Oleh : Rahmad
Fitriyanto
BAB I
PENDAHULUAN
Kebahagiaan terkait dengan proses kehidupan. Kehidupan terkait dengan
keselamatan, kedamaian, ketenteraman. Wajar kalau setiap orang ingin hidupnya
bahagia dunia-akhirat. Kalaupun di dunia tak bahagia dan menderita menurut
ukuran manusia, maka orang masih berharap untuk bisa bahagia di negeri akhirat.
Alangkah malangnya seseorang yang hidupnya di dunia merana, tetapi kemudian
tidak memperoleh kebahagiaan apa-apa di kampung akhirat. Dan seandainya yang
mati hidup kembali, maka tentu ia akan mencari bekal sebanyak-banyaknya buat
kampung akhiratnya. Bahagia apabila seseorang meninggal dalam keadaan khusnul
khotimah, yang tenang jiwanya, yang datang kehadirat Tuhan dengan keadaan ridho
dan diridhoi (QS. Al Fajr: 27-28 ).
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah yang senantiasa
dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram,
damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras
untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu
terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada
kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab menurutnya kekuasaan
identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan
seseorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka bahagia terletak pada
kesehatan. Orang miskin menyangka bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat
jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Subyektifitas Bahagia
Apa bahagia itu? Dalam konteks kebahagiaan duniawi, tentu saja punya imbas ke
kebahagiaan nir-duniawi. Ada yang mengatakan bahwa bahagia itu merupakan suatu
perasaan yang membuncah, pasrah dan lega dan disertai syukur yang amat, atas
peristiwa bermakna yang dialaminya. Jadi, bahagia adalah perasaan subyektif
manusia, yang merupakan kebalikan dari perasaan menderita (sedih, takut, cemas).
Tetapi perasaan bahagia lebih ajaib ketimbang menderita, karena bisa jadi
kebahagiaan hadir justru di tengah kemenderitaan materi.
Kebahagiaan itu misterius. Ada orang kaya raya, serba-kecukupan, tapi merasa
tak bahagia. Ada orang yang miskin serba-kekurangan, tapi merasa cukup bahagia.
Bahagia memang subyektif sifatnya. Bahagia tak dapat diukur dari materi,
meskipun materi dapat menjadi penunjang kebahagiaan. Kebahagiaan itu ajaib, di
mana kadang-kadang hadir di tengah “kemenderitaan”.
Martin E.P. Seligman dalam bukunya Authentic Happines (Mizan, 2005) memandang
kebahagiaan dari perspektif psikologi positif. Jika psikologi patogenis
memusatkan perhatian pada penderitaan, maka psikologi positif justru
menampilkan sifat-sifat indah manusia. Manusia tidak dipandang sebagai makhluk
rakus, homo avarus, yang mementingkan diri sendiri, tetapi lebih merupakan yang
mampu hidup normal, mencintai dan dicintai. Psikologi positif mempunyai tiga
pilar utama: pengkajian terhadap emosi, sifat dan institusi positif. Psikologi
positif menawarkan jalan keluar, ketika Anda terperangkap di pojok kehidupan
dengan hanya sedikit kesenangan sesaat, kepuasan minimal dan kehampaan makna,
menyusuri pedesaan kegembiraan dan kesyukuran, menuju kekuatan. [1]
Kata kunci dari kebahagiaan yang ditawarkan oleh Seligman adalah perasaan dan
watak positif. Perasaan, catat Seligman, adalah kejadian sementara yang tidak
selalu merupakan sifat dari kepribadian. Sementara watak adalah karakteristik
positif dan negatif yang terus muncul dalam berbagai situasi dan keadaan. Watak
adalah perangai yang melekat untuk selamanya. Perasaan positif yang otentik
tumbuh dari kebajikan. Bahagia terkait dengan pemahaman atas tujuan dan hakikat
kehidupan. Bahagia terkait dengan kehidupan yang bermakna. Gagal memahami
kehidupan, berarti gagal untuk menjadi bahagia. Kegagalan memahami kehidupan
antara lain disebabkan oleh kegagalan mengembangkan perasaan dan watak positif.
Negativitas menguras energi positif, sebab yang mengemuka adalah
destruktivitas, bukan konstruksivitas. Negativitas hanya membuat kita berputus
asa. Ketika asa atau harapan sudah tak ada, maka hilang pulalah kebahagiaan.
