Oleh : Rahmad
Fitriyanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan suatu Negara sangatlah
dipengaruhi oleh para pembaharu dalam memberi warna baru untuk mencapai tujuan
yang maksimal dengan nuansa yang berbeda-beda.
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik
untuk ditelusuri , dimana minimal ada manfaat yang dapat diperoleh yakni bila
kesimpulan sejarah menunjikkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh
pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya inovasi pengembangan dan kemajuan
baik pada system pemerintahan, pertahanan, social ekonomi, politik, bahkan
pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandang suatu
fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa. Secara umum sejarah
mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena
sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan
melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguak tentang
ide-ide,gagasan atau pun pemikiran yang dituangkan oleh Harun Nasution,adalah
sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang
sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di
dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai
masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang terbayang
adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla Jakarta
yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional
dan cenderung liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu,
Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan
gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut
Umat Islam di Indinesia.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah
dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis berusaha memberi rumusan dan
batasan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Harun Nasution seorang tokoh pembaharu ?
2. Sejauh manakah pengaruh ide,gagasan ataupun pemikiran
Harun Nasution di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Harun Nasution
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli
Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra
dari lima
bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran
Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi,
penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.
Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal
mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab.
Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah
memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan
agamanya.
Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh
oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch
Inlandsh School (HIS), yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang
pada waktu itu ia sudah berumur 14 tahun.Selama belajar di Sekolah Dasar ini
Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan
umum. Setelah ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool (
MIK), selama 3 tahun. Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini
karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini.
Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam , kerena Islam tampak sangat modern
di tangan pengajar MIK. Di sinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan
dengan pemikiran moderen Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana
Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek lebih
lanjut Harun Nasution berkomentar tentang MIK sebagai berikut :
” Di sana
ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang
kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu
dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an
dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu,
Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu
begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.
Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian
itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik
melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan
disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi
kesolo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus
belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena
menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari
sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam d Mekkah agar
lebih lurus pemikirannya.
Senada dengan itu sumber lain mengimpormasikan, bahwa
pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir, karena sebelumnya
ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim
Indonesia tamatan mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A.Ghani,
dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai
tokoh agama terkemuka. Selepas dari mesir Harun Nasution pindah studi ke
Universitas Amerika di Kairo.
B. Harun Nasution : Islam Rasional
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat
Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia
terus mengikuti perkembangan di
Indonesia, ia
berpendapat bahwa masyarakat muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan
kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis.
Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah harus bertanggung jawab atas
kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap
reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan
mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan
pandangan yang lebih dinamis rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan
tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur pendidikan, terutama perguruan
tinggi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, konsep manusia yang terdapat
dalam masyarakat Indonesia
sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam masyarakat terdapat
konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan rasa adalah kalbu, Maka
dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat
yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak tujuan membina manusia
seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada antara ulama agama dan
ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan terjadi kehancuran
masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada konsep Barat bahwa
manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja, tanpa adanya unsur ruh.
Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan
ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar agama lebih
banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio. Perasaan dan
keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis.
Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar
meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan
keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif.
Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri
dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan
ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang
bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang
berasal dari Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar, oleh karena itu ajaran-ajaran
agama diyakini brsifat absolut dan mutlak benaryang harus diterima begitu saja
oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya
tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama
terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan
tidak bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.
Sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional dan
sikap dinamis umat yang berkembang pada Zaman Klasik, hilang bahkan lenyap pada
Zaman Pertengahan Islam yang dimulai pada tahun 1250 dan berakhir pada tahun
1800 M. Sebagai gantinya timbul pemikiran taradisional dengan pandangan yang
sempit , pemikirannya yang tertutup, serta sikapnya yang statis. Kalau pada
Zaman Klasik hanya ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur`an dan hadis yang diyakini
merupakan dogma, pada Zaman Pertengahan Islam, ajaran-ajaran yang dihasilkan
ulama-ulama pada Zaman Klasik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan
lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada Zaman
Pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif
yang banyak bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman.sehingga kebebasan
berpikir dan bergerak amat terikat. Setiap mau berpikir dan bergerak dijumpai
banyak larangan dan hambatan, pemikiran membeku dan umat menjadi statis.
Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul
kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah
kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan
memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat. Dania Islam pun
memasuki Zaman Modernnya.
Di Indonesia aliran Mu`tazilah belum begitu dikenal dan
tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu`tazilah dalam pemikiran
keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada
kekuatan akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran teologi
mereka banyak ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional.
Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul
anggapan di kalangan sebagian umat, ini selanjutnya membawa kepada tuduhan
bahwa kaum mu`tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari
jalan yang lurus dan benar, bahkan tidak sedikit umat Islam yang menganggap
mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan
bukan Islam lagi.
Pemikiran rasional memeng banyak mempengaruhi kaum
mu`tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu al-Huzhail
yang pertama memberi penjelasan sejau mana akal manusia dapat mengetahui
masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua
masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, Tuhan dan soal kebaikan serta
kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Megetahui adanya Tuhan
2. Mengetahi kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan
kewajibannyamengetahui perbuatan jahat
Kita di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini,
masih dingaruhi oleh filsafat hidup corak tradisional tersebut. Penghargahan
pada akal sebagai anugrah Tuhan itu belum cukup tinggi, paham qadha dan qadar
dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan
adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan,
rasa tanggung jawab belum tinggi dan masa depan lebih banyak diserahkan kepada
nasib.
