Peradaban Jawa klasik pada jaman Sultan Agung menyimpan kekayaan
hikmat tentang kepemimpinan. Dalam Serat Nitripraja terdapat
uraian tentang moralitas kekuasaan, kewajiban-kewajiban moral para pemimpin,
etika atasan-bawahan, prinsip hubungan rakyat dengan pemerintah, dan sebagainya
(Purwadi, 2007). Dalam Serat Suryarajayang diluncurkan pada awal
abad 18, dijelaskan empat gatra kepemimpinan oleh Sultan Hamengku
Buwono (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, 1999). Gatra yang pertama adalah
perinsip amulatjantra yang berarti peka terhadap alam
sekelilingnya. Gatra yang kedua adalah perinsip pandamprana yang
berarti intelek dan transparan. Perinsip yang ketiga adalah
perinsip sundaracitra yang berarti agung dan lembut dalam
menjatuhkan hukuman. Perinsip yang keempat adalah perinsipdayakuwerakawulo
alit. yang
berarti berkorban dengan berpihak kepada kawulo alit/rakyat kecil.
Konsep kepemimpinan dikembangkan semakin komprehensif pada jaman
HB VII. Seorang pemimpin harus mempunyai visi dari Tuhan (wahyu cakraningrat)
dan bersikap adil serta murah hati kepada rakyat (berbudi bawa leksana ambek
adil para marta). Seorang pemimpin harus peka terhadap kritik sesuai
perinsip dupak bujang, esem bupati,dan sasmita
narindra (Purwadi, 2007). Kelas bujang (buruh,
bawahan, pelayan) harus ditegur keras karena tingkat kecerdasannya rendah.
Namun, semakin tinggi jabatan seharusnya semakin peka. Seorangbupati cukup
diberi senyuman (esem) dan harus langsung mengerti makna kritik dibalik
senyuman itu (smile meaningfully). Raja harus lebih peka. Ia harus bisa
memahami hal-hal yang sifatnya simbolik karena halus budi bahasanya (tanggap
ing sasmita).
Pada waktu Sri Sultan HB X naik tahta atau jumenengan
dalem (7 Maret 1989), ia menyampaikan ”Lima Tekad Dasar” kepemimpinan.
Lima perinsip ini bukan hanya menjadi sebuah komitmen pribadi, tetapi juga
menjadi sebuah komitmen untuk membangun peradaban yang tinggi.
·
Tekad pertama adalah tidak mempunyai prasangka, rasa iri dan
dengki serta tetap hangrengkuh kepada siapa pun,
baik terhadap mereka yang senang maupun yang tidak senang, bahkan juga terhadap
yang menaruh rasa benci.
·
Tekad kedua adalah lebih banyak memberi jika dibandingkan dengan
menerima.
·
Tekad ketiga adalah tidak melanggar paugeran Negara.
·
Tekad keempat adalah berani mengatakan yang benar adalah benar
dan yang salah adalah salah.
·
Tekad kelima adalah tidak memiliki ambisi apapun, selain
senantiasa berusaha bagi kesejahteraan rakyat.
SIKAP KONSISTEN SEORANG REFORMATOR
Oleh Haryadi Baskoro
Artikel Opini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (13
April 2007)
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X menyatakan bahwa dirinya tidak akan
bersedia lagi menjadi Gubernur DIY. Beliau berkata, ”Dengan tulus iklas, saya
menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Propinsi
DIY setelah pada purna masa jabatan 2003-2008 nanti” (KR, 8 April 2007).
Pernyataan sikap itu disampaikannya dalam sebuah momen yang
cukup penting. Statement bersejarah itu diutarakannya saat
berorasi dalam acara ”Malam Bhakti Ibu Pertiwi” yang diadakan di Pagelaran
Kraton. Pada perhelatan yang dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh
kebudayaan ini, Sri Sultan menerima penghargaan ”Saya Bangga menjadi Orang
Indonesia” dari Anand Krishna. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Sri Sultan
bersikap sangat serius denganstatement-nya itu.