Putus harapan berarti putus asa.[2]
Cara pandang yang positif, sebagaimana ditawarkan Seligman, paralel dengan
merupakan wacana yang diajarkan oleh Islam. Setiap Idul Fitri para pengkhotbah
mengingatkan hakikat kefitrahan manusia. Bahwa pada hakikatnya, manusia
cenderung pada segenap dimensi kebaikan yang dimilikinya. Islam memandang
manusia dan mengarahkannya ke sisi-sisi positif. Energi kefitrahan manusia menggerakkan
roda-roda kebahagiaan yang sejati, dan bukan artifisial. Bersyukur, harapan dan
optimisme, merupakan hal-hal positif yang harus dipegang dan dikembangkan.
Dengan berpikir, bersikap dan bertindak positif, maka ia akan menjadi energi
yang terakumulasi, sebuah energi positf, energi kebahagiaan. Menebarkan energi
positif adalah bagian dari ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat
seluruh alam.
B.
Konsep Kebahagiaan Dalam Islam
Dalam Islam “kebahagiaan” bukan konsep yang berdiri sendiri. Ia terkait erat
dengan konsep tauhid. Bahagia adalah perasaan yang membebaskan manusia untuk
tidak menyembah siapa pun, kecuali Allah SWT (La ilaaha ila llah). Sikap pasrah
total pada Tuhan (ber-Islam), menjadi bagian integral dari kebahagiaan itu
sendiri. Hakikatnya manusia itu bukan apa-apa, bukan siapa-siapa dan tidak
memiliki apa-apa. Semua yang ada hanya pinjaman dari-Nya.
Dan Tuhan tidak tidur setelah menciptakan alam semesta dengan
kepastian-kepastian hukum alamnya. Tuhan selalu hadir di tengah-tengah kita.
Jauh dan dekatnya Tuhan, tergantung dari bagaimana upaya manusia untuk
senantiasa menghadirkan-Nya setiap saat, dalam hidupnya.
Manusia memang makhluk yang dikarunai Allah SWT berkehendak. Manusia,
khalifatullah fil ardh itu, punya pilihan untuk berbuat baik atau berbuat
jahat, dan mencampuradukkan keduanya. Manusia bisa menentang kehendak Allah
SWT, di mana kehendak Allah SWT tersebut terjelaskan di dalam kitab sucinya. Agama
menghadirkan nilai-nilai yang semestinya ditaati oleh manusia. Yang paling
berbahaya apabila, prinsip tauhid diingkari, Tuhan disekutukan, baik sengaja
atau tidak. Tuhan adalah ultimate goal, pusat dari segala tujuan hidup manusia.
Hidup kita menuju Tuhan. Oleh sebab itu, setiap upaya untuk menjauh dari Tuhan,
maka ia akan hancur.
Dalam Islam eksistensi seorang rasul tidak dapat diabaikan. Rasul adalah
penyampai pesan (risalah). Rasul yang terakhir adalah Muhammad SAW, yang
tanpanya, kita tidak akan menjumpai ajaran Islam sebagaimana kita pelajari dan
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila bersyukur tidak saja dipandang
sebagai sebuah kewajiban, tetapi lebih dari itu merupakan ekspresi cinta-kasih,
maka bershalawat dan salamlah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ekspresi
kebahagiaan yang paling manusiawi adalah, apabila ia mampu beryukur kepada sang
Maha Pencipta, dan berterimakasih pada Rasul-Nya.
Islam menyatakan bahwa "kesejahteraan" dan "kebahagiaan"
itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri
hayawani sifat basyari; dan bukan pula suatu keadaan hayali insan yang hanya
dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu
merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang
dicari-cari itu, yakni: keyakinan akan hak Allah Ta'ala, dan penuaian amalan
yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah
batinnya. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahakuasa amat penting, karena
keberadaan manusia bukan dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Jadi,
kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan
berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.[3]
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil
mencapai ma'rifatullah", telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali
menyatakan : "Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan
nikmat, kesenangan dan kelezatannya maka rasa itu ialah menurut perasaan
masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan
telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dan
tubuh manusia”.
Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak
lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan sangat gembira kalau dia
dapat berkenalan dengan seorang pejabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu
naik berlipat ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya
raja atau presiden. Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari
segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia,
sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu
tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah. Ma'rifatullah
adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan.
bahwa tiada Tuhan selain Allah (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat
meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan
mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan
memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri.
Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah,
berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw.
Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang
berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain
Allah", dan bersaksi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah
SWT adalah Islam."
Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan.
Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu
mengantarkan civitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki
dan abadi. Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan
akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu
program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam
Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah, berapa banyak
yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah
pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal
Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam
keimanan dan keyakinan yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam
kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridho dengan
keputusan-Nya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan
Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya. Berdasarkan kepercayaan tersebut
tiap-tiap individu mayakini bahwa tujuan hidup kebahagiaan yang sempurna tidak
terdapat di dunia ini, tetapi di akhirat.[4]
C.
