allah SWT, di mana kehendak Allah SWT tersebut terjelaskan di dalam kitab sucinya. Agama menghadirkan nilai-nilai yang semestinya ditaati oleh manusia. Yang paling berbahaya apabila, prinsip tauhid diingkari, Tuhan disekutukan, baik sengaja atau tidak. Tuhan adalah ultimate goal, pusat dari segala tujuan hidup manusia. Hidup kita menuju Tuhan. Oleh sebab itu, setiap upaya untuk menjauh dari Tuhan, maka ia akan hancur.
     Dalam Islam eksistensi seorang rasul tidak dapat diabaikan. Rasul adalah penyampai pesan (risalah). Rasul yang terakhir adalah Muhammad SAW, yang tanpanya, kita tidak akan menjumpai ajaran Islam sebagaimana kita pelajari dan praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila bersyukur tidak saja dipandang sebagai sebuah kewajiban, tetapi lebih dari itu merupakan ekspresi cinta-kasih, maka bershalawat dan salamlah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ekspresi kebahagiaan yang paling manusiawi adalah, apabila ia mampu beryukur kepada sang Maha Pencipta, dan berterimakasih pada Rasul-Nya.
     Islam menyatakan bahwa "kesejahteraan" dan "kebahagiaan" itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula suatu keadaan hayali insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu, yakni: keyakinan akan hak Allah Ta'ala, dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahakuasa amat penting, karena keberadaan manusia bukan dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.[3]
     Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah", telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan : "Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya maka rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dan tubuh manusia”.
     Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan seorang pejabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden. Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah. Ma'rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
     Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain Allah", dan bersaksi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam."
     Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan civitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah, berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.
     Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam keimanan dan keyakinan yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridho dengan keputusan-Nya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya. Berdasarkan kepercayaan tersebut tiap-tiap individu mayakini bahwa tujuan hidup kebahagiaan yang sempurna tidak terdapat di dunia ini, tetapi di akhirat.[4]
C.       Kebahagiaan Hidup Menurut Islam
            Kebahagiaan hidup dalam pandangan Islam tidak berkutat pada sisi materi. Walaupun Islam mengakui kalau materi menjadi bagian dari unsur kebahagiaan. Islam pada dasarnya memandang masalah materi sebagai sarana bukan tujuan. Oleh karenanya, Islam memberikan perhatian sangat besar pada unsur ma'nawi seperti memiliki budi pekerti yang luhur sebagai cara mendapatkan kebahagiaan hidup.
Kebahagiaan dunia
Islam telah menetapkan beberapa hukum dan beberapa kriteria yang mengarahkan manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia. Hanya saja Islam menekankan bahwa kehidupan dunia, tidak lain, hanyalah jalan menuju akhirat. Sedangkan kehidupan yang sebenarnya yang harus dia upayakan adalah kehidupan akhirat.
Kebahagiaan akhirat
Kebahagiaan akhirat merupakan kebahagiaan abadi yang kekal. Menjadi balasan atas keshalihan hamba selama hidup di dunia. Islam telah menetapkan tugas manusia di bumi sebagai khalifah di dalamnya. Bertugas memakmurkan bumi dan merealisasikan kebutuhan manusia yang ada di sana. Hanya saja dalam pelaksanaannya senantiasa ada kesulitan, sehingga menuntutnya bersungguh-sungguh dan bersabar. Hidup tidak hanya kemudahan sebagaimana yang diinginkan dan diangankan orang. Bahkan dia selalu berganti dari mudah ke sulit, dari sehat ke sakit, dari miskin ke kaya, atau sebaliknya. Kehidupan di surga abadi sifatnya, kebahagiaan yang diperoleh seseorang merupakan kelanjutan tanpa kesudahan, kegembiraan tanpa kesedihan, pengetahuan tanpa kejahilan, dan kecukupan yang sudah tidak diperlukan apa-apa untuk mencapai kepuasan yang sempurna.[5]
D.      Cara Meraih Kebahagiaan
1.    Beriman dan beramal shalih
Meraih kebahagiaan melalui iman ditinjau dari beberapa segi:
a.  Orang yang beriman kepada Allah Yang Mahatinggi dan Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dengan iman yang sempurna, bersih dari kotoran dosa, maka dia akan merasakan ketenangan hati dan ketentraman jiwa. Dia tidak akan galau dan bosan dengan kehidupannya, bahkan akan ridla terhadap takdir Allah pada dirinya, pastinya dia akan bersyukur terhadap kebaikan dan bersabar atas bala'. Ketundukan seorang mukmin kepada Allah membimbing ruhaninya yang menjadi pondasi awal untuk lebih giat bekerja karena merasa hidupnya memiliki makna dan tujuan yang berusaha diwujudkannya.
b.  Iman menjadikan seseorang memiliki pijakan hidup yang mendorongnya untuk diwujudkan. Maka hidupnya akan memiliki nilai yang tinggi dan berharga yang mendorongnya untuk beramal dan berjihad di jalan-Nya. Dengan itu pula, dia akan meninggalkan gaya hidup egoistis yang sempit sehingga hidupnya bermanfaat untuk masyarakat di mana dia tinggal. Ketika seseorang bersifat egois maka hari-harinya terasa sempit dan tujuan hidupnya terbatas. Namun ketika hidupnya dengan memikirkan fungsinya, maka hidup nampak panjang dan indah, dia akan merasakan hari-harinya penuh nilai.[6]
c.  Peran iman bukan saja untuk mendapatkan kebahagiaan, namun juga sebagai sarana untuk menghilangkan kesengsaraan. Hal itu karena seorang mukmin tahu dia akan senantiasa diuji dalam hidupnya. Dan ujian-ujian itu termasuk untuk menguji keimanan, maka akan tumbuh dalam dirinya kekuatan sabar, semangat, percaya kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, memohon perlindungan kepada-Nya, dan takut kepada-Nya. Potensi-potensi ini termasuk sarana utama untuk merealisasikan tujuan hidup yang mulia dan siap menghadapi ujian hidup.
2.    Memiliki akhlak mulia yang mendorong untuk berbuat baik kepada sesama
Manusia adalah makhluk sosial yang harus melakukan interaksi dengan makhluk sebangsanya. Dia tidak mungkin hidup sendiri tanpa memerlukan orang lain dalam memenuhi seluruh kebutuhannya. Jika bersosialisasi dengan mereka merupakan satu keharusan, sedangkan manusia memiliki tabiat dan pemikiran yang bermacam-macam, maka pasti akan terjadi kesalahpahaman dan kesalahan yang membuatnya sedih. Jika tidak disikapi dengan sikap bijak maka interaksinya dengan manusia akan menjadi sebab kesengsaraan dan membawa kesedihan dan kesusahan. Karena itulah, Islam memberikan perhatian besar terhadap akhlak dan pembinaannya.
3.    Memperbanyak dzikir dan merasa selalu disertai Allah
Sesungguhnya keridlaan hamba tergantung pada dzat tempat bergantung. Dan Allah Dzat yang paling membuat hati hamba tentram dan dada menjadi lapang dengan mengingat-Nya. Karena kepada-Nya seorang mukmin meminta bantuan untuk mendapatkan kebutuhan dan menghindarkan dari mara bahaya. Karena itulah, syariat mengajarkan beberapa dzikir yang mengikat antara seorang mukmin dengan Allah Ta'ala sesuai tempat dan waktu, yaitu ketika ada sesuatu yang diharapkan atau ada sesuatu yang menghawatirkannya.
4.    Menjaga kesehatan
Kesehatan di sini mencakup semua sisi; badan, jiwa, akal, dan ruhani. Menjaga kesehatan badan merupakan fitrah manusia, karena berkaitan dengan kelangsungan hidup dan juga menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan materi seperti makan, minum, pakaian, dan kendaraan.
Islam sangat menghargai kehidupan manusia. Karenanya Islam melarang membunuh tanpa ada sebab yang dibenarkan syari'at sebagaimana Islam melarang setiap yang bisa membahayakan badan dan kesehatannya.
- Kesehatan jiwa: banyak orang yang tidak memperhatikan kesehatan jiwa dan tidak memperdulikan cara untuk menjaganya, padahal dia pilar pokok untuk meraih kebahagiaan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan pendidikan jiwa dan menyucikannya dengan sifat-sifat mulia.
Kesehatan jiwa tegak dengan iman lalu dihiasi dengan akhlak terpuji dan disterilkan dari akhlak buruk seperti marah, sombong, berbangga diri, bakhil, tamak, iri, dengki, dan akhlak buruk lainnya.
- Kesehatan akal: Akal adalah sebab utama manusia mendapat taklif (beban syari'at). Karenanya Allah memerintahkan untuk menjaganya dan mengharamkan sesuatu yang membahayakan dan merusaknya. Sebab utama yang menghilangkan kesadaran akal adalah hal-hal yang memabukkan dan yang diharamkan.
- Kesehatan ruhani: Syari'at sangat memperhatikan sarana-sarana yang bisa menjaga kesehatan ruhani. Makanya seorang mukmin diperintahkan untuk dzikrullah setiap saat sebagaimana mewajibkan, batas minimal, untuk memenuhi nutrisi ruhani seperti perintah shalat wajib, puasa, zakat, haji dan medan yang lebih luas lagi dalam bentuk amal sunnah dan segala amal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah-ibadah ini mengikat seorang hamba dengan Rabb-Nya dan mengembalikannya kepada Sang Pencipta ketika tersibukkan oleh dunia.
kan orang beriman untuk memanfaatkan waktu untuk kebaikan dan amal shalih.[7]