Pernyataan sikap HB X ini menambah hangat perbincangan tentang
keistimewaan Yogyakarta. Ketika diskusi belum juga tuntas, saat perjuangan ke
tingkat pusat masih panjang, Sri Sultan menyatakan sikap yang bisa menjadi
kontroversi. Orang Jogja pun bertanya-tanya, mengapa gerangan Sri Sultan HB X
menyatakan sikap ini? Orang Jogja mulai menebak-nebak dan mencoba berspekulasi.
Tolak Jabatan Seumur Hidup
Pernyataan sikap HB X di atas mengingatkan kita pada penegasan
beliau untuk menolak jabatan gubernur seumur hidup. Harian KR tanggal 6
September 1998 menorehkan sebuah judul berita ”Sultan Tolak Gubernur Seumur
Hidup: DPRD DIY Tak Perlu Lagi Konsultasi ke Jakarta”. Artinya, selang 9 tahun
setelah penegasan itu, HB X tetap konsisten.
Penegasannya pada waktu itu diberikan berkaitan dengan akan
dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres). Pada masa kepemimpinan B.J.
Habibie saat itu, akan dibuat sebuah Kepress yang salah satu bagiannya memuat
materi tentang penegasan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak ingin menjadi
gubernur seumur hidup.
Prinsip konsisten dalam perkataan ini layak diapresiasi. HB X
rupanya sangat menghargai keteladanan ayahandanya. Sri Sultan HB IX mempunyai
konsep kepemimpinan yang menekankan prinsip-prinsip kesetiaan pada janji,
ketabahan, kekokohan, toleransi, dan perbuatan sosial yang baik.
Prinsip-prinsip itu diekspresikan dalam tarian Bedhaya Sang
Amurwabumi yang diciptakan oleh HB X. Sepertinya, HB X juga
berkomitmen untuk senantiasa menunjukkan kesetiaan atas setiap janji yang telah
diucapkannya sendiri.
Reformasi
Ketegasan HB X pada tahun 1998 dalam hal menolak untuk menjadi
gubernur seumur hidup tidak lepas dari semangat reformasi pada masa itu.
Sosiolog Selo Soemardjan mengatakan bahwa HB X adalah sosok pemimpin yang
berani melawan tradisi kepemimpinan Orde Baru. Pada waktu Soeharto masih
berkuasa, HB X menyatakan diri mendukung gerakan reformasi. Ketika Soeharto
berkeinginan menjadi penguasa kekal, HB X menolak gagasan tentang pemimpin
seumur hidup.
Pada masa reformasi 1998, HB X tampil menjadi salah seorang
tokoh reformator. Menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, seluruh rakyat bergolak.
Tanggal 15 Mei 1998, gelombang aksi mahasiswa di Yogya bergelora dan mulai
cenderung anarkis. Mereka merusak show roommobil Timor dan gedung
Bank Tamara. Di tengah massa yang beringas itu, HB X muncul mengendalikan
situasi. Rakyat pun menjadi tenteram. Tanggal 20 Mei 1998, ratusan ribu rakyat
Yogya berkumpul di alun-alun kraton. Dalam kegiatan spontan yang dikenal
sebagai pisowanan agengitu, HB X memberi orasi yang mendukung
gerakan reformasi. Kantor berita Inggris, Reuters, menyatakan bahwa
HB X tenyata masih disegani rakyat dan mempunyai peran strategis yang berdampak
luas.
Mengenai gaya kepemimpinan Soeharto, HB X berani memberi
kritikan yang sangat tajam. Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” ditulis
bahwa HB X menyinggung gaya kepemimpinan Soeharto yang cenderung membenarkan
dirinya sendiri. Menurutnya, Soeharto memakai konsep mikul dhuwur
mendhem jero untuk membenarkan sikap memaafkan pemimpin yang korup dan
mendiamkan saja pemimpin yang bersalah. Semua keburukan pemimpin harus dipendam
dan tidak boleh diungkit-ungkit. Soeharto telah membuat rakyat mendukung
dirinya tanpa bersikap kritis.