Pembaharuan di Indonesia masih terbatas pada permasalahan
Furu sementara itu pemikiran di Indonesia
muncul terlambat lima puluh tahun dari India dan
seratuh tahun dari Mesir dan Turki. Latar belakang ide pembaharuan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang
yang ada di Mesir, Turki dan India.
Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga negara tersebut. Indonesia tak
pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan
Islam. Islam berkembang di Indonesia
mulai abad ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia
bukanlah Islam Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang
tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran
tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya.
Di kalangan para pembaharu Indonesia yang timbul kira-kira
tujuh puluh tahun lalu, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional serta
pemikiran ilmiah demikian, tak dijumpai. Semua ini karena, sebagainama mereka
katakan, dalam ushul mereka sepaham dan yang mereka pertentangkan adalah
masalah furu`. Perlu diperhatikan bahwa ushul yang disepakati itu adalah
teologi Asy`ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan
qadar. Itulah sebabnya kenapa dibukakan intu ijtihad dengan kembali kepada
Al-Qur`an dan hadis, yang di anut oleh para pembaru itu, tidak berkembang di Indonesia.
Pembaru-pembaru permulaan abad kedua puluh ini pada hakikatnya masih terikat
kepada hasil ijtihad ulama masi silam.
Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah
serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu
membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul
dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam
yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh
pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak
jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain.
Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan
tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar
keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain
sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada
abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an
dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh
bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat
Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.
Selanjutnya Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran
mu`tazilah di abad klasik telah pula diperktekan oleh para ilmuan di abad
sembilan belas. Beliau juga ingin engatakan bahwa pemikiran mu`tazilah ternyata
telah dianut oleh kalangan ilmuan di berbagai negara. Timbulnya gerakan
pembaharuan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India,
Turki dan sebagainya antara lain karena pengaruh pemikiran Mu`tazilah yang
dianut oleh para tokoh pembaharu tersebut
Dari pemaparan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Harun
Nasution hadir sebagai tokoh kontroversial yang bercorak rasinal, hal ini
dpengaruhi dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Misalnya ayahnya
yang menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang
dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kerendahan melanggar aturan adat
tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dilihat dari tugas utamanya Harun Nasution sebagai pmbaru
dan sekaligus pendidik. Dengan kata lain ia adalah seorang pembaru yang
menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan
yang ditekuninya. Ia ingin memperkenalkan sikap moderen yang dapat menimbulkan
kemajuan bagi umat Islam. Serta ngin mengubah pola pikir dan tingkah laku umat
yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola
pikir yang rasional dan tingkah laku modern.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab terdahulu yang membahas tentang
Islam Rasional
( Harun Nasution) maka, penulis dapat menyimpulka sebagai
berikut:
1. Harun Nasution adalah seorang ahli ilmu kalam dan
filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikiranya yang
rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran demikian itu amat
bertentangan dengan corak dan pmikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat
itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan terikat pada mazhab tertentu.
Sifat dan corak pemikiran Harun Nasution yang demikian itu menyebabkan ia
dianggap sebagai ilmuan yang sekular.
2. Pengaruh ide-ide dan gagasan Harun Nasution begitu
terlihat jelas dalam bidang pendidikan karena merupakan alat untuk mengubah
masyarakat dengan menggunakan pendidikan. Yakni IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan.
B. Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan olehnya itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan kearah
yang lebih baik
DAFRAT PUSTAKA
Nata Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafifindo Persada, 2005
......................., Problematika Politik Islam Di
Indonesia, Jakarta:
PT.Grasindo dan UIN Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Mizan, 1998
.....................Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang,1975.
Yatim Badri dan Hamid Nasushi, Membangu Pusat Keungulan
Studi Islam Sejarah dan Profil Pemimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: IAIN Jakarta
Press,2002
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM HARUN NASUTION MENYUMBANG BAGI
PEMIKIRAN ISLAM TAPI HARUS DIKRITISI
Drs. Nurisman, M. Ag. (42 tahun) mengatakan, Harun Nasution
(Pemikir Filsafat Islam Indonesia abad XIX) berpendapat bahwa penafsiran nilai-
nilai agama yang terlalu lamban, tidak merespon perkembangan kebudayaan
manusia, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengakibatkan umat
beragama termasuk umat Islam akan kehilangan dimensi kreatif-inovatif dalam
menginterpretasikan ajaran agama (ajaran Islam). Padahal dunia Islam akan terus
berhadapan dengan masalah masalah pelik yang ditimbulkan oleh
perubahan-perubahan yang sangat cepat yang dibawa ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Maka dalam pemikiran filsafatnya Harun Nasution, menolak
pandangan teologi Islam di di tanah air yang sudah berakar kuat, yakni :
teologi Asya�ariah atau Ahl Sunnah wa
al-Jama�ah yang berdiri atas kehendak mutlak Tuhan
(teosentris). Pandangan teologi Asy�ariah , menganggap peran
Tuhan sangat besar, yang menyebabkan manusia sangat lemah, tidak mempunyai
kebebasan berpikir dan sangat tergantung pada wahyu Illahi yang dogmatis.
Dengan pandangan seperti ini, manusia tidak akan bisa berpikir seluas-luasnya,
umat menjadi fatalis, mudah menyerah pada nasib, karena takut akan murka Allah.
Dengan pandangan itu pula manusia akan mudah terbawa kepada sikap truth claim
yang mudah mengatakan orang lain sesat, kafir dan sebagainya, sehingga akan
mangungkung dirinya dalam bersosialisasi. Pandangan filsafat Harun Nasution
tentang pemikiran Islam dekat dengan pandangan filosof Muslim al-Farabi, Ibn
Sina maupun Ibn Rusyd yang pernah membawa dunia Islam meraih kejayaannya,
dengan pendangan-pandangan Islam yang Mu�tazilah
yang mengecilkan otoritas wahyu. Harun juga mengingatkan kepada umat Islam agar
mempu membedakan mana wilayah nilai-nilai universal wahyu yang tidak terikat
pada ruang dan waktu dan mana wilayah lokal dari nilai nilai wahyu yang
dipengaruhi oleh ruang dan waktu, sehingga perlu penafsiran-penafsiran akal.
Akal juga bisa berfikir bebas untuk merespon perkembangan kebudayaan manusia.
Pemikiran Filsafat tentang nilai-nilai Islam Harun Nasution ini mendapat respon
antusias dari kalangan intelektual muda dan birokrasi pemerintah, bahkan
menjadi rujukan Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh Indonesia, selama masa
orde baru. Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin STAIN Surakarta ini saat
mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jum�at,
20 Maret 2009. Disertasi promovendus yang berjudul �Filsafat dalam Pemikiran Islam Rasional
Harun Nasution (Sebuah Sumbangan bagi Pengembangan Pemikiran Islam di
Indonesia)�
dipertahankan di hadapan Promotor Prof. Dr. Musa Asy�arie, Prof. Dr. Lasiyo, M. A., MM.,
dan tim penguji antara lain : Prof. Dr. H. Koento Wibisono, Prof. Dr. H. Siswanto
Masruri, MA., Prof. Dr. Machasin, MA., dan Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D.
Sidang promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dengan sekretaris Dr. H.
Soekamto, MA. Lebih lanjut putra kelahiran Medan ini menjelaskan, dari hasil
penelusuran penelitiannya, pemikiran Islam rasional Harun di era Orde Baru,
berhasil menyuntikkan etos intelektualisme di mana orang merasa bebas untuk
mengeksperimen pikirannya tanpa takut salah dan tanpa takut dilabeli stikma
tertentu, seperti : sesat, murtat dan sebagainya. Pengalaman menuntut ilmu di McGill University
program Magister dan Doktor membawa Harun memahami dan memiliki sikap ilmiah
dan intelektual secara baik yang masih kurang berkembang di tanah air. Di era
Orde baru model pemikiran tentang nilai-nilain Islam Harun sedang ditunggu
kedatangannya oleh pemerintah yang sedang memobilisasi masyarakat untuk
membangun. Maka secara aksiologis teologi rasional Harun begitu fungsional bagi
masyarakat Indonesia
yang sedang memobilisasi untuk giat membangun, jelas Nurisman. Namun di sisi
lain, dari hasil penelusuran penelitiannya lebih lanjut, ternyata banyak juga
kritikan terhadap gagasan-gagasan Harun dari kalangan pesantren, terutama pada
term Mu�tazilah.
Di kalangan pesantren salaf, Harun dianggap terlalu melangit menyederhanakan
persoalan. Karena persoalan kemunduran umat Islam terutama di Indonesia, tidak
hanya bisa di lihat dari sikap teologi Asy�ariah
umat Islam yang menyerah pada takdir Illahi dan terkungkung oleh dogmatisme
wahyu, tetapi juga oleh adanya variabel lain, yakni sikap pemerintah yang
menindas dan memaksakan kehendak karena alasan pembangunan. Tekanan penguasa
kala itu dan kesenjangan antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin yang
semakin tajam, juga telah menyebabkan penderitaan umat. Menurut Promovendus,
Harun memang telah memberikan cara baru membaca ajaran Islam dalam konteks
pemikiran Islam Indonesia
dan berhasil memberikan pencerahan. Namun perlu ditambah teori kritis dalam
pandangan-pandangan Harun agar lebih peka terhadap keberadaan umat yang tertindas.
Teori ini juga perpijak pada sejarah perjuangan Nabi Muhammad yang memiliki
keberpihakan terhadap pembebasan kaum lemah. Islam rasional Harun juga perlu
memasukkan kearifan lokal, agar rasionalitas Islam tidak terjebak pada
kepentingan elite. Sehingga pandangan Harun Nasution dengan model berpikirnya
yang �Akal
Religius Skolastik Kausalistik Pluralistik �
sebagai tandingan model berpikir Islam yang �Akal
Religius skolastik atomistic monistik-truth claim yang telah lama dominan di
Indonesia, kata promovendus, perlu diperbaharui menjadi model berpikir Islam yang
�Akal Religius
Humanistik Fenomenologik Eksistensialistik�,
jelas bapak dua putra dari istri Lili Yulia. Oleh Tim Penguji, Promovendus
dinyatakan lulus dengan predikat �Sangat
Memuaskan� dan
dirinya merupakan Doktor ke-215 yang telah berhasil diluluskan Program
Pascasarjana UIN Sunan kalijaga Yogyakarta.