Kebahagiaan Hidup Menurut Islam
Kebahagiaan hidup dalam pandangan Islam tidak berkutat pada sisi materi.
Walaupun Islam mengakui kalau materi menjadi bagian dari unsur kebahagiaan.
Islam pada dasarnya memandang masalah materi sebagai sarana bukan tujuan. Oleh
karenanya, Islam memberikan perhatian sangat besar pada unsur ma'nawi seperti
memiliki budi pekerti yang luhur sebagai cara mendapatkan kebahagiaan hidup.
Kebahagiaan dunia
Islam telah menetapkan beberapa hukum dan beberapa kriteria
yang mengarahkan manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia. Hanya
saja Islam menekankan bahwa kehidupan dunia, tidak lain, hanyalah jalan menuju
akhirat. Sedangkan kehidupan yang sebenarnya yang harus dia upayakan adalah
kehidupan akhirat.
Kebahagiaan akhirat
Kebahagiaan akhirat merupakan kebahagiaan abadi yang kekal.
Menjadi balasan atas keshalihan hamba selama hidup di dunia. Islam telah
menetapkan tugas manusia di bumi sebagai khalifah di dalamnya. Bertugas
memakmurkan bumi dan merealisasikan kebutuhan manusia yang ada di sana. Hanya
saja dalam pelaksanaannya senantiasa ada kesulitan, sehingga menuntutnya
bersungguh-sungguh dan bersabar. Hidup tidak hanya kemudahan sebagaimana yang
diinginkan dan diangankan orang. Bahkan dia selalu berganti dari mudah ke
sulit, dari sehat ke sakit, dari miskin ke kaya, atau sebaliknya. Kehidupan di
surga abadi sifatnya, kebahagiaan yang diperoleh seseorang merupakan kelanjutan
tanpa kesudahan, kegembiraan tanpa kesedihan, pengetahuan tanpa kejahilan, dan
kecukupan yang sudah tidak diperlukan apa-apa untuk mencapai kepuasan yang
sempurna.[5]
D.
Cara Meraih Kebahagiaan
1.
Beriman dan beramal shalih
Meraih kebahagiaan melalui iman ditinjau dari beberapa segi:
a.
Orang yang beriman kepada Allah Yang
Mahatinggi dan Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dengan iman yang sempurna,
bersih dari kotoran dosa, maka dia akan merasakan ketenangan hati dan
ketentraman jiwa. Dia tidak akan galau dan bosan dengan kehidupannya, bahkan
akan ridla terhadap takdir Allah pada dirinya, pastinya dia akan bersyukur
terhadap kebaikan dan bersabar atas bala'. Ketundukan seorang mukmin kepada
Allah membimbing ruhaninya yang menjadi pondasi awal untuk lebih giat bekerja
karena merasa hidupnya memiliki makna dan tujuan yang berusaha diwujudkannya.
b.
Iman menjadikan seseorang memiliki
pijakan hidup yang mendorongnya untuk diwujudkan. Maka hidupnya akan memiliki
nilai yang tinggi dan berharga yang mendorongnya untuk beramal dan berjihad di
jalan-Nya. Dengan itu pula, dia akan meninggalkan gaya hidup egoistis yang
sempit sehingga hidupnya bermanfaat untuk masyarakat di mana dia tinggal.
Ketika seseorang bersifat egois maka hari-harinya terasa sempit dan tujuan
hidupnya terbatas. Namun ketika hidupnya dengan memikirkan fungsinya, maka
hidup nampak panjang dan indah, dia akan merasakan hari-harinya penuh nilai.[6]
c.
Peran iman bukan saja untuk
mendapatkan kebahagiaan, namun juga sebagai sarana untuk menghilangkan
kesengsaraan. Hal itu karena seorang mukmin tahu dia akan senantiasa diuji
dalam hidupnya. Dan ujian-ujian itu termasuk untuk menguji keimanan, maka akan
tumbuh dalam dirinya kekuatan sabar, semangat, percaya kepada Allah,
bertawakkal kepada-Nya, memohon perlindungan kepada-Nya, dan takut kepada-Nya.
Potensi-potensi ini termasuk sarana utama untuk merealisasikan tujuan hidup
yang mulia dan siap menghadapi ujian hidup.
2.
