Tuesday, April 12, 2016

KHAWARIJ





Penulis : Rahmad Fitriyanto




Mazhab Khawarij muncul bersama dengan mazhab syi’ah pada masa pemerintahan Khilafah ‘Ali Ibnu Thalib. Pada awalnya, pengikut kedua mazhab tersebut adalah para pendukung ‘Ali, mekipun mazhab Khawarij muncul lebih dahulu daripada mazhab Syi’ah.
                 Menurut catatan sejarah, ketika pasukan Mua’wiyah terdesak dalam perisyiwa perang Shiffien yang terjadi antara pengikut ‘Ali dengan pengikut Muawiyah, Muawiyah merencanakan untuk mundur. Niat tersebut dibatalkan karena ada ide untuk mengdakan tahkim. Tentara muawiyah mengangkat mushaf al-Qur’an diatas kepala mereka agar bertahkim dengan al-Qur’an. Melihat kenyataan tersebut ‘Ali tetap bermaksud melanjutkan peperangan. Namun ada sekolompok orang dari pasukan ‘Ali menuntut agar ‘Ali bersedia menerima usulan tahkim dengan terpaksa ‘Ali menyetujui usulan tersebut.

Kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat wakil-wakilnya. Mua’wiyah memilih ‘Amr ibnu ‘Ash dan ‘Ali yang pada awalnya hendak mengirim ‘Abdullah ibnu ‘Abbas, akhirnya atas desakan pasukannya mengangkat Abu Musa al-Asyari yang dianggap lebih tua. Hasil akhir dari tahkim ini berakibat buruk pada diri ‘Ali dan menguntungkan pada pihak Mu’awiyah ‘Ali turun dari jabatan Khalifah, sedang Mu’awiyah naik ke jabatan tersebut menggeser ‘Ali.
Yang sebenarnya Alilah yang resmi sebagai khalifah. Sedang Mu’awiyah tidak lebih hanya seorang Gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada ‘Ali sebagai khalifah[1]
Sebagaimana Syi’ah, Khawarij pecah dalam skate-skate dengan ajaran yang bebeda antara satu sketa dengan sketa lain. Ini bukan berarti sketa-sketa tersebut tidak memiliki persamaan sedikitpun. Mereka mempunyai ajaran pokok yang dapat mempertemukan seluruh sketa yang ada.   
    
