Penulis : Rahmad
Fitriyanto
Pedoman hidup yang digariskan
Allah merupakan karunia terbesar bagi umat islam khususnya dan manusia pada
umumnya. Eksperimen-eksperimen barat yang menafikan petunjuk Ilahi pada
akhirnya hanya merupakan sebuah perjalanan yang tidak menemui ujung pangkal.
Kenyataan ini membuat manusia menyadari kepongahannya. Maka islamisasi peradaban -yang meletakkan manusia sesuai dengan fitrahnya- kemudian menjadi alternatif yang terelakkan. Kebangkitan eropa (renaisance) modern yang identik dengan kejatuhan kaum gereja, yang berakibat kepada pelemparan agama secara keseluruhan dari dunia barat, God is dead, begitulah istilah mereka. Paham-paham yang lahir kemudian mengambil manusia sebagai sentrum aktifitas yang terlepas dari unsur Ilahiyah. Maka lahirlah Mustalahat-mustalahat barat yang sangat bombastis, semacam Sekularisme, Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Eksistensialisme, Modernisme, Post-modernisme dan lain-lain yang sangat worldly oriented.
Namun pada perkembangan
selanjutnya, wacana-wacana yang lahir di dunia barat, kemudian menjadi sebuah
“ideologi” yang menarik dan paling mengundang perhatian orang banyak adalah
paham sekularisme. Ia dimaknai sebagai momok yang sangat menakutkan, meresahkan
sekaligus mengundang daya tarik untuk dicermati. Ia dianggap momok karena
hampir semua ruang kehidupan umat muslim mulai dari kegiatan ubudiyah sampai
yang berkaitan dengan amaliah (hubungan antar manusia-negara) terjangkiti
dengan ide-ide sekuler ini. Selanjutnya
Ia dianggap mengundang daya tarik
karena semakin hari tanpa tidak sadar, konsep-konsep yang diusung para kaum
sekuler dengan tanpa batas menyentuh dan merayap ke semua negara. Dan hampir
sebagian besar negara muslim -kalau tidak dikatakan- terkena wabah sekularisme.
Sebagaimana yang diilustrasikan
Bernard Lewis dalam bukunya “What went wrong: Approaches to the modern history
of the middle east” bahwa beberapa negara muslim mengikuti model sekuler negara
barat dalam rangka memecahkan permasalahan-permasalahan yang sulit. Meskipun
demikian, oleh Mohammed Elhachmi hamdi dengan tegas mengatakan bahwa “terlalu
dini kiranya jika mengatakan bahwa hegemoni kultural barat telah memenangkan
pertempuran dan kaum muslim dapat disekulerkan dengan begitu mudah”. hal senada
namun dalam kesempatan yang berbeda diungkapkan oleh Ernest Gellner bahwa
“islam tidak tersekulerkan”.
dalam sejarahnya, sekularisme
lahir sebagai reaksi atas berkuasanya kaum gereja atas negara. Kristen yang
merupakan risalah ruhaniah dan ritual Ilahiyah mempunyai prinsip “Berikan hak
kaisar kepada kaisar dan hak Tuhan kepada Tuhan”. Meskipun pada perjalanan
selanjutnya, pada masa kegelapan di eropa, kaum gereja menguasai negara meski
tidak secara langsung, namun berimplikasi pada terjadinya
penyelewengan-penyelewengan yang berakibat pada kemunculan revolusi yang
mengubur habis-habisan fungsi agama dan mengembalikan fungsi kristen ke gereja.
Masa gelap kekuasaan kaum teokrat gereja ini, agaknya menjadi trauma kaum barat
dan selalu menganggap agama sebagai sentral masalah.
Islam sebagai salah satu agama
terbesar di dunia, sesungguhnya memiliki dokumentasi yang layak dibanggakan
terhadap kemajuan peradaban manusia dengan ajaran-ajarannya yang universal dan
komprehensif. Tetapi pada perjalanannya, agama islam khususnya dan agama lain
pada umunya mengalami pelbagai perubahan dan perkembangan. dalam hal ini
pemahaman dan interpretasi, sebagian kalangan islam menginterpretasikan islam
dengan pola fikir fundamentalistik, sebagian yang lain justru menggunakan pola
pikir liberalistik. Hal ini bermuara pada banyaknya permasalahan yang kemudian
menjadi sumber konflik antar dua kelompok pemikiran tersebut, salah satunya
adalah sekularisme.