Memiliki akhlak mulia yang mendorong
untuk berbuat baik kepada sesama
Manusia adalah makhluk sosial yang harus melakukan interaksi
dengan makhluk sebangsanya. Dia tidak mungkin hidup sendiri tanpa memerlukan
orang lain dalam memenuhi seluruh kebutuhannya. Jika bersosialisasi dengan
mereka merupakan satu keharusan, sedangkan manusia memiliki tabiat dan
pemikiran yang bermacam-macam, maka pasti akan terjadi kesalahpahaman dan
kesalahan yang membuatnya sedih. Jika tidak disikapi dengan sikap bijak maka
interaksinya dengan manusia akan menjadi sebab kesengsaraan dan membawa
kesedihan dan kesusahan. Karena itulah, Islam memberikan perhatian besar
terhadap akhlak dan pembinaannya.
3.
Memperbanyak dzikir dan merasa
selalu disertai Allah
Sesungguhnya keridlaan hamba tergantung pada dzat tempat
bergantung. Dan Allah Dzat yang paling membuat hati hamba tentram dan dada
menjadi lapang dengan mengingat-Nya. Karena kepada-Nya seorang mukmin meminta
bantuan untuk mendapatkan kebutuhan dan menghindarkan dari mara bahaya. Karena
itulah, syariat mengajarkan beberapa dzikir yang mengikat antara seorang mukmin
dengan Allah Ta'ala sesuai tempat dan waktu, yaitu ketika ada sesuatu yang
diharapkan atau ada sesuatu yang menghawatirkannya.
4.
Menjaga kesehatan
Kesehatan di sini mencakup semua sisi; badan, jiwa, akal,
dan ruhani. Menjaga kesehatan badan merupakan fitrah manusia, karena berkaitan
dengan kelangsungan hidup dan juga menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan
materi seperti makan, minum, pakaian, dan kendaraan.
Islam sangat menghargai kehidupan manusia. Karenanya Islam
melarang membunuh tanpa ada sebab yang dibenarkan syari'at sebagaimana Islam
melarang setiap yang bisa membahayakan badan dan kesehatannya.
- Kesehatan jiwa: banyak orang yang tidak memperhatikan
kesehatan jiwa dan tidak memperdulikan cara untuk menjaganya, padahal dia pilar
pokok untuk meraih kebahagiaan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan pendidikan
jiwa dan menyucikannya dengan sifat-sifat mulia.
Kesehatan jiwa tegak dengan iman lalu dihiasi dengan akhlak
terpuji dan disterilkan dari akhlak buruk seperti marah, sombong, berbangga
diri, bakhil, tamak, iri, dengki, dan akhlak buruk lainnya.
- Kesehatan akal: Akal adalah sebab utama manusia mendapat
taklif (beban syari'at). Karenanya Allah memerintahkan untuk menjaganya dan
mengharamkan sesuatu yang membahayakan dan merusaknya. Sebab utama yang
menghilangkan kesadaran akal adalah hal-hal yang memabukkan dan yang
diharamkan.
- Kesehatan ruhani: Syari'at sangat memperhatikan
sarana-sarana yang bisa menjaga kesehatan ruhani. Makanya seorang mukmin
diperintahkan untuk dzikrullah setiap saat sebagaimana mewajibkan, batas
minimal, untuk memenuhi nutrisi ruhani seperti perintah shalat wajib, puasa,
zakat, haji dan medan yang lebih luas lagi dalam bentuk amal sunnah dan segala
amal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah-ibadah ini mengikat seorang
hamba dengan Rabb-Nya dan mengembalikannya kepada Sang Pencipta ketika
tersibukkan oleh dunia.
kan orang beriman untuk
memanfaatkan waktu untuk kebaikan dan amal shalih.[7]
BAB III
PENUTUP
Sesungguhnya ketenangan hati dan kesenangannya serta hilangnya rasa gundah dan
resah merupakan keinginan setiap orang. Karena dengan demikian akan tercapai
kehidupan yang tenteram, bahagia dan sejahtera. Bahagia juga diartikan, tatkala
kita kembali ke jalan yang lurus. Manusia adakalanya khilaf, tidak sengaja
berbuat dosan, tetapi juga mungkin banyak sengaja berbuat dosa. Manusia yang
tenggelam dalam dosa ialah manusia yang berada dalam “kegelapan”. Proses
pertaubatan lah yang kemudian menjadi manusia bergerak dari wilayah
“kegelapan”, menuju cahaya. Sebagaimana disebut dalam Al Qur’an Syrat Al
Baqarah:257, proses pertaubatan itu disebut minadzdzulumaati Ilaan nuur,
orang-orang beriman yang dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya-Nya. Tuhan
adalah cahaya maha cahaya (QS. An Nur:35).
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia, hidup dalam
keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridho, menerima
keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita
mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan sholat, kita bahagia
menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain,
dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ø Mustofa,
Ahmad. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia
Ø http://
psikologi-modern-islam-dan-kebahagiaan.org/index.meraih-hidup-bahagia-cara-efektif
No comments:
Post a Comment