Saturday, April 16, 2016

HARUN NASUTION ( ISLAM RASIONAL ) HARUN NASUTION ( ISLAM RASIONAL )




Oleh : Rahmad Fitriyanto


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah perkembangan suatu Negara sangatlah dipengaruhi oleh para pembaharu dalam memberi warna baru untuk mencapai tujuan yang maksimal dengan nuansa yang berbeda-beda.
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik untuk ditelusuri , dimana minimal ada manfaat yang dapat diperoleh yakni bila kesimpulan sejarah menunjikkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya inovasi pengembangan dan kemajuan baik pada system pemerintahan, pertahanan, social ekonomi, politik, bahkan pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandang suatu fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa. Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menguak tentang ide-ide,gagasan atau pun pemikiran yang dituangkan oleh Harun Nasution,adalah sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang terbayang adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indinesia.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis berusaha memberi rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Harun Nasution seorang tokoh pembaharu ?
2. Sejauh manakah pengaruh ide,gagasan ataupun pemikiran Harun Nasution di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.

Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsh School (HIS), yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berumur 14 tahun.Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool ( MIK), selama 3 tahun. Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini. Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam , kerena Islam tampak sangat modern di tangan pengajar MIK. Di sinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan dengan pemikiran moderen Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek lebih lanjut Harun Nasution berkomentar tentang MIK sebagai berikut :

” Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi kesolo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam d Mekkah agar lebih lurus pemikirannya.

Senada dengan itu sumber lain mengimpormasikan, bahwa pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir, karena sebelumnya ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim Indonesia tamatan mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A.Ghani, dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai tokoh agama terkemuka. Selepas dari mesir Harun Nasution pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo.

B. Harun Nasution : Islam Rasional
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia, ia berpendapat bahwa masyarakat muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah harus bertanggung jawab atas kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, konsep manusia yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam masyarakat terdapat konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan rasa adalah kalbu, Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak tujuan membina manusia seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada antara ulama agama dan ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan terjadi kehancuran masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada konsep Barat bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja, tanpa adanya unsur ruh.

Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio. Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar, oleh karena itu ajaran-ajaran agama diyakini brsifat absolut dan mutlak benaryang harus diterima begitu saja oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan tidak bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.

Sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional dan sikap dinamis umat yang berkembang pada Zaman Klasik, hilang bahkan lenyap pada Zaman Pertengahan Islam yang dimulai pada tahun 1250 dan berakhir pada tahun 1800 M. Sebagai gantinya timbul pemikiran taradisional dengan pandangan yang sempit , pemikirannya yang tertutup, serta sikapnya yang statis. Kalau pada Zaman Klasik hanya ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur`an dan hadis yang diyakini merupakan dogma, pada Zaman Pertengahan Islam, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada Zaman Klasik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada Zaman Pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang banyak bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman.sehingga kebebasan berpikir dan bergerak amat terikat. Setiap mau berpikir dan bergerak dijumpai banyak larangan dan hambatan, pemikiran membeku dan umat menjadi statis.

Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat. Dania Islam pun memasuki Zaman Modernnya.

Di Indonesia aliran Mu`tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu`tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada kekuatan akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran teologi mereka banyak ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan di kalangan sebagian umat, ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum mu`tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar, bahkan tidak sedikit umat Islam yang menganggap mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.

Pemikiran rasional memeng banyak mempengaruhi kaum mu`tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu al-Huzhail yang pertama memberi penjelasan sejau mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Megetahui adanya Tuhan
2. Mengetahi kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannyamengetahui perbuatan jahat
Kita di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini, masih dingaruhi oleh filsafat hidup corak tradisional tersebut. Penghargahan pada akal sebagai anugrah Tuhan itu belum cukup tinggi, paham qadha dan qadar dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan, rasa tanggung jawab belum tinggi dan masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib.

Pembaharuan di Indonesia masih terbatas pada permasalahan Furu sementara itu pemikiran di Indonesia muncul terlambat lima puluh tahun dari India dan seratuh tahun dari Mesir dan Turki. Latar belakang ide pembaharuan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang yang ada di Mesir, Turki dan India. Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga negara tersebut. Indonesia tak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai abad ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya.