Ajaran Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan
Harun Nasution
20 Februari 2010 — Abied
Ajaran Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan
Harun Nasution
Oleh : Sholeh Ahmad
PENDAHULUAN
Sekitar abad ke
XVIII, ketika Dunia Timur ( baca:Islam ) tengah menjalin kontak dengan Dunia
Barat ( baca : Eropa ), Dunia Islam sangat terkejut melihat kemajuan pesat yang
diperoleh Barat, pada hal sebelumnya Eropa harus belajar dari Dunia Timur atas
segala ketertinggalannya.
Inilah yang saat ini menjadi renungan para pemikir Islam
untuk menanyakan kembali, mengapa Dunia Islam yang pada zaman klasik ( 650 –
1250 M.) mencapai puncak kejayaan dan kemajuan, yang oleh Harun Nasution
disebut-sebut sebagai puncak kemajuan ilmu pengetahuan Islam,[1] dalam arti
sebagai abad awal berkembangnya pemikiran rasional, tiba –tiba berbalik 180 derajat bagaikan bandul jam yang
berbalik dari arah kiri kearah kanan , dimana
pada abad pertengahan ( 1250-1800 M.) Dunia Islam mengalami
kemunduran secara drastis kembali kepemikiran tradisional.[2] Dampak pemikiran
ini menyebar hingga berpengaruh ke wilayah Nusantara ( baca: Indonesia ) yang
ketika itu tengah terjadi perkembangan Islamisasi di tanah air, yang ditandai dengan lahirnya beberapa
kerajaan Islam di Nusantara seperti ; Kerajaan Islam Samudra Pasai pada sekitar
abad XIII, [3] Kerajaan Islam Demak pada akhir abad ke-XV dan awal abad ke XVI,
[4] Kerajaan Gowa dan Tallo sekitar akhir abad ke-XVI dan awal abad ke-
XVII.[5] Pada kurun abad-abad tersebut Islamisasi dikembangkan melalui
pemikiran tradisional. Hal itu disebabkan, bahwa masuknya Islam pertama di wilayah
Nusantara selain dikembangkan atau disebarkan oleh para pedagang, juga oleh
para ulama terutama dari kalangan ulama tasawuf
( para wali ), analisis ini sebagaimana dikemukakan H.J. de Graaf, yang
berpendapat :
…that Islam was propagated in South-East Asia by three
methods; that is by Muslim traders in the course of peaceful trade, by
preachers and holy men who set out from India and Arabia Specifically to
convert unblievers and increase the knowledge of the faithful, and lastly by
force and waging of war against heathen states.[6]
…bahwa Islam didakwahkan di Asia Tenggara melalui tiga cara;
yakni oleh para pedagang Muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para
da’i dan orang suci (wali) yang datang dari India dan Arab yang sengaja bertujuan
mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah
beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap
negara-negara penyembah berhala.
Menyadari adanya ketertinggalan pembaharuan pemikiran,
akibat pengaruh perkembangan pemikiran tradisional yang masih kuat hingga abad ini, menghendaki lahirnya
beberapa tokoh pembaharu yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia
modern. Dan dalam iklim pembaharuan pemikiran yang masih lesu semacam ini,
kehadiran tokoh seperti Harun Nasution yang dipandang sebagai tokoh pemikir
Islam rasionalis di Indonesia, perlu ditelusuri ide-ide pembaharuannya,
terutama tentang ajaran dasar dan non dasar, faham rasional yang dikembangkanm
dan ide-ide pembaharuannya dalam bidang pendidikan.
PEMBAHASAN
Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 23
September 1919. Setelah menyelesaiakn pendidikan dasarnya di
Hollandsch-Inlandsche School ( HIS ), kemudian melanjutkan ke sekolah Islam
tingkat menengah yang bernuansa modernis, di Modern Islamietische Kweekschool
(MIK). Karena desakan dari orang tua, akhrirnya ia meninggalkan MIK dan pergi
belajar ke Saudi Arabia.
Di negeri gurun pasir ini ia tidak tahan lama dan menuntut orang tuanya agar bisa pindah studi ke Mesir. Di
negeri Sungai Nil ini Harun mula-mula mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin,
Universitas Al-Azhar, namun ia merasa tidak puas dan kemudian pindah ke
Universitas Amerika (Kairo). Di Universitas ini, Harun tidak mendalami Islam,
tetapi Ilmu Pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun ia sempat
bekerja diperusahaan swasta dan kemudian di Konsulat Indonesia Kairo. Setamat
dari Universitas Amerika tersebut dengan ijazah B.A. yang dikantonginya, putra
Batak yang mempersunting seorang putri negeri Mesir ini, memulai karier
diplomatiknya. Dari Mesir ia ditarik ke Jakarta,
dan kemudian diposkan sebagai sekretaris pada Kedutaan Besar Indonesia di
Brussel.
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an
membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatik dan pulang kembali ke
Mesir. Di Mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu disebuah sekolah tinggi studi
Islam di bawah bimbingan salah seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah.
Ketika belajar di sinilah Harun mendapat
tawaran untuk mengambil stuidi Islam di Universitas McGill, Montreal Kanada.
Pada tahun 1965 ia memperoleh gelar Magister dari Universitas tersebut dengan
judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya , yakni :” The Islamic
State in Indonesia
: The Rise of The Ideology, The Movement
for Its Creation and the Theory of the Masyuimi. Tiga tahun kemudian (1968), ia
memperoleh gelar Doktor ( Ph.D) dalam bidang Studi Islam, dengan disertasi
berjudul : “ The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology : Its Impact on His
Theological System and Views”.
