pengertian
kebudayaan
kebudayaan
umumnya dikatakan sebagai proses hasil krida, cipta, rasa, dan karsa dalam
upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Tiga
nilai budaya yaitu: nilai agama, seni, dan solidaritas berkaitan dengan
rasa menurut Sutan Takdir Alisjahbana bersendi pada perasaan, intuisi
dan imajinasi.budaya ekspresif umumnya berwatak konservatif. Misalnya agama jika tidak didukung oleh pemikiran yang
rasional, akan mudah terjerumus ke dalam penghayatan serba mistik dan ghaib
yang extrim dan irrasional. Tujuan utama adalah bagaimana cara mengembangkan
budaya yang memiliki keserasian nilai progresif dan ekspresif. Hal ini hanya
mungkin jika nilai agama dijadikan sendi utama dan didukung oleh nilai teori
dan ekonomi.
Religi
animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya watak Indonesia khususnya
masyarakat jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh
kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju. Keadaan ini memancing
timbulnya teori kekentalan dan ketegaran kebudayaan asli Indonesia. Jadi
masyarakat Indonesia asli khususnya masyarakat Jawa yang masih bersahaja, nilai
agama menjadi utama yang bersifat mengikat dan mempengaruhi nilai-nilai yang
lain. Nilai agama mengejala dalam kepercayaan serba mistik yang kemudian
mempengaruhi adat-istiadat dengan berbagai tata cara dan rangkaiaan upacara
yang kompleks. Berkaitan dengan masyarakat yang bersahaja tersebut, maka nilai
solidaritas yang dalam ungkapan Jawa disebut dengan gotong-royong dan rukun
cukup tinggi. Pola budaya Jawa menurut St. Takdir Alisjahbana, “masih dikuasai
oleh nilai agama yang diikuti oleh nilai solidaritas dan nilai kesenian,
sedangkan dalam sifatnya yang demokratis, nilai kuasa dalam susunan masyarakat
adalah lemah. Nilai ilmu lemah karena pikiran rasional belum berkembang,
sedangkan perasaan belum terlampau berkuasa dalam menghadapi alam selain itu
nilai ekonomi juga belum berkembang”.
Interaksi
antara islam dan budaya jawa menghasilkan bentuk islam yang singkretik, akan tetapi
diperlukan sikap yang hati-hati dalam menyikapo relatifitas proses sosial
interaksi islam dan budaya jawa ynag terjadi proses sintetik sangat serasi.
Jika nilai agama menjadi dasar bagi pola budaya individu dan masyarakat, maka
nilai agama itu tentu akan mewarnai tingkah laku seseorang masyarakat. Konsep
beragama yang ideal adalah jika nilai agama berhasil menjiwai nilai budaya yang
ada. Dan apabila belum tercapai maka berarti penghayatan agama belum dilakukan
secara utuh atau belum sungguh-sungguh mengakar. Dalam agama animisme belum
menjadi agama dalam pengertian agama yang sempurna, artinya animesme belum membawa keagamaan secara utuh, tetapi masih
dekat dengan kepercayaan tradisional.[1]
Budaya
lokal sebagai identitas budaya daerah, tidaklah sekedar mampu menyebutkan dan
memahaminya, tetapi lebih daripada itu adalah untuk mengupayakannya sebagai
sumber inspirasi atau sumber perubahan. Pada tataran konsep seperti ini,
kebudayaan adalah sistem gagasan yang harus dikembangkan dan diberdayakan. Selanjutnya,
kebudayaan sebagai pola tindakan yakni menjadikannya sebagai acuan perilaku[2].
Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk
mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan
lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan
keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi
terhadap local culture atau local wisdom ini. Sebagai sebuah
kajian, kemudian saya pun mempelajari dan mencoba mengaitkannya pada konteks
yang ada. Definisi budaya lokal yang pertama berdasarkan visualisasi kebudayaan
ditinjau dari sudut stuktur dan tingkatannya. Yaitu sebagai berikut:
- Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh
masyarakat. Contoh: kebudayaan nasional;
- Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan
etnik, profesi, wilayah atau daerah. Contoh : Budaya Sunda;
- Subculture, merupakan kebudyaan khusus dalam sebuah culture,
namun kebudyaan ini tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya.
Contoh : budaya gotong royong
- Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture
yaitu merupakan bagian turunan dari culture, namun counter-culture
ini bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya
individualisme
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal
berada pada tingkat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial
budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat
manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar (2006:150) mengatakan bahwa dilihat
dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga
golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga
golongan tersebut adalah sebagai berikut:
- Kebudayaan
suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama
kebudayaan daerah)
- Kebudayaan
umum lokal
- Kebudayaan
nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah
sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal
adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang
perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh
setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya
budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional
adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan
Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan
istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan
kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah
merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan
baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang
beretnis Sunda, Judistira K. Garna.
Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah
melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian
yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional, sedangkan Judistira mengatakan
bahwa dalam pembentukannya, kebudayaan nasional memberikan peluang terhadap
budaya lokal untuk mengisinya. Adapun definisi budaya nasional yang mempunyai
keterkaitan dengan budaya lokal adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan kebangsaan (kebudayaan nasional)
berlandaskan kepada puncak-puncak kebudayaan daerah,
2. Kebudayaan kebangsaan ialah gabungan kebudayaan daerah
dan unsur-unsur kebudayaan asing,
3. Kebudayaan kebangsaan menurut rekayasa pendukung
kebudayaan dominan melalui kekuasaan politik dan ekonomi: dan
4. Kebudayaan kebangsaan dibentuk dari unsur-unsur
kebudayaan asing yang modern dalam mengisi kekosongan dan ketidaksepakatan dari
berbagai kebudayaan daerah (Judistira, 2008:41)
perbedaan antara budaya nasional dan budaya lokal atau budaya daerah
Dalam pengertian yang luas, Judistira (2008:113)
mengatakan bahwa kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan
pernyataan rasa keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala bentuk,
dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran yang berada jauh
dibelakang apa yang tampak tersebut.
Wilayah administratif tertentu, menurut Judistira bisa
merupakan wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya daerah itu meliputi
beberapa wilayah administratif, ataupun disuatu wilayah admisnistratif akan
terdiri dari bagian-bagian satu budaya daerah. Wilayah administratif atau
demografi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal dalam definisinya,
namun pada perkembangannya dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau
persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang
mengikis definisi tersebut.
Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang
ditinjau dalam faktor demografi dengan polemik di dalamnya, Kuntowijoyo memandang
bahwa wilayah administratif antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri.
Dimana menurutnya, kota yang umumnya menjadi sentral dari bercampurnya berbagai
kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang sulit
didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk dilakukan
pengidentifikasian.
Dikota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada
yang kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi
semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan
kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense
of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar.
(Kuntowijoyo,2006:42)
Dalam pengkritisan definisi yang berdasarkan pada
konteks demografi ini, Irwan Abdullah memberikan pandangannya : Etnis selain
merupakan konstruksi biologis juga merupakan konstruksi sosial dan budaya yang
mendapatkan artinya dalam serangkaian interaksi sosial budaya. Berbagai etnis
yang terdapat diberbagai tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical
boundaries) yang tegas karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur
dengan etnis-etnis lain yang antar mereka telah membagi wilayah secara saling
bersinggungan atau bahkan berhimpitan. (Abdullah, 2006:86). Walaupun adanya
interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya
definisi budaya lokal berdasarkan konteks wilayah atau demografis pada
hakekatnya tetap masih relevan walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku
bangsa. Hal ini seperti yang dikatakan Irwan Abdullah selanjutnya :
Keberadaan suatu etnis disuatu tempat memiliki
sejarahnya secara tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu
etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan
kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat
disuatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang pada posisi yang
relatif lemah. (Abdullah, 2006:84)
Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya
dan atau antropolog diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya lokal dalam
definisinya didasari oleh dua faktor utama yakni faktor suku bangsa yang
menganutnya dan yang kedua adalah faktor demografis atau wilayah administratif.
Namun, melihat adanya polemik pada faktor demografis seiring dengan persebaran
penduduk, maka penulis akan lebih menekankan definisi budaya lokal sebagai
budaya yang dianut suku bangsa, misalnya Budaya Sunda (budaya lokal) adalah
budaya yang dianut oleh Suku Bangsa Sunda, hal ini bisa ditentukan oleh minimal
bahasa yang digunakan.[3]
Keragaman Budaya Lokal Indonesia
Indonesia
merupakan sebuah negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa.
Keragaman suku bangsa ini tentunya dapat menciptakan budaya yang beragam. Nah,
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam salah satu suku bangsa tersebut
dapat dinamakan budaya lokal. Jadi, budaya lokal merupakan sebuah hasil cipta,
karsa, dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang ada di
daerah tersebut.
Keragaman
Budaya Lokal Indonesia, antara lain, yaitu:
- Pabarit
Pabarit
merupakan sebuah budaya lokal yang berada di daerah Subang, Jawa Barat. Pabarit
adalah sebuah tradisi yang dilakukan untuk menolak bala. Hal ini dilakukan agar
terhindar dari setiap marabahaya yang terjadi. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Subang pada pukul 18.00 WIB di
perempatan jalan. Ketika acara ini dimulai, masyarakat sudah mengetahui
hal yang harus dilakukanya. Mereka mengumpulkan pakaian bekas sebagai simbol
keburukan dari manusia. Pakaian bekas tersebut dikumpulkan dalam
sebuah alat yang dinamakan sundung (alat yang berbentuk segitiga dan terbuat
dari bambu) untuk kemudian disimpan di perempatan jalan. Sesajen pun dibenahi dengan baik sebelum ketua
kampung mulai berdoa. Jika menyan sudah dibakar, sang ketua kampung pun berdoa
kepada Sang Pencipta. Tentunya maksud utama dalam acara tersebut adalah agar
terhindar dari segala marabahaya. Acara pabarit ditutup dengan pembakaran
sundung beserta pakaian bekas.
