Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai
rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi
kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini,
sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al
Qur’an ini kapadamu agar kam menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang
mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan
mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang
membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami
kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini,
tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk
kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan
aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi
pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan
batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara
Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam
khazanah pemikian Islam.
Arti dan Hakekat Kebudayaan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan
bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “
kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia,
seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan
kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll).
Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan
ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan
kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan
sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi
lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4.
Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti
sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian,
makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti
upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian )
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah,
pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ;
visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni
pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur (
rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu
eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk
Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang
menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang
mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih
baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk
berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya
sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat
tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian
ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan
bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa
agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas
panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari
Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa
ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia
mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk
menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat
terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci
masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut
sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan
manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah
diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka
terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai
pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan.
Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau
dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu
sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh
Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian
dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu
sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur
tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat
jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari
saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “Selain menciptakan manusia, Allah
swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu
mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga
menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan
dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan
dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua
pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang
ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah.
Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan
tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka
unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila,
bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang
menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang
berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan
pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan
berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan
kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini,
Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah
pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian
Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar
bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk
selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,
Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam
satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini,
mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori
seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk
mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan
seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang
telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang
tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam
perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan
perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam
penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun
“ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang
merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan
hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada
hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga
wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam
Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus
diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai
arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam,
maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar
hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah
harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam
dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi
budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas.
Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang
wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan
Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling
jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara
yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat
dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk
meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan
aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan
syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan,
tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat
Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang
meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai
bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya.
Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga
dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah
upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba
masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini
berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan
makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para
penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk
memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya
tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain
lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai
budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada
Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang
menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia
).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang
bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan
mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan
kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan
kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang
menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan
manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar
madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat
daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa
kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat
kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di
kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti
ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena
tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at
mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga,
karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut
dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu
baik “
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi
WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta,
bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus
memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai
untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam Oleh DR. Zain An Najah
Jeffrey lang pernah memberikan analisi tentang pertentangan
antara agama dengan budaya yang sejak dulu sudah terjadi, Yahudi memilih
menutup diri dengan budaya, mereka menolak bentuk pencampuran antara budaya
dengan agama, sehingga dalam praktik ibadahnya banyak kita temui hal-hal yang
seolah-olah melawan arus budaya seperti seorang rabi yang memberikan fatwa
tentang haramnya menggunakan lift, atau aturan-aturan lain yang bisa dipandang
sebagai penolakan terhadap budaya, sehingga yahudi nyaris tidak mengalami
perkembangan secara kuntitas tetapi tetap terjaga secara kualitas. Nasrani
memilih menerima pencampuran antara budaya dengan agama, dalam praktik
peribadatan banyak sekali unsur-unsur budaya yang digunakan seperti penerjemahan
kitab suci ke berbagai bahasa, dsb. Sehingga secara kuantitas Nasrani
berkembang menjadi agama yang pesat tetapi secara kualitas tidak begitu baik.
Bagaimana dengan Islam?
Islam memberikan batasan-batasan yang jelas tentang budaya.
Dalam konsep Ikhwanul Muslimin dikenal dengan tsawabit dan mutaghayyirat.
Artinya Islam memberikan batasan antara yang tidak boleh diubah (tsawabit)
karena bersifat prinsip seperti aqidah, ushul (pokok-pokok) yang tegas yang
tidak menerima takwil, penggantian, perubahan kapan dan di mana pun serta oleh
siapa pun. seperti rukum iman, atau bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an.
Sedang Mutaghayyitat memberikan flesibilitas terhadap perkembangan zaman,
termasuk budaya.
Dalam islam secara otomatis organisasi yang memiliki tsawabit
tidak sesuai dengan apa yang sudah digariskan akan terkucilkan, bahkan dimusuhi
seperti terjadi pada kasus elijah muhammad di US. konteks perubahan dalam
mutaghayyirat tentu perubahan yang tidak bertentangan dengan tsawabit yang
telah ditentukan dalam islam.