Sebenarnya banyak kerancuan
seputar penggunaan kata “sekularisme” tersebut. Di antaranya, kerancuan tentang
wacana sekularisme dan sekularisasi, menyusul kemudian beberapa pertanyaan
mendasar berkaitan dengan tataran praktis sekularisme di beberapa negara,
misalnya: Apakah sekularisme benar-benar bisa diterapkan sebagai idiologi suatu
masyarakat atau negara? artinya dengan melihat prototype beberapa negara,
benarkah mereka menerapkan paham sekularisme secara murni?. Untuk lebih
memahami kerancuan dan pertanyaan di atas penulis ingin mencoba memaparkan
lebih lanjut tentang wacana sekularisme dan sekularisasi, adakah perbedaan
diantara keduanya? Dan apakah paham sekularisme menjadi paham yang realistis
untuk diterapkan dalam negara?.
Sketsa Pengertian Sekularisme
Di dalam bukunya Abd Wahab
al-Masiri, dikatakan bahwa sekularisme berasal dari bahasa latin, Seaculum,
aeon atau Mundus. Yang pertama mengandung dimensi waktu, abad dan generasi.
Sedangkan kedua mengandung dimensi ruang dan tempat. Dalam bahasa Arab, istilah
ini mengalami beberapa “asal kata”. Kata “Almaniyyah” berasal dari tiga huruf
yaitu ‘ain, lam dan mim. Jika kita merujuk pada kata aslinya maka Almaniyyah
bisa memiliki dua cara baca yaitu “Almaniyyah”(dengan ‘ain fatha berarti alam)
dan “Ilmaniyyah” (dengan ‘ain kasrah berarti ilmu). Cara baca yang berbeda ini
menimbulkan arti yang berbeda pula. Almaniyyah (fatha áinya) artinya adalah
pemisahan antara urusan dunia dan akhirat, negara dan agama (fashl al-din wa
ad-daulah). Sedangkan Ilmaniyyah berarti usaha mensejajarkan antara agama dan
ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, ada sebagian pemikir arab yang tidak
sependapat dengan adanya dua bacaan tersebut. Murad Wahab misalnya, ia hanya
mengakui adanya bacaan ‘Almaniyyah bukan ‘Ilmaniyyah.
dalam sejarahnya, wacana
sekularisme muncul pertama kali di barat pada abad pertengahan, ketika itu,
agama (gereja) dikuasai oleh para pendeta yang memiliki kekuasaan absolut,
sehingga kebijaksanaan apapun yang bertentangan dengan pendeta , dianggap
bertentangan dengan agama (Tuhan). Penafsiran-penafsiran teks Injil dan Bible
dimonopoli oleh mereka dan penafsiran di luar itu diaggap telah menyimpang.
Tekanan-tekanan ideologis ini, tentunya berimplikasi negatif terhadap seluruh
aspek kehidupan sosial, termasuk juga perkembangan ilmu pengetahuan.
Agama pada akhirnya menjadi
penghalang bagi penemuan-penemuan ilmiah. beberapa ilmuan, diantaranya Galileo,
harus mengakhiri hidupnya dengan naas di tiang gantungan, hanya karena ia
berani mengemukakan teori yang bertentangan dengan Injil. Pengalaman Galileo
dan beberapa rekannya menjadi salah satu sebab kemandegan total perkembangan
ilmu dan logika pada abad pertengahan. Keadaan ini benar-benar meresahkan
masyarakat, khususnya kaum intelektual. Pada akhirnya mereka terdorong untuk
melakukan pembaharuan (al-ishlah ad-dini). Konsep yang diusung oleh para
pembaharu tersebut adalah bagaimana membatasai kekuasaan gereja (pendeta) pada
hal-hal yang bersifat religius saja, tidak pada hal-hal yang bersifat
keduniawian (profan). Agama terbatas pada hal-hal yang berdimensi ritual saja,
sedangkan urusan-urusan diluar itu, termasuk urusan kenegaraan, ditangani
sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan agama ataupun pendeta. Salah satu
slogan utama yang diteriakkan para pembaharu itu adalah: “Berikanlah hak Tuhan
kepada Tuhan dan berikanlah hak kaisar kepada kaisar”. Adagium inilah yang
selanjutnya menjelma menjadi sebuah ideologi yang akhirnya kita kenal dengan
“sekularisme”.
