Oleh : Rahmad Fitriyanto
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Pada proses
pertumbuhannya, filsafat ialah sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat
ataupun para filosof sepanjang kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup di
dunia yang dialaminya, sehingga dapat menghasilkan suatu pandangan-pandangan
ataupun teori-teori dengan pendekatan-pendekatan tertentu yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya, sehingga kadang kala timbul perbedaan-perbedaan dan
perlawanan antara pandangan satu dengan pandangan lainnya. Namun, juga kadang
kala timbul persamaan, sehingga saling kuat-mengkuatkan antara satu dengan
lainnya. Lain dari pada itu, yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut
selain perbedaan pendekatan yang digunakan, juga faktor situasi, kondisi, zaman
dan pandangan hidup yang melatar belakangi para ahli serta tempat dimana mereka
bermukim yang dapat mewarnai dan mempengaruhi pola pikir mereka.
Menelaah kembali
sejarah tentang pertumbuhan filsafat, jelas sekali adanya perbedaan-perbedaan
didalamnya. Begitu juga halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarah pertumbuhannya,
telah menimbulkan berbagai macam pandangan ataupun aliran-aliran didalamnya,
dikarenakan pemikiran filsafat tidak pernah berhenti dan tidak bersifat statis.
Maka kesimpulan-kesimpulan yang diperolehpun tidak pernah merupakan suatu
kesimpulan final.
Muhammad Noorsyam
melukiskan keadaan dunia pemikiran filsafat itu sebagai berikut:
“Bagaimanapun wujud reaksi, aksi, cita-cita, kreasi bahkan pemahaman
manusia atas segala sesuatu termasuk kepribadian ideal mereka, tersimpul di dalam
pokok-pokok ajaran suatu filsafat. Pengertian masing-masing pribadi tentang
suatu kesimpulan sebagian belum final, belum falid, tidak mutlak dan
sebagainya, memberi kebebasan pada setiap orang untuk menganut atau menolak
suatu aliran. Sikap demikian justru menjadi prakondisi bagi perkembangan
aliran-aliran filsafat. Sikap ini dikenal dalam filsafat dengan istilah
eclectic atau eclecticism”.[1]
Masyarakat pada
dewasa ini sedang mengalami apa yang disebut dengan krisis kehidupan. Krisis
ini mencakup wilayah yang sangat kompleks, dan juga bersifat global dalam arti
tidak lagi hanya terbatas pada sebuah wilayah tertentu, melainkan mencakup
seluruh dunia, dialami oleh seluruh kelompok manusia serta makhluk hidup dan
mati lainnya. Krisis disini merupakan krisis terhadap realitas, ada didalam
realitas kemodernan yang ironisnya dianggap sebagai karya manusia yang paling
hebat, salah satunya ialah yang berwujud nyata, yaitu krisi lingkungan. Krisis alam
ataupun lingkungan disini dapat dikatagorikan sebagai penyebab krisis
kemanusiaan masa kini.
Kesadaran akan
segala krisis yang dihadapi manusia, yang sedang terjadi dalam realitas
era-modern ini, merupakan salah satu faktor yang yang mendukung kami untuk
mencoba menemukan suatu paradigma lalin terkait yang dapat menguraikan dan
menjawab persoalan kemodernan. Dengan demikian paradigma yang tepat dalam
menjawab persoalan ini ialah perenialisme. Sebenarnya apa yang dimaksud
dengan perenialisme? Perenialisme sebenarnya ialah sebuah wacana filsafat tua
yang ada didalam masa pramodern, namun diklaim sebagai yang tetap aktual
disepanjang masa.
Konsep-konsep
perenialisme terkait dengan realita kehidupan manusia, sangatlah berbeda dengan
konsep-konsep modernisme yang mempunyai karakteristik yang berbeda diantara
keduanya. Modernisme berkarakter materialis dan mekanis, sedangkan perenialisme
berkarakter holistik dan siklis. Yaitu bahwasanya perenialisme menerima eksistensi
segala aspek yang ada di dunia ini, baik itu hal yang kesat mata maupun yang
tidak kesat mata. Dengan menempatkan perenialisme sebagai jawaban dari
permasalaha terhadap realita kehidupan ini, maka untuk lebih jelas terkait
pengertian perenialisme, maka kami mencoba menyusun makalah terkait dengan
pengertian, asensi dan lain halnya yang masih termasuk dalam cakupan filsafat
perenialisme.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan-prmasalahan dalam konsep makalah
ini yang akan dibahas didalamnya ialah antara lain:
1. Bagaimana latar
belakang munculnya aliran filsafat pendidikan perenialisme?