Jelas bahwa HB X ingin menjadi figur pemimpin yang demokratis.
Pemimpin tidak boleh memaksakan kekuasaannya. Kalau pemimpin sudah tidak
dianggap mampu dan tidak bisa mengikuti perubahan, selayaknya dia mengundurkan
diri. HB X pernah berkata, ”Kalau aku wis tuwo, arep dinamis, apa maneh”
(KR, 6 September 1998).
Kalau sekarang HB X menyatakan niatnya untuk mundur setelah masa
jabatannya selesai (2003-2008), itu merupakan bentuk konsistensi sikapnya
sebagai seorang reformator. Ketika banyak tokoh reformator lain bersikap mencla-mencle dan
oportunis setelah memperoleh posisi, HB X tetap konsisten. Setelah hampir 10
tahun reformasi bergulir, rupanya HB X masih tetap sama.
Lima Tekad Dasar
Penegasan HB X untuk tidak mau menjadi gubernur lagi rupanya
juga menunjukkan sikap konsistennya sebagai Sultan. Jika HB IX menyatakan garis
politik ”tahta untuk rakyat”, HB X bertekad untuh meneguhkan pendirian
tersebut. Ketika HB X dinobatkan pada tanggal 7 Maret 1989, komitmennya pada
semangat kerakyatan diucapkannya dalam pidato ”Tahta untuk Kesejahteraan Sosial
dan Budaya Rakyat”.
Dalam pidato jumenengan itu, beliau
menyampaikan 5 tekad dasar Sri Sultan HB X. Pertama, untuk tidak mempunyai
prasangka, rasa iri dan dengki serta untuk tetap hangrengkuh siapapun,
baik terhadap mereka yang senang maupun yang tidak senang, atau bahkan juga
terhadap yang menaruh rasa benci sekalipun. Kedua, untuk lebih banyak memberi
daripada menerima. Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran negara.
Keempat, untuk berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah
memang benar-benar salah. Kelima, untuk tidak memiliki ambisi apa pun, selain
berusaha hanya bagi kesejahteraan rakyat.
Jadi, pernyataan sikap HB X perihal ketidakbersediaan menjadi
gubernur lagi itu merupakan sikap konsisten dirinya. Sekali berkata tidak maka
tetap tidak. Di depan segenap rakyat, beliau telah berjanji untuk tidak haus
akan kekuasaan. Setelah gerakan reformasi bergulir dan ia menjadi salah seorang
tokohnya selama ini, HB X berusaha untuk tetap konsisten dengan pendiriannya
semula: ”tahta untuk kesejahteraan sosial dan budaya rakyat”. God
bless our Sultan.
KEPEMIMPINAN VISIONER SRI SULTAN HB IX
Oleh Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo
Artikel Opini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (12
Januari 2008)
Apresiasi atas kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX sangat tepat untuk konteks Yogyakarta yang sedang bergumul dengan
keistimewaannya maupun untuk konteks Indonesia yang sedang mengalami krisis
kepemimpinan. Sukses untuk Sunardian Wirodono yang menggarap profil HB
IX (film dokumenter) bersama Perpustakaan Pemerintah Daerah DIY. Salut
untuk UGM yang telah menggelar orasi budaya untuk mengenang HB IX pada
tanggal 29 Desember 2007 silam.
Salah satu karakteristik kepemimpinan HB IX yang
bisa kita teladani, yang kebanyakan pemimpin di negeri ini miskin dalam kapasitas
ini, adalah keunikannya sebagai seorang visioner. Kamus Oxford (Concise
Oxford English Dictionary) mendefinisikan visi (vision) sebagai
kemampuan untuk memikirkan atau merencanakan masa depan melalui kemampuan
berimajinasi atau kearifan (the ability to think about or plan the future
with imagination or wisdom).