Pergesaran Paradigma Faham Sekuler
Pergesaran Paradigma Faham Sekuler
Telah disinggung di atas bahwa
sesuai dengan akar sejarahnya dipahami sebagai usaha pemisahan antara agama
(akhirat) dan negara (dunia), “fashl al-din wa al-daulah”. Agama sebagai
wilayah privat, tidak dapat dicampuradukkan dengan negara atau kekuasaan yang
posisinya berada di wilayah publik. Dari makna ini, seakan-akan dunia hendak
“dipisahranjangkan” dari agama, agama tidak berhak masuk ke dalam ruang-ruang
publik yaitu ruang sosial, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejak awal kelahirannya, islam
merupakan agama yang diwahyukan dengan teks Al Quran yang dipahami sebagai
kalam Tuhan dan karena bersifat suci. Nabi Muhammad saw, sebagai pengemban
risalah islam dan kemudian para khalifah yang menggantikannya pada waktu
berkecamuknya perang dan perluasan kerajaan islam, berfungsi sebagai kepala
negara sekaligus pemimpin agama. Dalam beberapa kurun abad berikutnya dan
hingga kini, sekalipun terjadi gelombang ke arah rasionalisme dan terbentuknya
beragam negara-negara bangsa, namun bagi kebanyakan kaum muslimin kombinasi itu
tetap menjadi idaman bentuk ideal pemerintahan. Maka islam tidak pernah
mengenal pemisahan antara gereja dan negara. Suatu gagasan yang di dunia barat
telah menentukan perkembangan politik dan sosial serta mengantarkan barat dari
absolutisme menuju demokrasi.
Dalam kerangka ini, jelas bahwa
agama kemudian kehilangan fungsinya sebagai salah satu unsur perubahan dan
transformasi sosial. Agama yang menjadi sumber moralitas masyarakat tentu saja
akan menyempit pada praktik-praktik ritual dan ibadah mahdah berhubungan dengan
Tuhan saja tanpa bersinggungan dengan sesama manusia. Negara sekuler tentunya
akan membentuk sumber daya manusia yang hanya saleh secara pribadi tapi tidak
saleh secara sosial.
Dengan pengertian di atas,
secara nyata kita ketahui bahwa konsep ini bertentangan dengan islam sebagai
agama sosial dan kemanusiaan. Islam menginginkan balance antara kedua aspek,
dunia dan akhirat, demikian pula, islam tidak mengenal konsep kekuasaan mutlak
dan absolut para ulama. Perintah ketaatan termanifestasi ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya serta para pemimpin. Perintah ketiga inipun diikuti dengan
catatan bahwa masyarakat sebagai kontrol sosial, tidak wajib mentaatinya jika
mereka menyimpang dari ketaatan Allah dan Rasul-Nya. Intinya, dalam islam, para
penguasa tidak memiliki kedaulatan mutlak seperti yang terjadi pada kekuasaan
kaum gerejawan (pendeta) pada abad pertengahan. Kondisi ini tentu saja
berimplikasi positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan maupun perubahan
sosial lainnya.
inilah beberapa alasan mengapa
islam mengambil sikap konfrontasi dengan faham sekularisme -sesuai dengan
pemahaman historis barat-. Lalu, apakah benar agama -baik islam maupun agama
lainnya- yang mengandung unsur kemanusiaan dan sosial, menjadi sumber moralitas
masyarakat dan mencakup seluruh aspek kehidupan, dapat begitu saja dipisahkan
dari pemeluknya? Artinya, benarkah negara Turki misalnya, yang mengaku
mempraktekkan paham sekularisme secara total dapat memisahkan urusan negara
dari agama dan ajaran-ajarannya?.
Penulis sendiri berasumsi
memperkuat argumen bahwa sampai saat ini, negara-negara sekuler itu tidak
benar-benar bisa memisahkan agama dari negara secara mutlak. Misalnya, dalam
bidang pendidikan, negara sekuler beranggapan bahwa pendidikan merupakan salah
satu urusan negara, agama tidak boleh ikut campur, sampai-sampai mata pelajaran
agama tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal sebab itu dianggap
sebagai tindak kriminal. Tetapi apakah dengan begitu, berarti agama dalam
ajaran-ajarannya tidak mendukung pendidikan?