Pada tahun 1969 Harun kembali ke tanah air, dan melibatkan
diri dalam bidang akademisi sebagai dosen dibeberapa Perguruan Tinggi di
Jakarta, seperti di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IKIP Jakarta, dan ujuga pada Universitas
Nasional. Kegiatan akademisi ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode ( 1974-1982 ), kemudian
mempelopori pendirian Fakultas Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN, dan
sejak tahun 1982 itu pula jabatan dekan di Fakultas Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dipegangnya. [7]
Pada umumnya pemikiran Harun Nasution ditulis dalam beberapa
karyanya, seperti : (1) Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI
Press, cet.ke-1, 1974 ); (2) Filsafat Agama ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973);
(3) Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973 ); (4)
Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan ( Jakarta: UI
Press, 1972); (5) Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI
Press, 1987); (6) Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (
Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-1, 1975);
dan (7) Akal dan Wahyu Dalam Islam ( Jakarta : UI Press, 1982).
Buku-bukunya banyak diterbitkan oleh Bulan Bintang dan UI Press. Di samping itu
masih banyak lagi artikel ilmiah yang dimuat dalam berbagai jurnal, majalah,
baik dalam maupun luar negeri.[8]
Ide-Ide Pembaharuan Pemikiran Harun Nasution
# Tentang Ide Pokok Ajaran Dasar dan Ajaran Non Dasar
Harun Nasution membagi ajaran Islam itu terdiri dari dua hal , yatitu : Ajaran dasar dan ajaran
non dasar. Yang dimaksud dengan ajaran dasar adalah ajaran yang bersifat
absolut, tetap, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis. Atau disebut juga
sebagai ajaran yang pasti dan bersifat qath’iy.[9] Sedangkan yang dimaksud
dengan ajaran non dasar ialah, ajaran Islam yang bersifat nisbi, relatif, dan
tidak permanen, dapat berubah dan dapat
diubah, atau sering disebut ajaran yang bersifat zhanniy.[10] Dari ajaran non
dasar inilah menurut Harun Nasution , di dalamnya terdapat ajaran Islam yang
dihasilkan melalui proses ijtihad.[11] Selanjutnya Harun menambahkan
bahwa, pemikiran di kalangan umat Islam
telah berkurang sama sekali, karena menganggap pintu ijtihad telah tertutup,
sehingga timbul sikap taklid yang berlebihan kepada pendapat-pendapat lama yang
menjadikan umat Islam semakin statis, di mana setiap perubahan yang dibawa oleh
zaman selalu ditentangnya.[12] Pada hal menurut Harun, ajaran Islam non dasar
yang memerlukan daya ijtihad untuk menggalinya tersebut memiliki porsi yang
lebih besar dibandingkan dengan yang ada
pada ajaran dasar , yakni hanya sekitar 500 ayat atau hanya kurang lebih 14 %
saja dari keseluruhan ayat- ayat Al-qur’an.[13]
Bermula dari ide-ide pemikiran mengenahi ajaran non dasar
inilah, Harun Nasution menganjurkan ; agar umat Islam segera kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya, segala bid’ah yang tidak sesuai dengan Islam dan
yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan berfikir umat Islam harus dibuang.
Sikap taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan,
karena pintu ijtihad tetap terbuka, sehingga yang dijadikan pegangan sebagai
pedoman untuk mengetahui ajaran Islam bukan lagi karangan ulama terdahulu, tetapi
harus dikembalikan kepada Al-qur’an dan Hadis sebagai ajaran dasar yang harus
disesuaiakan perinciannya dan cara pelaksanaannya dengan perkembangan
zaman.[14]
# Faham Rasional
Harun Nasution adalah sosok seorang intelektual muslim yang
terkenal sangat rasionalis. Hal itu tercermin dalam pandangan-pandangannya,
seperti; bagaimana membawa umat Islam khususnya di Indonesia kearah
rasionalitas, dan bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia itu tumbuh
kapasitas pengakuan terhadap manusia qadariyah.[15] Dua pertanyaan tersebut
cukup menjadi alasan tentang pandangan –pandangan rasional Harun Nasution.
Faham rasional ini terlihat dalam beberapa tulisan Harun yang menyatakan, bahwa
dinamika di kalangan umat Islam itu harus dihidupkan kembali dengan cara menjauhkan diri dari
faham zuhud, yaitu faham yang meninggalkan hidup duniawi dan mementingkan hidup
rohani yang banyak terdapat dalam aliran tarekat sufi yang mengalihkan
perhatian umat Islam dari kehidupan duniawi kepada kehidupan alam gaib. Kecuali
itu umat Islam harus pula menjauhkan diri dari faham tawakkal dan faham
jabariyah, mengembalikannya ke teologi
yang mengandung paham dinamika dan kepercayaan kepada rasio dalam batas yang
ditentukan oleh wahyu, serta harus dirangsang untuk berfikir dan banyak
berusaha.[16] Harun menambahkan,bahwa teologi kehendak mutlak Tuhan dengan
pemikiran tradisional, non filosofis dan non ilmiah, telah begitu besar
mempengaruhi terhadap umat Islam Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam Indonesia yang
sangat percaya bahwa, nasib secara mutlak itu terletak ditangan Tuhan, manusia
tidak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan. Karena
berkembangnya teologi kehendak mutlak Tuhan ini, banyak umat Islam yang
ragu-ragu dan kurang percaya akan adanya sunatullah, maka usaha manusiapun tak
banyak artinya, usahapun hanya sedikit dijalankan dan do’a yang diperbanyak.