Pemimpin efektif haruslah seorang visioner. Ia bukan sekedar
terampil membuat perencanaan masa depan, tetapi merancangnya berdasar hikmat
yang kreatif. Ia seperti seorang penemu dalam IPTEK, tak sekedar pandai.
Menurut riset Dr Mir Anaesuddin, 99 persen penemuan ilmiah terjadi
melalui ilham (inspirasi), misalnya Newton yang menemukan teori gravitasi pada
saat duduk termenung dan tiba-tiba buah apel jatuh tepat di depannya.
Pendidikan tinggi tak menjamin seseorang menjadi visioner. Untuk memangkap
”wahyu illahi”, seorang perlu memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.
Seorang Futuris
Seorang pemimpin, yaitu seorang yang diikuti dan menjadi
panutan, harus berpikiran lebih maju minimal 10 tahun di depan para
pengikutnya. Pemimpin adalah seorang perintis jalan. Dengan kemampuan bepikir
futuristik seperti itu, seorang pemimpin bisa menetapkan tujuan dan membuat
perencanaan untuk mencapainya.
Meramalkan masa depan tak hanya butuh analisis ilmiah, namun
kecermatan spiritual yang berakar pada nurani yang murni dan kedekatan kepada
Sang Khalik. Ketika GRM Dorodjatun (Henkie) akan
naik tahta menjadi Sri Sultan HB IX, gubernur Belanda Lucien
Adammenyodorkan sebuah perjanjian (politiek contract) yang isinya
cenderung menguntungkan pihak kolonialis. Sebagai seorang nasionalis
sejati, HenkieHenkie mendapat inspirasi berupa bisikan gaib (wisik),
”Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani
saja kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun
setelah Henkie menandatangani perjanjian itu (1940) dan
kemudian naik tahta (jumenengan dalem), Belanda pergi dari bumi pertiwi
sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942). berkeberatan sehingga proses perundingan mejadi alot dan lama
(November 1939 – Februari 1940). Tetapi, saat sedang tiduran sore di suatu
senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba Henkie mendapat inspirasi berupa bisikan gaib (wisik), ”Tole
tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja
kontrak itu sebab Belanda akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani
perjanjian itu (1940) dan kemudian naik tahta (jumenengan dalem),
Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942).
Visi-visi atau ide-ide kreatif seringkali muncul sebagai sesuatu
“anugerah yang tiba-tiba”. Ahli kimia Jerman Freidrich August Kekulemenemukan
ide brilyan tentang struktur molekul “benena” ketika ia sedang tidur-tidur ayam
di depan perapian. Para ahli mengatakan bahwa tidur, bersantai, bermenung,
bersemadi, berdoa, dan berzikir memicu munculnya gelombang-gelombang
elektromagmetik di otak yang memicu munculnya ide-ide kreatif. Pemimpin yang
dekat dengan Tuhan, karib dengan Tuhan, akan dianugerahi visi-visi kreatif yang
brilyan.
Bukan Oportunis
Seorang pemimpin visioner, dengan kemampuannya melihat jauh ke
depan, tentu mampu melihat peluang-peluang. Ketika orang lain pesimis dan takut
akan masa depan, seorang visioner mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang
tak terpikirkan. Dalam hal inilah kedewasaan karakternya teruji. Seorang
visioner yang hanya diliputi oleh ”pikiran bisnis” akan menjadi oportunis
manakala melihat peluang-peluang itu.
Terbukti bahwa HB IX bukan visioner oportunis.
Setelah mendapat inspirasi yang menunjukkan adanya peluang untuk berkuasa
karena Belanda segera pergi, HB IX segera menandatangani
kontrak itu. Namun, setelah benar penjajah pergi, HB IX bersama Paku
Alam VIIIjustru bergabung dengan NKRI. Bukankah beliau berdua bisa
mendirikan nagari Mataram? Peluang itu sangat besar, bahkan Belanda memberi
tawaran untuk mengangkat HB IX sebagai Wali Nagari atas Jawa
dan Madura.