Pengalaman Turki dalam Praktik Sekularisasi
Pengalaman Turki dalam Praktik Sekularisasi
Menempatkan islam, religuisitas
atau pola pemikiran ulama berhadap-hadapan dengan sekularisme atau pola pikir
ilmuan rasanya kurang tepat, bahkan terlalu simplistik. Menempatkan posisi
saling berhadap-hadapan, bagaikan air dan minyak yang sifat-sifat dasarnya memang
sudah berbeda sejak semula. Padahal kalau dikaji secara mendalam, orang yang
beragama, dalam hal ini adalah seorang muslim yang taat, saleh, yang memegang
prinsip-prinsip dasar islam, membutuhkan pola berfikir ilmiah untuk dapat menjamin
kelangsungan kehidupannya.
Pola
pemikiran muslim tradisional yang lebih mengedepankan “kolektifitas” yang lebih
mengedepankan pandangan batiniah dalam kehidupan keberagamaan berakibat pada
lambannya daya penyerapan tata aturan pemikiran rasional dalam ilmu
pengetahuan, serta kelambanan dalam mengambil langkah penyesuain dengan
perubahan zaman yang bersendikan hukum-hukum positif rasional. Pola berfikir demikian secara langsung berhadapan dengan
pola-pola pemikiran baru, yang memberikan kelonggaran kepada individu-individu
untuk merebut kesempatan memahami aturan rasional dalam segala aspek kehidupan.
Pergumulan sengit antara dua
jenis pola berfikir itu yang sebenarnya mewarnai seluruh perjalanan historis
proses sekularisasi di negeri Turki yang berpenduduk 98% beragama islam.
Pengalaman Turki dalam bidang sekularisasi sebenarnya bukan pada zaman Mustafa
Kamal Ataturk. Sekularisasi dalam bidang politik dalam artian penataan kembali
mekanisme pemerintahan dan proses birokratisasi, sudah berjalan sejak zaman
daulah Usmaniah (Ottoman Empire) ketika Sultan
Salim III (1789-1807) dan Mahmud II (1807-1839) memegang pemerintahan. Dengan
langkah-langkah penataan seperti itu, maka konflik dengan para ulama -yang
masih menghendaki sistem lama dalam perekrutan yang tanpa disertai kualifikasi
pendidikan tertentu- tak terelakkan.
Dalam pergumulan pemikiran di
Turki, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwasanya ulama tidaklah identik
dengan islam. Islam sebagai satu ajaran atau “guiding principle” sudah barang
tentu dalam banyak hal berlainan dari ulama, pemangku ajaran tersebut yang
secara tak terelakkan punya vested interest
tertentu. Dalam melihat perkembangan sekularisme di Turki, penulis cenderung
melihat “ulama” sebagai paradigma tatanan pola berfikir umat beragama yang oleh
karenanya tidak ada yang dapat menjamin tidak timbulnya konflik antara pola
berfikir satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Gerakan sekularisasi, dalam
artian merombak tatanan pola berfikir tradisional ini, diteruskan pada periode
Tanzimat (1839-1876). Perubahan pokok saat itu masih di seputar mekanisme
sistem kekuasaan negara dan pola rekruitmen pegawai kerajaan yang dulunya
direkrut dari keluaran madrasah (sekolah agama) dan beralih merekrut calon
pegawai-pegawai baru yang terdidik dan terlatih dalam ilmu administrasi
pemerintahan. Sekularisme dalam bidang ini sebenarnya sudah berjalan lebih
awal, yakni dengan pendirian sekolah kedokteran (1827), Akademi militer
(1834-1846). Berhubung ilmu-ilmu baru ini dari Eropa, maka negarawan kerajaan
Usmaniah, Saffet Pasa (1814-1883) menekankan perlunya Turki menerapkan seluruh
kebudayaan Eropa.
Meskipun proses sekularisasi
dalam bidang pemerintahan, pendidikan militer, telah terjadi pada abad 19,
tetapi tidak cukup memuaskan. ide-ide dasar pembaharuan tidak sepenuhnya
diterima baik oleh penguasa, yang dalam hal ini adalah para sultan yang
berkoraborasi dengan para ulama sehingga perjalanan perombakan struktur tatanan
kehidupan sosial dan tata cara berfikir sangat lambat. Angin baru ilmu
pengetahuan yang banyak menyentuh kehidupan duniawi tidak banyak menyentuh
negarawan, ulama sebagai motivator, apalgi orang awam.
Menghadapai kenyataan yang
semakin pahit, dimana orang-orang Eropa (Inggris, Prancis,
Italy dan Yunani) sudah
memasuki wilayah kerajaan Usmaniyah, Mustafa kamal Attaturk menyusun kekuatan
dari daerah Anatolia untuk mengusir pendatang.
