DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Dimensi Kompetensi
C. Kompetensi
D. Indikator Pencapaian
Kompetensi
E. Alokasi
Waktu
F. Skenario Kegiatan
BAB II TUGAS
DAN PERANAN KEPALA SEKOLAH DASAR
BAB III KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH DASAR
BAB IV KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH DASAR DI ERA DESENTRASISASI
BAB V PERANAN
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN SEMANGAT KERJA GURU DI SEKOLAH
DASAR
BAB VI PERANAN
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DI SEKOLAH DASAR
BAB VII PERANAN
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEEFEKTIFAN KERJA TIM GURU DI SEKOLAH DASAR
TUGAS
DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Latihan Pencapaian Kompetensi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alternatif
Skenario Kegiatan
Gambar 6.1 Gambaran
Profesionalisme Guru
BAB
III
PENGERTIAN
KEPEMIMPINAN
Istilah kepemimpinan bukan merupakan
istilah baru bagi masyarakat. Di setiap
organisasi, selalu ditemukan seorang pemimpin yang menjalankan organisasi. Pemimpin
berasal dari kata “leader” yang
merupakan bentuk benda dari “to lead”
yang berarti memimpin. Untuk memahami pengertian kepemimpinan secara jelas,
maka perlu dikaji beberapa definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan.
Banyak
ahli yang mengemukakan pengertian kemimpinan. Feldmon (1983) mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah usaha sadar yang dilakukan pimpinan untuk
mempengaruhi anggotanya melaksanakan tugas sesuai dengan harapannya. Di sisi
lain, Newell (1978) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses
mempengaruhi orang lain untuk mencapai pengembangan atau tujuan organisasi.
Kedua pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Stogdil yang mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas kelompok untuk mencapai
tujuan organisasi (Wahyosumidjo, 1984).
Berdasarkan
beberapa definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan tersebut, dapat
digarisbawahi bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu proses
menggerakkan, mempengaruhi dan membimbing orang lain dalam rangka untuk
mencapai tujuan organisasi. Ada empat unsur yang terkandung dalam
pengertian kepemimpinan, yaitu unsur orang yang menggerakkan yang dikenal
dengan pemimpin, unsur orang yang digerakkan yang disebut kelompok atau anggota,
unsur situasi dimana aktifitas penggerakan berlangsung yang dikenal dengan organisasi,
dan unsur sasaran kegiatan yang dilakukan.
Sekolah
merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan
pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut
diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan bisa
diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam
organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nawawi (1985) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah
proses mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan mengarahkan
orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Dalam
organisasi pendidikan yang menjadi pemimpin pendidikan adalah kepala sekolah. Sebagai
pemimpin pendidikan, kepala sekolah memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab
yang cukup berat. Untuk bisa menjalankan fungsinya secara optimal, kepala
sekolah perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat.
Peranan
utama kepemimpinan kepala sekolah tersebut, nampak pada pernyataan-pernyataan
yang dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich yang dikutip Indrafachrudi
(1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sumber energi utama ketercapaian
tujuan suatu organisasi. Di sisi lain, Owens (1991) juga menegaskan bahwa
kualitas kepemimpinan merupakan sarana utama untuk mencapai tujuan organisasi.
Untuk itu, agar kepala sekolah bisa melaksanakan tugasnya secara efektif,
mutlak harus bisa menerapkan kepemimpinan yang baik.
Ada banyak teori
gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan kepala sekolah. Bila ditelaah dari
perkembangan teori, ada banyak teori kepemimpinan yang bisa ditelaah untuk
mengkaji masalah kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang pertama-tama
dikembangkan adalah teori sifat atau trait theory. Pada dasarnya
teori sifat memandang bahwa keefektifan kepemimpinan itu bertolak dari
sifat-sifat atau karakter yang dimiliki seseorang. Keberhasilan kepe-mimpinan
itu sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian tertentu, misalnya
harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran berbahasa, kreatifitas termasuk
ciri-ciri fisik yang dimiliki seseorang. Pemimpin dikatakan efektif bila
memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik. Sebaliknya, pemimpin dikatakan
tidak efektif bila tidak menunjukkan sifat-sifat kepribadian yang baik
Penelitian
tentang kepemimpinan berdasarkan trait
theory ini telah banyak dilakukan. Stogdil membedakan tiga karakteristik
yang menunjukkan pemimpin yang efektif, yaitu (1) kepribadian, (2) kemampuan,
dan (3) ketrampilan sosial (Feldmon & Arnold, 1983). Pada perkembangan
selanjutnya, oleh Bass dan Stogdil, diklasifikasi menjadi dua, yaitu traits yang antara lain mencakup
karakter tegas, bekerja sama,
berpengaruh, memiliki keyakinan diri, energik, dan bertanggung jawab, dan skill yang antara lain mencakup
pandai, kreatif, lancar berbicara, memiliki kemampuan konseptual dan
ketrampilan sosial. Dari sejumlah
traits tersebut, selanjutnya diklasifikasi
menjadi lima dimensi besar, yaitu surgence, agreeableness, conscientiousness,
emotional stability, dan intellectance
(Lunenburg & Ornstein, 2000).
Berdasarkan
beberapa hasil studi, ditemukan keterbatasan trait theory yakni terlalu
menekankan pada karakter personal pemimpin. Keberhasilan kepemimpinan tidak
semata-mata ditentukan oleh karakter personal, tetapi justru banyak ditentukan
dari apa yang dilakukan pemimpin. Keefektifan kepemimpinan banyak tergantung
pada perilaku yang diterapkan pemimpin dalam situasi organisasi. Untuk itu,
muncul teori-teori yang bertolak dari pendekatan perilaku yang dikenal dengan istilah
behavior theory.
Teori
kepemimpinan berdasarkan pendekatan perilaku tersebut tidak didasarkan pada
sifat atau ciri-ciri kepribadian seseorang, tapi lebih cenderung berdasarkan
perilaku atau proses kepemimpinan yang ditunjukkan dalam organisasi yang
dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak dinilai dari karakter personal, tapi
lebih ditekankan pada fungsi, peranan, atau perilaku yang ditampilkan dalam
kelompok. Salah satu teori kepemimpinan yang dikembangkan berdasarkan perilaku
adalah teori kepemimpinan dua dimensi (two
dimensional theory).
Berdasarkan
teori kepemimpinan dua dimensi, gaya kepemimpinan itu mengacu pada dua sisi,
yaitu sisi tugas atau hasil, dan sisi hubungan manusia atau proses. Gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) adalah gaya
kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapaian hasil. Gaya kepemimpinan
ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola,
penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan. Sedangkan gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada hubungan manusia (people oriented) adalah gaya
kepemimpinan yang meneknakan pada hubungan kemanusiaan dengan bawahan. Gaya
kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada hubungan kesejawatan, saling
mempercayai, saling menghargai, dan kehangatan hubungan antar anggota (Owens,
1991).