Kini, banyak pemimpin mengaku dirinya visioner, tetapi
sebenarnya oportunis. Mereka bahkan sangat piawai dalam mempresentasikan
visi-misi, entah lewat pidato, buku, surat kabar, sampai pembuatan video
klip yang ditayangkan di layar kaca. Baik itu caleg, cabup, cagub,
maupun capres, semua pandai mengobral janji. Kenyataannya, setelah peluang
menghampiri mereka, ketamakanlah yang muncul. HB IXmempunyai segala
peluang untuk berkuasa, tetapi ia bukan seorang oportunis.
Visi untuk Bangsa
Visi sejati tidak pernah egosentris. Visi yang ditangkap dan
dijalani HB IX tidak berpusat pada kepentingan diri sendiri,
bahkan tak semata-mata untuk kepentingan Yogyakarta. Visi HB IX membawa
beliau berjuang untuk NKRI. Kalaupun kemudian Yogyakarta menjadi Daerah
Istimewa, itu merupakan konsekuensi historis karena kontribusi visionernya bagi
NKRI.
Tahun pembangunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat yaitu tahun Jawa 1682 (sama dengan tahun Masehi 1756) diberi makna simbolik oleh Sultan HB I sebagai ”dwi naga rasa tunggal” (dua naga bersatu). Ternyata, simbol angka itu dapat dibaca sebagai ”dwi nagara satunggal” (dua negara satu adanya). Artinya, HB I mempunyai visi bahwa meskipun Mataram sudah pecah menjadi dua (Yogyakarta dan Solo), tetap satu adanya.
Ratusan tahun kemudian, Visi HB I itu dihayati
dan dipegang betul olehHB IX. Namun, kesatuan negara yang digagas HB IX
lebih besar, yaitu NKRI. Kraton Mataram Yogyakarta bersama segenap rakyat harus
berjuang untuk NKRI. Untuk visi akbar tersebut, HB IX meyakini
bahwa itu akan terjadi pada tahun Jawa 1881 atau tahun Masehi 1950. Sejak tahun
1945, HB IX mengendarai mobil dengan plat nomor khusus ”AB
1881”. Ke mana saja beliau bepergian, ke desa-desa, ke kota-kota, dan bolak
balik Jakarta-Yogya, plat nomor itu menjadi sangat populer. Orang Belanda
menyebutnya ”een-acht-acht-een” (satu-delapan-delapan-satu).
Dalam simbolisasi Jawa (candrasengkala), tahun 1881 dapat
dimaknai sebagai “manunggaling sarira mangesti Gusti” (dengan tubuh yang
satu dapat memuliakan Tuhan). Apa yang terjadi pada tahun Jawa 1881 atau tahun
Masehi 1950 itu benar-benar merupakan perwujudan visi kesatuan bangsa. Pada
tanggal 15 Agustus 1950, dalam rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS (Republik
Indonesia Serikat), Presiden RISSoekarno membacakan Piagam
terbentuknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)!
Kepemimpinan HB IX adalah kepemimpinan visioner yang tidak sempit, apalagi egosentris. Demikianlah dicari di negeri ini para pemimpin visioner yang benar-benar berjiwa nasionalis. Visinya bukan sebatas untuk kepentingan golongan, kelompok, suku, ras, atau agama tertentu.
KECERDASAN SPIRITUAL PARA SULTAN
Oleh : Haryadi Baskoro
Artikel Opini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (17
April 2007)
Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk tidak akan bersedia
lagi menjadi Gubernur DIY setelah masa jabatan 2003-2008 sungguh menarik untuk
dikaji. Banyak orang mengatakan bahwa itu merupakan sebuah sikap yang penuh
hikmat. Di sinilah kenegarawanan beliau teruji. Namun, ada pula yang
berkomentar bahwa itu adalah strategi beliau untuk melangkah ke kancah
percaturan politik nasional. Yang jelas, pasti ada pemikiran tertentu di balik
keputusan kontroversial itu.