A. Sejarah Khawarij
Dalam catatan sejarah ditemukam sejumlah nama Khawarij. Namun didasarkan atas ayat 100 surat an-Nisa, yang menyebutkan:
 `tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZŽÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøƒs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.ÍôムßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§
Artinya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa,:100)
               Dengan demikian kaum khawarij memanndang diri mereka sebagai kaum yang berhijrah/keluar meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya dan untuk memperoleh ridha dan pahala dari Allah SWT.
              Pendapat lain mengatakan, bahwa khawarij berasal dari kata “ k h a r a j a “ yang mengadung pengertian keluar. Semula mereka berada di dalam barisan ‘Ali kemudian keluar memisahkan diri[2] karena tidak sepaham dalam persengketaan dengan Mu’awiyah.
              Nama lain yang diberikan kepada Khwarij adalah ‘Haruriyah” yang berasal kata Harura, sebuah desa dekat kota kufah, di Irak. Di desa ini mereka yang berjumlah dua ribu orang menyusun kakuatan untuk mengadakan “makar” terhadap pemerintah ‘Ali yang sah.
              Disisi mereka memilih Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi menjadi Imam mereka sebagai pengganti Ali bin Thalib, bertempur denga kekuatan Ali kalah besar, akhirnya seseorang nama Abd al Rahman ibnu al-Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib.
              Sedangkan kaum khawarij menyebut diri mereka dengan Syurah yang berasal dari kata yasyri yang berarti menjual. Penyebutan nama tersebut di dsarkan atas ayat 207 surat al-Baqarah:
šÆÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ̍ô±o çm|¡øÿtR uä!$tóÏGö/$# ÉV$|ÊósD «!$# 3 ª!$#ur 8$râäu ÏŠ$t6Ïèø9$$Î/
Artinya : Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah:207)
              Khawarij selalu memfokuskan gerakannya pada tiga hal.
1.           Dalam persoalan politik mereka slalu menjunjung tinggi nila-nilai demokrasi. Seorang yang dipilih oleh umat harus memiliki kualitas jabatan itu, yaitu : mempunyai kemampuan dan komitmen pada syari’ah. Jabatan khalifah dapat dipegang oleh siapapun tidak mutlak unutuk suku strata sosial tertentu. Khalifah dapat dijadikan sasaran “mosi tidak percaya” jika tidak lagi menegakkan keadilan dan melaksanakan syari’at Islam[3]   
2.           Pandangan khawarij yang semula lebih terarah kepada bidang politik, kemudian berkembang kearah teologi. Khususnya mengenai siapa yang : tetap mu’min dan siapa yang telah keluar dari Islam atau kafir. Ali dalam kepasitasnya sebagai khalifah secara politis berada pada pihak yang dirugikan dalam tahkim, dapat dianggap kafir dan berarti ia keluar dari Islam. Demikian juga Talhah, Zubair dan sahabat besar lain yang tidak sepaham dengan pandangan mereka, dinilai kafir.[4], termasuk juga Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.[5] Karena keluar dari Islam atau kafir berarti darah mereka halal, dan boleh dubunuh.
3.           Kecedruangan khawarij dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits secara tekstual. Mereka hanya melihat teks nash tanpa mau memahami konteksnya.[6]  Sehingga Khawarij dalam episode sejarah terlihat kaku dan “Hitam putih”.
Ketiga arah pandangan di atas tercermin pada aktivitas gerakan mereka di Harura.
Khawarij membentuk suatu jama’ah (organisasi) dan memilih Abdullah bin Wahab al-Rasyidi sebagai pemimpin mereka menggantikan ‘Ali bin Abi Thalib.[7] Hal ini dilakukan karena kepemimpinan ‘Ali dipandang tidak sah lagi dan secara teologis telah kafir, keluar dari Islam. Meskipun sesungguhnya ketika Abdullah bin Wahab al-Rasyidi terpilih, ‘Ali masih menjadi Khalifah.
Upaya konsolidasi dengan memilih Abdullah bin Wahab al-Rasyidi sebagai pemimpinnya bertujuan untuk melakukan bemberontakan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib.[8] Meskipun mereka mengalami kekalahan besar dalam pertempuran melawan ‘Ali, namun salah seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali.[9]
                 Ketika Mu’awiyah bin Abi Sofyan menjadi Khalifah meskipun lebih tepat dengan istilah Raja – umat islam terbagi ke dalam tiga ketentuan :
1.           Pendukung Mu’awiyah di Syiria, Mesir dan mayoritas umat Islam.
2.           Pendukung ‘Ali yang berpusat di Irak dan sebagian kecil di mesir.
3.           Khawarij sebagai kekuatan ketiga[10] tetap menjadi sandungan bagi pemerintah.
Dan pada masa ini sudah diwarnai koflik tajam dikalangan pemimpin Khawarij, sehingga lahirlah skete-sekete dan sub sekete berjumlah delapan belas[11] dan bahkan mencapai dua puluh.[12]

A.  Ajaran pokok Khawarij
       Meskipun khawarij terbagi skete dan sub skete, tetapi sebenarnya ajaran mereka dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu tentang politik dan aqidah.
            Sebagaimana diketahui bahwa latar belakang kelahiran Khawarij berawal dari masalah politik yakni Tahkim sebagai jalan penyelesaian persengketaan khalifah antar Ali dan Mu’awiyah. Khawarij berpendapat bahwa Imam tidak dibutuhkan jika umat dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri. Dalam realitas empiris, umat tidak dapat menghindar dari kebutuhan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pemimpin yang berwibawa untuk mengatur mekanisme kehidupan mereka. Khlifah harus dipilih secara bebas oleh seluruh anggota masyarakat dengan syarat kualifikasi, yaitu muslim, yang berakhlaq mulia, menjalankan syari’at dengan baik dan tidak punya cela, meskipun berasal dari seseorang budak hitam.     

