A. Sekilas
Tentang Al-Ghazali
Banyak
dari kita mengenal al-Ghazali hanya sebagai seorang teolog, Faqih dan sufi,
padahal ada sisi lain dari al-Ghazali yang kurang ter-cover dalam perhatian
para sarjana belakangan yaitu pemikirannya tentang pendidikan. Padahal
pemikirannya tentang hal tersebut banyak berpengaruh terhadap para ulama’ sunni
sesudahnya. Lalu apa saja pemikiran al-Ghazali dimaksud.[1]
Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal yang penulis rujuk, rujukan utama dan
pertama adalah karya besarnya Ihya’ Ulumiddin juz I, kedua, terjemahan karyanya
yang berjudul Ayyuha Al-Walad, yang ketiga adalah pendapat-pendapat para
cendekiawan yang juga penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan.
Berikut
adalam item ‘b’ adalah ringkasan isi dari Ihya’ Ulumiddin Bab I yang dianggap
mewakili bab yang berisi wacana pendidikan dalam kitab Ihya’. Akan tetapi yang
perlu disadari oleh pembaca bukan berarti selain di bab I Ihya’, dalam bab-bab
lain al-Ghazali tidak menyinggung tentang pendidikan. Jadi sebenarnya lebih
pada pilihan penulis karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang ada.
B. Ilmu
pengetahuan
Pandangan
al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan ilmu &
keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan mengajar.
Baiklah
kita mulai dari hal yang pertama, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada
provokatif tentang keutamaan mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan
mengutip Al-qur’an surat al-Mujadilah ayat 11 yang mempunyai arti: Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberepa derajat. Provokasi ini kemudian dilanjutkannya dengan
hadist Nabi bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tentang
keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah “lil ulama’I
darajat fauqa al-mu’minina bisab’imi’ati darajat ma baina al-darajataini
masiratu khamsami’ati ‘am.” yang artinya para orang-orang yang berilmu
memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak
di antara dua derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun. Di halaman pertama
ihya’ pada bab I saja setidaknya terdapat 14 ayat yang
dikutib al-Ghazali yang dijadikan pen-support akan keutamaan ilmu dan
keutamaan orang yang memilikinya. Dan melengkapinya dengan mengutip 27 hadis
yang mendukung. Sedangkan dalam keutamaan belajar beliau memulai dengan dengan
surat taubat ayat 122 kemudian melanjutkannya dengan surat Al-nahl ayat 43 dan
Al-anbiya’ ayat 7 yang berbunyi “fas’alu ahla al-dikri in kuntum la ta’lamun.”
dan setelah itu setidaknya beliau menyebutkan 9 hadis yang juga bernada majaz
metaforis.[2]
Yang
menarik disamping beliau menyandarkan pendapat-pendapatnya pada dua asas islam
di atas, beliau memakai pula sandaran secara logika (aqli). Hal ini
rupanya tak luput dari background-nya sebagai guru besar Universitas
Nidhamiyah[3]
yang mengikuti madhab Syafi’iyah dan madhab kalam al-Asy’ari yang memang sering
memadukan dalil naqli dan ’aqli. Berikut adalah ikhtisar pemikiran al-Ghazali
tentang pendidikan.
1. Kategorisasi Pengetahuan
Setelah
memprovokasi umat islam untuk mencari ilmu, al-Ghazali melanjutkannya dengan
kategorisasi ilmu pengetahun. Dalam kategorisasi ilmu, al-Ghazali membaginya
pada ilmu yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) dan ilmu yang tidak
pantas untuk dipelajari (al-madmum), kemudian beliau juga membagi ilmu
yang pantas dipelajari menjadi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari
dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
Akan
tetapi sebelum membahas hal itu, al-Ghazali memulainya dengan mengatakan tidak
adanya diskriminasi dalam mencari ilmu dengan mengutip hadis Nabi yang
berbunyi” talabu al-‘ilmi faridah ‘ala kulli muslim” setelah itu baru
menjelaskan pada apa yang ia maksud dengan ilmu yang fadlu ‘ain, yaitu
ilmu yang meliputi ilmu teologi seperlunya hingga ia yakin tentang Allah,
kemudian ilmu syari’at hingga ia paham akan apa yang harus ditinggalkan dan apa
yang harus dilakukan. Selebihnya menurutnya adalah fardlu kifayah.[4]
Sedangkan
ilmu yang tidak pantas dipelajari bagi al-Ghazali adalah ilmu yang dapat
menyesatkan kita seperti ilmu sihir dan ilmu nujum (ramalan), dan filsafat.
Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi
kebaikan. Seperti ilmu njum untuk mengetahui letak kiblat, filsafat hanya dalam
dasar untuk keperluan kedokteran dan matematika.