2. Bagaimana esensi
filsafat perenialisme?
3. Bagaimana implikasi
perenialisme terhadap pendidikan dan
pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Filsafat Perenialisme
Perenialisme lahir pada tahun 1930-an
sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia ini penuh kekacauan, ketidakpastian dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio-kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan ini.
Teori atau konsep pendidikan
perenialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato yang merupakan bapak
idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme klasik dan
filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles
dengan ajaran (filsafat) gereja katolik yang tumbuh pada zamannya (abad
pertengahan).
Kira-kira antara abad ke-6 hingga abad
ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat perenialisme. Namun,
mungkin saja kita bisa saja dengan terburu-buru melihat perkembangan filsafat
perenial ini hanya dalam kerangka sejaran pemikiran barat saja, melainkan juga
terjadi di wilayah lainnya. Dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak
perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak dalam konteks sejarah
perkembangan intlektual Barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat
ini mendapat eleborasi sistematisnya dari para perenialis Barat, seperti
Agostino Steunco.[2]
B.
Definisi/Esensi Aliran Filsafat
Perennialisme
Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata perenis atau perennial (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus menerus
melalui waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi.[3]
Perenial diartikan sebagai “continuing
throughout the whole year” atau “lasting
for a very long time” (abadi atau kekal atau terus tiada akhir).
Filsafat perenialisme berpegang pada
nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal atau abadi. Aliran ini
mengambil analogi realita sosial budaya manusia sebagai realita pohon bunga
yang terus menerus mekar, datang dan pergi serta berubah warna secara tetap
sepanjang tahun dan masa dengan gejala yang harus ada dan sama.[4]
Perenilaisme
memandang bahwasanya pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai
bidang dalam kehidupan manusia, trutama dalam bidang pndidikan. Oleh karena
itu, perenialisme memberikan solusi jalan keluar dari kekrisisan tersebut
dengan kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan
teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada
kebudayaan yang telah teruji dan tangguh.[5]
Jalaslah bila saja
seandainya perenialisme mengatakan bahwasanya kebudayaan yang ada pada saat ini
berada dalam kondisi yang krisis dan perlu kembali kemasa lampau, karena dengan
dikembalikannya kepada masa lampau, maka kebudayaan sekarang yang dianggap
berada dalam krisis tersebut dapat teratasi, dengan memusatkan perhatiannya
kepada pendidikan pada zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan
kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.[6]
Perenialisme
merupakan suatu aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunan tersebut merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi orang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme
berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas
yang utama filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Kaum perenialisme menggunakan jalan
mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan
abad pertengahan. Dengan demikian kalangan perenialisme mempelopori gerakan
kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide gagasan yang luhur
menyejarah bagi manusia. Ide gagasan seperti ini telah terbukti keabsahan dan
kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan
secara penting akal budi, nalar dan karya-karya besar masa lalu. Perenialisme
adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui
yang lebih spesifik dalam formulasi-formulasi teoritisnya karena kemunculannya
dilatari oleh ‘musuh’ yang nyata dan berpengaruh dalam progresivisme
kependidikan.[7]
Motif perenialisme
dengan mengambil jalan mengembalikan kepada masa lampau tidak hanya sebagai
nostalgia (rindu akan hal-hal yang lampau) semata, tetapi telah berdasar pada
keyakinan bahwa kepercayaan prinsip-prinsip
aksiomatis yang berguna pada zaman sekarang karena tidak terikat oleh waktu dan tetap berlaku
dalam perjalanan sejarah. Jadi, perenialisme menganggap bahwa pentingnya
pembentukan kebiasaan dalam pendidikan sekarang yang didasarkan pada kebiasaan
dan kebudayaan pada masa lampau yang memiliki nilai dan idealitas serta
memiliki kegunaan untuk kehidupan masa sekarang.
