Saturday, April 16, 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN MANUSIA; MENURUT AL-QUR’AN DAN ALKITAB

Oleh : Rahmad Fitriyanto

Catatan sejarah yang menyatakan perkembangan penyebaran manusia dan peradaban melalui anak keturunan nabi Nuh jelas merupakan hal berbau alkitabiah. Alkitab memang menyatakan ‘keberpihakannya’ terhadap banjir besar di jaman nabi Nuh yang menghancurkan seluruh kehidupan di dunia (kecuali orang-orang yang ada diatas kapal) , setelah banjir selesai anak keturunan nabi Nuh menyebar keseluruh penjuru dunia berkembang menjadi manusia dan peradaban yang ada saat ini (Kejadian 10). Bahkan alkitab juga menyampaikan banjir tersebut bukan hanya melenyapkan seluruh umat manusia namun juga binatang, makanya bahtera nabi Nuh diisi oleh segala macam binatang, mulai dari gajah sampai cacing. Ketika banjir selesai, segala binatang yang ikut jadi penumpang tersebut menyebar ke seluruh dunia dan berkembang biak (Kejadian 8:17). Sejarah perkembangan manusia dari terciptanya manusia pertama, Adam dan Hawa berkembang secara linier dan tidak menyebar, hanya berkembang kepada kaum nabi Nuh. Ketika alkitab menceritakan Adam dan hawa diusir dari taman Eden yang berlokasi di sekitar Babilonia, Tuhan mengusir mereka kearah timur (Kejadian 3:24) lalu Adam dan Hawa beranak-pinak, disebut juga waktu itu anak-anak mereka sudah punyai profesi; Habel menjadi pengembala dan Kain jadi petani (Kejadian 4:2). Setelah Kain
membunuh Habel (Kejadian 4:8) umat manusia berkembang melalui keturunan Kain (Kejadian 4:17-24) sampai kepada Tubal-kain dan Laama, namun alkitab tidak mencantumkan berapa lama rentang waktu antara Kain kepada Tubal-Kain dan Lamaa. Sampai disini perkembangan manusia lewat jalur Kain tidak diteruskan. Disisi lain, lewat jalur Adam dan Hawa manusia berkembang secara linier sampai kepada nabi Nuh dalam rentang waktu 1271 tahun (Kejadian 5). Dari kedua jalur tersebut ada 1 nama yang sama yaitu Enokh, tidak dijelaskan apakah itu merupakan orang yang sama atau tidak, kalaupun orangnya sama, maka jalur keturunan Adam dan Kain ‘bertemu untuk kembali berpisah’ lewat Enokh..
Ketika Tuhan akan menimpakan banjir besar terhadap manusia, alasan yang dikemukakan adalah karena Tuhan menyesal telah menciptakan manusia mengingat kejahatan yang dilakukan manusia ketika itu, dan akan menghapus mereka semua (Kejadian 6:5-7) , kecuali nabi Nuh (Kejadian 6:8). Setelah semuanya musnah, Tuhan lalu ‘berfirman dalam hati’ untuk tidak lagi mengutuk manusia dan akan menjaga bumi (Kejadian 8:21-22). Alkitab secara jelas menyatakan penyebaran umat manusia dimulai dari anak keturunan nabi Nuh (Kejadian 9:19, 10:32). Disini muncul pertanyaan : bagaimana nasibnya dengan anak keturunan Kain..?? apakah mereka menyebar juga ke seluruh dunia..?? apakah mereka ikut musnah dalam banjir besar..??. Pernyataan alkitab soal banjir besar yang meluluh-lantakkan semua makhluk di bumi dalam pernyataan yang jelas tentang manusia yang berkembang melalui anak-anak nabi Nuh memberikan kesan bahwa semua anak keturunan dari Kain ikut musnah dalam banjir besar.
Namun kita tidak bisa mengabaikan fakta tentang adanya temuan arkeologis, bahwa ternyata diluar kisah banjir nabi Nuh tersebut pada kurun waktu yang sama, ditemukan adanya peradaban lain yang masih berjalan. Peradaban Mesir dan Mesopotamia sudah dimulai sejak jaman Neolotikum (8000 – 7000 SM) dan masih terus berlanjut sampai pada masa setelah banjir besar (thn 4000 SM). Orientalis Morris Buckey berdasarkan data dan temuan arkeologis modern juga menyatakan ada peradaban-peradaban di berbagai belahan dunia yang nyatanya tetap eksis hingga generasi-generasi berikutnya. Sezaman dengan banjir nabi Nuh, sejarah Mesir kuno tengah menapak fase pertengahan pertama sebelum dinasti kesebelas, sementara Babilonia dikuasai oleh dinasti Ur II. Peradaban kuno tetap lestari dan tidak mengalami keterputusan sejarah ataupun binasa total seperti yang dikatakan kitab Kejadian tersebut.