Inilah yang memungkinkan Islam terjaga secara kuantitas dan
kualitas, karena Islam mampu berkembang menjawab permasalahan-permasalahan
kekinian dengan corak yang khas, bukan terkontaminasi atau menutup diri.
wallahua’lam
Ketika Barat mengalami masa yang
disebut sebagai "Masa Kegelapan" pada abad ke-7 sampai abad ke-17, di
dunia Islam justeru sedang mengalami perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan. Seiring perjalanan waktu ketika dunia Islam mengalami kemunduran,
banyak hasil penemuan dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan
Muslim diklaim sebagai hasil penemuan ilmuwan Barat hingga sekarang.
Seorang cendikiawan dan ilmuwan Muslim, Profesor Salim Al-Hassani tidak bisa tinggal diam melihat hal itu. Ia ingin meluruskan fakta sejarah dan mengklaim kembali hasil temuan dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan para ilmuwan Muslim yang selama ini hilang dan diakui sebagai hasil penemuan ilmuwan Barat. Dan kepedulian Salim diwujudkannya dalam buku "1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World".
Selama hampir 20 tahun ia menelusuri
dan mengumpulkan warisan peninggalan para ilmuwan Muslim di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan teknologi yang kemudian dibukukannya dalam buku tersebut.
"Proyek 1001 penemuan adalah proyek sejarah ilmu pengetahuan dan fokusnya
pada periode ribuan tahun yang lalu, mulai dari abad ke-7 dan seterusnya yang
kurang diapresiasi oleh banyak orang di dunia sekarang ini," kata Profesor
Salim.
Kerja kerasnya selama puluhan tahun
bukan hanya membuahkan karya yang bermanfaat bagi generasi muda Islam tapi juga
membuahkan penghargaan dari British Science Association.
Profesor Salim mengatakan, ilmu
pengetahuan memainkan peranan penting untuk menciptakan saling kesepahaman dan
penghormatan Barat terhadap dunia Islam. Terlebih sejak peristiwa serangan 11
September 2001 dimana Islam dan Muslim menjadi target hujatan dan dipandang
sebagai peradaban yang primitif.
"Dengan menunjukkan warisan
ilmu pengetahuan dan budaya dari kelompok masyarakat yang berbeda-beda, kita
bisa menghormati berbagai budaya di dunia, bisa membantu meluruskan pandangan
yang menyimpang soal superiotas budaya dan membantu masyarakat dunia untuk menghargai
dan menghormati keyakinan, gaya hidup serta sejarah dari umat manusia
lainnya," tutur Profesor Salim.
Ia berharap, upayanya mengingatkan
kembali kemajuan ilmu pengetahuan yang pernah dicapai para ilmuwan Muslim, bisa
mengurangi pemikiran ekstrimis di kalangan Muslim, mempertajam sikap sosial dan
mendorong generasi muda Muslim untuk berkarir di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Profesor Salim mengatakan, buku
"1001 Inventions" secara keseluruhan mengedepankan kontribusi ilmu
pengetahuan beragam latar belakang budaya, terutama dari kalangan Muslim, dalam
menciptakan kehidupan modern seperti sekarang ini.
"Apa yang dicapai dunia Islam
dibangun atas dasar pengetahuan yang mereka dapatkan dari berbagai peradaban,
seperti peradaban Yunani, Babilonia, Assiria, China dan India," ungkap
Profesor Salim.
Ia menambahkan, masih ada lima juta
manuskrip lagi yang masih menunggu diteliti untuk mengungkap sejarah-sejarah
yang hilang, misalnya tentang peran para ilmuwan muslimah dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Dari jumlah itu, kata Profesor Salim,
baru 50.000 manuskrip yang sudah dipelajari.
Sebagai tindak lanjut buku
"1001 Inventions", akan digelar pameran "1001 Penemuan" di
Museum Ilmu Pengetahuan, London awal tahun 2010 mendatang. Sekitar 3.000 kopi
buku ini sudah dibagikan gratis ke sekolah-sekolah di Inggris dan 90.000 kopi
buku ini akan didistribusikan ke sekolah-sekolah di AS dalam setahun mendatang.
No comments:
Post a Comment