Penulis : Rahmad
Fitriyanto
UU Guru dan
Dosen yang disahkan DPR pada Desember 2005 telah membukakan mata kita akan
perlunya guru memiliki kompetensi sosial untuk selanjutnya ditularkan kepada
anak didik atau generasi muda kita. Kebutuhan generasi muda kita dewasa ini
akan kompetensi atau kecerdasan sosial sudah sangat mendesak. Mengapa?
Krisis
multidimensi yang terjadi sejak 1997 telah memberikan kesadaran kepada kita
bahwa sebagian masyarakat kita telah kehilangan kearifan-kearifan sosial yang
unggul, seperti toleransi, kemampuan berempati, semangat dan kemampuan
menolong, serta kemampuan bekerja sama. Akibatnya, masyarakat kita mudah
menyalahkan orang lain, mudah kehilangan kendali emosinya, mudah terseret isu
yang bermuara kepada kerusuhan, dan mudah curiga terhadap kelompok lain
sehingga berujung kepada bentrokan yang konyol.
Begitu cepatnya
kerontokan kearifan-kearifan sosial ini, sampai banyak media massa, termasuk i Kompas (Sabtu, 11 Februari
2006), mengangkatnya ke dalam rubrik ”Tajuk Rencana”-nya. Dicontohkan oleh
Kompas bahwa kearifan sosial lokal seperti ’musyawarah dan mufakat’ tererosi
deras dari masyarakat kita, sehingga kalau terjadi perbedaan pendapat
antarkelompok yang muncul adalah pertentangan, bahkan bisa berakhir kerusuhan.
Penyembuhan
penyakit sosial ini ternyata tidak mudah. Kita pun berpikir bahwa penyembuhan
penyakit sosial dan sekaligus pengembangan kompetensi kearifan-kearifan sosial
yang paling strategis adalah lewat jalur pendidikan. Walau, tentunya, hasil
usaha ini barangkali memerlukan waktu puluhan tahun untuk dapat dirasakan. Dari
titik inilah UU Guru dan Dosen yang mengharuskan para guru dan dosen menguasai
kompetensi sosial (di samping kompetensi pedagogik, kepribadian, dan keilmuan)
perlu kita beri apresiasi.
Persoalan selanjutnya
adalah apa kompetensi sosial itu dan bagaimana mengembangkan serta
mengajarkannya. Inilah tantangan baru bagi dunia pendidikan kita.
Apakah
kompetensi sosial?
Pakar psikologi
pendidikan Gadner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence
atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan
kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner)
yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.
Semua
kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di
antaranya menonjol, sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi,
beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika seseorang
berpikir dan atau mengerjakan sesuatu (Amstrong, 1994).
Relevansi
dengan apa yang dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa walau kita membahas dan
berusaha mengembangkan kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan
kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa dewasa
ini banyak muncul berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang hanya dapat
dipahami dan dipecahkan melalui pendekatan holistik, pendekatan komprehensif,
atau pendekatan multidisiplin.
Kecerdasan lain
yang terkait erat dengan kecerdasan sosial adalah kecerdasan pribadi (personal
intellegence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotional intellegence
(Goleman, 1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan kecerdasan
keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan sosialnya
karena impitan kesulitan ekonomi.
Dewasa ini
mulai disadari betapa pentingnya peran kecerdasan sosial dan kecerdasan emosi
bagi seseorang dalam usahanya meniti karier di masyarakat, lembaga, atau
perusahaan. Banyak orang sukses yang kalau kita cermati ternyata mereka
memiliki kemampuan bekerja sama, berempati, dan pengendalian diri yang
menonjol.
Dari uraian dan
contoh-contoh di atas dapat kita singkatkan bahwa kompetensi sosial adalah
kemampuan seseorang bekomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada
orang lain. Inilah kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang pendidik
yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat
ditularkan kepada anak-anak didiknya.
Untuk
mengembangkan kompetensi sosial seorang pendidik, kita perlu tahu target atau
dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita
saring dari konsep life skills (www.lifeskills4kids.com). Dari 35 life skills
atau kecerdasan hidup itu, ada 15 yang dapat dimasukkan ke dalam dimensi
kompetensi sosial, yaitu: (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam
kegiatan kelompok, (4) tanggung jawab sebagai warga, (5) kepemimpinan, (6)
relawan sosial, (7) kedewasaan dalam berelasi, (8) berbagi, (9) berempati, (10)
kepedulian kepada sesama, (11) toleransi, (12) solusi konflik, (13) menerima
perbedaan, (14) kerja sama, dan (15) komunikasi.
Kelima belas
kecerdasan hidup ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan
pengembangan kompetensi sosial bagi para pendidik dan calon pendidik.
Topik-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan
kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan kehidupan
masyarakat kita.