Banyak
ahli yang mengkaji teori kepemimpinan dua dimensi dengan istilah yang
berbeda-beda. Cartwright dan Zander menggunakan istilah pencapaian tujuan (goal
achievement), dan pertahanan kelompok (group maintenance). Halpin
dan Winner mengemukakan dengan istilah struktur inisiasi (initiating structure)
dan konsiderasi (consideration). Danil Cartz menyebut dengan istilah
orientasi pada produksi (production oriented) dan orientasi pada pekerja
(employee oriented). Likert
menyebut dengan istilah berpusat pada tugas (job centered) dan berpusat
pada pekerja (employee centered). Blake dan Mouton menggunakan istilah
perhatian pada aspek hasil (concern for production) dan perhatian pada
aspek manusia (concern for people) (Owens, 1991).
Semua
istilah dimensi kepemimpinan tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987) diklasifikasi
menjadi dua, yaitu perhatian pada organisasi (concern for organization)
dan perhatian pada hubungan individual (concern for individual relationship).
Ada
beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada tugas dan hubungan manusia. David dan Sheasor mengemukakan empat ciri,
yaitu memberikan dukungan, menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan
menetapkan tujuan (Hoy dan Miskel, 1987). Dua komponen menunjukkan perilaku
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang tugas-tugas dan
menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang
berorientasi pada hubungan manusia, yaitu memberikan dukungan dan menjalin
interaksi.
Di sisi lain, Halpin mengemukakan delapan komponen. Empat
komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu
menetapkan peranan, menetapkan prosedur kerja, melakukan komunikasi satu arah,
dan mencapai tujuan organisasi. Empat komponen menunjukkan perilaku yang
berorientasi pada hubungan manusia, yaitu menjalin hubungan akrab, menghargai
anggota, bersikap hangat dan menaruh kepercayaan kepada anggota (Hoy dan
Miskel, 1987).
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut, dapat digarisbawahi karakteristik perilaku gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah melakukan komunikasi satu
arah, menyusun rencana kerja, merancang tugas-tugas, menetapkan prosedur kerja,
dan menekankan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan karakteristik perilaku
gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia adalah menjalin
hubungan yang akrap, menghargai anggota, bersikap hangat, dan menaruh
kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan
dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa
diklasifikasi menjadi empat, yaitu: (1) task
oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada
tugas, dan rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang
berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas, (3) integrated leadership, yakni gaya
kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan (4)
impoverished leadership, yakni gaya
kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan hubungan manusia (Rossow,
1990). .
Pada
perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa tidak setiap organisasi bisa
digunakan pendekatan kepemimpinan yang sama. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada orang cenderung
lebih efektif. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa orientasi
kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru lebih efektif (Feldmon &
Arnold, 1983; Hoy & Miskel, 1987; Gorton, 1991). Hal ini disebabkan oleh
karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan
landasan tersebut, lalu dikembangkan pendekatan kepemimpinan baru yang dikenal
dengan pendekatan kepemimpinan situasional. Kepemimpinan yang efektif adalah
kepemimpinan yang bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi.
Beberapa komponen yang perlu dipertimbangkan adalah keadaan bawahan, tuntutan
pekerjaan, dan lingkungan organisasi itu sendiri (Newell, 1978).
Selanjutnya
ada banyak teori kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor situasi
organisasi. Beberapa teori yang cukup dominan, antara lain sistem manajemen
yang dikembangkan Likert, teori kepemimpinan tiga dimensi yang dikembangkan
Reddin, teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan Fiedler, teori
kontingensi normatif yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, teori substitutes yang dikembangkan oleh Kerr
dan Jermier, teori path goal yang dikembangkan House, dan teori
kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (Owens,
1981; Hoy & Miskel, 2005).
Berdasarkan
teori kepemimpinan situasional, yang menekankan bahwa keberhasilan kepemimpinan
ditentukan oleh perilaku pemimpin dan faktor-faktor situasional organisasi,
seperti jenis pekerjaan, lingkungan organisasi, dan karakteristik individu yang
terlibat dalam organisasi. Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling efektif
untuk semua organisasi. Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan
yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan
bawahan.
Pada
perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak hanya
ditekankan pada perilaku yang ditampilkan pimpinan dalam kelompok, tetapi perlu
ditelaah dari sisi perilaku yang ditampilkan anggota dalam organisasi. Untuk
itu, pimpinan harus bisa mentransformasi nilai kepada bawahan untuk mencapai
tujuan organisasi. Salah satu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan adalah
kepemimpinan transformasional.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah
dasar bisa memilih teori dan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dari beberapa
gaya kepemimpinan yang ada sesuai dengan karakter pribadi, dan kondisi
organisasi sekolah yang dipimpin. Yang penting kepala sekolah dasar, harus bisa
menampilkan peranan kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan peranan
kepemimpinan kepala sekolah tersebut, Sergiovanni (1991) mengemukakan enam
peranan kepemimpinan kepala sekolah, yaitu kepemimpinan formal, kepemimpinan
administratif, kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan
kepemimpinan tim. Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah untuk
merumuskan visi, misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar dan peraturan
yang berlaku. Kepemimpinan administratif, mengacu pada tugas kepala sekolah
untuk membina administrasi seluruh staf dan anggota organisasi sekolah.
Kepemimpinan supervisi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membantu dan
membimbing anggota agar bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kepemimpinan
organisasi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang
kondusif, sehingga anggota bisa bekerja dengan penuh semangat dan produktif.
Kepemimpinan tim mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membangun kerja sama
yang baik diantara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah
secara optimal.
BAB IV
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DASAR DI ERA DESENTRALISASI
Dewasa
ini terjadi perubahan dalam sistem pengelolaan sekolah, termasuk sekolah dasar.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, terjadi desentralisasi pendidikan, yaitu
adanya pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah, termasuk
kewenangan dalam pengelolaan pendidikan. Salah satu pendekatan pengelolaan
pendidikan yang diterapkan adalah pendekatan pengelolaan pendidikan berdasarkan
sekolah, yang dikenal dengan istilah school based management atau manajemen berbasis sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam manajemen
sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari istilah school based management, yang pada
dasarnya merupakan pemberian kesempatan yang lebih luas kepada sekolah dalam
pengelolaan sekolah. Sekolah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk
mengelola sekolah secara mandiri sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan
pengelolaan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
evaluasi banyak ditentukan oleh sekolah. Dengan demikian diharapkan sekolah
bisa mampu mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki sekolah dan
tuntutan lingkungan masyarakat.
Berdasarkan
pedoman pengelolaan sekolah yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah (2002), manajemen berbasis sekolah diartikan sebagai bentuk
alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang
ditandai dengan adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di
tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka
kebijakan pendidikan nasional. Keleluasaan pengambilan keputusan di tingkat
sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
dengan mengalokasikan sesuai dengan prioritas program serta lebih tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat setempat yang ditunjang dengan sistem pengelolaan
yang baik.
Di
beberapa negara, manajemen berbasis sekolah (school based management) dikemukakan dengan beberapa istilah,
antara lain site based management,
delegated management, community based management, school otonomy atau local management of school. Meskipun
sebutannya berbeda, tetapi sasarannya sama, yaitu memberikan keleluasaan kepada
sekolah untuk mengelola sekolah secara mandiri. Pada prinsipnya, sekolah
memperoleh kewenangan (authority),
kewajiban (responsibility) dan
tanggung jawab (accountability) dalam
pengelolaan sekolah. Melalui manajemen berbasis sekolah tersebut diharapkan
bisa memberikan layanan pendidikan yang menyeluruh dan tanggap terhadap
kebutuhan masyarakat.
Secara
umum, tujuan manajemen berbasis sekolah (school
based management) ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, kualitas dan
pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui beberapa cara,
antara lain melalui keleluasaan mengelola sumber daya atau penyederhanaan
birokrasi. Peningkatan kualitas dilakukan melalui peningkatan partisipasi orang
tua siswa terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan peningkatan
profesionalisme personil sekolah. Sedangkan peningkatan pemerataan pendidikan
diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah.
Secara
khusus, manajemen berbasis sekolah diarahkan untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Dalam panduan pengelolaan sekolah, manajemen berbasis sekolah
ditekankan pada manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement).
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada dasarnya merupakan proses
manajemen sekolah yang diarahkan untuk peningkatan mutu pendidikan melalui
pelaksanaan otonomi sekolah mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
evaluasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah dengan melibatkan semua
stakeholder sekolah. Dengan kata lain, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah adalah keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupaya-kan sendiri oleh kepala
sekolah bersama semua pihak yang terkait atau yang berkepentingan dengan mutu
pendidikan. Istilah komponen mengacu pada bidang garapan pendidikan di sekolah,
antara lain kurikulum dan pembelajar-an, kesiswaan, kepegawaian, sarana dan
prasarana, dan keuangan. Sedangkan istilah dikelola sendiri mengacu pada diatur
sendiri (self managing), dirancang
sendiri (self design) atau
direncanakan sendiri (self planning),
diorganisasi sendiri (self organizing),
diarahkan sendiri (self direction)
atau dikontrol/ dievaluasi sendiri (self
control).
Ada beberapa
karakteristik manajemen berbasis sekolah. Secara garis besar, karakteristik
umum manajemen berbasis sekolah tersebut meliputi: (a) adanya akses terbuka
bagi sekolah untuk tumbuh mandiri, (b) adanya kemi-traan yang erat antara
sekolah dengan masyarakat sekitar, (c) adanya sistem disentralisasi, (d)
pengelolaan sekolah secara partisipatif, (e) pemberdayaan guru secara optimal,
(f) diterapkannya otonomi manajemen sekolah, (g) orientasi pada peningkatan
mutu, dan (i) menekankan pada pengambilan keputusan partisipatif (Depdiknas,
2003).
Di
sisi lain, Levacic mengemukakan tiga karakteristik kunci manajemen berbasis
sekolah, yaitu: (1) kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan
peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke stakeholder sekolah, (2)
domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan mencakup
keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, baik keuangan, kepegawaian,
sarana prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum, dan (3) walaupun domain
peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke sekolah, namun diperlukan
adanya sejumlah regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap
keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah (Bafadal dan
Imron, 2004).
Secara
lebih khusus, Levacic juga mengidentifikasi bahwa ada tiga tujuan khusus
manajemen berbasis sekolah, yaitu mencapai efisiensi, keefektifan dan tanggung
jawab pendidikan. Melalui manajemen berbasis sekolah, proses peningkatan mutu
akan berlangsung secara efisien, terutama dalam penggunaan sumber daya manusia.
Dengan manajemen berbasis sekolah, keefektifan peningkatan mutu pendidikan
dasar juga meningkat, melalui peningkatan kualitas pembelajaran. Dengan
manajemen berbasis sekolah, respon sekolah juga bertambah besar terhadap siswa.
Secara
singkat, dapat dikemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah diarahkan untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang dan keluwesan
untuk peningkatan mutu pendidikan. Dengan kemandirian diharapkan: (1) sekolah
bisa lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya,
serta mampu mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah,
(2) sekolah dapat mengembangkan sendiri program-programnya sesuai dengan
kebutuhannya, (3) sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan kepada
orang tua, masyarakat maupun pemerintah, serta (4) sekolah dapat melakukan
persaingan secara sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Ada
beberapa prinsip yang perlu dipegang dalam melaksanakan manajemen berbasis
sekolah. Prinsip-prinsip tersebut adalah: (1) Keterbukaan, artinya manajemen
berbasis sekolah dilakukan secara terbuka dengan semua sumber daya yang ada, baik
kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, maupun masyarakat, (2) Kebersamaan,
artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan bersama oleh sekolah dan
masyarakat, (3) Berkelanjutan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan
secara berkelanjutan tanpa dipengaruhi pergantian pimpinan sekolah, (4) Menyeluruh,
artinya manajemen berbasis sekolah yang disusun hendaknya mencakup semua
komponen yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan, (5) Pertanggungjawaban,
artinya pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dapat dipertanggungjawabkan ke
masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan, (6) Demokratis, artinya
keputusan yang diambil dalam manajemen berbasis sekolah hendaknya dilaksanakan
atas dasar musyawarah antara komponen sekolah dan masyarakat, (7) Kemandirian
sekolah, artinya sekolah memiliki prakarsa, inisiatif, dan inovatif dalam
kerangka pencapaian tujuan pendidikan, (8) Berorientasi pada mutu, artinya
berbagai upaya yang dilakukan selalu didasarkan pada peningkatan mutu, (9) Pencapaian
standar pelayanan minimal, artinya layanan pendidikan minimal harus bisa
dilaksanakan sesuai dengan standar minimal secara total, bertahap dan
berkelanjutan, dan (10) Pendidikan untuk semua, artinya semua anak memperoleh
pendidikan yang sama. Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dasar harus melaksanakan
prinsip-prinsip tersebut dengan baik.