Yang pasti sikap serupa ini tidak banyak menolong bagi meningkatnya
produktifitas, demikian kata Harun.[17]
Karena ide atau paham yang dikembangkan Harun Nasution lebih memberi kekuatan kepada akal yang
rasional dan bercorak Mu’tazilah, maka oleh sebagian kelompok yang merasa berseberangan dengan
ide-idenya tersebut, mengatakan bahwa Harun Nasution tokoh yang mengusung faham
mu’tazilah di Indonesia.
# Faham Pembaharuan
Dalam Pendidikan
Dalam masalah pendidikan, Harun Nasution banyak mengkritik
perkembangan sekolah-sekolah di Indonesia, walaupun sekolah-sekolah di Indonesia yang dikembangkan banyak
berkiblat pada pendidikan model Barat, namun tidak menimbulkan teologi
sunatullah, kurang mantap dengan adanya hukum alam ( natural laws ) atau hukum
kausalitas, artinya masih banyak model pendidikan yang dipengaruhi oleh paham qadha dan qadar ,
dimana kaum terpelajar masih belum yakin bahwa kesuksesan dan ketidaksuksesan
dalam usaha itu tergantung pada ikhtiarnya. Harun Nasution juga mengkritik
keras rterhadap model pendidikan agama di Indonesia, dimana kaum terpelajar
agama yang dikenal dengan nama ulama tidak kenal sama sekali dengan teologi
sunatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya. Yang mereka
kenal sejak semula adalah teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran
tradisional, nonfilosofis dan nonilmiahnya. Sejarah perkembangan pemikran Islam
tidak diajarkan, baik di madrasah maupun di pesantren-pesantren, maka kalau
disebut tentang teologi sunnatullah mereka terkejut dan menganggap hal itu
dipandang tidak islami. Pendidikan Islam di Indonesia masih menekankan
orientasi hidup keakhiratan , hidup spiritual , masih identik dengan shalat,
puasa, zakat dan haji, walaupun menurut hadis, urusan dunia seperti
mengembangkan ilmu dan berusaha untuk kepentingan masyarakat, termasuk urusan
ekonomi, industri, dan pertanian tak kalah pentingnya dari ibadah.[18]
Berwal dari kritik terhadap perkembangan pendidikan inilah,
Harun Nasution dengan ide-idenya yang cemerlang
menganjurkan, antara lain : (a)
Orientasi pendidikan masa depan harus diseimbangkan antara orientasi keakhiratan dan keduniaan.
(b) Pendidikan tradisional harus diubah, dengan cara memasukkan mata pelajaran
tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. (c) Umat Islam
harus mendirikan sekolah-sekolah modern di samping madrasah-madrasah yang telah
ada, agar dengan demikian terciptalah ahli-ahli Islam yang menguasahi bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi.[19] (d) Umat Islam harus mulai mengembangkan
kurikulum yang berorientasi pada teologi sunatullah baik di sekolah-sekolah
umum maupun di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, mulai dari tingkat dasar
sampai tingkat perguruan tinggi, sebab kurikulum yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah agama hingga saat ini masih terpaku
pada teologi kehendak mutlak Tuhan dan
berorientasi keakhiratan yang tidak menyokong bagi peningkatan
produktivitas.[20] (e) Merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia, seperti
Pengantar Ilmu Agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan
mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi dan
metodologi riset.[21]
Langkah pembaharuan pendidikan yang dilakukan Harun Nasution
selanjutnya ialah, keberhasilannya mendirikan Fakultas Pascasarjana ditahun
1982, karena menurutnya di Indonesia belum ada organisasi sosial yang
berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus
rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama dan
menguasai filsafat. Filsafat menurutnya sangat penting untuk mengetahui
pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti inilah yang diharapkan Harun
Nasution akan lahir dari Fakultas Pascasarjana.
Dampak dari usaha yang dilakukan Harun berupa suasana
kreativitas intelektual dan learning capacity yang diciptakan yang demikian
inovatif dan progresif, sering mendapat reaksi keras dari para ulama
tradisional.
PENUTUP
Dalam bab penutup ini,
akan penulis simpulkan beberapa
hal penting terkait dengan pokok bahasan yang sedang dikaji, hal itu
meliputi :
Menurut Harun Nasution dalam Islam itu terdapat dua kelompok
ajaran : (1) Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal,
tidak berubah dan tidak boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini adalah
ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir yang biasa disebut
sebagai ajaran dasar. (2) Ajaran yang bersifat absolut namun relatif, tidak
universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Yang berada dalam kelompok
ini ialah ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama, walaupun kebenaran
hasil ijtihad tersebut bersifat relatif yang biasa disebut dengan ajaran non
dasar.
Harun Nasution adalah seorang intelektual muslim yang sangat
rasionalis, sehingga dengan faham rasionalnya itu ia berusaha bagaimana bisa
membawa umat Islam di Indonesia ke arah rasionalitas, bagaimana agar di
kalangan umat Islam Indonesia itu tumbuh
pengakuan atas kapasitas manusia
kadariah, tidak terlalu didominasi oleh paham Asyi’arisme yang sangat Jabariah
( terlalu menyerah pada takdir ), dan kurang menghargai kapasitas akal (rasio)
untuk melakukan ikhtiar dalam perubahan nasib.