Di kalangan para pembaharu Indonesia yang timbul kira-kira tujuh puluh tahun lalu, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional serta pemikiran ilmiah demikian, tak dijumpai. Semua ini karena, sebagainama mereka katakan, dalam ushul mereka sepaham dan yang mereka pertentangkan adalah masalah furu`. Perlu diperhatikan bahwa ushul yang disepakati itu adalah teologi Asy`ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan qadar. Itulah sebabnya kenapa dibukakan intu ijtihad dengan kembali kepada Al-Qur`an dan hadis, yang di anut oleh para pembaru itu, tidak berkembang di Indonesia. Pembaru-pembaru permulaan abad kedua puluh ini pada hakikatnya masih terikat kepada hasil ijtihad ulama masi silam.

Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain. Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.
Selanjutnya Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran mu`tazilah di abad klasik telah pula diperktekan oleh para ilmuan di abad sembilan belas. Beliau juga ingin engatakan bahwa pemikiran mu`tazilah ternyata telah dianut oleh kalangan ilmuan di berbagai negara. Timbulnya gerakan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki dan sebagainya antara lain karena pengaruh pemikiran Mu`tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaharu tersebut

Dari pemaparan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Harun Nasution hadir sebagai tokoh kontroversial yang bercorak rasinal, hal ini dpengaruhi dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Misalnya ayahnya yang menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kerendahan melanggar aturan adat tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dilihat dari tugas utamanya Harun Nasution sebagai pmbaru dan sekaligus pendidik. Dengan kata lain ia adalah seorang pembaru yang menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan yang ditekuninya. Ia ingin memperkenalkan sikap moderen yang dapat menimbulkan kemajuan bagi umat Islam. Serta ngin mengubah pola pikir dan tingkah laku umat yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola pikir yang rasional dan tingkah laku modern.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab terdahulu yang membahas tentang Islam Rasional
( Harun Nasution) maka, penulis dapat menyimpulka sebagai berikut:

1. Harun Nasution adalah seorang ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikiranya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pmikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan terikat pada mazhab tertentu. Sifat dan corak pemikiran Harun Nasution yang demikian itu menyebabkan ia dianggap sebagai ilmuan yang sekular.

2. Pengaruh ide-ide dan gagasan Harun Nasution begitu terlihat jelas dalam bidang pendidikan karena merupakan alat untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan pendidikan. Yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan.

B. Saran

Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan olehnya itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan kearah yang lebih baik

DAFRAT PUSTAKA
Nata Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafifindo Persada, 2005
......................., Problematika Politik Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Grasindo dan UIN Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Mizan, 1998
.....................Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1975.
Yatim Badri dan Hamid Nasushi, Membangu Pusat Keungulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pemimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: IAIN Jakarta Press,2002


PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM HARUN NASUTION MENYUMBANG BAGI PEMIKIRAN ISLAM TAPI HARUS DIKRITISI