Jadi sikap untuk
kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme dimana pendidikan
yang ada pada zaman skarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan
keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang.
Kunci memahami protes kalangan
perenialis dalam pendidikan adalah konsep pendidikan liberal. Pendidikan
liberal (bebas) dalam tradisi klasik berkisar di seputar kajian-kajian yang
menjadikan orang-orang bebas dan manusia sejati sebagai lawan dari pelatihan
yang mana mereka menerima begitu saja melakukan tugas-tugas khusus dalam dunia
kerja. Dalam dunia Yunani, manusia dibagi menjadi dua macam, pertama mereka
yang melakukan tugas kerja (mengandalkan otot) dan mereka yang melakukan tugas
berfikir (menggunakan kemampuan rasionalitas keistimewaan manusia). Kedua
merupakan kelompok yang yang bebas menjalankan pemerintahan (fungsi memerintah
dan mengatur). Karena mereka bebas, mereka membutuhkan pendidikan yang akan
mengembangkan kemampuan rasional kemanusiaannya. Pendidikan menfokuskan pada
aspek mental dan rasional manusia dan cenderung memperhatikan (memikirkan) ide
dan gagasan yang berpengaruh dari budaya barat.[8]
Filsafat
perenialisme ini, berasaskan pada kebudayaan yang mempunyai dua buah sayap,
yaitu perenialisme yang bersifat theologis yang ada dalam pengayoman
supermasi gereja katolik, khususnya menurut ajaran interpretasi Thomas Aquinas,
dan perenialisme sekuler, yakni yang berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.[9] Pendapat ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh H.B Hamdani
Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles mengembangkan Philosophia
Perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran
manusia itu sendiri, S.T Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan
sesuai sesuai dengan tuntunan agama kristen tatkala agama itu datang. Kemudian
lahir apa yang dikenal dengan nama Teo-Thomisme. Teo-Thomisme masih dalam
bentuk awam maupun dalam faham gerejawi sampai tingkat kebijaksanaan, maka ia
terkenal dengan nama perenialisme.[10]
Neo-Scholastisisme
atau Teo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas
dengan tuntunan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan didasari adanya. Namun semua yang bersendikan
empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal,
maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia
dikemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat
spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akan yang karenanya
manusia dapat mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun
yang bersendikan religi.[11]
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwasanya aliran perenialisme dipakai untuk program
pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas
Aquinas. Dimana tokoh-tokoh ini timbul dari lingkungan agama katolik.
1. Pandangan Ontologi Perenialisme
Perenialisme
berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa reality is universal that is every where and
at every moment the same,
realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di
setiap waktu.
Dengan
keputusan yang bersifat ontologisme kita akan sampai pada pengertian pengerian
hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian, diantaranya ialah: benda
individual, esensi, aksiden dan substansi.[12]
a.
Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia
yang dapat ditangkap oleh indera manusia, seperti batu, kayu,dan lain-lain.
b.
Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan
benda itu lebih baik intrinsik dari pada halnya, misalnya manusia ditinjau dari
esensinya adalah berpikir.
c.
Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya
kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka
barang-barang antik.
d.
Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal individu, dari
yang khas dan yang universal baik yang material atau spiritual.
Ada empat sebab (kausa) yang menjadi penyebab terjadinya sesuatu
atau berlangsungnya sesuatu. Dalam buku Plato yang berjudul fisika menerangkan
bahwa istilah-istilah yang menjelaskan tentang adanya garis perjalanan suatu
benda yang digunakan sebagai dasar untuk mengadakan penemuan mengenai suatu
benda. Kausa tersebut dalam sebagai berikut:[13]
a.
Kausa materialis, yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda, misalnya
telur, tepung dan gula untuk roti.
b.
Kausa formalis, yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya,
misalnya bulat, kotak, dan lain-lain.
c.
Kausa efisien, yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat,
lambat atau tergesa tergesa.
d.