Harian KR (8 April 2007) memberikan sekelumit
informasi yang mengatakan bahwa keputusan itu merupakan sebuah ketegasan sikap
spiritual Sri Sultan HB X. Ditulis demikian, ”Keputusan Sultan tersebut diambil
setelah mempertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk
Allah. Sehingga, keputusan tersebut merupakan ketegasan sikap spiritual yang
dituangkan dalam pernyataan sejarah.”
Kepemimpinan para Sultan di Ngayogyokarto
Hadiningrat tidak pernah lepas dari spiritualitas. Sri Sultan sendiri
mempunyai gelar lengkapSampeyan Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati ing Ngalaga Ngabdul Rahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah.
Artinya, disamping menjadi pemimpin secara politik dan kebudayaan, Sri Sultan
adalah seorang pemimpin spiritual. Dengan kapasitas ini, keputusan-keputusan
raja sedikit banyak memiliki kualitas spiritual.
Dalam era post modern sekarang, perbicangan tentang spiritualitas mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Disamping ada konsep tentang kecerdasan intelektual (IQ) dan konsep tentang kecerdasan emosional (EQ), sekarang juga dikembangkan konsep tentang kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Menurut Paul G. Stoltz, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk merasa, memahami, dan menemukan bagian yang lebih tinggi dari diri kita, dari orang lain, dan dari dunia sekeliling kita.
Di tengah beragam analisis spekulatif yang berkembang sekarang,
kita perlu menjadi arif untuk melihat dimensi spiritual dari keputusan HB X
tersebut. Apalagi, beliau sendiri telah mengatakan bahwa keputusan itu
merupakan sebuah ketegasan sikap rohani. Agar bisa memahami dan menghargai hal
itu, kita perlu melihat bagaimana kecerdasan spiritual para Sultan di masa
silam. Kemudian, kita perlu menarik pelajaran berharga untuk kepemimpinan Jogja
(dan Indonesia) di masa mendatang.
Visi untuk menjadi Pemimpin
Sri Sultan HB I dikenal dengan kepahlawanannya. Semasa
kepemimpinan Paku Buwono II (1727-1749), Belanda melumpuhkan kedaulatan
Mataram. Dengan Perjanjian Ponorogo (1743), Belanda merebut daerah-daerah
pelayaran dan perdagangan Mataram. Sejak 11 Desember 1749, Mataram menyerahkan
kedaulatannya ke tangan Belanda. Namun, Pangeran Mangkubumi berontak dan
berjuang melawan penjajah. Sampai tahun 1752, sebagian besar Mataram kembali
direbut dari Belanda. Akhirya, P. Mangkubumi memperoleh sebagian wilayah
Mataram melalui Perjanjian Giyanti (1755). Sejak itu, beliau mendirikan
Kasultanan Jogjakarta dan menjadi Sri Sultan HB I (1755-1792). Pemerintah tanpa
ragu menetapkan Sri Sultan HB I sebagai pahlawan nasional (Keppres No.
085/TK/2006/tanggal 3 November 2006).
Sri Sultan HB I juga dikenal sebagai raja dengan multi
kapasitas. Beliau menguasai ilmu pemerintahan, ilmu kemiliteran, filsafat,
seni, dan arsitektur. Beliau adalah arsitek dari bangunan kraton yang tetap
berdiri kokoh hingga sekarang. Dalam hal olah rohani, HB I sering
melakukan tapa brata. Ketika bersamadi di desa Beton, beliau
mendapat wahyu illahi untuk menjadi pemimpin yang memberi pengayoman kepada
rakyat. Kepemimpinan HB I dimulai dan didasarkan pada visi spiritual yang kuat.