Drs. Nurisman, M. Ag. (42 tahun) mengatakan, Harun Nasution (Pemikir Filsafat Islam Indonesia abad XIX) berpendapat bahwa penafsiran nilai- nilai agama yang terlalu lamban, tidak merespon perkembangan kebudayaan manusia, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengakibatkan umat beragama termasuk umat Islam akan kehilangan dimensi kreatif-inovatif dalam menginterpretasikan ajaran agama (ajaran Islam). Padahal dunia Islam akan terus berhadapan dengan masalah masalah pelik yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan yang sangat cepat yang dibawa ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maka dalam pemikiran filsafatnya Harun Nasution, menolak pandangan teologi Islam di di tanah air yang sudah berakar kuat, yakni : teologi Asyaariah atau Ahl Sunnah wa al-Jamaah yang berdiri atas kehendak mutlak Tuhan (teosentris). Pandangan teologi Asyariah , menganggap peran Tuhan sangat besar, yang menyebabkan manusia sangat lemah, tidak mempunyai kebebasan berpikir dan sangat tergantung pada wahyu Illahi yang dogmatis. Dengan pandangan seperti ini, manusia tidak akan bisa berpikir seluas-luasnya, umat menjadi fatalis, mudah menyerah pada nasib, karena takut akan murka Allah. Dengan pandangan itu pula manusia akan mudah terbawa kepada sikap truth claim yang mudah mengatakan orang lain sesat, kafir dan sebagainya, sehingga akan mangungkung dirinya dalam bersosialisasi. Pandangan filsafat Harun Nasution tentang pemikiran Islam dekat dengan pandangan filosof Muslim al-Farabi, Ibn Sina maupun Ibn Rusyd yang pernah membawa dunia Islam meraih kejayaannya, dengan pendangan-pandangan Islam yang Mutazilah yang mengecilkan otoritas wahyu. Harun juga mengingatkan kepada umat Islam agar mempu membedakan mana wilayah nilai-nilai universal wahyu yang tidak terikat pada ruang dan waktu dan mana wilayah lokal dari nilai nilai wahyu yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu, sehingga perlu penafsiran-penafsiran akal. Akal juga bisa berfikir bebas untuk merespon perkembangan kebudayaan manusia. Pemikiran Filsafat tentang nilai-nilai Islam Harun Nasution ini mendapat respon antusias dari kalangan intelektual muda dan birokrasi pemerintah, bahkan menjadi rujukan Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh Indonesia, selama masa orde baru. Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin STAIN Surakarta ini saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat, 20 Maret 2009. Disertasi promovendus yang berjudul Filsafat dalam Pemikiran Islam Rasional Harun Nasution (Sebuah Sumbangan bagi Pengembangan Pemikiran Islam di Indonesia) dipertahankan di hadapan Promotor Prof. Dr. Musa Asyarie, Prof. Dr. Lasiyo, M. A., MM., dan tim penguji antara lain : Prof. Dr. H. Koento Wibisono, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA., Prof. Dr. Machasin, MA., dan Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D. Sidang promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dengan sekretaris Dr. H. Soekamto, MA. Lebih lanjut putra kelahiran Medan ini menjelaskan, dari hasil penelusuran penelitiannya, pemikiran Islam rasional Harun di era Orde Baru, berhasil menyuntikkan etos intelektualisme di mana orang merasa bebas untuk mengeksperimen pikirannya tanpa takut salah dan tanpa takut dilabeli stikma tertentu, seperti : sesat, murtat dan sebagainya. Pengalaman menuntut ilmu di McGill University program Magister dan Doktor membawa Harun memahami dan memiliki sikap ilmiah dan intelektual secara baik yang masih kurang berkembang di tanah air. Di era Orde baru model pemikiran tentang nilai-nilain Islam Harun sedang ditunggu kedatangannya oleh pemerintah yang sedang memobilisasi masyarakat untuk membangun. Maka secara aksiologis teologi rasional Harun begitu fungsional bagi masyarakat Indonesia yang sedang memobilisasi untuk giat membangun, jelas Nurisman. Namun di sisi lain, dari hasil penelusuran penelitiannya lebih lanjut, ternyata banyak juga kritikan terhadap gagasan-gagasan Harun dari kalangan pesantren, terutama pada term Mutazilah. Di kalangan pesantren salaf, Harun dianggap terlalu melangit menyederhanakan persoalan. Karena persoalan kemunduran umat Islam terutama di Indonesia, tidak hanya bisa di lihat dari sikap teologi Asyariah umat Islam yang menyerah pada takdir Illahi dan terkungkung oleh dogmatisme wahyu, tetapi juga oleh adanya variabel lain, yakni sikap pemerintah yang menindas dan memaksakan kehendak karena alasan pembangunan. Tekanan penguasa kala itu dan kesenjangan antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin yang semakin tajam, juga telah menyebabkan penderitaan umat. Menurut Promovendus, Harun memang telah memberikan cara baru membaca ajaran Islam dalam konteks pemikiran Islam Indonesia dan berhasil memberikan pencerahan. Namun perlu ditambah teori kritis dalam pandangan-pandangan Harun agar lebih peka terhadap keberadaan umat yang tertindas. Teori ini juga perpijak pada sejarah perjuangan Nabi Muhammad yang memiliki keberpihakan terhadap pembebasan kaum lemah. Islam rasional Harun juga perlu memasukkan kearifan lokal, agar rasionalitas Islam tidak terjebak pada kepentingan elite. Sehingga pandangan Harun Nasution dengan model berpikirnya yang Akal Religius Skolastik Kausalistik Pluralistik sebagai tandingan model berpikir Islam yang Akal Religius skolastik atomistic monistik-truth claim yang telah lama dominan di Indonesia, kata promovendus, perlu diperbaharui menjadi model berpikir Islam yang Akal Religius Humanistik Fenomenologik Eksistensialistik, jelas bapak dua putra dari istri Lili Yulia. Oleh Tim Penguji, Promovendus dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan dan dirinya merupakan Doktor ke-215 yang telah berhasil diluluskan Program Pascasarjana UIN Sunan kalijaga Yogyakarta.


Ajaran Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan Harun Nasution
20 Februari 2010 — Abied

Ajaran Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan Harun Nasution

Oleh : Sholeh Ahmad

PENDAHULUAN

Sekitar  abad ke XVIII, ketika Dunia Timur ( baca:Islam ) tengah menjalin kontak dengan Dunia Barat ( baca : Eropa ), Dunia Islam sangat terkejut melihat kemajuan pesat yang diperoleh Barat, pada hal sebelumnya Eropa harus belajar dari Dunia Timur atas segala ketertinggalannya.