Berdasarkan
landasan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terdapat
pergeseran peranan dalam pengelolaan pendidikan, dari asas sentralisasi ke
desentralisasi. Adanya kemandirian, keterbukaan, partisipatif, dan
pertanggung-jawaban menunjukkan pengelolaan sekolah secara mandiri berdasarkan
kemampuan yang dimiliki sekolah. Adapun bidang yang menjadi wewenang sekolah
mencakup proses belajar mengajar, perencanaan, evaluasi program sekolah,
pengelolaan kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan
perlengkapan sekolah, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah
dengan masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah (Depdiknas, 2003).
Konsekuensi
dari adanya school based management tersebut, tugas dan tanggung jawab kepala sekolah menjadi
semakin besar. Kepala sekolah harus bisa memimpin dan memberdayakan semua
sumber daya sekolah. Kepala sekolah merupakan motor penggerak dan penentu arah
kebijakan sekolah. Untuk itu, kepemimpinan kepala sekolah dasar harus mampu
memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang baik,
lancar dan produktif, menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang ditetapkan,
menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar bisa terlibat aktif
dalam mewujudkan tujuan sekolah, bekerja sama dengan tim secara kooperatif, dan
berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
BAB V
PERANAN KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN SEMANGAT KERJA GURU DI SEKOLAH DASAR
Kepemimpinan
kepala sekolah yang baik dapat membuat anggota menjadi percaya, loyal, dan
termotivasi untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara optimal. Untuk
itu, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah dapat dilihat dari performansi
anggota. Salah satu faktor yang menunjukkan performansi anggota adalah semangat
kerjanya.
Semangat
kerja berasal dari kata morale. Semangat kerja
bisa juga diartikan kegairahan kerja. Semangat kerja merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas. Bila
seseorang memiliki semangat kerja yang tinggi akan melaksanakan tugas secara
optimal. Sebaliknya, bila seseorang kurang memiliki semangat kerja yang baik,
tidak akan bisa melaksanakan tugas secara optimal.
Ada
beberapa ahli yang mengemukakan pengertian semangat kerja. Beach (1980)
mendefinisikan semangat kerja sebagai kepuasan kerja seseorang yang diperoleh
dari pekerjaannya, kelompok kerja, pimpinan, organisasi, dan lingkungannya. Di
sisi lain, Burrub mengemukakan bahwa semangat kerja merupakan suatu daya juang
kelompok secara teguh dan konsisten untuk mencapai tujuan. Hornby menegaskan
bahwa semangat kerja adalah kondisi mental yang penuh kemauan, kesungguhan, kedisiplinan,
dan keteguhan dalam menghadapi tantangan untuk mencapai tujuan (Sutheja, 1988).
Berdasarkan
beberapa pengertian tersebut, dapat digarisbawahi bahwa semangat kerja adalah
kondisi mental yang penuh kesungguhan, kedisiplinan, daya juang, dan keteguhan
untuk melaksanakan tugas/pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan secara optimal.
Semangat kerja guru berarti kondisi mental guru yang berupa reaksi emosional
yang penuh kesungguhan, kedisiplinan, daya juang, dan keteguhan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru untuk mencapai tujuan pendidikan
secara optimal.
Ditinjau
dari komponennya, ada tiga faktor yang terkandung dalam pengertian semangat
kerja, yaitu identifikasi (identification), rasa memiliki (belongingness),
dan rasionalitas (rationality). Identifikasi menunjuk pada komunalitas
tujuan. Seorang guru yang memiliki semangat kerja tinggi merasa kebutuhan
individunya sesuai dengan tujuan organisasi. Rasa memiliki artinya ada
kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan kebutuhan pimpinan. Rasionalitas
artinya terdapat kesesuaian antara kebutuhan pimpinan dengan tujuan organisasi
(Gorton, 1991).
Semangat
kerja bukan merupakan suatu perilaku, namun sangat berpengaruh terhadap
perilaku. Seorang yang personel akan berusaha secara optimal dalam melaksanakan
tugas bila memiliki semangat kerja yang tinggi. Sebaliknya, seorang personel
tidak akan melaksanakan tugas secara baik, bila semangat kerjanya rendah.
Demikian juga
untuk jabatan guru. Seorang guru akan berusaha secara optimal dalam
melaksanakan tugas-tugasnya, apabila memiliki semangat kerja yang tinggi.
Sebaliknya, bila semangat kerjanya rendah, guru tidak akan melaksanakan
tugas-tugasnya secara baik.
Ditinjau dari tugasnya, ada beberapa tugas
guru sekolah dasar. Daughtrey dan Lewis (1979) mengemukakan tugas guru sekolah
dasar menjadi dua, yaitu tugas di sekolah dan tugas di masyarakat. Tugas di
sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu tugas di bidang administrasi sekolah (general duties) dan tugas di bidang
pengajaran (special duties).
Sahertian (1990) mengemukakan empat tugas utama guru, yaitu tugas bidang
pengajaran, tugas kemasyarakatan, tugas pertumbuhan karir, dan tugas
administratif. Di sisi lain, pendapat yang lebih umum, membagi tugas utama guru
sekolah dasar menjadi tiga, yaitu tugas profesional, tugas personal, dan tugas
sosial (Usman, 1992).
Tugas
profesional adalah tugas utama yang berkaitan dengan profesi guru. Tugas ini
meliputi tugas mengajar, mendidik, dan membimbing. Kegiatan menyusun rencana
pengajaran, menguasai bahan, menggunakan metode dan media pengajaran, mengelola
kelas, mengadakan evaluasi, dan melakukan bimbingan merupakan bagian dari tugas
profesional. Bahkan menguasai landasan kependidikan dan mengadakan penelitian
untuk pengembangan merupakan bagian dari tugas profesional (Raka Joni, 1991).
Tugas
personal adalah tugas yang berkaitan dengan pengembangan pribadi guru. Tugas
ini mengacu pada usaha untuk menjalankan perilaku diri yang baik. Usaha untuk
mewujudkan dirinya, merealisasi potensi yang dimiliki, melakukan auto identifikasi,
dan auto pengertian untuk menjadi teladan serta menempatkan diri dalam
kehidupan masyarakat termasuk dalam tugas personal.
Tugas
sosial adalah tugas yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Sebagai anggota
masyarakat, guru sekolah dasar memiliki tugas untuk membantu dan mengembangkan
kehidupan masyarakat. Di satu sisi, guru diharapkan bisa menerima harapan
masyarakat, di sisi lain, guru diharapkan bisa menjadi pembaharu dalam
kehidupan masyarakat.