Petunjuk Illahi berupa Wisik
Siapa tak kenal Sri Sultan HB IX? Kenegarawanan dan kepahlawanan
beliau tidak perlu disangsikan lagi. Tokoh nasional ini pernah menjabat
posisi-posisi penting di republik ini, mulai dari Menteri Pertahanan, Wakil
Perdana Menteri, dan Wakil Presiden. Semasa revolusi kemerdekaan, HB IX
memainkan peranan kunci. Setelah Proklamasi 1945, HB IX dan Sri Paku Alam VIII
menyatakan mendukung dan bergabung dengan Republik Indonesia. Ketika kondisi
perjuangan sangat kritis, Jogja merupakan benteng terakhir dengan menjadi
ibukota RI. Saat dunia internasional meminta bukti eksistensi RI, Jogja
menyodorkan Serangan Omoem 1 Maret 1949 yang spektakuler itu. Belanda sempat
memberi iming-iming untuk mengangkat HB IX menjadi Wali Negara
yang berkuasa atas Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka Negara Federal yang
direncanakan Belanda. Namun, HB IX memilih untuk memperjuangkan Indonesia.
HB IX adalah seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan
spiritual. Ketika GRM Dorodjatun atau Henkie akan naik tahta menjadi Sri Sultan
HB IX, gubernur Belanda Lucien Adam menyodorkan sebuah perjanjian (politiek
contract) yang isinya cenderung menguntungkan pihak kolonialis. Sebagai
seorang nasionalis sejati, Henkie keberatan sehingga proses perundingan mejadi
alot dan lama (November 1939 – Februari 1940). Padahal, Lucien Adam adalah
seorang ahli kebudayaan Jawa yang cerdik dalam melakukan lobi-lobi. Tetapi,
saat sedang tiduran sore di suatu senja di bulan Februari 1940, tiba-tiba
Henkie mendengar bisikan gaib (wisik), ”Tole tekena wae, Landa bakal
lunga saka bumi kene” (Nak, tanda tangani saja kontrak itu sebab Belanda
akan pergi dari daerah ini). Benar, dua tahun setelah Henkie menandatangani
perjanjian itu (1940) dan kemudian naik tahta (jumenengan dalem),
Belanda pergi dari bumi pertiwi sebab Jepang datang menjajah Indonesia (1942).
Benar-benar sebuah keputusan brilyan!
Laku Puasa
untuk Reformasi
Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” diceritakan bahwa Sri
Sultan HB X melakukan tindakan spiritual menjelang akhir masa Orde Baru. HB X
mengatakan, ”Jika pemimpin tak benar, kewajiban saya adalah untuk mengingatkan.
Karena memang kabangetan (keterlaluan),ya tak pasani sesasi tenan (ya
saya puasai sebulan penuh).” Tepat sebulan setelah masa puasa beliau berakhir
(19 April – 19 Mei 1998) dan setelah munculnya maklumat bersama HB X dan Paku
Alam VIII, Soeharto tumbang.
Mengenai runtuhnya rezim Orde Baru itu, HB X juga mendapat
petunjuk illahi. Setelah berpuasa sebulan, beliau mendapat wahyu: ”yen wis
ana laron ewon-ewon ngrubung omah tawon kembar, bakal ana penggede ditinggal
nagane”. Artinya, kalau sudah ada gerakan massa rakyat (laron ewon-ewon)
di alun-alun kraton Jogja yang memiliki dua pohon beringin (omah tawon
kembar), maka akan ada pemimpin besar lengser (ana penggede ditinggal
nagane). Kenyataannya memang demikian, setelah pisowanan ageng di
Jogja, Soeharto pun turun tahta.
Jadi, kecerdasan spiritual merupakan ciri khas kepemimpinan para
Sultan di Jogja. Visi-visi, kebijakan-kebijakan, dan pengambilan
keputusan-keputusan merupakan hasil pergumulan rohani yang dalam. Kiranya,
pemimpin Jogja dan Indonesia masa depan juga memperhatikan aspek spiritual ini.
Tidak hanya mengedepankan pemikiran egoistik dan primordialistik, kepentingan
politis, dan keuntungan ekonomi. Pemimpin harus mencari kehendak Tuhan sebelum
memutuskan sesuatu demi kebaikan segenap umat.
No comments:
Post a Comment