B. Sekte-sekte Khawarij dan ajaran-ajaran mereka 
            Seperti yang disinggung sebelumnya bahwa sekte-sekte khawarij dan sub-sub sekte mereka mencapai jumlah delapan belas bahkan dua puluhan. Al-syahrastani mengatakan delapan belas, karena dia tidak memasukkan sub sekte al-Ma’umiyah dan al-Majhuliyah sempalan dari sekte al-Khzimiyah dan sub-sub sekte al-Hafsiyah, al-Haritsiyah, al-yazidiyah dan Ashhab Tha,ah la  Yurad Allah biha dari sekte al-Ibadiyah. Sedangkan al-Baghdadi menghitung dua puluh, karena tidak mengikutsertakan empat sub sekte dari sekte al-Ibadiyah.
1.      Al-Muhakkimah
       Pada awalnya mereka adalah pengikut Ali. Tetapi setelah peristiwa tahkim, mereka keluar dari barisan Ali dan berkumpul di harura, Kuffah. Mereka berjumlah sekitar dua belas ribu orang dengan tokoh utama Abdullah bin Kawa, ‘Itba, bin al-a’war, Abdullah bin wahab Al-Rasyidi  Urwah bin Jarir, yazid bin Abi Shim Al-muharibi dan Harqus bin Zubair al-Biiji.
2.      Al - Azariqah   
       Mereka ini adalah pengikut Abu Rasyid Nafi’bin al-Azraq. Sekta ini merupakan sekta yang terbesar. Penuh penuh wibawa dan menjunjung tinggi harga diri. Sedangkan ajaranya adalah sebagai berikut :
a.       Semua orang yang tidak sepaham dengan mereka dinyatakan musyriq, penghuni abadi neraka, halal memerangi dan membunuh mereka.
b.      Daerah atau negara orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dinyatakan sebagai Dara al-Harb. Oleh karena itu, dibenarkan melakukan pembunuhan terhadap anak-anak dan kaum wanita, menawan dan menjadikan mereka sebagai budak.
c.       Anak-anak akan masuk neraka bersama orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak sependapat dengan sekte ini dan berarti kafir.
d.      Pelaku zina tidak perlu dirajam, cukup dijilid saja, karena dalam al-Qur’an tidak dijumpai adanya hukum rajam dalam hadits tadak diakui keabsahannya.
e.       Penetapan hukum Had Qazap, hukuman bagi orang yang menuduh zina, hanya berlaku bagi orang yang menuduh wanita dan tidak berlaku bagi orang yang menuduh lelaki. Ajaran ini didasarkan atas surat Al-Nur 4:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ             
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
3.      Al - Najdat    
            Mereka adalah pengikut Najdah bin ‘Amir al-hanafi, ia berasal dari daerah yamamah sekta ini merupakan gabungan dari kelompok Najdah sediri ditambah kelompok Fudaik. Rasyid al-Thawil dan ‘Athiyah al-Hanafi yang memisahkandiri dari sekte Azariqah. Akhirnya koalisi kelompok memilih Najdah sebagai pemimpin mereka.
                        Adapun ajaran-ajarannya sebagai berikut:
a.         Umat islam wajib mengetahui Allah dan Rasul-rasul-Nya, haram membunuh orang Islam yang sepaham dengan mereka dan wajib percaya pada wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
b.        Jika seseorang berijtihad diluar tersebut di atas dan salah, maka dia akan dimaafkan.
c.         Sipapun orang yang sepaham dengan mereka, bila melakukan dosa besar akan diampuni Tuhan dan kalaupun terpaksa disiksa, maka siknya itu tidak dineraka. Sesudah itu, pasti masuk surga.      

      4. Al - Shufriyah
            Pemimpin sekte ini adalah Zaid bin Ashfar, dengan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
a.       Orang yang tidak pergi perang dan tidak berhijrah tidak dianggap kafir selama tetap sepaham dengan mereka.
b.      Dilarang membunuh anak-anak orang musyrik, karena mereka tidak dianggap kafir sebagaimana orang tua mereka dan anak-anak tidak kekal dsi nereka.
c.       Pelaku dosa besar yang ada sanksinya di dunia ini, seperti zina, mencuri, menuduh zina, tidak dianggap kafir atau musyrik. Namun bila dosa besar itu tiada sanksinya di dunia, seperti menunggalkan shalat, lari dari medan perang   
     5. Al - Ajaridah
            Mereka adalah pengikut ‘Abd al-Karim bin ‘Ajrad, yang mempunyai ajaran-ajaran sebagai berikut :
a.   Pada dasarnya anak-anak itu netral. Tetapi jika orang tua merasa musyrik, maka akan masuk neraka bersama-sama.
b.   Orang-orang yang tak sepaham dengan mereka, jika mati terbunh, harta mereka dapat dirampas.
c.   Hijrah keempat mereka tidaklah wajib, tetapi hanya merupakan keutamaan saja, kaum ajridah bebas tinggal dimana saja, diluar daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang kafir.        
      6. Al - Khazimiyah
Sekta ini didukung mayoritas ‘Ajaridah Sijistan. Mengenai masalah taqdir, Kasb manusia dan kehendak Allahlah, meraka nyatakan bahwa Allahlah satu-satunya pencipta, apapun ada di dunia ini tidak mungkin tanpa kehendakNya dan manusia sebagai hamba-Nya harus berusaha bekerja, meskipun usaha itui tidak tercapai tanpa kehendakNya. Mereka memandang kafir terhadap orang yang berpendapat dengan paham Qodariyahnya aliran Mu’tazilah.
Sedangkan ajaran sub sekte dari al-Khazamiyah, al-Ma’lumiyah dan al-Majhuliyah, adalah bahwa seseorang yang tidak mengetahui seluruh sifat Allah itu bodoh dan bodoh terhadap sifat Allah berarti kafir. Kasb itu bukan ciptaan Allah, namun manusia tidak mungkin dapat melakukan Kasb tanpa kehendakNya.
7. Al – Tsa’alibah      
Mereka ini pengikut Tsa’alibah bin ‘Amir. Ajaran mereka cukup sederhana, yaitu tidak terkena hukum bagi anak-anak sampai mereka mengetahui atau tamyiz. Kalau mereka telah menerima dakwah, muslimah mereka. Namun jika mereka inkar, maka dinyatakan kafir.
8. Al - Ibadiyah     
Di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Ibadh mereka menyatakan bahwa :
a.   Orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah kafir, namun tidak musyrik. Mengadakan kontak perkawinan dan warisan dengan mereka yang tidak sepaham tidak ada masalah. Harta yang bisa dirampas hanya senjata dan kuda, sedangkan yang lain haram. Haram membunuh dan menawan dalam keadaan damai.
b.   Wilayah mereka yang tidak sepaham dinyatakan sebagai Dar al-Tauhid, bukan Dar al-Harb, kecuali daerah basis militer. 
c.   sah saja persaksian dari orang yang tidak sepaham.
d.   Pelaku dosa besar adalah tetap muwahhid, tetapi tidak mukmin. Kalupun sampai naik ke tingkat kafir, paling-paling kafir ni’mah, bukan kafir millah.
 