Berdasarkan
surat keputusan Menpan Nomor 86 tahun 1993, ada empat bidang tugas yang harus
dilaksanakan guru, yaitu tugas di bidang pendidikan, proses belajar mengajar
dan bimbingan, pengembangan profesi, dan penunjang pendidikan. Berdasarkan
beberapa landasan teoritis dan praktis ini, dalam penelitian ini semangat kerja
guru dalam melaksanakan tugas dibatasi pada tugas pokok guru, yaitu tugas di
bidang pendidikan, tugas di bidang pengajaran dan bimbingan, serta tugas di
bidang penunjang pendidikan.
Kepemimpinan kepala sekolah sangat berpengaruh dalam
meningkatkan semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas. Hasil penelitian
Hersey menunjukkan bahwa ada sepuluh faktor yang mempengaruhi semangat kerja
seseorang dalam melaksanakan tugas, yaitu kesiapan kerja, kondisi kerja,
organisasi kerja, kepemimpinan, gaji, kesempatan mengemukakan ide, kesempatan
mempelajari tugas, jam kerja, dan kemudahan kerja (Tiffin, 1952). Di sisi lain,
hasil penelitian Sylvia dan Hutchison juga menemukan bahwa ada enam faktor yang
mempengaruhi turunnya semangat kerja pegawai, khususnya guru, yaitu dukungan
teman sejawat, hubungan dengan pimpinan, gaji, pekerjaan dan tanggung jawab, kurangnya
kesempatan berkembang, kondisi kerja, dan beban kerja yang berlebihan (Gorton,
1991). Secara lebih jelas, Mc Laughtin menemukan bahwa ada empat faktor yang
menyebabkan rendahnya semangat kerja guru, yaitu kurangnya input dalam
pengambilan keputusan, kurangnya hubungan teman sejawat, dan kurangnya
pengakuan prestasi.
Berdasarkan landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa
kepemimpinan sangat berperan dalam meningkatkan semangat kerja guru dalam
melaksanakan tugas di sekolah dasar. Tinggi rendahnya semangat kerja guru
banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Semakin baik kepala
sekolah menerapkan kepemimpinan, semakin tinggi pula semangat kerja guru dalam
melaksanakan tugas. Sebaliknya, semakin jelek kepala sekolah menerapkan
kepemimpinan, semakin rendah pula semangat kerja guru dalam melaksanakan
tugas-tugas di sekolah.
BAB VI
PERANAN KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DI SEKOLAH DASAR
Dalam
rangka melaksanakan tugas profesionalnya, guru sekolah dasar dituntut untuk memiliki
kemampuan yang baik. Sebab hanya dengan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas
yang baiklah keberhasilan pendidikan di sekolah dapat tercapai dengan baik. Guru
merupakan komponen sentral yang menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Pengembangan
guru tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan pengembangan profesional
guru.
Bila
ditelaah dari sisi historis, perkembangan kegiatan pengembangan guru berkaitan
erat dengan perkembangan ilmu manajemen. Ada tiga tahap perkembangan ilmu
manajemen yang mewarnai perkembangan kegiatan pengembangan guru, yaitu scientific management yang berkembang
mulai awal tahun 1900 sampai dengan tahun 1936, human relation management, yang berkembang mulai tahun 1937 sampai
dengan tahun 1959, dan behavior research
management, yang berkembang mulai tahun 1960 sampai dengan tahun 1970
(Owens, 1991). Dewasa ini, yang sedang banyak dikembangkan adalah human
resources management.
Ditinjau
dari teknik yang digunakan, kegiatan pengembangan profesional guru, secara
garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengembangan intensif (intensive development), pengembangan
kooperatif (cooperative development),
dan pengembangan mandiri (self directed
development) (Glatthorm, 1991).
Pengembangan
intensif (intensive development)
adalah bentuk pengembangan yang dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan
secara intensif berdasarkan kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan
melalui langkah-langkah yang sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
sampai dengan evaluasi dan pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan
yang digunakan antara lain melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan
sejenisnya.
Pengembangan
kooperatif (cooperative development)
adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui kerja sama dengan
teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara sistematis. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru melalui pemberian masukan,
saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik pengembangan yang digunakan
bisa melalui pertemuan kelompok kerja guru (KKG). Teknik ini disebut juga
dengan istilah peer supervision atau collaborative supervision.
Pengembangan
mandiri (self directed development)
adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri.
Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada guru. Guru berusaha untuk merencanakan
kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan menganalisis balikan untuk pengembangan
diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian
tindakan (action research).
Di
sisi lain, hasil penelitian Raudenbush (1993) menunjukkan bahwa internal supervision yang termasuk
kegiatan pengembangan guru, memiliki dampak terhadap pengajaran guru. Hasil
penelitian Bisset dan Nichol (1998) juga menunjukkan bahwa pengembangan
profesional guru melalui kegiatan supervisi yang menekankan action research
bisa meningkatkan kemampuan profesional guru. Hasil penelitian Horn (1992) juga
menunjukkan bahwa pengalaman guru berpengaruh terhadap pertumbuhan personal dan
jabatan guru. Lebih lanjut, berdasarkan hasil telaah Neagley dan Evans (1980),
Glickman (1981) atau Sergiovanni (1991) menunjukkan bahwa kegiatan supervisi
yang termasuk pada kegiatan pengembangan guru dapat meningkatkan kemampuan
profesional guru dalam melaksanakan tugas, khususnya tugas di bidang
pengajaran.
Di
sisi lain, hasil penelitian White (1992) menunjukkan bahwa kesempatan guru
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah berpengaruh terhadap pertumbuhan
jabatan guru. Hasil penelitian Berends (2000) juga menunjukkan bahwa
karakteristik program sekolah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan profesio-nalisme
guru.
Berdasarkan
beberapa hasil penelitian yang ada, dapat digarisbawahi kepemimpinan kepala
sekolah berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan
tugas. Kepemimpinan kepala sekolah yang baik, akan memberikan kesempatan kepada
anggotanya, terutama gurunya, untuk selalu meningkatkan diri. Demikian juga
kepemimpinan kepala sekolah yang baik, juga akan berusaha untuk selalu
mengembangkan kemampuan anggotanya, terutama para gurunya, baik melalui
pengembangan dari atas, pengembangan teman sejawat, atau pengembangan diri
sendiri. Dengan meningkatnya kemampuan anggota, khususnya guru, akan
meningkatkan kinerja anggota. Dengan meningkatnya kinerja anggota, pada
akhirnya akan bisa meningkatkan ketercapaian tujuan organisasi sekolah.
Tujuan
akhir dari program peningkatan sumber daya manusia dalam suatu organisasi
adalah pencapaian profesionalisme personel dalam menjalankan tugas. Peningkatan
kemampuan personel pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme
personel dalam melaksanakan tugas. Demikian juga, peningkatan semangat kerja
personel dalam organisasi, pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan
profesionalisme personel dalam melaksanakan tugas. Dengan demikian, peningkatan
semangat kerja ataupun kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pada dasarnya
ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas-tugas
sebagai guru.