Materi ajar
atau pelatihan itu disampaikan untuk mencapai pemahaman dan internalisasi
nilai-nilai para peserta didik. Metode penyampaiannya dapat mengadopsi metode
Tillman/UNESCO dalam pembelajaran living values (Grasindo, 2004). Metode yang
bersifat edutaiment ini mengandung unsur permainan, inkuiri, dan eksplorasi,
baik eksplorasi potensi diri maupun potensi lingkungan.
Metode ini
sangat menantang sekaligus menyenangkan. Metode ini jauh dari gaya indoktrinasi ala penataran P4 yang lalu.
Metode ini juga bisa mengimbangi daya pikat yang ditawarkan oleh
hiburan-hiburan yang artifisial yang sering muncul di layar kaca di rumah kita.
Bagaimana
mengemasnya?
Kemasan
pengembangan kompetensi sosial untuk guru, calon guru (mahasiswa keguruan), dan
siswa tentu berbeda. Kemasan itu harus memerhatikan karakteristik
masing-masing, baik yang berkaitan dengan aspek psikologis ketiga kelompok itu
maupun sistem yang mendukungnya.
Model pelatihan
yang bersifat edutaiment cocok untuk para guru dan dosen. Karena jumlah guru
dan dosen itu sangat banyak, dapat digunakan pelatihan berjenjang deret ukur
TOT (training of trainer). Pelatihan TOT untuk guru dapat dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga pelatihan guru seperti PPG Bahasa (Jakarta), PPG Matematika
(Yogyakarta), PPG IPA (Bandung), dan PPG Kejuruan (Jakarta). Pelatihan untuk
dosen dapat dilaksanakan oleh LPTK, yaitu universitas jelmaan atau koversi IKIP.
Semua perlu persiapan yang matang karena kerja ini menuntut persyaratan
keunggulan kualitas, ketepatan, dan kecepatan. Hal yang disebut terakhir ini
perlu mendapat perhatian khusus karena UU Guru dan Dosen mengamanatkan proses
sertifikasi kompetensi ini harus selesai dalam sepuluh tahun sejak UU itu
disahkan.
Untuk para
mahasiswa, khususnya calon guru, dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah dasar,
seperti ”ilmu sosial dasar” yang sejajar dengan mata kuliah ”ilmu budaya dasar”
dan ”ilmu sains dasar” dengan perubahan paradigma. Kalau sebelumnya ilmu sosial
dasar berorientasi kepada penyampaian pengetahuan, dalam paradigma baru ini
perlu ditambah dan ditekankan pada penanaman nilai-nilai atau kearifan-kearifan
sosial.
Untuk para
siswa, baik dari tingkat dasar sampai tingkat menengah, karena alasan beban
mata pelajaran mereka sudah sangat berat, pengembangan kompetensi sosial dapat
dipadukan dengan pelajaran-pelajaran lain, khususnya mata pelajaran Agama,
Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPKn.
Barangkali ada
yang ragu dengan cara memadukan atau menyelipkan ke dalam mata pelajaran lain
ini. Alasannya, beban materi pelajaran itu sendiri sudah sangat berat. Asal
kita bisa bertindak kreatif dan cerdas kesulitan ini tidak sulit diatasi.
Misalnya, penanaman nilai toleransi dengan mudah dan tidak menambah beban mata
pelajaran Bahasa Indonesia dengan cara menyisipkan ke materi bacaan atau
wacana, misalnya lewat cerpen atau dongeng. Hal yang sama dapat dilakukan pada
mata pelajaran lain.
Hal yang sangat
mendesak berkaitan dengan pelatihan, pembelajaran, dan sertifikasi guru dan
dosen (khususnya yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan kepribadian karena
ini hal baru) adalah pengembangan pemahaman kompetensi ini yang komprehensif,
yang dapat diterima oleh banyak pihak. Sampai saat ini sudah banyak seminar
tentang UU Guru dan Dosen diadakan, tetapi kita belum sampai atau memiliki
pemahaman yang komprehensif terhadap kedua kompetensi ini. Hal kedua yang
sangat mendesak adalah penyediaan silabus dan materi latihan atau ajar untuk
mengembangkan kompetensi ini. Ini tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK) dan lembaga terkait lainnya, seperti PPPG, untuk berlomba
menawarkan konsep dan draf materi pelatihan/pembelajaran kompetensi itu. Dari beberapa
draf ini dapat kita sarikan dan padukan untuk memperoleh konsep dan materi
pembelajaran yang terbaik.
Apabila dunia
pendidikan bisa menjawab tantangan pengembangan kompetensi sosial ini secara
cepat dan tepat, mudah- mudahan 10 tahun mendatang kita lebih banyak memiliki
insan yang lebih demokratis, lebih toleran, dan memiliki tanggung jawab sosial
yang lebih besar.
No comments:
Post a Comment