                   






[1] Harun Naution, Teologi Islam (jakarta, U-Pres, 1968) hlm.76

[2] Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm 195-196.
[3] Jalal mausa, Nasyi’atu al-asyari wa Tartawwuriha (Beirut : al-kita al-lubnani,1975), hlm 280.
[4] Harun Nasution, op. Cit.., hlm. 76. 
[5] Abu zahrah op. Cit., hlm. 195-196.
[6] W.Montgomery Watt, Pemikiran teologi dan Filsafat Islam,
[7] Harun Nasution, op. Cit., hlm. 11.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Hasan ibrahim hasan, Tarikh al-Islam, I, Kairo maktabah al-Nahdhan –l-Masyiriyah 1964), P, 375-376.
[11] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, I, (Kairo Mustafa al-babi al-Halabi, 1967), hlm 134
[12] Al-Bahadi, Al-faraq (Kairo :Muhammad Ali Shubaih. Tt ), hlm 134.
[13] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UII Pres, 1972), hlm 31.
[14] Ibid, hlm. 38
[15] Ali Mustafa al Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Mesir Mathba’ah Ali, Shabih wa Auladih, tt), hlm.13
[16] Harun Nasution, op cit, hlm. 33.
[17] Al Nasysyar, Nasy’ah al-fikrah al- Falsafiy Fii al-Islam (Kairo: t.p.1966), hlm. 30-31.
[18] Al-Ghurabi, op. cit. hlm. 13
[19] Al-Nasysyar, op cit. hlm.330-331
[20] Ahman Amin, Fajrul Islam (Siangapura: Sulaiman al-Mar’i, 1965. hlm 284
[21] Ibid, hlm. 284-285
[22] Yahya, Dirasah fii Ilmi al-kalam wa al falsafah al-Islamiyah (Kairo: Daar al-Nahdla al-Arabiyah :1972 hlm. 99
[23] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967)hlm.85-91
[24] Ahmad Amin, op cit. hlm. 286.
[25] An-Nasysyar, op cit, hlm.330.
[26]Al-Bagdhdadi, al-Farqu Baina al-Firaq (Mesir : Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, t.t)hlm.212
[27] Ibid, hlm. 87-88
[28] Al-Syahrastani, op. cit. hlm.37-38
[29]Ibid. hlm. 87-88
[30] Al-Ghurabi, op. cit hlm. 25
[31] Harun Nasution, op cit. hlm 34
[32] An-Nasysyar, op cit. hlm. 346.
[33] H.M rasyidi, Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang Islam ditijau Dari berbagai Aspeknya(Jakarta: Bulan Bintang, 1977)hlm. 108
[34]Al-Baghdadi, op cit, hlm. 208
[35] Al-Syahrastani, op cit. hlm. 89.
[36] Ibid hlm. 91
[37] Ibid
[38]Ahmad Amin op cit. ihlm. 284
[39]Ibid, hlm. 285
[40] Al-Nasysyar, op cit. hlm 318-319
[41] Ahmad Amin, op cit. hlm.318
[42] Al-Syahrastani, op cit. hlm. 47
[43] Yahya, op cit. hlm. 100
[44] Al-Ghurabi, op cit. hlm. 340
[45]  Harun nasution, loc. Cit.
[46] Jalal Muhammad Abdul Hamid Musa, op. Cit., hlm 447.
[47]  Ibid, hlm. 439-440
[48] Ibid hlm. 443.
[49] Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wa Jama’ah pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1983. Hlm.33.  

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...