Istilah
profesionalisme guru bukan merupakan istilah asing dalam dunia pendidikan.
Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang berarti jabatan.
Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya
secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif. Guru yang profesional
adalah guru yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melaksanakan tugas
jabatan guru.
Bila
ditinjau secara lebih detail,ada beberapa karakteristik profesionalisme guru.
Rebore (1991) mengemukakan bahwa karakteristik profesionalisme guru bisa
ditinjau dari enam komponen, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam melaksanakan
tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara efektif dengan siswa, guru,
orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi dan
pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam
tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan pola perilaku siswa, serta (6)
melaksanakan kode etik jabatan.
Di
sisi lain, Glickman (1981) memberikan ciri profesionalisme guru dari dua sisi,
yaitu kemampuan berpikir abstrak (abstraction)
dan komitmen (commitment) guru. Guru
yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu
merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam
persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi
dalam melaksanakan tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas
yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab.
Lebih
lanjut, Welker (1992) mengemukakan bahwa profesionalisme guru dapat dicapai bila
guru ahli (expert), dalam melakasanakan
tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth).
Lebih lanjut, Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme
guru, disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan
aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility),
serta kemandirian (autonomy).
Berdasarkan
berbagai kajian teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa secara umum ada empat
karakteristik profesionalisme guru, yaitu (1) ahli dalam melaksanakan tugas (expert), (2) memiliki rasa tanggung
jawab (responsibility), (3) memiliki
kemandirian (autonomy), dan (4)
selalu berusaha untuk mengembangkan diri (professional
growth). Profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas tercermin pada
keahlian, tanggung jawab, kemandirian, dan kemauan guru untuk terus
mengembangkan diri secara terus-menerus dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan
guru.
Bila
ditelaah dari unsur-unsurnya, pada dasarnya ada dua aspek yang menentukan
tingkat profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, yaitu aspek kemampuan
dan kemauan. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan
kemauan yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan. Dengan kata lain, memiliki
kemampuan dan semangat kerja yang baik dalam melaksanakan tugas. Untuk itu,
dalam meningkatkan profesionalisme guru, perlu didukung dengan kemampuan yang baik
dan semangat kerja yang baik. Dan semua itu, bisa berkembang dengan baik, bila
kepala sekolah menerapkan kepemimpinan yang baik. Kontribusi kepemimpinan
kepala sekolah terhadap kemampuan dan semangat kerja, serta profesionalisme
guru dalam melaksanakan tugas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6.1
Gambaran Profesionalisme Guru
Berdasarkan
gambar tersebut di atas, dapat digarisbawahi bahwa peranan kepemimpinan sangat
besar dalam meningkatkan kemampuan guru, semangat kerja guru, dan profesionalisme
guru dalam melaksanakan tugas. Bahkan dapat dikatakan kepemimpinan kepala
sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan terhadap peningkatan kemampuan,
semangat kerja, dan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Guru akan
bisa berkembang, bila kepala sekolah menciptakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan guru bisa berkembang dengan baik. Guru juga akan memiliki semangat
kerja yang baik, bila kepala sekolah mampu menciptakan iklim kerja yang
kondusif. Dengan meningkatnya kemampuan dan semangat kerja guru yang
berkelanjutan merupakan kunci tercapainya profesionalisme guru dalam
melaksanakan tugas. Dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, akan menjadi
sarana tercapainya keefektifan kerja organisasi sekolah, yang secara langsung
akan menjadi sarana utama tercapainya tujuan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah secara optimal.
BAB VII
PERANAN
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEEFEKTIFAN KERJA TIM GURU DI SEKOLAH
DASAR
Motivasi
kerja, kemampuan, dan profesionalisme melaksanakan tugas cenderung mengacu pada
perilaku individu dalam organisasi. Untuk melihat keberhasilan kepemimpinan,
juga perlu dilihat pengaruhnya terhadap anggota secara kelompok. Adanya kerja
sama yang baik di antara anggota secara kelompok akan lebih menunjang terhadap
pencapaian tujuan organisasi sekolah, dibandingkan bekerja secara
sendiri-sendiri. Bahkan dari beberapa kajian teori yang ada, perilaku
kepemimpinan yang utama bisa diarahkan pada dua fungsi, yaitu perilaku yang
berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan, dan perilaku yang berkaitan
dengan hubungan dalam kerja kelompok dengan bawahan. Salah satu komponen yang menunjukkan
keberhasilan anggota secara kelompok adalah keefektifan kerja tim.
Kelompok
dalam organisasi secara sederhana dapat diartikan dua orang atau lebih yang
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam suatu cara tertentu (Hughes,
Ginnet & Curphy, 1999). White dan Bednar (1991) mengemukakan bahwa kelompok
adalah dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi, memiliki keterikatan
masa lalu atau masa depan, dan memiliki fungsi saling bergantung dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Di sudut lain, Robbins (2001) mengemukakan bahwa
kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung
untuk mencapai tujuan. Tim merupakan kelompok yang efektif.
Ada
empat komponen yang membedakan tim dengan kelompok, yaitu memiliki rasa
identifikasi yang lebih kuat, memiliki konsensus terhadap tujuan yang lebih
kuat, memiliki saling ketergantungan yang lebih kuat, dan memiliki peranan yang
lebih khusus dalam mencapai tujuan. (Hughes, Ginnet, & Curphy, 1999). Tim
kerja menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi (Robbin,
2001).
Keefektifan
kerja tim bisa dilihat dari beberapa aspek. Hal itu bisa dikaji dari teori
keefektifan tim. Banyak ahli yang mengemukakan karakteristik tim kerja yang
efektif dari beberapa sudut pandang. Secara sederhana, White dan Bednar (1991)
mengemukakan tiga karakteristik keefektifan tim, yaitu (1) hasil kerja tim dapat
mencapai tujuan, yakni sesuai dengan harapan pengguna, (2) kemampuan anggota
dalam bekerja sama dapat dipertahankan dan di-tingkatkan, dan (3) anggota
memiliki kepuasan terhadap hasil kerja tim.
Di
sisi lain, Jenk (1990) mengemukakan karakteristik tim kerja yang efektif dari
tujuh komponen. Dari sisi interaksi, ada kejujuran, keterbukaan, dan komunikasi
dua arah di antara anggota dalam mencapai tujuan organisasi. Dari sisi tujuan,
setiap anggota memahami dengan jelas, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Dari sisi
keanggotaan, antara anggota satu dengan lainnya saling mengenal dan saling
mempertahankan tim yang efektif. Dari sisi kekohesifan, masing-masing anggota
saling menerima dan memberikan dukungan. Dari sisi norma, setiap anggota
memahami dan mematuhi aturan yang telah disepakati. Dari sisi dinamika,
keputusan yang penting selalu ditetapkan bersama, bila ada konflik tidak
ditekan atau dibiarkan, tetapi dianggap sebagai aspek komunikasi yang terbuka.