Inilah yang saat ini menjadi renungan para pemikir Islam untuk menanyakan kembali, mengapa Dunia Islam yang pada zaman klasik ( 650 – 1250 M.) mencapai puncak kejayaan dan kemajuan, yang oleh Harun Nasution disebut-sebut sebagai puncak kemajuan ilmu pengetahuan Islam,[1] dalam arti sebagai abad awal berkembangnya pemikiran rasional, tiba –tiba  berbalik 180 derajat bagaikan bandul jam yang berbalik dari arah kiri kearah kanan , dimana  pada abad  pertengahan  ( 1250-1800 M.) Dunia Islam mengalami kemunduran secara drastis kembali kepemikiran tradisional.[2] Dampak pemikiran ini menyebar hingga berpengaruh ke wilayah Nusantara ( baca: Indonesia ) yang ketika itu tengah terjadi perkembangan Islamisasi di tanah air,  yang ditandai dengan lahirnya beberapa kerajaan Islam di Nusantara seperti ; Kerajaan Islam Samudra Pasai pada sekitar abad XIII, [3] Kerajaan Islam Demak pada akhir abad ke-XV dan awal abad ke XVI, [4] Kerajaan Gowa dan Tallo sekitar akhir abad ke-XVI dan awal abad ke- XVII.[5] Pada kurun abad-abad tersebut Islamisasi dikembangkan melalui pemikiran tradisional. Hal itu disebabkan, bahwa masuknya Islam pertama di wilayah Nusantara selain dikembangkan atau disebarkan oleh para pedagang, juga oleh para ulama terutama dari kalangan ulama tasawuf  ( para wali ), analisis ini sebagaimana dikemukakan H.J. de Graaf, yang berpendapat :

…that Islam was propagated in South-East Asia by three methods; that is by Muslim traders in the course of peaceful trade, by preachers and holy men who set out from India and Arabia Specifically to convert unblievers and increase the knowledge of the faithful, and lastly by force and waging of war against heathen states.[6]

…bahwa Islam didakwahkan di Asia Tenggara melalui tiga cara; yakni oleh para pedagang Muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para da’i dan orang suci (wali) yang datang dari India dan Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.

Menyadari adanya ketertinggalan pembaharuan pemikiran, akibat pengaruh perkembangan pemikiran tradisional yang masih  kuat hingga abad ini, menghendaki lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern. Dan dalam iklim pembaharuan pemikiran yang masih lesu semacam ini, kehadiran tokoh seperti Harun Nasution yang dipandang sebagai tokoh pemikir Islam rasionalis di Indonesia, perlu ditelusuri ide-ide pembaharuannya, terutama tentang ajaran dasar dan non dasar, faham rasional yang dikembangkanm dan ide-ide pembaharuannya dalam bidang pendidikan.

PEMBAHASAN

Biografi Harun Nasution

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 23 September 1919. Setelah menyelesaiakn pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School ( HIS ), kemudian melanjutkan ke sekolah Islam tingkat menengah yang bernuansa modernis, di Modern Islamietische Kweekschool (MIK). Karena desakan dari orang tua, akhrirnya ia meninggalkan MIK dan pergi belajar ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir ini ia tidak tahan lama dan menuntut orang  tuanya agar bisa pindah studi ke Mesir. Di negeri Sungai Nil ini Harun mula-mula mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun ia merasa tidak puas dan kemudian pindah ke Universitas Amerika (Kairo). Di Universitas ini, Harun tidak mendalami Islam, tetapi Ilmu Pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun ia sempat bekerja diperusahaan swasta dan kemudian di Konsulat Indonesia Kairo. Setamat dari Universitas Amerika tersebut dengan ijazah B.A. yang dikantonginya, putra Batak yang mempersunting seorang putri negeri Mesir ini, memulai karier diplomatiknya. Dari Mesir ia ditarik ke Jakarta, dan kemudian diposkan sebagai sekretaris pada Kedutaan Besar Indonesia di Brussel.

Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatik dan pulang kembali ke Mesir. Di Mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu disebuah sekolah tinggi studi Islam di bawah bimbingan salah seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Ketika belajar di sinilah  Harun mendapat tawaran untuk mengambil stuidi Islam di Universitas McGill, Montreal Kanada. Pada tahun 1965 ia memperoleh gelar Magister dari Universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya , yakni :” The Islamic State in Indonesia : The Rise of  The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masyuimi. Tiga tahun kemudian (1968), ia memperoleh gelar Doktor ( Ph.D) dalam bidang Studi Islam, dengan disertasi berjudul : “ The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology : Its Impact on His Theological System and Views”.