Kausa finalis, adalah tujuan atau akhir dari sesuatu, misalnya, tujuan
pembuatan sebuah patung.
Apabila kausalitas diteruskan tinjuannya, maka kausalitas
merupakan mata rantai yang tidak ada putusnya sebelum sampai kepada pertanyaan
adanya penyebab pertama atau kausa prima.
Parenialisme
dalam bidang ontologis berasal pada teologi yakni memandang bahwa realita
sebagai substansi selalu cenderung bergerak atau berkembang dari potensialitas
menuju aktualitas (teleologi).[14]
Jika dihubungkan dengan manusia, manusia mempunyai potensialitas yang berubah
menjadi aktualitas. Di samping asas teleologi yang merupakan aktualisasi dari
potensialitas, terdapat asas supernatural dimana tujuan akhir dari supernatural
adalah Tuhan sendiri.
Manusia
menyadari asas teleologi dengan iman dan dogma yang diterimanya. Segala yang
ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut
dengan substansi. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia adalah
potensialitas yang di dalam hidupnya tak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi
keduniaan, memiliki akal dan perasaan sehingga kemauannya dapat diatasi.
Manusia bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan sebagai supernatural yang merupakan pencipta alam semesta dan merupakan
tujuan akhir.[15]
Segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya
manusia, hewan, tumbuhan, batu bangunan dasar dan sebagainya ialah merupakan
suatu hal yang logis dalam karaketernya. Setiap suatu yang ada tidak hanya
merupakan kombinasi antara zat atau benda, tetapi melainkan merupakan suatu
unsur potensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana
yang diutarakan oleh Aristoteles, tetapi ia juga merupakan suatu hal yang
datang bersama-sama dari suatu apa yang tergantung pada inti dan potensialitas
dengan tindakan untuk berada.
2. Pandangan Epistemologi
Perenialisme
berpendapat bahwa yang terlindung pada kepercayaan adalah segala sesuatu yang
dapat diketahui dan merupakan kenyataan. Kebenaran merupakan kesesuaian antara
pikiran (kepercayaan) dan benda, benda-benda yang dimaksud adalah hal-hal yang
bersendikan pada prinsip-prinsip keabadian.[16] Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya
dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak
kebenarannya. Menurut Aristoteles, prinsip-prinsip itu adalah: [17]
a.
Principium
identitatis, yaitu
identitas sesuatu. Contohnya apabila batu adalah batu dan tidak akan menjadi
kayu
b.
Principium
contradiksionis, yaitu hukum kontradiksi (berlawanan, bertentangan). Suatu
pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti
hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
c.
Principium
exelusi tertii, yaitu
tidak ada kemungkinan ketiga dalam satu dalil. Apabila pernyataan atau
kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila
pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
d.
Principium
rationis sufisientis, prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu
dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat. Science sebagai ilmu pengetahuan dimana science yang meliputi biologi, fisika,
sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai empiriological analysis yakni analisa
atas individual things dan peristiwa-peristiwa pada tingkat pengalaman
dan bersifat alamiah.
Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya
mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif,
tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang
bersifat khusus.
Filsafat sebagai pengetahuan, menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah ilmu
metafisika. Sebab, science sebagai
ilmu pengetahuan mengunakan metode induktif yang bersifat empiriological analysis (analisa empiris), kebenarannya terbatas,
relatif atau kebenarannya probabilitas. Tetapi filsafat dengan metode deduktif
bersifat ontological analysis,
kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum
berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama bahwa kesimpulannya bersifat
mutlak asasi.[18]
Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab
analisa empiris dan analisa ontologi keduanya dianggap perenialisme dapat
komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh
hukum-hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
3. Pandangan Aksiologi
Dalam bidang aksiologi, perenialisme memandang masalah nilai yang
berdasarkan juga pada prinsip supernatural, yakni menerima universal yang
abadi. Masalah utama prinsip supernatural yakni dalam tingkah laku manusia,
maka manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai
dengan kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan
dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang
bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia.
Perenialisme
berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat
manusia adalah pada jiwanya.[19] Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya
yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Dengan kata lain, melakukan kebaikan
atau kejahatan, dan kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan,
sesudah tingkatan ini baru kehidupan rasional.
Secara
teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan
suatu kesatuan dengan Tuhan.[20] Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan
bantuan akal rasionya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut
Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan, yaitu moral dan intelektual.[21] Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan
kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan
intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan
akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian
sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan
intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam
mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar dasar teologis,
ketuhanan.
Dengan
demikian jelaslah bahwasanya perenialisme menghendaki agar pendidikan
disesuaikan dengan keadaan manusia yang memiliki nafsu, kemauan dan pikiran.
Dengan memperhatikan hal ini maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan
masyarakat dapat terpenuhi.
C.
Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Perenialisme
1. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman
kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran
kebenaran dan ukuran moral sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada
zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran,
tergantung pada masing-masing individu. Plato ingin membangun dan membina tata
kehidupan dunia yang ideal, diatas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera,
membina cara yang menuju kebajikan.
Plato berpandangan bahwa realitas yang
hakiki itu tetap tidak berubah. Menurutnya “dunia ideal” bersumber dari ide
mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan dan nilai sudah ada sebelum manusia
lahir yang semuanya bersumber dari ide mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan
dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan dan nilai moral, melainkan
bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan akal dan rasio semua itu dapat
ditemukan kembali oleh manusia.
Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut
dengan jalan berfikir, dan dengan melalui pengamatan indra,[22]
karena dengan berfikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan
pengetahuan.
2. Aristoteles
Ariestoteles (483-322 SM), adalah
murid Plato, namun dalam pemikirannya, ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu
idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme (realisme klasik). Ia
mengajarkan cara berfikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam
kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, manusia adalah makhluk
materi dan rohani. Sebagi makhluk materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani
manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada
manusia ideal, manusia sempurna.
Dalam kaitannya dengan filsafat,
perenialisme menjadikan kepercayaan sebagai pangkal tolak mengenai kenyataan
pengetahuan. Artinya, sesuatu itu ada kesesuaian antara pikir (kepercayaan) dan
benda-benda. Sedangkan, yang dimaksud benda adalah hal-hal yang adanya
bersendikan atas prinsip keabadian. Oleh karena itu menurut perenilisme, perlu
adanya dalil yang logis, sehingga untuk diubah atau ditolak kebenarannya.
3. Thomas Aquinas
Thomas Aquinas mencoba mempertemukan
antara pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen
dengan filsafat. Pandangan tentang realitas, ia kemukakan, bahwa segala sesuatu
yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya.
Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Ia menekankan dua
hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu dunia tidak diadakan dari
semacam bahan dasar dan penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja.[23]
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquinas
mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan
oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber
dari wahyu, dapat memperoleh pengetahuan dari pengalamannya dan rasionya.
Filsafat Thomas Aquinas disebut tomisme.
D.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Perenialisme
Dalam bidang pendidikan,
perenialisme dipengaruhi oleh tokoh-tokoh, seperti Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh
filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles
sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba
memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh
pada zamannya.
Plato, dalam hal pendidikan pokok
pikirannya ialah bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
daripada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga
ketertibah sosial hanya akan mungkin bila ide tersebut menjadi ukuran, asas
normatif dalam dalam tata pemerintaha. Maka tujuan utama pendidikan adalah membina
pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif tersebut dalam espek
kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu:
nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi
tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap
lapisan masyarakat dapat terpenuhi.[24]
Ide-ide ataupun gagasan yang dikeluarkan oleh Plato tersebut dikembangkan
oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi
Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara
seimbang.[25]
Sedangkan tujuan yang diinginkan oleh Thomas Aquinas adalah sebagai
“usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas
aktif dan nyata”. Pada hal ini peranan guru ialah mengajar, memberi bantuan
pada anak-anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya telah
mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikkulum untuk
sekolah dasar, menegah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.
E.
Pandangan Perennialisme Mengenai Belajar
Teori
dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah
1. Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan
berpikir (mental disiplin) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar,
atau keutamaan dalam proses belajar. Karena itu teori dan program pendidikan
pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
2. Rasionalitas dan asas kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan,
otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Makna kemerdekaan
pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri (be him-self), sebagai essential-self yang membedakannya
daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini,
yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat
merdeka.
3. Learning to reason ( belajar untuk berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam
permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan
landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah
dan pendidikan tinggi.
4. Belajar sebagai persiapan hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan
hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju
kesempurnaan hidup, kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
5. Learning through teaching (belajar melalui pengajaran)
Adler membedakan antara learning
by instruction dan learning by discovery,
penyelidikan tanpa bantuan guru. Sebenarnya learning
by instruction adalah dasar dan menuju learning
by discovery, sebagai self education.
Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa
anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara
mengajar.
Guru mengembangkan potensi-potensi self discovery, dan ia melakukan moral authority atas murid-muridnya, karena ia adalah seorang
professional yang qualified dan
superior dibandingkan muridnya.
F.
Implikasi
Filsafat Perenialisme Dalam Pendidikan
Perenialisme memandang pendidikan
sebagai proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang. Perenialisme merupakan aliran filsafat yang
berdasarkan pada kesatuan, bukan mencerai-beraikan, menemukan
persamaan-persamaan, bukan membanding-bandingkan, serta memahami isi, bukan
melihat luar atas berbagai aliran dan pemikiran. Implikasi filsafat
perenialisme dalam pendidikan antara lain:
1.
Tujuan
Pendidikan
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran
bersifat universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan sejati.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan
menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan
dan kebaikan dalam hidup. Pendidikan harus sama bagi semua orang, dimana pun
dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu
memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas dikemukakan oleh Hutckin sebagia
berikut: “ Man may very from society to
society,…but the function of man, is the same in very age dan very society,
since it results from his nature as a man. The aims of edutional system can
exist:it is to improve man as man”.
Sekolah merupakan lembaga latihan elite
intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada
generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan
peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam kehidupan. Sekolah bagi perenialis
merupakan peraturan-peraturan yang merupakan tempat peserta didik berkenalan
dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya. Sekolah menjadi
tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah keemasan
memalui akalnya dengan memberikan pengetahuan.
2.
Kedudukan
Siswa
Kaum
perenialis berpendapat bahwa siswa adalah subyek sekaligus inti dalam
pelaksanaan pendidikan, dan guru hanya bertugas menolong membangkitkan potensi
yang dimiliki anak didik yang masih tersembunyi agar menjadi aktif dan nyata,
bukan membentuk atau memberikan kemampuan kepada anak didik.
3.
Peranan
Guru
Rasio merupakan atribut manusia yang
paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya,
sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus
belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya. Apabila anak gagal
dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada
lingkungan yang tidak menyenangkan, atau pada rangkaian peristiwa psikologis
yang tidak menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gangguan tersebut,
dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Dan
tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia
inginkan.
4.
Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi
pelajaran. Materi pelajaran bersifat seragam, universal dan abadi. Selain itu,
materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia
sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status
tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar. Oleh karena itu, titik berat
kurikulum diletakkan pada pelajaran sastra, matematika, bahasa dan humonaria, termasuk
sejarah (liberal art). Sedangkan,
sumber dan cara mempelajari seni liberal tersebut adalah dengan mempelajari The Greats Book. Berkenaan dengan
kurikulum, hanya satu pertanyaan yang harus diajukan, yaitu: apakah para siswa
memperoleh muatan yang merepresentasikan usaha-usaha yang paling tinggi dalam
bidang itu?.
Prinsip-prinsip kurikulum untuk sekolah
dasar, berlaku pula untuk sekolah menengah dengan suatu prinsip peningkatan
pemasakan akal anak didik. Peningkatan ini adalah dalam bentuk pendidikan umum,
yang menuntun perkembangan umum, psikis dan fisik anak didik yang berumur 12
sampai 20 tahun.
Bagi mereka ynag berumur 12 sampai 16
tahun kurikulum yang diperlukan terdiri dari bahasa-bahasa asing kuno seperti
Latin dan Yunani dan bahasa-bahasa modern. Penguasaan bahasa merupakan usaha
pengenlan dunia luas bagi anak didik.
Anak didik yang berumur 16 sampai 20
tahun perlu mendapatkan pengetahuan dengan kelompok:
a.
Yang
mendapatkan kunci dari penalaran seperti logika, retorika, paramasastra dan
ilmu pasti.
b.
Yang
termasuk ke dalam “buku-buku” besar sepanjang masa. Golongan ini adalah tulisan
dari tokoh-tokoh besar pula sepanjang masa.
Golongan yang pertama adalah pengetahuan
yang adapat meningkatkan atau
mempertinggi kecerdasan akal, sedangkan golongan kedua adalah isi hakiki dari
kebudayaan. Kelompok-kelompok kemanusiaan tersebut diatas bila dilanjutkan pada
taraf pendidikan atertinggi dapat merupakan bagian dari pendidikan umum. Tugas
pendidikan umum ini diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.[26]
Dua dari pendukung filsafat perenilais
adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai Rektor the
University of Chicago,Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa
S1 berdasarkan buku besar bersejarah (Great books) dan pembahasan buku-buku
klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perenialis
Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan:[27]
a.
Pendidikan
harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus.
Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun juga. Pendek kata, kebenaran
bersifat universal dan tak terikat waktu.
b.
Karena
kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan,
pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas
manusia adalah fungsi penting pendidikan.
c.
Pendidikan
harus menstimulasi para mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai
gagasan-gagasan siknifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar
dan kritis seperti metode pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang
sama pada siswa.
5.
Metode
Metode pendidikan atau model belajar
utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca
dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam the greats book dalam rangka
mendisiplinkan pikiran.
Peranan guru bukan sebagi perantara
antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami
proses belajar sementara. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery. Ia
juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia
seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan dengan muridnya.
Guru itu harus mempunyai aktualitas yang lebih dan pengetahuan yang sempurna.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perenialisme merupakan sebuah wacana
filsafat tua, yang bertentangan dengan konsepsi modernisme dan menentang
progresivisme. Dimana segala sesuatunya baik dari segi kebudayaan, nilai-nilai
realitas kehidupan duniawi manusia yang ada pada saat ini telah berada dalam
situasi dan kondisi yang kritis, yaitu dalam situasi yang penuh kekacauan,
ketidak pastian dan ketidak teraturan, terutama dalam kehidupan moral manusia.
Menimbang hal tersebut, maka perenialisme memandang realita yang terjadi pada
saat ini hendaknya dan harus di kembalikan kepada masa lampau. Karena perenialisme
berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal atau abadi.
Nilai-nilai dan norma-norma tersebut berupa suatu Ide dan gagasan yang telah
terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu.
Pendidikan dalam
perenialisme, merupakan suatu jalan ataupun proses untuk mengembalikan keadaan
dunia dewasa ini kepada masa lampau dan memberikan
sumbangan yang sangat berpengaruh baik
teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Terkait dengan pendidikan, bahwasanya
perenialisme beranggapan bahwa setiap pendidikan memiliki suatu tujuan yang
kekal dan abadi, dan merupakan suatu kesatuan yang sama sehingga tidak timbul
perbedaan dan perselisihan didalamnya. Hal tersebut merupakan suatu upaya agar
segala kekrisisan yang terjadi pada saat ini dapat teratasi. Karena segala
sesuatu yang tetrus menerus berkembang dengan munculnya gagasan baru yang tidak
didasari oleh sistem pengetahuan yang absolut dan banyaknya manusia yang kurang
bahkan tidak peduli akan perubahan-perubahan tersebut, maka tujuan yang dicapaipun
semakin jauh dari kenyataan.
B.
Saran-Saran
Telah dijelaskan berbagai hal terkait
tentang aliran filsafat perenialisme, yang telah kami uraikan pada pembahasan
sebelumnya, maka kami penyusun menghimbau bagi para pembaca agar dapat
menyeimbangi perubahan-perubahan yang terjadi di era-modern ini, tanpa
meninggalkan segala aspek yang baik, yang telah diyakini akan keabsahannya
dimasa lampau, karena pendidikan ialah suatu proses perubahan dari tidak tahu
menjadi tahu, dari belum bisa menjadi bisa, dan pengalaman adalah sesuatu yang
sangat berharga bagi kehidupan kita untuk proses perubahan diri kita.
Segala aspek pendidikan yang terjadi
dimasa lampau dan masa sekarang merupakan suatu kesatuan yang kedua-duanya
sangat berarti dan sama-sama memiliki kelemahan-kelemahan dan
kelebihan-kelebihan tertentu dari sudut pandang dan pendekatan yang berbeda.
Oleh karenanya dalam menjalani hidup dimasa era-modern ini, segala yang baik
yang didapat baik suatu paradigma ataupun ide-ide dan gagasan yang didapat pada
masa lampau dan sekarang, hendaklah diambil dari segi positifnya, tanpa
mengurangi nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung didalamnya.
Pendidikan bukanlah sebuah proses
intraksi murid dengan guru didalam ruangan kelas saja. Melainkan suatu
perubahan dari waktu-kewaktu baik dari segi kognitif, psikomotor dan afektif,
baik didalam ataupun diluar sekolah. Dengan membaca maka kita akan dapat lebih
mengetahui segala hal yang belum kita ketahui agar perubahan-perubahan yang
kita alami dalam kehidupan ini lebih terarah menuju kebaikan seperti yang kita
harapkan. Maka dari itu bacalah, bacalah dan bacalah segala sesuatu yang ada
didalam kehidupan ini, baik membaca buku-buku yang bersifat ilmiah, non ilmiah
maupun membaca realita kehidupan yang semakin lama terlihat semakin penuh
dengan persaingan dalam hidup, selagi apa yang kita baca merupakan sesuatu
kebaikan, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain.
Daftar Pustaka
Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Emanuel
Wora. Perenialisme Kritik Atas Modernisme Dan Postmodernisme,
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
George
R. Knight, Filsafat Pendidikan, Penerjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama
Media, 2007.
Muhammad
Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: FIP IKIP, 1978.
Imam Barnadib,
Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode, Yogyakarta: IKIP, 1987.
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan), Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002.
Maragustam,
Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakasrta: Nuhalitera, 2010.
M.
Djumberansjah Indar, Filsafat Pendidikan, Surabaya: Karya
Abaditama,1994.
Saiyidain,
Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Bandung: CV Diponegoro,
1981.
Teguh
Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia, 2011.
Uyoh
Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta,2007.
Zuhairini,
dkk. Filsafat
Pendidikan Islam., Jakarta:
Bumi Aksara.1995.
[1] Muhammad Noorsyam, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Malang: FIP
IKIP, 1978), hal 118
[2] Emanuel Wora. Perenialisme Kritik Atas Modernisme Dan
Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal 17
[3] Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan
(Yogyakarta:Ar-Ruzzmedia,2011),hal.163
[4] M. Djumberansjah Indar,
Filsafat Pendidikan (Surabaya:Karya Abaditama,1994),hal.137
[7] George R. Knight, Filsafat
Pendidikan, Penerjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta:Gama Media,2007),hal.165
[8] Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang: FIP IKIP, 1978), hal 167
[10] Ibid hal 91
[11] Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan/Sistem dan Metode (Yogyakarta: IKIP, 1987), hal 64-65
[13] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode (Yogyakarta:
IKIP, 1987), hal 66
[14] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakasrta: Nuhalitera,
2010), hal 112
[16] Ibid hal 93
[17] Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan/Sistem dan Metode (Yogyakarta: IKIP, 1987), hal 67-68
[18] Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan, hal 315
[20] Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan/Sistem dan Metode, hal 69
[21] Ibid hal 70
[22] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode, hal 61
[23] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan
(Bandung:Alfabeta,2007),hal.154
[25] Ibid hal 29
[26] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan system dan metode
(Yogyakarta:Andi Offset,1976),hal.78
[27] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan
(Bandung:Alfabeta,2007),hal.155
[28] Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan
(Yogyakarta:Ar-Ruzzmedia,2011),hal.174
No comments:
Post a Comment