Kerajaan Usmaniyah sudah tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaan dan
wilayahnya. Dalam kaitan ini, Mustafa kamal boleh dikata sebagai penyelamat
integritas bangsa dan pembebasan wilayah Turki dari ancaman penjajahan bangsa
Eropa.
Mustafa Kamal Attaturk tahu
persis kemunduran bangsanya dan kelemahan sistem pemerintahan kesultanan
setelah bergelimang dalam kemegahan dan kemewahan. Di atas puing-puing
kelemahan rakyat, Attaturk mulai mendobrak tradisi dan tata pola berfikir umat
islam Turki yang terasa sulit diajak menatap ke depan. Mesin sekularisasi mulai
disulut dan tersebar dalam seluruh aspek kehidupan dan berlangsung hingga saat
ini.
Deru roda modernisasi dan
sekularisasi dalam pemerintahan, pendidikan, sosial-kemasyarakatan terasa
bergemuruh dan cepat sekali. Perombakan menyeluruh sistem pemerintahan dari
Theocratic Empire menjadi negara kebangsaan modern menjadi incaran utamanya.
Ajaran-ajaran nasionalisme sekuler menggantikan “islam” dalam artian serapit
“Theocratic Empire” tersebut. Suka atau tidak suka, rombakan yang bersifat
maraton tersebut berjalan terus tahap demi tahap. Kesultanan dihapuskan pada
tahun 1922, proklamasi republik 29 oktober 1923. pada tanggal 3 Maret 1924
beberapa undang-undang dikukuhkanoleh perlamen. Penghapusan khalifah,
penyelenggaraan pendidikan nasionaldimonopoli pemerintah dan penutup segala
madrasah. Administrasi wakaf dan urusan keagamaan dibawah direktorat keagamaan
dibawahi langsung oleh perdana menteri. Bulan April 1924, peradilan agama
dihapus. Pada tahun 1925, perkumpulan Tarekat (mistic) dibubarkan. Hukum Swiss
diberlakukan tahun 1926.
Revolusi kebudayaan sekaligus
sekularisasi ini berlangsung hingga wafatnya Mustafa kamal Attaturk tahun 1938.
satu catatan penting yang cukup menarik perhatian para pengamat dari luar
adalah bahwa dalam situasi revolusi kebudayaan seperti itu memang sudah terbina
baik dan terinternalisir pada saat daulah Usmaniyah, atau rakyat cukup maklum
tentang parahnya situasi dan menghendaki perubahan dalam segala bidang ataukah
pengaruh mazhab Hanafi dalam mengatur tata hubungan antar rakyat dan pemimpin.
Sekularisme dan Sekularisasi
Sejak masuknya sekularisme ke
dunia islam, baik melalui kolonialisme (isti’mariyah) maupuninteraksi budaya,
dunia pemikiran islam hampir tak pernah tenang dan tentram> Polemik dan
benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban islam. Hampir
setiap negeri islam menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu islam
dan kubu sekuler.
Kontroversi sekularisasi yang
muncul dengan sangat populer, telah menimbulkan polimik besar yang cukup
berkepanjangan di kalangan intelektual muslim. Akibat polemik tersebut, muncul
dua kelompok dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya.
Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang
keras sekularisasi, yang dianggap identik dengan sekularisme. Kelompok kedua
disebut dengan kelompok reformasi, suatu kelompok yang menolak sekularisme
sebagai suatu faham tertutup yang anti agama. menurut kelompok reformasi ini,
sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kehidupan magis
dan takhayyul dengan melakukan desakralisasi alam.
Di negara Arab, misalnya, di
Mesir, perdebatan dalam bidang pemikiran terkadang sampai ke tingkat yang cukup
serius. Dahulu, Ali Abdu Raziq, penulis kitab Al islam wa Ushul al hukm, ia
diajukan ke sidang Dewan Guru Besar Al Azhar, karena karyanya yang menafikan
peran politik Rasulullah saw. Ada
pula yang di fasakh denga istrinya, seperti yang terjadi pada kasus Nasr Hamid
Abu Zayd, bahkan ada yang mati tertembak, seperti yang menimpa Faraq Faudah.