Di Indonesia sendiri juga ditemukan artefak peralatan pertanian dan berburu pada jaman yang sama, jauh sebelum anak keturunan nabi Nuh melalui rumpun bangsa Mongol beremigrasi ke wilayah Nusantara. Sekalipun saya tidak setuju dengan perkembangan manusia menurut teori evolusi Darwin, namun fakta-fakta tersebut tidak bisa kita abaikan hanya karena ingin menegakkan teori yang sangat dipengaruhi alkitab tersebut.
Sekarang kita bertanya, bagaimana Al-Qur’an memberikan ‘sinyal-sinyal’ berupa informasi tentang perkembangan peradaban umat manusia ini..?? Al-Qur’an juga memuat cerita tentang banjir besar nabi Nuh, namun tidak menyatakan keberpihakannya kepada banjir yang memusnahkan seluruh peradaban, bahkan memusnahkan seluruh binatang-binatang. Kisah nabi Nuh disinggung Al-Qur’an dalam 11 rangkaian ayat, yaitu QS [7:59-64], QS [10:71-74], QS [11:25-48], QS [23:23-30], QS [25:37], QS [26:105-122], QS [29:14-15], QS [37:78-82], QS [54 :11-16], QS [69:11], QS [71 :5-28]. Al-Qur’an juga menggambarkan bahwa banjir yang terjadi berskala besar sehingga dikatakan tingginya sampai ke gunung :
wahiya tajrii bihim fii mawjin kaaljibaali
[11:42] Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung.
qaala saaawii ilaa jabalin ya’shimunii mina almaa-i
[11:43] Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”
walaqad arsalnaa nuuhan ilaa qawmihi falabitsa fiihim alfa sanatin illaa khamsiina ‘aaman fa-akhadzahumu alththhuufaanu wahum zhaalimuuna
[29:14] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
Sekarang mari kita simak pengertian kata ‘jabaal’ dalam Al-Qur’an. Kata ’jabaal’ (bentuk tunggal) atau ‘jibaal’ (bentuk jamak), kata ini terulang 41 kali dalam Al-Qur’an, 39 kali berarti gunung dalam bentuk tunggal atau jamak, 2 kali disebut dengan arti ‘sekelompok orang banyak’ karena banyaknya seolah-olah bentuknya ‘menggunung’. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kata ‘jabaal’ tidak memberikan batasan berapa tinggi gunungnya, beda dengan bahasa Indonesia, kita biasanya membedakan antara gunung dengan bukit yang tingginya lebih rendah. Anda bisa menyebut ‘Jabal Everest’ ataupun ‘Jabal Sentul’. Jadi ketika Al-Qur’an mengibaratkan banjir tersebut ‘kaaljibaali’ – laksana gunung, tidak disebutkan berapa tinggi banjirnya, bisa setinggi gunung Everest, bisa juga setinggi bukit Sentul. Demikian pula ketika anak nabi Nuh menyatakan akan menyelamatkan diri ke gunung, tidak dijelaskan juga apakah ke gunung Himalaya atau ke gunung Uhud. Demikian pula QS 29:14 disebut ‘banjir besar’, padahal dalam bahasa aslinya ‘alththhuufaanu’ – angin topan/badai.
Jadi semua penggambaran Al-Qur’an soal banjir besar dijaman Nuh, tidak mengarah kepada banjir yang menenggelamkan seluruh dunia. Al-Qur’an menyerahkan semuanya kepada temuan ilmu pengetahuan dan arkheologi…
Dan soal binatang yang naik ke bahtera, terdapat pada 2 kelompok ayat :
hattaa idzaa jaa-a amrunaa wafaara alttannuuru qulnaa ihmil fiihaa min kullin zawjayni itsnayni wa-ahlaka illaa man sabaqa ‘alayhi alqawlu waman aamana wamaa aamana ma’ahu illaa qaliilun
[11:40] Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.” Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.