Pada tahun 1969 Harun kembali ke tanah air, dan melibatkan diri dalam bidang akademisi sebagai dosen dibeberapa Perguruan Tinggi di Jakarta, seperti di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IKIP Jakarta, dan ujuga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademisi ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode ( 1974-1982 ), kemudian mempelopori pendirian Fakultas Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN, dan sejak tahun 1982  itu pula  jabatan dekan di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dipegangnya. [7]

Pada umumnya pemikiran Harun Nasution ditulis dalam beberapa karyanya, seperti : (1) Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, cet.ke-1, 1974 ); (2) Filsafat Agama ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973); (3) Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973 ); (4) Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan ( Jakarta: UI Press, 1972); (5) Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987); (6) Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-1, 1975);  dan (7) Akal dan Wahyu Dalam Islam ( Jakarta : UI Press, 1982). Buku-bukunya banyak diterbitkan oleh Bulan Bintang dan UI Press. Di samping itu masih banyak lagi artikel ilmiah yang dimuat dalam berbagai jurnal, majalah, baik dalam  maupun luar negeri.[8]

Ide-Ide Pembaharuan Pemikiran Harun Nasution

# Tentang Ide Pokok Ajaran Dasar dan Ajaran Non Dasar

Harun Nasution membagi ajaran Islam itu terdiri dari  dua hal , yatitu : Ajaran dasar dan ajaran non dasar. Yang dimaksud dengan ajaran dasar adalah ajaran yang bersifat absolut, tetap, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis. Atau disebut juga sebagai ajaran yang pasti dan bersifat qath’iy.[9] Sedangkan yang dimaksud dengan ajaran non dasar ialah, ajaran Islam yang bersifat nisbi, relatif, dan tidak permanen, dapat  berubah dan dapat diubah, atau sering disebut ajaran yang bersifat zhanniy.[10] Dari ajaran non dasar inilah menurut Harun Nasution , di dalamnya terdapat ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad.[11] Selanjutnya Harun menambahkan bahwa,   pemikiran di kalangan umat Islam telah berkurang sama sekali, karena menganggap pintu ijtihad telah tertutup, sehingga timbul sikap taklid yang berlebihan kepada pendapat-pendapat lama yang menjadikan umat Islam semakin statis, di mana setiap perubahan yang dibawa oleh zaman selalu ditentangnya.[12] Pada hal menurut Harun, ajaran Islam non dasar yang memerlukan daya ijtihad untuk menggalinya tersebut memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan  yang ada pada ajaran dasar , yakni hanya sekitar 500 ayat atau hanya kurang lebih 14 % saja dari keseluruhan ayat- ayat Al-qur’an.[13]

Bermula dari ide-ide pemikiran mengenahi ajaran non dasar inilah, Harun Nasution menganjurkan ; agar umat Islam segera kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, segala bid’ah yang tidak sesuai dengan Islam dan yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan berfikir umat Islam harus dibuang. Sikap taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan, karena pintu ijtihad tetap terbuka, sehingga yang dijadikan pegangan sebagai pedoman untuk mengetahui ajaran Islam bukan lagi karangan ulama terdahulu, tetapi harus dikembalikan kepada Al-qur’an dan Hadis sebagai ajaran dasar yang harus disesuaiakan perinciannya dan cara pelaksanaannya dengan perkembangan zaman.[14]

#  Faham Rasional

Harun Nasution adalah sosok seorang intelektual muslim yang terkenal sangat rasionalis. Hal itu tercermin dalam pandangan-pandangannya, seperti; bagaimana membawa umat Islam khususnya di Indonesia kearah rasionalitas, dan bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia itu tumbuh kapasitas pengakuan terhadap manusia qadariyah.[15] Dua pertanyaan tersebut cukup menjadi alasan tentang pandangan –pandangan rasional Harun Nasution. Faham rasional ini terlihat dalam beberapa tulisan Harun yang menyatakan, bahwa dinamika di kalangan umat Islam itu harus dihidupkan  kembali dengan cara menjauhkan diri dari faham zuhud, yaitu faham yang meninggalkan hidup duniawi dan mementingkan hidup rohani yang banyak terdapat dalam aliran tarekat sufi yang mengalihkan perhatian umat Islam dari kehidupan duniawi kepada kehidupan alam gaib. Kecuali itu umat Islam harus pula menjauhkan diri dari faham tawakkal dan faham jabariyah, mengembalikannya  ke teologi yang mengandung paham dinamika dan kepercayaan kepada rasio dalam batas yang ditentukan oleh wahyu, serta harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha.[16] Harun menambahkan,bahwa teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional, non filosofis dan non ilmiah, telah begitu besar mempengaruhi terhadap umat Islam Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam Indonesia yang sangat percaya bahwa, nasib secara mutlak itu terletak ditangan Tuhan, manusia tidak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan. Karena berkembangnya teologi kehendak mutlak Tuhan ini, banyak umat Islam yang ragu-ragu dan kurang percaya akan adanya sunatullah, maka usaha manusiapun tak banyak artinya, usahapun hanya sedikit dijalankan dan do’a yang diperbanyak. Yang pasti sikap serupa ini tidak banyak menolong bagi meningkatnya produktifitas, demikian kata Harun.[17]