Untuk melihat sekularisasi
secara lebih dekat, perlu digunakan kacamata berlensa ganda, dalam arti tidak
hanya melihat masalah ini dalam satu dimensi saja. Kita juga dituntut untuk
melihat dalam skala makro secara arif dengan memperhatikan dimensi masa lampau
dan masa kini tanpa mengabaikan faktor manusia baik sebagai individu, sosial,
kultural maupun dalam relevansinya dengan sesuatu yang transendental. Untuk
itu, perlu dicari akar historis dan perkembangannya antara barat dan timur agar
dapat diketemukan makna sekularisasi dan sekularisme, sekaligus apa yang
terkandung dalam pengertian tersebut serta relevansinya terhadap keyakinan
keagamaan.
Selanjutnya, diskursus ini bukan
dimaksudkan untuk meniadakan “tapal batas kerangka ideologis agama” hingga
terjebak dalam ruang prefensi yang semu, dan juga bukan dimaksudkan untuk
memihak salah satu tokoh atau pemikiran tertentu, melainkan justru melacaknya
sampai sejauh mana kedalaman konsepsi mereka sekaligus faktor yang
melatarbelakangi pemikiran tersebut. dengan demikian, dapat dilihat pokok
permasalahannya dalam suatu kerangka yang utuh sehingga dapat membuka mata
untuk melihat aspek yang menjadi sumber kontroversi.
Problematika islam dan
sekularisme maupun sekularisasi dalam tradisi perkembangan pemikran modern
dalam islam, baik di dunia internasional maupun di Indonesia cukup bervariasi di dalam
cara menangkap makna sekularisme maupun sekularisasi. Adapun cara pandang para
pemikir modern islam tersebut adalah:
Pertama: Ada yang beranggapan bahwa islam dan
sekularisme merupakan dua entitas yang antagonistik, karena posisi islam
kebalikan dari sekularisme. Yang berpandangan seperti ini, misalnya Muhammad
Imarah. Dengan demikian, apabila negara-negara yang berpegang pada sekularisme
dapat mencapai kemajuan, bukan berarti islam menjadi sebab suatu kemunduran.
Hal ini merupakan dasar ijtihad penggunaan penalaran hukum secara independen untuk
memberikan jawaban atas suatu masalah ketika Al Quran dan Sunnah tidak mampu
memberikan jawaban yang tegas. Maka dalam islam, dan ini penting bagi manusia
bahwa hukum sangat mungkin berubah dan berkembang untuk selalu diinterpretasi
ulang seiring dengan perkembangan zaman dari masa ke masa.
Kedua: Muhammad Qutub,
misalnya, beliau kembali menggunakan istilah sekularisme dalam bahasa Arab
“Ilmaniyyah” sebagai tujuan pokok sekularisasi. Sekularisme cenderung diartikan
adalah membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau dalam terminologi
bahasa Arab disebut “alla diniyah” (atheis). Pemikiran tentang perubahan,
menurut Qutub bukanlah hal baru dalam islam. Kitab Tuhan abadi, Up to date,
segala sesuatu tetap di dalamnya, namun meliputi aspek-aspek perubahan diantara
celah-celah lembarannya, disinilah penting arti Ijtihad.
Ketiga: Mengkaji masalah
sekularisasi secara holistik, dalam arti ingin menjembatani pemikir barat dan
muslim, seperti yang disuarakan Muhammad Naguib al-Attas, menurutnya, islam
tidak sama dengan kristen, karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat
kristen barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat muslim. Dengan jelas
al-Attas membedakan antara pengertian sekuler yang mempunyai konotasi ruang dan
waktu, yaitu menunjukkan pada pengertian masa kini atau dunia kini.
Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan
metafisika, atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika, atau
terlepasnya dunia dari pengertian religius (dalam istilah Max Weber), pembebasan
alam dari noda-noda keagamaan.
Selanjutnya menurut al-Attas,
islam menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekuler, sekularisasi
maupun sekularisme, karena semua itu tidak ada relevansinya dengan islam
(adopsi barat) dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan kata lain,
islam menolak secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik eksplisit
maupun implisit (al-kamin), sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat
mematikan terhadap keyakinan yang benar (iman).
Di kalangan pemikir islam di indonesia
kontroversi tentang sekularisasi, juga masih terus menghangat, hal ini
berakibat pada timbulnya dua kelompok dikotomis dengan para pendukung
masing-masing. Pertama: kelompok konservatif yang menolak sekularisasi, yang
dianggap terpisahkan dengan sekularisme. Kedua: Kelompok reformasi yang menolak
sekularisme sebagai ideologi pemikiran , tetapi mendukung sekularisasi sebagai
gerakan pembebasan umat beragama (liberating development). Lalu, dimana
sebenarnya letak perbedaan sekularisme dan sekularisasi?
