Oleh : Rahmad Fitriyanto
PENGERTIAN RESILIENSI
Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire’
yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks
fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari
suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau
diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resi1iensi adalah
kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau
kesulitan.
Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan
yang muncul dalam kehidupan.
Resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga).
Resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga).
KARAKTERISTIK INDIVIDU YANG MEMILIKI RESILIENSI
a. Insight
a. Insight
Insight adalah kemampuan untuk memahami dan memberi
arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun
nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu menanyakan
pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka
untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri
dalam berbagai situasi.
b. Kemandirian
Kemandirian ialah kemampuan untuk mengambil jarak
secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.
Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada
diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap
ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga
memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
c. Hubungan
c. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan
yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki
role model yang sehat. Karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak dalam
perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil dengan
orang¬ lain yang mau terlibat secara emosional. Remaja mengembangkan hubungan
dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman
sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang
dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan
secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
d. Inisiatif
d. Inisiatif
Inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung
jawab akan hidup. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif,
bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri
ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk
menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai
rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang
resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan
mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
e. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai
pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang
benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk
mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur
dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien mampu secara kreatif
menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya
yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat,
kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.
f. Humor
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari
kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi
apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang
tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat
saat-saat sulit terasa lebih ringan.
g. Moralitas
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai
dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien
dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut
akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri
dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku
atas dasar hati nurani.
KOMPONEN RESILIENSI
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan
tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatté,2002. Resiliensi dibangun
dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang
secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik
Ketujuh kemampuan ini terdiri dari:
1. Regulasi emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi
adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki
kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan
dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam
pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif,
merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat.
Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan
salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002)
mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu
ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua
keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan
pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
2. Pengendalian impuls
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian
impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta
tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian
impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali
mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada
situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di
sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan
dalam hubungan sosial.
3. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis.
Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol
arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan
individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan
lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam
kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002).
Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani
masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang (Reivich & Shatté,
2002).
4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca
tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa
baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain
(Reivich & Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996)
menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang
lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang
yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif (Reivich & Shatté, 2002).
5. Analisis penyebab masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002)
mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab
masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan
individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada
dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu:
1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah
individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan
semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini
penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen
(selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa
suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu
yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik
pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan
sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir
‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut
menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak
semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi.
Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas
kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam
permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style
tertentu.
6. Efikasi diri
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri
sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan
masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu
berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen
dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa
strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994),
individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan
yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan
cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7. Peningkatan aspek positif
Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi
merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup .
Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek
ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak
realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran
besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan
lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan
Shatte, 2002)
PENUTUP
Resiliensi merupakan suatu proses yang alamiah terjadi
dalam diri individu. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh seseorang
untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Ada berbagai faktor yang
mempengaruhi cepat lambatnya seseorang pulih kembali ke keadaannya yang semula,
baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Selain itu, ada
faktor resiko maupun faktor pelindung. Faktor resiko mencakup hal-hal yang
dapat menyebabkan dampak buruk, seperti kondisi fisik yang kurang
menguntungkan, kemiskinan, hubungan keluarga yang kurang harmonis, serta
pengalaman traumatis yang pernah dialami sebelumnya dan belum teratasi.
Sedangkan faktor pelindung bersifat menunda, meminimalkan, bahkan menetralisir
hasil akhir yang negatif. Misalnya kegigihan, optimisme, serta dukungan dari
keluarga dan lingkungan terdekat.
Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu
yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih
baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu
dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat
dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Faktor yang
mendukung resiliensi, diantaranya adalah dukungan sosial, berhubungan dengan
tingkat stress yang rendah. Individu dengan resiliensi yang tinggi memiliki
dukungan sosial yang lebih baik dan memiliki tingkat stress yang rendah.
Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan
pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara
sumber daya individu dan spiritual.
Refferensi :
- Black, K., & Lobo, M. (2008). Hitam, K.,
& Lobo, M. (2008). A Conceptual Review of Family Resilience Factors. Journal
of Family Nursing,
- 14(1), 33-55. 14 (1), 33-55.
- Matthews, DW (2003). Matthews, DW (2003). Family
Resilience. North Carolina Cooperative Extension Service .
- Iowa State University (1995). Family
Resiliency, Building Strengths to Meet Life’s Challenges. Iowa State
University (1995)..
- http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi
- http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t173588.html
- http://library.gunadarma.ac.id/index.php?appid=penulisan&sub=detail&npm=10503144&jenis=s1fpsi
- http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2137
- http://mariaherlina.multiply.com/journal/item/13/Bukan_korban_tetapi_orang_yang_berhasil_selamat_Survivor
No comments:
Post a Comment