BAB III
PENUTUP
            Sesungguhnya ketenangan hati dan kesenangannya serta hilangnya rasa gundah dan resah merupakan keinginan setiap orang. Karena dengan demikian akan tercapai kehidupan yang tenteram, bahagia dan sejahtera. Bahagia juga diartikan, tatkala kita kembali ke jalan yang lurus. Manusia adakalanya khilaf, tidak sengaja berbuat dosan, tetapi juga mungkin banyak sengaja berbuat dosa. Manusia yang tenggelam dalam dosa ialah manusia yang berada dalam “kegelapan”. Proses pertaubatan lah yang kemudian menjadi manusia bergerak dari wilayah “kegelapan”, menuju cahaya. Sebagaimana disebut dalam Al Qur’an Syrat Al Baqarah:257, proses pertaubatan itu disebut minadzdzulumaati Ilaan nuur, orang-orang beriman yang dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya-Nya. Tuhan adalah cahaya maha cahaya (QS. An Nur:35).
            Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia, hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridho, menerima keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan sholat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Mustofa, Ahmad. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia
Ø  http:// psikologi-modern-islam-dan-kebahagiaan.org/index.meraih-hidup-bahagia-cara-efektif


[1] http:// psikologi-modern-islam-dan-kebahagiaan.org
[2] Drs. H. Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hlm.170
[3] Drs. H. Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hlm.175
[4] Drs. H. Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hlm. 176
[5] Drs. H. Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hlm. 180
[6] http:// psikologi-modern-islam-dan-kebahagiaan.org/index.meraih-hidup-bahagia-cara-efektif
[7] http:// psikologi-modern-islam-dan-kebahagiaan.org/index.meraih-hidup-bahagia-cara-efektif

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...