2. Etika
Belajar
Sedangkan
dalam etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan
oleh seorang pelajar yaitu:
Pertama,
membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu
adalah ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua,
menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan
menjauhi keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar
seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.
Ketiga,
tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru.
Bahkan menurut al-Ghazali seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya
pada sang guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala
urusannya pada dokter.
Keempat,
menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia,
karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap
selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.
Kelima,
tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui
hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur)
dalam sesuatu yang dikerjakannya.
Keenam,
janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.
Ketujuh,
jangan terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang
telah dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik,
satu bagian saling terkait dengan bagian yang lainnya.
Kedelapan,
harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang
lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan
prioritas ilmu yang akan dipelajari.
Kesembilan,
pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain
sebagainya.
Kesepuluh,harus
mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar
al-rafi’ al-qarib ‘ala al-ba’id).[5]
3. Etika
Mengajar
Pertama,
memperlakukan para murid dengan kasih saying seperti anaknya sendiri.
Kedua,
mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima
kasih (ikhlas).
Ketiga,
jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.
Keempat,
jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara
terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk
mengerjakannya terlebih dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan
jauh lebih efektif daripada perkataan.
Kelima,
jangan menghina disiplin ilmu lain.
Keenam,
terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam
balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh,
hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran
yang simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk
maka hal tersebut akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.
Kedelapan,
seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.[6]
C. Berbincang
Tentang Pendidikan dalam kacamata al-Ghazali
Ditilik
dari Ihya’ bab I, al-Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan,
ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana
ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun.
Pula ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan
pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar. Jadi kurang arif jika
ada anggapan bahwa umat islam terbelakang gara-gara al-Ghazali.
Dalam
Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali telah memakai kategorisasi ilmu akhirat atau ilmu
agama. Lagi disana, al-Ghazali masih memakai kata fiqh sebagai
pemahaman, faqih sebagai orang yang paham atau berilmu. Hal ini terlihat
pada hadis yang dinukilnya,” man yurid Allahu bihikhairanyufaqqihhu fi al-din”.
Kata Alim dan Ulama’ juga masih diartikan sebagai cendekiawan atau orang yang
berilmu. Hal ini bisa terlihat dari hadis yang dikutip oleh al-Ghazali ”yashfa’u
yauma al-qiyamati tsalatsatun; al-anbiya’ tsumma al-ulama’ tsumma al-shuhada”.
Dan pula “fadlu al-mu’min al-‘alim ‘ala
al-mu’min al-‘abid bisab’ina darajatan”.[7]
Sepertinya hingga masa al-Ghazali kata Faqih dan Ulama’ belum secara khusus
merujuk pada disiplin ilmu fiqh dan Ulama’ sebagai ahli ilmu agama. Walaupun
hal-hal yang mengarah ke arah itu sudah ada.
Pembahasan
al-Ghazali tentang pendidikan meliputi tujuan pendidikan, metode belajar,
metode mengajar, karakteristik dan kategorisasi keilmuan.
Tujuan
pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah mencapai mardlatillah
(Ridha Allah)[8]
dan haruslah dihindari dari tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi dapat
merusak seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti pendidikan itu
sendiri.
Dalam
kategorisasi ilmu yang dilakukan, ilmu-ilmu agama menduduki peringkat pertama
dan utama dalam pemikiran al-Ghazali. Sehingga menurut al-Ghazali selayaknya
seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum
mempelajari ilmu furu’. Jadi dalam kategorisasi ilmu agamapun al-Ghazali
masih membaginya pada apa yang ia sebut demi kepentingan tertib belajar. Ilmu
kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama
dalam kacamata al-Ghazali karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat,
Sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Disamping
itu ia juga menjelaskan bagaimanakah seorang pelajar harus bersikap terhadap
ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar. Dan menurut
penulis apa yang telah dikemukakan al-Ghazali adalah lebih moderat ketimbang
apa yang kemudian diterjemahkan ulang yang banyak penambahan sana sini oleh
pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih beroriantasi pada etika murid
pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan
al-Ghazali mencakup pula pada bagaimana seorang guru harus bersikap dan
memperlakukan murid dalam pengajaran yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung
metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai
pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang
dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang
murid berprestasi hendaklah seorang Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika
melanggar hendaklah diperingatkan. Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali
tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang
memberikan reward and panisment-nya dalam bentuk kebendaan dan
simbol-simbol materi. Al-Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah
(dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping
pendekatan behavioristik diatas, al-Ghazali juga mengolaborasi dengan
pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak
didik sebagai manusia secara holistic dan mengahrgai mereka sebagai manusia.
Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap
lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah
anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghazali menginginkan
sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam
pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya
guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu
masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih
dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara
guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena
memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan
pengetahuan.
Tapi
hal yang paling Nampak dalam kacamata al-Ghazali tentang pendidikan adalah
bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah
etika pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam
Ihya’ Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-‘Amal dan Bidayah
al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini persinggungan al-Ghazali dengan
tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-Ghazali
menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak
tahfut al-falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa Aku
atau Kita. malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghazali menggunakan kata penggati
engkau untuk menyapa pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak
diadopsi oleh para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq
lil Banin dan Ahklaq lil Banat. Mungkin
inilah metode yang benar menurut al-Ghazali tentang belajar dan mengajar
(pendidikan).
PENUTUP
Kami tidak tahu bagaimana menutup
diskusi kita kali ini karena bagi kami secara pribadi, pembacaan atas
al-Ghazali adalah pembacaan yang belum tuntas. Tentu sangat riskan jika kami
membuat kesimpulan tentang isi pikiran al-Ghazali tentang pendidikan.
Yang mungkin kami lakukan adalah kesimpulan
tentang apa yang kami paparkan dalam item sebelumnya, yaitu bahwa setidaknya
pandangan al-Ghazali tentang pendidikan mencakup pada tujuan pendidikan; yaitu
keridlaan Allah, metode pendidikan; dalam hal ini al-Ghazali bukanlah seorang
pemikir pendidikan yang ekstrim terhadap satu metode dan menolak metode yang
lain, ia banyak menggabungkan metode-metode yang ada untuk memperoleh hasil
yang optimal, kategorisasi keilmuam; hal ini juga menjadi perhatian al-Ghazali
dan dijelaskan secara panjang lebar.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Al-Ghazali,
Imam, ihya’ ulumiddin. Dar al-kitab al-‘ilmiyah. Beirut-lebanon tanpa tahun.
Ø Al-Ghazali,
Imam, Ayyuha al-Walad. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986
Ø Nakosten,
Mehdi. Konstribusi Islam Atas Dunia Barat. Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Ø Zamjani,
Irsyad. Wacana Pendidikan Ghazali. Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi
erbang Vol-12,2002
Ø Yaitu
setelah ia berguru secara massif pada al-Juwainisejak usia 23 tahun sekaligus
menjadi asistennya dalam mengajar di Nidzamiyah- Bagdad, al-Ghazali sudah mulai
menulis kitab dan mulai mendapatkan tempat di Nidzamiyah. saat Juwaini wafat
pada 478 H/1085 M, al-Ghazali yang baru berumur 28 tahun diangkat menjadi Guru
Besar di Nidzamiyah. Dalam cetakan ihya’ ulumiddi yang diterbitkan oleh dar al-kitab
al-‘ilmiyah Beirut-lebanon tanpa tahun.
Ø Irsyad
zamjani Wacana Pendidikan Ghazali(Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi
erbang Vol-12,2002) 215-216
Ø Lih.
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986) bandingkan
dengan terjemahannya yang dimuat oleh Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam Atas
Dunia Barat(Surabaya: Risalah Gusti, 1996)126-130.
Ø Imam
al-Ghazali Ihya’ Ulum al-Din jilid 1, m.s : 25-27. Lihat juga, Ahmad
Mohd Salleh, Pendidikan Islam Falsafah, Pedagogi dan Metodologi. 2006.
Ø Abdurrahman
Shaleh Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qu’ran, (terj. M Arifin).
1999.
[3]
Yaitu setelah ia berguru
secara massif pada al-Juwainisejak usia 23 tahun sekaligus menjadi asistennya
dalam mengajar di Nidzamiyah- Bagdad, al-Ghazali sudah mulai menulis kitab dan
mulai mendapatkan tempat di Nidzamiyah. saat Juwaini wafat pada 478 H/1085 M,
al-Ghazali yang baru berumur 28 tahun diangkat menjadi Guru Besar di
Nidzamiyah. Dalam cetakan ihya’ ulumiddi
yang diterbitkan oleh dar al-kitab al-‘ilmiyah Beirut-lebanon tanpa
tahun.
[5]
Irsyad zamjani Wacana
Pendidikan Ghazali(Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang
Vol-12,2002). Hlm 215-216.
[6]
Imam
al-Ghazali Ihya’ Ulum al-Din jilid 1, m.s : 25-27. Lihat juga, Ahmad
Mohd Salleh, Pendidikan
Islam
Falsafah, Pedagogi dan Metodologi, m
s : 1
[7]
Lih. Al-Ghazali, Ayyuha
al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986) bandingkan dengan
terjemahannya yang dimuat oleh Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam Atas Dunia
Barat(Surabaya: Risalah Gusti, 1996). Hlm 126-130.
No comments:
Post a Comment