Di
sisi lain, Kreitner dan Kinicki (1992) mengemukakan dua kriteria keefektifan tim
kerja, yaitu: (1) dari sisi performansi, hasil kerja dapat mencapai tujuan,
yakni sesuai dengan pengguna, dan (2) dari sisi keberlangsungan, anggota
memiliki kepuasan terhadap kerja tim, serta berkemauan untuk mempertahankan
kelompok.
Menurut
Kreitner dan Kinicki (1992) ada tiga komponen utama yang menentukan keefektifan
kerja tim, yaitu kooperatif, kepercayaan dan kekohesifan. Kooperatif mengacu
pada keterpaduan dalam melaksanakan kerja sama yang baik di antara anggota. Hal
tersebut mencakup kolaborasi dan koordinasi. Tiap anggota memiliki tanggung
jawab bersama untuk mencapai tujuan, dan terdapat koordinasi yang baik di
antara anggota dalam melaksanakan tugas. Kepercayaan memiliki makna antara
anggota saling memiliki kepercayaan dalam melaksanakan tugas, baik yang
berkaitan dengan niat, tujuan atau perilaku untuk untuk mencapai tujuan
organisasi. Kekohesifan mengacu pada tingkat keharmonisan dan keeratan hubungan
di antara anggota melebihi perbedaan yang dimiliki masing-masing anggota.
Di
sisi lain, Gordon, Mondy dan Sharphin (1990) mengemukakan delapan karakteristik
keefektifan kerja tim, yaitu: (1) semua anggota memahami dan berusaha mencapai
tujuan, (2) semua anggota saling mendengarkan dan berpartisipasi, (3) semua
anggota bebas mengekspresikan dan menerima respon, (4) bila ada masalah yang
muncul, didiagnosa dengan hati-hati dan dipecahkan bersama, (5) semua anggota
memiliki kesempatan sama dalam mendukung organisasi sesuai dengan kemampuannya,
(6) semua anggota mendukung terhadap konsensus yang telah dibuat, (7) antara
anggota satu dengan lainnya saling memiliki kepercayaan, dan (8) memiliki
fleksibilitas dalam menemukan cara baru yang lebih baik.
Secara
singkat Wagner dan Hollenbeck (1998) mengemukakan tiga kreteria keefektifan
kerja tim, yaitu: (1) hasil kerja tim sesuai dengan standar yang ditetapkan,
(2) kepuasan anggota terpenuhi, dan (3) meningkatkan kerja sama anggota.
Berdasarkan
beberapa landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa ada beberapa komponen
yang menunjukkan keefektifan kerja tim. Komponen-komponen tersebut bisa
mencakup proses dan bisa juga mencakup hasil. Adanya kerja sama yang baik,
koordinasi yang baik, komunikasi, interaksi, kejujuran, kepercayaan, dan
kekohesifan di antara anggota dalam melaksanakan tugas merupakan komponen yang
mengacu pada proses. Adanya kepuasan anggota, ketercapaian tujuan sesuai dengan
harapan, meningkatnya kerja sama, dan fleksibilitas untuk mengembangkan diri,
merupakan komponen yang mengacu pada hasil.
Berdasarkan
landasan tersebut, maka keefektifan kerja tim guru dapat ditelaah dari tiga sub
dimensi, yaitu (1) kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, yang ditandai
dengan adanya kebersamaan antar guru dalam melaksanakan tugas, saling jujur,
saling percaya, saling terbuka, saling memberikan masukan, saling bekerja sama,
dan saling bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, (2) keterpaduan guru
dalam melaksanakan tugas, yang ditandai dengan adanya tanggung jawab bersama
dalam melaksanakan tugas, ketahanan menjaga kesatuan dalam melaksanakan tugas,
memecahkan masalah bersama secara efektif, dan memiliki fleksibiltas untuk
mengembangkan cara-cara baru yang lebih baik dalam melaksanakan tugas, serta (3)
keefektifan hasil, yang ditandai dengan ketercapaian hasil sesuai dengan
standar yang ditetapkan, pemahaman terhadap tujuan semakin meningkat, kerja
sama antar guru meningkat, kemampuan guru berkembang, dan kepuasan guru sebagai
anggota kelompok juga berkembang.
Keefektifan
kerja tim guru, juga dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan
yang baik akan menekankan kerja sama tim dibandingkan kerja individual. Dengan
menekankan kerja sama tim, dan didukung dengan pemberian perhatian secara adil
terhadap semua anggota, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim
anggota. Oleh karena itu, semakin tinggi kepala sekolah dasar menerapkan
kepemimpinan secara tepat, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja
tim guru dalam melaksanakan tugas-tugas sekolah. Keefektifan kerja tim guru
bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, keterpaduan
guru dalam melaksanakan tugas, dan keefektifan hasil yang dicapai guru Hal
tersebut didukung dengan hasil penelitian Barnett, McCormick & Conners
(1999) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
kepemimpinan dengan keefektifan kerja anggota organisasi.
Keefektifan
kerja tim guru akan berpengaruh terhadap peningkatan atau pembaharuan sekolah (school improvement). Untuk mencapai
suatu perubahan atau pembaharuan organisasi, diperlukan adanya kerja tim yang
efektif (Thompson, 2004). Hasil review Joyce (Reynolds, 1996) menunjukkan bahwa
hubungan kolaboratif antar personel dalam organisasi merupakan salah satu kunci
peningkatan atau pembaharuan organisasi. Komponen tersebut merupakan
karakteristik utama keefektifan kerja tim. Oleh karena itu, dapat digarisbawahi
bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara keefektifan kerja tim guru dengan peningkatan
atau pembaharuan sekolah. Semakin efektif kerja tim guru semakin tinggi tingkat
peningkatan, pembaharuan atau kemajuan sekolah.
TUGAS
Untuk pencapaian kompetensi
selama diklat fasilitator membimbing peserta untuk melakukan diskusi, bermain
peran dan presentasi dengan aturan
sebagai berikut :
1.
Buatlah kelompok masing masing lima orang
2.
masing masing kelompok menentukan ketua dan sekretarisnya
Tugas :
a.
