Tuesday, April 19, 2016

Islam dan Resiliensi




Oleh : Rahmad Fitriyanto


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : yang artinya ; Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Maksudnya adalah bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat.

Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazanah pemikian Islam.

 Agama Islam berintikan jalinan tiga sendi yaitu Iman (percaya), Islam (berserah diri), Ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual dan etik behavioral yang kompleks namun penerapannya bisa lentur sehingga dalam batas tertentu ada ruang yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama namun artikulasinya bisa berbeda sesuai dengan kontek lokal dan sosialdimana pemeluknya tinggal dan berada.[1]




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Islam
1.      Arti dan hakikat kebudayaan
, Budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat (Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149). Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian ).
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).

2.      Islam Dan Budaya
Menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Namun sebagian ahli kebudayaan, Pater Jan Bakker, menyatakan dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan.
Menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA ; Agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Masih menurut ahli antropogi ; “Berbagai tingkah laku keagamaan bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut. Di sinilah, bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Pendapat pertama (Hegel), menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Kelompok kedua (Pater Jan Bakker), menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan Pendapat ketiga selaku ahli antropologi (Drs. Heddy S. A. Putra, MA), menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya.
Sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas
Dalam hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.

B.     Resiliensi
1.      Pengertian Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatté,2002). Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire’ yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, kesulitan atau bisa juga disebut dengan istilah kebangkitan.
Resiliensi ini adalah merupakan suatu kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga).

2.      Komponen Resiliensi
Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik, yaitu;
a.       Regulasi emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
b.       Pengendalian impuls
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
c.        Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002).



d.       Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002).
e.       Analisis penyebab masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi.
2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidak berhasilan sementara.
3)Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.

f.        Efikasi diri
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
g.      Peningkatan aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002)

3.      Karakteristik seseorang Yang Memiliki Resiliensi
a. Insight
Memiliki kemampuan untuk dapat memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat beradaptsi dan menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
b. Kemandirian
Memiliki kemampuan untuk dapat mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
c. Hubungan
Memiliki kemampuan untuk dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil dengan orang¬ lain yang mau terlibat secara emosional. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
d. Inisiatif
Inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab akan hidup. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
e. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.
f. Humor
memiliki kemampuan untuk dapat melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.






BAB III
PENUTUP

A.     Simpulan
Islam      adalah penyempurna agama-sebelumnya, dan diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Resiliensi Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatté,2002). Yaitu merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.


Daftar Pustaka
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon ( Jakarta:Logos,2001), ix
Dhanu Priyo Prabowo, dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya.R.Ng.Ranggawarsito, Yogyakarta,  Narasi, 2003, Hllm 24
http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi
http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t173588.html
http://library.gunadarma.ac.id/index.php?appid=penulisan&sub=detail&npm=10503144&jenis=s1fpsi
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2137




[1] Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon ( Jakarta: Logos,
2001), ix.

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِ...