Oleh : Rahmad Fitriyanto
2. ESENSIALISME
Filsafat
pendidikan modern pada garis besarnya dibagi kepada empat aliran yaitu aliran
progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme (Imam
Barnadib, 1982, Mohammad Noor Syam, 1986). Namun pada tulisan ini hanya
penggambaran singkat yakni penggambaran hal-hal yang menjadi ciri utama masing-masing
aliran filsafat pendidikan.
Secara
etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti
aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang
lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism.
Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejaaan yang pernah diraih, sebelum
abad kegelapan atau disebut “the dark middle age” (zaman ini akal terbelenggu,
stagnasi dalam ilmu pengeetahuan, kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani.
Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
Esensialisme
dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang
telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman
renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang
usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan
Purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini
sebagai reaksi terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir
dan bertindak dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari
kebudayaan itu adalah ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan
nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.
Pemikir-pemikir
besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsfat aliran
ini terutama yang hidup pada zaman
klasik seperti Plato, Aristatoles, dan Democritus.
Dalam
bidang pendidikan, “fleksibilitas”dalam segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, kurang stabil dan tidak menentu sehingga
pendidikan itu kehilangan arah. Pendidikan
haruslah bersendirikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan,
sehingga untuk memenuhinya haruslah dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata
yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu yakni nilai-nilai yang berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini,
dengan perhitungan zaman renaissance sebagai pangkal timbulnya pandangan
esensialisme.
Realisme, titik tinjauannya adalah mengenai
alam dan dunia fisik, sedangkan idealism
modern, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Brubacher memberikan
ciri masing-masing:
- Realisme; alam adalah yang pertama-tama memiliki
kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat.
Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan disanalah
terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang
tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai
cerminan yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik.
Ini berarti bahwa anggapan-anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak
dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja, melainkan
pertemuan antara keduanya.
- Idealisme modern; bahwa realita adalah sama
dengan substansi gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomena ini ada jiwa
yang tidak terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai makhluk berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasannya, manusia akan dapat
mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan.
Menurut Imam Barnadib bahwa ciri utama
esensialisme adalah pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu
perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi hal tersebut adalah yang berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini; dengan
perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan
esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan
kedua abad ke sembilan belas. Esensialisme merupakan suatu gerakan dalam
pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Esensialisme tidak
sependapat dengan pandangan progresivisme yang serba fleksibilitas dalam segala
bentuk. Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini
dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dalam pemikiran
pendidikan esensialisme, pada umumnya didasari atas filsafat idealisme dan
realisme. Sumbangan dari masing-masing ini bersifat eklektif.
a. Ontologi
Esensialisme:
Ontologi
filsafat pendidikan idealisme menyatakan bahwa kenyataan dan kebenaran itu pada
hakikatnya adalah ide-ide atau hal-hal yang berkualitas spiritual. Oleh karena
itu, hal pertama yang perlu ditinjau pada peserta didik adalah pemahaman
sebagai makhluk spiritual dan mempunyai kehidupan yang bersifat teleologis dan
idealistik. Pendidikan bertujuan untuk membimbing peserta didik menjadi makhluk
yang berkepribadian, bermoral, serta mencita-citakan segala hal yang serba baik
dan bertaraf tinggi.
b. Epistemologi
Esensialisme:
Aspek
epistemologi yang perlu diperhatikan halam pendidikan adalah pengetahuan hendaknya
bersifat ideal dan spiritual, yang dapat menuntun kehidupan manusia pada
kehidupan yang lebih mulia. Pengetahuan semacam itu tidak semata-mata terikat
kepada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi mengutamakan yang bersifat
spiritual. Sedangkan aspek aksiologi menempatkan nilai pada dataran yang
bersifat tetap dan idealistik. Artinya, pendidik hendaknya tidak menjadikan
peserta didik terombang-ambing oleh hal-hal yang bersifat relative atau
temporer (Imam Barnadib, 2002). Ontologi dari filsafat pendidikan realisme
bahwa pendidikan itu seyogyanya mengutamakan perhatian pada peserta didik
seperti apa adanya, artinya utuh tanpa reduksi.
Dalam
bidang epistemologi, bahwa pengetahuan adalah hasil yang dicapai oleh proses
mana subjek dan objek mengadakan pendekatan. Dengan demikian hasilnya adalah
perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan keseimpulan dari kemampuan manusia
dalam menyerap objeknya. Oleh karena itu, epistemologi dalam filsafat
pendidikan realisme adalah proses dan produk dari seberapa jauh pendidik dapat
mempelajari secara ilmiah emperis mengenai peserta didiknya. Hasil-hasilnya
akan digunakan sebagai dasar untuk menyelenggarakan pendidikan.
c. Aksiologi
Esensialisme:
Sedangkan
dalam bidang aksiologi, faktor peserta didik perlu dipandang sebagai agen yang
ikut menentukan hakikat nilai (Imam Barnadib, 2002).
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi
terhadap hidup yang mengarah pada keduniaan, serba ilmiah dan materialistis.
Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran
idealisme dan realisme. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk
pribadi bahagia di dunia dan akhirat (Zuharini, dkk, 1992). Johann Amos
Comenius (1592-1670) sebagai salah satu tokoh esensialisme mengatakan bahwa
karena dunia ini dinamis dan bertujuan, kewajiban pendidikan adalah membentuk
anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama pendidikan ialah membina
kesadaran manusia akan semesta dan dunia, untuk mencari kesadaran spiritual,
menuju Tuhan (Imam Barnadib, 2002; Mohammad Noor Syam, 19886).
Teori nilai menurut Idealisme bahwa
hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik
hanya bila ia secara aktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu.
Dengan demikian posisi seseorang jelas dapat dimengerti dalam hubungannya
dengan nilai-nilai itu. Dalam filsafat, misalnya agama dianggap mengajarkan
doktrin yang sama, bahwa perintah-perintah Tuhan mampu memecahkan
persoalan-persoalan moral bagi siapapun yang mau menerima dan mengamalkannya. Meskipun
Idealisme menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai itu, namun ia tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri yaitu memilih dan melaksanakan.
Teori
nilai menurut Realisme
Prinsip sederhana Realisme tentang etika
ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengalaman manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidupnya. Karena itu approach yang paling tetap pada
nilai-nilai ialah sebagai mana approach pada pengetahuan, yakni dengan pemahaman
obyektif atas peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Fakta, peristiwa itulah yang
menimbulkan pertimbangan proporsional dalam ekspresi keinginan, rasa kagum,
tidak suka dan penolakan. Kecenderungan approach obyektif ini yang melahirkan
penyelidikan ilmiah, khususnya dalam ilmu pengetahuan sosial (Mohammad Noor
Syam, 1986).
Teori
belajar menurut esesialisme ialah teori korenpondensi sebagai dasar. Yakni
kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan dan fakta. Meskipun proses
belajar dianggap bidang psikologi, tetap oleh aliran ini belajar juga dianggap
sebagai masalah ontologi, epistemologi dan axiologi. Pendirian demikian
berdasarkan prinsip bahwa perlu verifikasi kodrat realita yang kita pelajari
(ontologi). Juga diperlukan reliabilitas pengetahuan yang dipelajari
(epistemologi) dan demikian pula nilai dari realitas dan pengetahuan itu
(axiologi). Pada prinsipnya proses belajar adalah melatih daya jiwa yang
potensial sudah ada. Proses belajar sebagai proses menyerap apa yang berasal
dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurkulum
tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
Prinsip-prisinsip
pendidikan esensialisme yaitu (1) pendidikan harus dilakukan melalui usaha
keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri siswa, (2) inisiatif dalam
pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik. Peranan guru adalah
menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara
khusus untuk melaksanakan tugas di atas, sehingga guru lebih berhak untuk
membimbing pertumbuhan peserta didiknya. Esensialisme, menurut Imam Barnadib,
bahwa guru sebagai penentu bagi pendidikan. Kedudukan guru atau pendidik
demikian penting karena mereka mengenal dengan baik tentang tujuan pendidikan
serta pengetahuan atau materi-materi lain (Imam Barnadib, 1988). (3) Inti
proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
Kurikulum diorganisasi dan direncanakan dengan pasti oleh orang dewasa.
Pandangan ini sesuai dengan filsafat realisme bahwa secara luas lingkungan
material dan sosial, adalah manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia
hidup.
Prinsip-prinsip
pendidikan esensialisme adalah sebagai berikut:
a. Sekolah harus mempertahankan motede-metode
tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
b.
Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan umum.
c.
Menghendaki
pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki
kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada
manusia melalui sivilisasi dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah
sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam gudang di luar ke
jiwa peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik itu perlu dilatih agar
mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi (Imam Barnadib, 2002).
Tentang kurkulum, idealisme
memandang hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat.
Seperti halnya pandangan Herman Herman Harrell Horne, yang digambarkan oleh
Bogoslousky, bahwa kurikulum idealisme dapat digambarkan sebuah rumah yang
mempunyai empat bagian yakni:
a.
Universum. Pengetahuan yang merupakan latar
belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya
kekuatan-kekuatan alam, asal-asul tata surya dan lain-lainnya. Basis
pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b.
Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai
akibat hidup bermasyarkat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan
pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhannya, dan hidup aman dan
sejahtera.
d.
Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di
antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian
mengenai lingkungan.
e.
Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan
kepribadian dalam arti ril yang tidak bertentangan dengan kepribadian ideal.
Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisiologis, emosional,
dan inntelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis,
sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut (Imam Barnadib, 1982).
No comments:
Post a Comment