Oleh : Rahmad
Fitriyanto
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai
rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi
kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini,
sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : yang artinya
; Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
Maksudnya adalah bahwa umat manusia yang mau mengikuti
petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan
bahagia dan sejahtera dunia dan akherat.
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini,
tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk
kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan
aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi
pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan
batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara
Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam
khazanah pemikian Islam.
Agama Islam berintikan jalinan tiga sendi yaitu Iman (percaya), Islam (berserah
diri), Ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem
kepercayaan, ritual dan etik behavioral yang kompleks namun penerapannya bisa
lentur sehingga dalam batas tertentu ada ruang yang cukup bagi terjadinya
proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan budaya lokal.
Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama namun artikulasinya bisa berbeda
sesuai dengan kontek lokal dan sosialdimana pemeluknya tinggal dan berada.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam
1.
Arti dan hakikat kebudayaan
, Budaya adalah pikiran, akal budi, adat
istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (
akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia hal. 149).
Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat,
akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai
warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata
hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa
jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst
Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan
Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup
kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) ,
peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial,
seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian ).
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan
mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi
menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup
; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang
) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi
scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan
sejarah ).
2.
Islam
Dan Budaya
Menurut Hegel, keseluruhan karya sadar
insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak
lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Namun sebagian ahli kebudayaan, Pater Jan Bakker, menyatakan dalam bukunya “Filsafat
Kebudayaan” bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena
menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai
jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan
pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga
keduanya tidak bisa ditemukan.
Menurut para ahli Antropologi,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA ; Agama merupakan salah
satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa
manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan
untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia
sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab
suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci
tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Masih
menurut ahli antropogi ; “Berbagai
tingkah laku keagamaan bukanlah
diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap
ayat-ayat suci tersebut”.
Di sinilah, bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia.
Dari
berbagai penjelasan
di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang
hubungan antara agama dan kebudayaan. Pendapat
pertama (Hegel), menganggap bahwa Agama
merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan
bentuk nyata dari agama itu sendiri. Kelompok kedua (Pater Jan Bakker), menganggap bahwa
kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan Pendapat ketiga selaku ahli antropologi (Drs.
Heddy S. A. Putra, MA),
menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk
melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi
saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur
tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya.
Sangat
terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya
dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “Selain menciptakan
manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya
mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan
juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena
diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan
gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Allah
telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya,
berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya
merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia
untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat,
berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah
berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu
Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa
dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini,
nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas
Dalam
hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari
malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik
dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam
tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia
melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang,
sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di
muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain
memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan
dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu
menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi
ini.
Islam datang untuk mengatur
dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang.
Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah
dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang
tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam
perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip
semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
B. Resiliensi
1.
Pengertian Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan
tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatté,2002). Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire’
yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks
fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari
suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau
diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari
perubahan, sakit, kemalangan, kesulitan atau bisa juga disebut dengan istilah kebangkitan.
Resiliensi ini adalah merupakan suatu
kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan
beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam
kehidupan. Resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres
internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya
penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga).
2. Komponen Resiliensi
Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda
dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki
kemampuan tersebut dengan baik, yaitu;
a.
Regulasi emosi
Menurut Reivich
dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan
dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah
sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik
negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan
dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan
Shatté (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich
dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi
emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu
mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada,
memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
b.
Pengendalian impuls
Reivich dan
Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari
dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering
mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku
dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran,
mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang
tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang
nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
c. Optimisme
Individu yang
resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan
dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang
dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang
optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih
baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam
olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa
individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa
yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).
d.
Empati
Empati
merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi
dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain
itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang
berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun
mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan
berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich &
Shatté, 2002).
e.
Analisis penyebab masalah
Seligman (dalam
Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat
dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara
yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk
yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir
dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
1)Personal
(saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang
cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya.
Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan
eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi.
2)Permanen
(selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu
kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang.
optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada
setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidak berhasilan sementara.
3)Pervasive (semua-tidak
semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau
kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya.
Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci
penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah
individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh
penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa
terperangkap dalam explanatory style tertentu.
f. Efikasi diri
Reivich dan
Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri
sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri
juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan
efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak
akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak
berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang
tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu
karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu
ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari
kegagalan yang ia alami.
g.
Peningkatan aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi
merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup .
Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek
ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak
realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran
besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan
lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan
Shatte, 2002)
3. Karakteristik seseorang Yang Memiliki Resiliensi
a. Insight
Memiliki kemampuan untuk dapat memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang
yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi,
individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan
menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat beradaptsi dan menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
b. Kemandirian
Memiliki kemampuan untuk dapat mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari
sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk
menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang
lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak”
dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan
optimistik pada masa depan.
c. Hubungan
Memiliki kemampuan untuk dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi
kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Karakteristik ini berkembang
pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan
ikatan-ikatan kecil dengan orang¬ lain yang mau terlibat secara emosional.
Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan
beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa
dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu
ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik
saling memberi dan menerima.
d. Inisiatif
Inisiatif
adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab akan hidup. Individu yang
resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan
masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah,
serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi hal-hal yang tak dapat
diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang
mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan
hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh
untuk berhasil di sekolah.
e. Kreativitas
Kreativitas
melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif
dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam
perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap
perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya
imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat
seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang
resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan
masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk
kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari
imajinatif.
f. Humor
memiliki kemampuan untuk dapat melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri
sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang
resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara
yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih
ringan.
g. Moralitas
Moralitas
atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara
baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan
membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga
dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan.
Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Islam adalah
penyempurna agama-sebelumnya, dan
diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya
membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Resiliensi Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh
dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatté,2002). Yaitu merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi
terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.
Daftar Pustaka
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai
Budaya Lokal Potret dari Cirebon ( Jakarta:Logos,2001), ix
Dhanu Priyo Prabowo, dkk, Pengaruh
Islam Dalam Karya-Karya.R.Ng.Ranggawarsito, Yogyakarta, Narasi, 2003,
Hllm 24
http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi
http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t173588.html
http://library.gunadarma.ac.id/index.php?appid=penulisan&sub=detail&npm=10503144&jenis=s1fpsi
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2137
No comments:
Post a Comment