- Tarian Hudoq
Banyak
cara yang dilakukan oleh setiap masyarakat untuk meminta keselamatan dan
kebahagian di dunia dan akhirat. Nah, salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat
Kalimantan adalah menari. Tarian ini dinamakan dengan tarian
hudoq. Sebuah filosofi yang terpatri dalam masyarakat kalimantan,
khususnya suku Dayak, yaitu harus selalu berlindung kepada sang penguasa dewa,
Silau Apau Lagaan. Karena merupakan penguasa yang tertinggi dari hudoq yang ada
di dunia ini, Silau Apau Lagaan diberi gelar Buang Atut Uhut Mebang.
Agar
dapat memberi kesejahteraan bagi masyarakat di dunia ini, Buang Atut Uhut Mebang
ini mengutus beberapa dewa ke dunia ini. Salah satu hudoq yang diutus ini
adalah sang pembawa rezeki bagi pertumbuhan tanaman beserta pembasmi hama
tanaman. Nama dewa yang ditugaskan ini adalah Jelifah Tao Hudoq yang berubah
wujud, mulai dari wajah, pakaian, bahkan bentuk
badannya.
- Teater dulmuluk
Untuk
terlepas dari sebuah rutinitas adakalanya kita harus mencari sebuah hiburan.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghibur diri. Salah satu alat hiburan
masyarakat Sumatera Selatan adalah menyaksikan Teater Dulmuluk.
Teater
dulmuluk merupakan seni tradisi masyarakat Sumatra Selatan yang berkembang
sejak 1919. Ketika itu, pertunjukan teater Dulmuluk dilakukan di ruang terbuka.
Kisah yang dibawakannya adalah cerita Dulmuluk yang ditulis oleh Raja Ali
Haji.Masyarakat sangat antusias dalam menonton pertunjukan ini. Dalam
perkembangannya, teater dulmuluk pun selalu membuat modifikasi dalam
pertunjukannya. Hal ini terbukti dari para pemainnya yang menggunakan kostum
dan tata rias yang beragam. Alat yang digunakan untuk mengiringi teater
dulmuluk ini adalah biola, gendang, gong (tetawak), dan gendang yang
berukuran besar (jidur).
Upaya
pelestarian budaya lokal
Beberapa
contoh keragaman budaya lokal di atas kiranya dapat menyadarkan kita tentang
pentingnya melestarikannya. Budaya lokal merupakan sebuah benteng pertahanan
bagi kita terhadap gempuran kebudayaan asing. Sudah saatnya untuk
melestarikannya agar nilai-nilai budaya bangsa
tidak terus menerus melemah.
Bagaimana
cara kita melestarikan budaya bangsa? Adakalanya kita sering bahkan selalu
mengabaikan tradisi yang berasal dari nenek moyang. Sering kita mendengar bahwa
jika kita selalu mempertahankan tradisi, pikirannya disebut ortodok. Padahal,
banyak nilai-nilai luhur yang dapat kita ambil dari budaya lokal bangsa. Kita tidak akan
terjebak lagi dengan gaya hidup yang serba modern karena telah dibentengi nilai-nilai
leluhur. Dalam hal etika, kita akan merasa terpagari dengan nilai-nilai yang
telah diterapkan nenek moyang dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, dari
tradisi di atas. Kita akan selalu mensyukuri segala hal yang telah diberikan
kepada kita, baik berupa harta, kekayaan, umur, bahkan ilmu
pengetahuan. Nah, itu semua sebenarnya sudah ada dan mentradisi dalam
setiap kebudayaan lokal yang telah diwariskan kepada kita.Sebagai masyarakat
yang terdiri atas suku bangsa, sudah sewajarnya kita bersikap toleran terhadap
perbedaan. Perbedaan jangan kita jadikan sebuah alat
permusuhan. Perbedaan harus kita jadikan ciri khas masing-masing daerah. Hal
ini nantinya akan menjadi nilai-nilai istimewa bagi kebudayaan nasional dan
menjadi sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya.[4]
[1] Lebba pongsibanne, s. Ag, m.si, islam dan budaya lokal, 2008, hlm 5-6
[2] http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/membangkitkan-budaya-lokal-sebagai-identitas-budaya-daerah-2/
[4] http://www.anneahira.com/pengertian-budaya-lokal.htm
No comments:
Post a Comment