Karena ide atau paham yang dikembangkan Harun Nasution  lebih memberi kekuatan kepada akal yang rasional dan bercorak Mu’tazilah, maka oleh sebagian  kelompok yang merasa berseberangan dengan ide-idenya tersebut, mengatakan bahwa Harun Nasution tokoh yang mengusung faham mu’tazilah di Indonesia.

#  Faham Pembaharuan Dalam Pendidikan

Dalam masalah pendidikan, Harun Nasution banyak mengkritik perkembangan sekolah-sekolah di Indonesia, walaupun sekolah-sekolah  di Indonesia yang dikembangkan banyak berkiblat pada pendidikan model Barat, namun tidak menimbulkan teologi sunatullah, kurang mantap dengan adanya hukum alam ( natural laws ) atau hukum kausalitas, artinya masih banyak model pendidikan yang  dipengaruhi oleh paham qadha dan qadar , dimana kaum terpelajar masih belum yakin bahwa kesuksesan dan ketidaksuksesan dalam usaha itu tergantung pada ikhtiarnya. Harun Nasution juga mengkritik keras rterhadap model pendidikan agama di Indonesia, dimana kaum terpelajar agama yang dikenal dengan nama ulama tidak kenal sama sekali dengan teologi sunatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya. Yang mereka kenal sejak semula adalah teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional, nonfilosofis dan nonilmiahnya. Sejarah perkembangan pemikran Islam tidak diajarkan, baik di madrasah maupun di pesantren-pesantren, maka kalau disebut tentang teologi sunnatullah mereka terkejut dan menganggap hal itu dipandang tidak islami. Pendidikan Islam di Indonesia masih menekankan orientasi hidup keakhiratan , hidup spiritual , masih identik dengan shalat, puasa, zakat dan haji, walaupun menurut hadis, urusan dunia seperti mengembangkan ilmu dan berusaha untuk kepentingan masyarakat, termasuk urusan ekonomi, industri, dan pertanian tak kalah pentingnya dari ibadah.[18]

Berwal dari kritik terhadap perkembangan pendidikan inilah, Harun Nasution dengan ide-idenya yang cemerlang  menganjurkan,  antara lain : (a) Orientasi pendidikan masa depan harus diseimbangkan  antara orientasi keakhiratan dan keduniaan. (b) Pendidikan tradisional harus diubah, dengan cara memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. (c) Umat Islam harus mendirikan sekolah-sekolah modern di samping madrasah-madrasah yang telah ada, agar dengan demikian terciptalah ahli-ahli Islam yang menguasahi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.[19] (d) Umat Islam harus mulai mengembangkan kurikulum yang berorientasi pada teologi sunatullah baik di sekolah-sekolah umum maupun di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi, sebab kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah agama hingga saat ini masih terpaku pada teologi kehendak  mutlak Tuhan dan berorientasi keakhiratan yang tidak menyokong bagi peningkatan produktivitas.[20] (e) Merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia, seperti Pengantar Ilmu Agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi dan metodologi riset.[21]

Langkah pembaharuan pendidikan yang dilakukan Harun Nasution selanjutnya ialah, keberhasilannya mendirikan Fakultas Pascasarjana ditahun 1982, karena menurutnya di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama dan menguasai filsafat. Filsafat menurutnya sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti inilah yang diharapkan Harun Nasution akan lahir dari Fakultas Pascasarjana.

Dampak dari usaha yang dilakukan Harun berupa suasana kreativitas intelektual dan learning capacity yang diciptakan yang demikian inovatif dan progresif, sering mendapat reaksi keras dari para ulama tradisional.