Pendidikan tradisional harus diubah, dengan memasukkan mata
pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah, agar
tercipta ahli-ahli Islam yang menguasahi ilmu pengetahuan dan teknologi, karena
langkah inilah inilah yang akan membawa
kemajuan umat Islam dalam mencapai keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi.
DAFTAR PUSTAKA
De Graaf, H.J. South Asian Islam to The Eighteenth Century,
dalam P.M. Holf, et al. (ed), Cambridge Histpry of Islam. Jilid 2, London : The Cambridge
University Press, 1970.
Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi. ENSIKLOPEDI ISLAM. Cet. Ke-9;
Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
M. Sewang, Ahmad. Islamisasi Kerajaan Gowa ( abad XVI-abad
XVII ). Cet. Ke-2; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam-Sejarah Pemikran
dan Gerakan. Cet. Ke-9; Jakarta
: Bulan Bintang, 1992.
———– —— Islam Rasional-Gagasan dan Pemikran. Cet. Ke-v; Bandung: Mizan, 1998.
—————— . Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid III.
Cet. Ke-4; Jakarta:
UI Press, 1984.
—————— . Ijtihad Sunber Ketiga Ajaran Islam, dalam Haidar Baqir,
Ijtihad Dalam Sorotan. Cet.ke-3; Bandung:
Mizan, 1994.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet.ke-vii; Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1998.
HARUN NASUTION ( ISLAM RASIONAL )
HARUN NASUTION
( ISLAM RASIONAL )
OLEH :
SYARIFAH KHADIJAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan suatu Negara sangatlah
dipengaruhi oleh para pembaharu dalam memberi warna baru untuk mencapai tujuan
yang maksimal dengan nuansa yang berbeda-beda.
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik
untuk ditelusuri , dimana minimal ada manfaat yang dapat diperoleh yakni bila
kesimpulan sejarah menunjikkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh
pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya inovasi pengembangan dan kemajuan
baik pada system pemerintahan, pertahanan, social ekonomi, politik, bahkan
pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandang suatu
fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa. Secara umum sejarah
mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena
sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan
melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguak tentang
ide-ide,gagasan atau pun pemikiran yang dituangkan oleh Harun Nasution,adalah
sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang
sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di
dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai
masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang
terbayang adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla
Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak
rasional dan cenderung liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian
itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan
gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut
Umat Islam di Indinesia.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah
dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis berusaha memberi rumusan dan
batasan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Harun Nasution seorang tokoh pembaharu ?
2. Sejauh manakah pengaruh ide,gagasan ataupun pemikiran
Harun Nasution di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Harun Nasution
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli
Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra
dari lima
bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran
Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi,
penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.
Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal
mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab.
Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah
memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan
agamanya.
Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh
oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch
Inlandsh School (HIS), yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang
pada waktu itu ia sudah berumur 14 tahun.Selama belajar di Sekolah Dasar ini
Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan
umum. Setelah ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool (
MIK), selama 3 tahun. Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini
karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini.
Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam , kerena Islam tampak sangat modern
di tangan pengajar MIK. Di sinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan
dengan pemikiran moderen Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana
Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek lebih lanjut
Harun Nasution berkomentar tentang MIK sebagai berikut :
” Di sana
ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang
kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu
dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an
dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu,
Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu
begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.
Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian
itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik
melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan
disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi
kesolo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus
belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena
menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari
sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam d Mekkah agar
lebih lurus pemikirannya.
Senada dengan itu sumber lain mengimpormasikan, bahwa
pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir, karena sebelumnya ketika
di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim
Indonesia tamatan mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A.Ghani,
dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai
tokoh agama terkemuka. Selepas dari mesir Harun Nasution pindah studi ke
Universitas Amerika di Kairo.
B. Harun Nasution : Islam Rasional
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat
Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia terus
mengikuti perkembangan di Indonesia, ia berpendapat bahwa masyarakat muslim
kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi
yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah
harus bertanggung jawab atas kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit
dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat
pembangunan umat. Inilah alasan mengapa ia ingin mengubah pandangan yang
fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis rasional dan
modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur
pendidikan, terutama perguruan tinggi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, konsep manusia yang terdapat
dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam.
Dalam masyarakat terdapat konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan
rasa adalah kalbu, Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama
perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak
tujuan membina manusia seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada
antara ulama agama dan ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan
terjadi kehancuran masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada
konsep Barat bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja,
tanpa adanya unsur ruh.
Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan
pendekatan ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar
agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio.
Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis.
Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar
meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan
keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif.
Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri
dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan
ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang
bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang
berasal dari Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar, oleh karena itu ajaran-ajaran
agama diyakini brsifat absolut dan mutlak benaryang harus diterima begitu saja
oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya
tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama
terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan tidak
bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.
Sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional dan
sikap dinamis umat yang berkembang pada Zaman Klasik, hilang bahkan lenyap pada
Zaman Pertengahan Islam yang dimulai pada tahun 1250 dan berakhir pada tahun
1800 M. Sebagai gantinya timbul pemikiran taradisional dengan pandangan yang
sempit , pemikirannya yang tertutup, serta sikapnya yang statis. Kalau pada
Zaman Klasik hanya ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur`an dan hadis yang diyakini
merupakan dogma, pada Zaman Pertengahan Islam, ajaran-ajaran yang dihasilkan
ulama-ulama pada Zaman Klasik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan
lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada Zaman
Pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif
yang banyak bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman.sehingga kebebasan
berpikir dan bergerak amat terikat. Setiap mau berpikir dan bergerak dijumpai
banyak larangan dan hambatan, pemikiran membeku dan umat menjadi statis.
Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul
kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah
kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan
memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat. Dania Islam pun
memasuki Zaman Modernnya.
Di Indonesia aliran Mu`tazilah belum begitu dikenal dan
tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu`tazilah dalam pemikiran
keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada
kekuatan akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran teologi
mereka banyak ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional.
Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul
anggapan di kalangan sebagian umat, ini selanjutnya membawa kepada tuduhan
bahwa kaum mu`tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari
jalan yang lurus dan benar, bahkan tidak sedikit umat Islam yang menganggap
mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan
bukan Islam lagi.
Pemikiran rasional memeng banyak mempengaruhi kaum
mu`tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu al-Huzhail
yang pertama memberi penjelasan sejau mana akal manusia dapat mengetahui
masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua
masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, Tuhan dan soal kebaikan serta
kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Megetahui adanya Tuhan
2. Mengetahi kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan
kewajibannyamengetahui perbuatan jahat
Kita di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini,
masih dingaruhi oleh filsafat hidup corak tradisional tersebut. Penghargahan
pada akal sebagai anugrah Tuhan itu belum cukup tinggi, paham qadha dan qadar
dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan
adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan,
rasa tanggung jawab belum tinggi dan masa depan lebih banyak diserahkan kepada
nasib.
Pembaharuan di Indonesia masih terbatas pada permasalahan
Furu sementara itu pemikiran di Indonesia muncul terlambat lima puluh tahun
dari India dan seratuh tahun dari Mesir dan Turki. Latar belakang ide
pembaharuan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang yang ada di Mesir,
Turki dan India. Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga
negara tersebut. Indonesia tak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah
pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai abad
ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam
Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi,
melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran tradisional
dan corak tarekat dan fiqihnya.
Di kalangan para pembaharu Indonesia yang timbul kira-kira
tujuh puluh tahun lalu, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional serta
pemikiran ilmiah demikian, tak dijumpai. Semua ini karena, sebagainama mereka
katakan, dalam ushul mereka sepaham dan yang mereka pertentangkan adalah masalah
furu`. Perlu diperhatikan bahwa ushul yang disepakati itu adalah teologi
Asy`ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan qadar.
Itulah sebabnya kenapa dibukakan intu ijtihad dengan kembali kepada Al-Qur`an
dan hadis, yang di anut oleh para pembaru itu, tidak berkembang di Indonesia.
Pembaru-pembaru permulaan abad kedua puluh ini pada hakikatnya masih terikat
kepada hasil ijtihad ulama masi silam.
Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah
serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu
membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul
dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam
yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh
pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak
jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain.
Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan
tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar
keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain
sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada
abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an
dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh
bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat
Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.
Selanjutnya Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran
mu`tazilah di abad klasik telah pula diperktekan oleh para ilmuan di abad
sembilan belas. Beliau juga ingin engatakan bahwa pemikiran mu`tazilah ternyata
telah dianut oleh kalangan ilmuan di berbagai negara. Timbulnya gerakan
pembaharuan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki dan sebagainya
antara lain karena pengaruh pemikiran Mu`tazilah yang dianut oleh para tokoh
pembaharu tersebut
Dari pemaparan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Harun
Nasution hadir sebagai tokoh kontroversial yang bercorak rasinal, hal ini
dpengaruhi dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Misalnya ayahnya
yang menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang
dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kerendahan melanggar aturan adat
tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dilihat dari tugas utamanya Harun Nasution sebagai pmbaru
dan sekaligus pendidik. Dengan kata lain ia adalah seorang pembaru yang
menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan
yang ditekuninya. Ia ingin memperkenalkan sikap moderen yang dapat menimbulkan
kemajuan bagi umat Islam. Serta ngin mengubah pola pikir dan tingkah laku umat
yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola
pikir yang rasional dan tingkah laku modern.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab terdahulu yang membahas tentang
Islam Rasional
( Harun Nasution) maka, penulis dapat menyimpulka sebagai
berikut:
1. Harun Nasution adalah seorang ahli ilmu kalam dan
filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikiranya yang
rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran demikian itu amat
bertentangan dengan corak dan pmikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat
itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan terikat pada mazhab tertentu. Sifat
dan corak pemikiran Harun Nasution yang demikian itu menyebabkan ia dianggap
sebagai ilmuan yang sekular.
2. Pengaruh ide-ide dan gagasan Harun Nasution begitu
terlihat jelas dalam bidang pendidikan karena merupakan alat untuk mengubah
masyarakat dengan menggunakan pendidikan. Yakni IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan.
B. Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan olehnya itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan kearah
yang lebih baik
DAFRAT PUSTAKA
Nata Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafifindo Persada, 2005
......................., Problematika Politik Islam Di
Indonesia, Jakarta: PT.Grasindo dan UIN Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran,
Jakarta: Mizan, 1998
.....................Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1975.
Yatim Badri dan Hamid Nasushi, Membangu Pusat Keungulan
Studi Islam Sejarah dan Profil Pemimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: IAIN Jakarta
Press,2002
No comments:
Post a Comment