Nurcholish Madjid, misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan
sebagai penerapan sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang
membebaskan (liberating development) Proses pembebasan ini diperlukan umat
islam karena akibat perjalanan agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan
nilai-nilai yang disangkanya islam itu, yakni mana yang transendental dan mana
yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat
islam.Sesungguhnya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Sekularisasi memiliki pengertian khusus, yang bahkan bertentangan dengan ide sekularisme. Sekularisasi menempatkan dirinya pada posisi pembebasan, yakni pembebasan umat islam dari kecenderungan-kecenderungan pola pikir mereka yang mengsakralkan hal-hal duniawi, dan disangka islami. Misalnya saja dalam konteks politik. Politik dan hal-hal yang berkaitan dengannya harus disikapi sebagai persoalan duniawi yang terus berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Berbeda dengan ritual-ritual keagamaan, misalnya yang memang statis, tidak berubah sepanjang masa.
Jadi pemisahan dalam sekularisasi bukanlah pemisahan agama dan negara (non-agama), seperti yang menjadi acuan dasar pada sekularisme, tetapi sekularisasi merupakan pemisahan hal-hal yang bersifat dinamis dan sakral, dengan penyikapan keduanya secara proporsional.
Dalam islam sendiri, sumber-sumber ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, dan menjadi pedoman nilai-nilai universal, namun -dalam urusan-urusan duniawi yang dinamis- islam tidak mengatur secara mutlak, islam tetap membiarkan ummatnya berijtihad menentukan metodologi penerapannya, sebab, agama bukanlah dogma mati, akan tetapi harus bersifat lentur dan fleksibel sesuai dengan kondisi sosiologis maupun historis. Kelenturan ajaran islam ini dapat dibuktikan dari konsep nasikh wal mansukh pada Al Quran secara berangsur-angsur sebagai jawaban atas realitas yang ada saat itu.
Jika sekularisme berpautan dengan permasalahan ideologis, maka sekularisasi lebih bergandengan dengan makna modernisasi. Modernisasi yang menuntut adanya pola pikir dinamis, terus berkembang dan berubah menyesuaikan ruang dan waktu, menjadi keniscayaan seluruh masyarakat dunia tanpa terkecuali. Semua negara akan mengalami The Grand process of modernization, walaupun proses dan caranya berbeda pada setiap negara. maka dari itu, sekularisasi yang terjadi saat ini di dunia islam merupakan suatu peroses sosial yang tak terelakkan.
Epilog
Tidak dapat dipungkiri, dengan sekularisme Eropa berhasil mencapai kemajuan, tetapi fenomena-fenomena Eropa bukanlah menjadi standar utama (marji’iyyah al awwal) bagi kemajuan dunia islam. Karena itu, untuk keluar dari jeratan dan keterjebakan paham sekularisme maka cara pandang islam yang integralitik (as-syamila) terhadap isu-isu yang diusung oleh mereka dengan segera harus ditanggapi dengan kerangka metodologi-ilmiah nan teosentris. Ini sangat penting karena keterbelakangan umat islam disebabkan oleh cara pandang yang rigid, sempit, tekstual sekaligus merasa enjoy dengan kejayaan yang pernah diraih beberapa abad silam yang disebut banyak kalangan sebagai zaman keemasan (al ashr az-dzahaby).
Akibatnya, islam masa lalu dipahami sebagai blue print (cetak biru) yang serba paripurna dan kebenarannya menempati posisi paling tinggi. Doktrin islam senantiasa di puncak menara dan tak tertandingi (al islam ya’lu wala yu’la ‘alaih). Model kepemelukan seperti ini merupakan pemandangan yang dominan dalam masyarakat muslim.
Maka sekalai lah=gi, untuk menempatkan persoalan secara proporsional, yang harus diperhatikan adalah aspek sentral dari sekularisasi yaitu suatu proses yang antagonistik yang kemudian mengkristal menjadi sebuah ideologi. Karena itu, sekularisasi mempunyai makna yang beraneka ragam bahkan berlawanan, tergantung sudut pandang yang dipergunakan. Wallahu á’lam bissawab.
No comments:
Post a Comment