PENUTUP

Dalam bab penutup ini,  akan penulis simpulkan beberapa  hal penting terkait dengan pokok bahasan yang sedang dikaji, hal itu meliputi :
Menurut Harun Nasution dalam Islam itu terdapat dua kelompok ajaran : (1) Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir yang biasa disebut sebagai ajaran dasar. (2) Ajaran yang bersifat absolut namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini ialah ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama, walaupun kebenaran hasil ijtihad tersebut bersifat relatif yang biasa disebut dengan ajaran non dasar.
Harun Nasution adalah seorang intelektual muslim yang sangat rasionalis, sehingga dengan faham rasionalnya itu ia berusaha bagaimana bisa membawa umat Islam di Indonesia ke arah rasionalitas, bagaimana agar di kalangan umat Islam  Indonesia itu tumbuh pengakuan  atas kapasitas manusia kadariah, tidak terlalu didominasi oleh paham Asyi’arisme yang sangat Jabariah ( terlalu menyerah pada takdir ), dan kurang menghargai kapasitas akal (rasio) untuk melakukan ikhtiar dalam perubahan nasib.
Pendidikan tradisional harus diubah, dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah, agar tercipta ahli-ahli Islam yang menguasahi ilmu pengetahuan dan teknologi, karena langkah inilah  inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam dalam mencapai keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi.

DAFTAR PUSTAKA

De Graaf, H.J. South Asian Islam to The Eighteenth Century, dalam P.M. Holf, et al. (ed), Cambridge Histpry of Islam. Jilid 2, London : The Cambridge University Press, 1970.

Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi. ENSIKLOPEDI ISLAM. Cet. Ke-9; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

M. Sewang, Ahmad. Islamisasi Kerajaan Gowa ( abad XVI-abad XVII ). Cet. Ke-2; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam-Sejarah Pemikran dan Gerakan. Cet. Ke-9; Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

———– —— Islam Rasional-Gagasan dan Pemikran. Cet. Ke-v; Bandung: Mizan, 1998.

—————— . Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid III. Cet. Ke-4; Jakarta: UI Press, 1984.

—————— . Ijtihad Sunber Ketiga Ajaran Islam, dalam Haidar Baqir, Ijtihad Dalam Sorotan. Cet.ke-3; Bandung: Mizan, 1994.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet.ke-vii; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.

HARUN NASUTION ( ISLAM RASIONAL )
HARUN NASUTION
( ISLAM RASIONAL )
OLEH :
SYARIFAH KHADIJAH


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah perkembangan suatu Negara sangatlah dipengaruhi oleh para pembaharu dalam memberi warna baru untuk mencapai tujuan yang maksimal dengan nuansa yang berbeda-beda.
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik untuk ditelusuri , dimana minimal ada manfaat yang dapat diperoleh yakni bila kesimpulan sejarah menunjikkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya inovasi pengembangan dan kemajuan baik pada system pemerintahan, pertahanan, social ekonomi, politik, bahkan pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandang suatu fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa. Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menguak tentang ide-ide,gagasan atau pun pemikiran yang dituangkan oleh Harun Nasution,adalah sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang terbayang adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indinesia.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis berusaha memberi rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Harun Nasution seorang tokoh pembaharu ?
2. Sejauh manakah pengaruh ide,gagasan ataupun pemikiran Harun Nasution di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.

Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsh School (HIS), yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berumur 14 tahun.Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool ( MIK), selama 3 tahun. Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini. Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam , kerena Islam tampak sangat modern di tangan pengajar MIK. Di sinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan dengan pemikiran moderen Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek lebih lanjut Harun Nasution berkomentar tentang MIK sebagai berikut :

” Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi kesolo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam d Mekkah agar lebih lurus pemikirannya.

Senada dengan itu sumber lain mengimpormasikan, bahwa pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir, karena sebelumnya ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim Indonesia tamatan mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A.Ghani, dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai tokoh agama terkemuka. Selepas dari mesir Harun Nasution pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo.

B. Harun Nasution : Islam Rasional
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia, ia berpendapat bahwa masyarakat muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah harus bertanggung jawab atas kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, konsep manusia yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam masyarakat terdapat konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan rasa adalah kalbu, Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak tujuan membina manusia seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada antara ulama agama dan ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan terjadi kehancuran masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada konsep Barat bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja, tanpa adanya unsur ruh.

Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio. Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar, oleh karena itu ajaran-ajaran agama diyakini brsifat absolut dan mutlak benaryang harus diterima begitu saja oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan tidak bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.

Sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional dan sikap dinamis umat yang berkembang pada Zaman Klasik, hilang bahkan lenyap pada Zaman Pertengahan Islam yang dimulai pada tahun 1250 dan berakhir pada tahun 1800 M. Sebagai gantinya timbul pemikiran taradisional dengan pandangan yang sempit , pemikirannya yang tertutup, serta sikapnya yang statis. Kalau pada Zaman Klasik hanya ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur`an dan hadis yang diyakini merupakan dogma, pada Zaman Pertengahan Islam, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada Zaman Klasik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada Zaman Pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang banyak bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman.sehingga kebebasan berpikir dan bergerak amat terikat. Setiap mau berpikir dan bergerak dijumpai banyak larangan dan hambatan, pemikiran membeku dan umat menjadi statis.

Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat. Dania Islam pun memasuki Zaman Modernnya.

Di Indonesia aliran Mu`tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu`tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada kekuatan akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran teologi mereka banyak ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan di kalangan sebagian umat, ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum mu`tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar, bahkan tidak sedikit umat Islam yang menganggap mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.

Pemikiran rasional memeng banyak mempengaruhi kaum mu`tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu al-Huzhail yang pertama memberi penjelasan sejau mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Megetahui adanya Tuhan
2. Mengetahi kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannyamengetahui perbuatan jahat
Kita di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini, masih dingaruhi oleh filsafat hidup corak tradisional tersebut. Penghargahan pada akal sebagai anugrah Tuhan itu belum cukup tinggi, paham qadha dan qadar dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan, rasa tanggung jawab belum tinggi dan masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib.

Pembaharuan di Indonesia masih terbatas pada permasalahan Furu sementara itu pemikiran di Indonesia muncul terlambat lima puluh tahun dari India dan seratuh tahun dari Mesir dan Turki. Latar belakang ide pembaharuan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang yang ada di Mesir, Turki dan India. Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga negara tersebut. Indonesia tak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai abad ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya.

Di kalangan para pembaharu Indonesia yang timbul kira-kira tujuh puluh tahun lalu, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional serta pemikiran ilmiah demikian, tak dijumpai. Semua ini karena, sebagainama mereka katakan, dalam ushul mereka sepaham dan yang mereka pertentangkan adalah masalah furu`. Perlu diperhatikan bahwa ushul yang disepakati itu adalah teologi Asy`ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan qadar. Itulah sebabnya kenapa dibukakan intu ijtihad dengan kembali kepada Al-Qur`an dan hadis, yang di anut oleh para pembaru itu, tidak berkembang di Indonesia. Pembaru-pembaru permulaan abad kedua puluh ini pada hakikatnya masih terikat kepada hasil ijtihad ulama masi silam.

Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain. Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.
Selanjutnya Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran mu`tazilah di abad klasik telah pula diperktekan oleh para ilmuan di abad sembilan belas. Beliau juga ingin engatakan bahwa pemikiran mu`tazilah ternyata telah dianut oleh kalangan ilmuan di berbagai negara. Timbulnya gerakan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki dan sebagainya antara lain karena pengaruh pemikiran Mu`tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaharu tersebut

Dari pemaparan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Harun Nasution hadir sebagai tokoh kontroversial yang bercorak rasinal, hal ini dpengaruhi dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Misalnya ayahnya yang menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kerendahan melanggar aturan adat tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dilihat dari tugas utamanya Harun Nasution sebagai pmbaru dan sekaligus pendidik. Dengan kata lain ia adalah seorang pembaru yang menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan yang ditekuninya. Ia ingin memperkenalkan sikap moderen yang dapat menimbulkan kemajuan bagi umat Islam. Serta ngin mengubah pola pikir dan tingkah laku umat yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola pikir yang rasional dan tingkah laku modern.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab terdahulu yang membahas tentang Islam Rasional
( Harun Nasution) maka, penulis dapat menyimpulka sebagai berikut:

1. Harun Nasution adalah seorang ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikiranya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pmikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan terikat pada mazhab tertentu. Sifat dan corak pemikiran Harun Nasution yang demikian itu menyebabkan ia dianggap sebagai ilmuan yang sekular.

2. Pengaruh ide-ide dan gagasan Harun Nasution begitu terlihat jelas dalam bidang pendidikan karena merupakan alat untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan pendidikan. Yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan.

B. Saran

Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan olehnya itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan kearah yang lebih baik

DAFRAT PUSTAKA
Nata Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafifindo Persada, 2005
......................., Problematika Politik Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Grasindo dan UIN Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Mizan, 1998
.....................Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1975.
Yatim Badri dan Hamid Nasushi, Membangu Pusat Keungulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pemimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: IAIN Jakarta Press,2002

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...