fa-awhaynaa ilayhi ani ishna’i alfulka bi-a’yuninaa wawahyinaa fa-idzaa jaa-a amrunaa wafaara alttannuuru fausluk fiihaa min kullin zawjayni itsnayni wa-ahlaka
[23:27] Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu,
‘min kullin zawjayni’ artinya ‘dari masing-masingnya sepasang’, namun terjemahan Al-Qur’an 11:40 kembali melakukan interpolasi ayat menjadi ‘masing-masing binatang sepasang’. Quraish Shihab terlihat membenarkan soal binatang ini, sebaliknya Sayyid Qutb, mengatakan bahwa menafsirkan kata ‘sepasang’ sebagai binatang adalah berbau Israilliyat, namun beliau tidak memberikan alternatifnya dan menganggap sebagai hal yang ghaib (Tafsir Fizhilalil Qur’an jilid 6). Temuan arkeologis menyatakan tidak ada pergerakan penyebaran binatang mulai dari gajah sampai tikus berasal dari satu tempat, maka hal ini juga tidak bisa kita abaikan untuk membenarkan penafsiran yang dipengaruhi alkitab (Kejadian 8:17) tersebut.
Al-Qur’an juga tidak menjelaskan soal adanya penyebaran manusia dan peradaban setelah banjir besar tersebut, ayat yang ‘dekat’ dengan hal tersebut berbunyi :
waja’alnaa dzurriyyatahu humu albaaqiina
[37:77] Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.
Ketika pikiran kita sudah dimasuki cerita alkitab soal nabi Nuh (Kejadian 10), maka ayat tersebut akan mengarahkan pikiran kita bahwa umat manusia memang tersebar bermula dari anak keturunan nabi Nuh, Sebenarnya ayat tersebut adalah ayat yang bersifat netral, karena kalau kita merujuk kepada ayat Al-Qur’an yang lain :
laqad arsalnaa nuuhan ilaa qawmihi
[7:59] Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya..
alam ya/tihim nabau alladziina min qablihim qawmi nuuhin wa’aadin watsamuuda waqawmi ibraahiima wa-ash-haabi madyana waalmu/tafikaati
[9:70] Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah?
Ayat ini menjelaskan kesejajaran kaum nabi Nuh dengan kaum lainnya, sehingga QS [37:77] bisa juga diartikan maksud ‘melanjutkan keturunan’ adalah dalam lingkup kaum nabi Nuh sendiri, bukan menyatakan penyebarannya keseluruh penjuru dunia. Namun sekali lagi Al-Qur’an ‘bersikap netral’ dalam hal ini.
Sangat menarik memang, ketika Al-Qur’an menyebut suatu nama bukit tempat kapal nabi Nuh terdampar, ini kemungkinan sebagai ‘hint’ untuk penelitian yang akan dilakukan manusia setelah itu.
waqiila yaa ardhu ibla’ii maa-aki wayaa samaau aqli’ii waghiidha almaau waqudhiya al-amru waistawat ‘alaa aljuudiyyi waqiila bu’dan lilqawmi alzhzhaalimiina
[11:44] Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim .”
Dimana lokasi bukit Judi, banyak perbedaan pendapat, baik dari para ulama maupun temuan arkheologi. Ada pendapat yang menunjukkan suatu gunung di wilayah Kurdi, atau tepatnya dibagian selatan Armenia, ada pendapat lain dari Wyatt Archeological Research, bukit tersebut terletak di wilayah Turkistan Iklim Butan, timur laut pulau yang oleh orang-orang Arab disebut sebagai Jazirah Ibnu Umar (Tafsir al-Mishbah). Sedangkan alkitab menyebutnya terdampar di gunung Ararat, ini diduga berada di Turki. Namun temuan arkeologis tidak mengarah kepada banjir yang menenggelamkan seluruh dunia, apakah puncak Himalaya ikut tenggelam..?? apakah banjirnya sampai ke Jawa ketika itu..?? yang ada justru temuan arkeologi bahwa peradaban di Mesir dan Babilonia pada masa yang sama masih tetap berjalan dan tidak musnah atau terputus.
Kunci untuk mengetahui penyebaran peradaban ini sebenarnya ada pada sumber-sumber yang menjelaskan sejarah pada kurun waktu dari nabi Adam sebagai manusia pertama kepada nabi Nuh. Beberapa pendapat menyatakan bahwa jangka waktu antara nabi Adam dengan nabi Nuh sangatlah panjang melingkupi rentang ratusan ribu bahkan jutaan tahun, sehingga ketika jaman banjir besar nabi Nuh, umat manusia sudah tersebar keseluruh penjuru dunia, menjadi kelompok-kelompok primitif, lalu beradaptasi dengan alam lingkungannya. Ketika banjir besar nabi Nuh selesai dan anak keturunannya menyebar ke seluruh dunia. Namun sekali lagi, ini bukanlah kesimpulan yang diambil dari Al-Qur’an, kebenaran teori ini mungkin akan bisa diungkapkan kemudian setelah makin banyaknya ditemukan artefak dan peninggal kuno yang akan membenarkan, ataupun mementahkannya.
Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan soal kurun waktu ini. Kisah nabi Nuh dan beberapa ‘sinyal’ sejarahnya merupakan kisah yang pertama dari umat manusia yang diceritakan Al-Qur’an secara lengkap. Memang terdapat 7 kelompok ayat yang menceritakan tentang kisah nabi Adam, QS [2:30-38, QS [7:11-30], QS[15:28-43], QS[17:61- 65], QS [18:50], QS[20:115-123], QS[38:71-85], namun sangat sedikit informasi tentang bagaimana kehidupan nabi Adam setelah diturunkan kedunia. Pengisahan tentang Adam dalam Al-Qur’an terfokus kepada : (1) pembangkangan Iblis dan ikrarnya untuk menjerumuskan manusia serta (2) informasi tentang penciptaan nabi Adam. Terdapat juga ayat lain tentang kehidupan manusia sebelum nabi Nuh, yaitu kisah tentang anak-anak nabi Adam QS[5:27-31] namun itupun tidak menginformasikan tentang lokasi ataupun penggambaran lingkungan, tidak seperti pengisahan nabi Nuh dan nabi-nabi lainnya. Al-Qur’an kelihatannya ‘membuka diri’ agar manusia melakukan penelitian sendiri tentang sejarah peradaban sebelum jaman nabi Nuh.
Terdapat satu ‘sinyal’ lagi yang diberikan Al-Qur’an tentang masa antara nabi Adam dam nabi Nuh ini, yaitu penyebutan adanya seorang nabi bernama Idris :
waudzkur fii alkitaabi idriisa innahu kaana shiddiiqan nabiyyaan warafa’naahu makaanan ‘aliyyaan ulaa-ika alladziina an’ama allaahu ‘alayhim mina alnnabiyyiina min dzurriyyati aadama wamimman hamalnaa ma’a nuuhin wamin dzurriyyati ibraahiima wa-israa-iila
[19:56] Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quraan. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. [19:57] Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. [19:58] Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil,
wa-ismaa’iila wa-idriisa wadzaa alkifli kullun mina alshshaabiriina wa-adkhalnaahum fii rahmatinaa innahum mina alshshaalihiina
[21:85] Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. [21:86] Kami telah memasukkan mereka kedalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh.
Nabi Idris adalah nabi yang hidup sebelum jaman nabi Nuh, cerita alkitab mempengaruhi penafsiran bahwa Idris adalah Enokh (Kejadian 5). Sayyid Qutb menafsirkannya dengan nama salah satu tokoh Mesir kuno, yaitu Uzuris. Satu tokoh yang sama penggambarannya dengan Enokh, yang naik kelangit dan hidup disana, namun Sayyid Qutb tidak memastikan hal ini. Cerita Israilliyat ini kelihatannya mempengaruhi sementara ahli tafsir yang mengatakan bunyi QS 19:57 diartikan secara harfiah. Sumber-sumber Islam sendiri tidak banyak memberikan penjelasan tentang nabi Idris ini, ada satu hadist riwayat ath-Thabarani melalui Ummu Salamah yang menyatakan nabi Idris berteman dengan malaikat maut dan memasuki neraka dan surga ketika masih hidup. Namun perawi hadist ini terdapat nama Ibrahim Ibn Abdullah al-Mashishi, yang dikategorikan oleh para peneliti hadist sebagai pembohong dan pendusta.
Sebenarnya kita bisa bertanya-tanya : Apa maksud Al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Idris adalah ‘seorang yang sangat membenarkan’..?? Ketika sahabat Rasulullah, Abu Bakar dijuluki ’siddiq’ – orang yang membenarkan, objeknya jelas yaitu Rasulullah sendiri, yaitu Abu bakar adalah sahabat yang selalu membenarkan apapun pernyataan yang dikeluarkan Rasulullah, termasuk cerita nabi tentang perjalanan Isra’Mi’raj-nya, ketika banyak orang, bahkan umat Islam lain yang meragukannya, Abu Bakar tanpa ‘pikir panjang’ membenarkannya. Mengapa Al-Qur’an memberikan penekanan sifat ini kepada nabi Idris..?? apa atau siapa yang telah dibenarkan olehnya..?? Ini mungkin sinyal yang diberikan Al-Qur’an untuk mencari hubungan adanya cerita nabi Nuh dengan fakta arkeologis tentang kelompok manusia yang sudah menyebar ketika itu…wallahualam…

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...