Masing masing anggota kelompok membahas studi kasus yang yang telah
disiapkan fasilitator sesuai dengan
topik : ( 90 menit )
·
Peranan kepala sekolah dasar
·
Konsep kepemimpinan kepala sekolah dasar
·
Peran kepemimpinan kepala sekolah dasar di era
desentralisasi
·
Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan
semangat kerja guru sekolah dasar
·
Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan
profesionalisme kerja guru
·
Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan
keefektifan kerja tim guru sekolah dasar
b.
lakukan diskusi dan berikan tanggapan sesama anggota kelompok
secara brainstorming. ( 45 menit)
c.
lakukan presentasi maing masing
kelompok dan kelompok lainnya menanggapinya.. ( 45
menit )
d.
lakukan kegiatan bermain peran
berdasarkan topik yang telah ditentukan.
DAFTAR RUJUKAN
Bafadal, I & Imron, A. (2004) Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Malang: Kerjasama FIP UM dan
Ditjen-Dikdasmen.
Beach, D.S., 1980. Personnel, The
Management of People at Work. New York : McMillan
Publishing Co, Inc.
Barnett, K., McCormick, J. & Conners, R. 2000. Leadership Behaviour of Scondary School
Principals, Teacher Outcomes and School Culture. A paper presented at the
Australian Association for Research in Education Annual Conference.
Bisset, R.T. and Nichol, J. 1998. Sense
of Professionalism the Impact of 20-day Courses in Subject Knowledge on the
Professional Development of Teachers, Teacher
Development 2 (3). Hal. 433-451.
Daughtrey,
G. and Lewis, E.C.G. 1979. Effective Teaching Strategies in Secondary
Phisical Education. Philadelpia: Saunders Company.
Depdiknas.
2002. Manajemen Berbasis Sekolah
untuk Sekolah Dasar. Jakarta : Depdiknas, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas.
2003. Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah. Jakarta : Depdiknas, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Feldmon,
C.D, & Arnold , H.J. 1983. Managing Individual and Group Behavioral
in Organization. Auckland :
Mc Graw Hill Book Company.
Glatthorn,
A.A. 1990. SupervisoryLeadership:
Introduction to Instructional Supervision. New
York : Harper Collins
Publishers.
Glickman,
C.D. 1981. Developmental Supervision.
Washington : Association for
Supervision and Curriculum Development.
Gordon,
J.R., Mondy, R.W., & Sharplin, A., et al. 1990. Management and Organizational
Behavior. Boston : Allyn and Bacon.
Greenberg, J. & Baron, R.A. 1995. Behavior in Organizations: Understanding and Managing the
Human Side of Work. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Gorton, R.A, & Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership, Challenges and Opportunities. Keeper Boulevard, Dubuque : Wm.C. Brown
Publishers.
Horn,
J. 1998. Personal Renewal and
Professional Growth for Teachers: A Study of Meaningful Learning an
Interdisiplinary Environment, Teacher
Development 2 (3). Hal. 263-289.
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research, and Practice.
New York : Random House, Inc.
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 2005. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York : McGraw Hill Company, Inc.
Hughes,
R.L., Ginnet, R.C., & Curphy, G.J. 1999. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience. Boston : McGraw-Hill Companies,
Inc.
Indrafachrudi,
S. 1983. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.
Jenks,
V.O. 1990. Human Relation in Organizations. New
York : McGraw Hill Company, Inc.
Kimbrough,
R.B & Burkett, C.W. 1990. The
Principalship: Concepts and Practices. Englewood Cliffs: Prentice Hall,
Inc.
Kreitner,
R. & Kinicki, A. 1992. Organizational
Behavior. Boston : Richard D. Irwin, Inc.
Lunenburg, F.C., & Ornstein, A.C. 2000. Educational Administration: Concept and Practices. Belmont : Wardsworth, A Division of Thomson
Learning.
Nawawi,
H. 1985. Administrasi Pendidikan. Jakarta : Armas Duta Jaya.
Owens,
R.G. 1991. Organizational Behavior in
Education. Boston : Allyn and Bacon.
Raka
Joni, T. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional
Menjelang Abad XXI, Pokok-pokok Pikiran mengenai Pendidikan Guru. Jakarta : PT.Grasindo.
Raudenbush, S.W. et al. 1993. On
the Job Improvements in Teacher Competence: Policy Options and Their Effect on
Teaching and Learning in Thailand , Educational Evaluation and Policy Analysis
15 (3). Hal. 279-297.
Rebore,
R.W. 1991. Personnel Administration in Education. New
Jersey : Prentice Hall, Inc.
Reynolds, D., Bollen, R., Creemers, B., et al. 1996. Making Good Schools:
Linking School Effectiveness and School Improvement. London : Routledge.
Robbins,
S.P. 2001. Organizational Behavior.
Upper Saddle
River : Prentice Hall, Inc.
Rossow,
L.F. 1990. The Principalship, Dimension in Instructional Leadership. New
Jersey : Prentice Hall, Inc.
Sahertian, P.A. & Sahertian, I.A. 1990. Supervisi Pendidikan dalam rangka Program Inservice
Education. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Sergiovanni,
T.J. 1991. The Principalship: A
Reflective Practice Perspective. Boston : Allyn and Bacon.
Stoops,
E., & Johnson, R.e., 1967. Elementary School Administration. New
York : McGraw Hill Book Company.
Sutheja,
M.W. 1987. Bagaimana Membangun Semangat Staf Pengantar. Semarang : Satya
Wacana.
Thompson,
L.L. 2004. Making theTeam: A Guide
for Managers. New
Jersey : Pearson Education, Inc.
Usman,
U. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT Remadja Rosda Karya.
Wagner,
J.A. & Hollenbeck, J.R. 1998. Organizational
Behavior: Securing Competitive Advantage. Upper
Saddle River: Prentice Hall, Inc.
Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
White,
P.A. 1992. The Teacher Empowerment under
“Ideal” School Site Autonomy, Educational
Evaluation and Policy Analysis 14 (1). Hal. 69-82.
White,
D. & Bednar, D.A. 1991. Organizational
Behavior: Understanding and Managing People at Work. Boston : Allyn and Bacon.
LAMPIRAN
Lampiran
1 : Latihan Pencapaian Kompetensi
Untuk
pencapaian kompetensi selama diklat fasilitator membimbing peserta untuk
melakukan diskusi dan presentasi dengan aturan sebagai berikut :
1.
Buatlah kelompok masing-masing lima
orang
2.
masing kelompok menentukan ketua dan sekretarisnya
Tugas :
a.
Masing
masing anggota kelompok membahas studi
kasus yang yang telah disiapkan fasilitator
sesuai dengan tema tema/kasus kasus
yang sering muncul di lingkup sekolah dasar ( 90 menit )
b.
lakukan diskusi dan berikan tanggapan secara brainstorming. (
45 menit)
c.
lakukan presentasi maing masing kelompok dan
kelompok lainnya menanggapinya.. ( 45 menit
)
No comments:
Post a Comment