Thursday, November 9, 2017

Konsep budaya lokal


pengertian kebudayaan
kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses hasil krida, cipta, rasa, dan karsa dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Tiga nilai budaya yaitu: nilai agama, seni, dan solidaritas berkaitan dengan rasa menurut Sutan Takdir Alisjahbana bersendi pada perasaan, intuisi dan imajinasi.budaya ekspresif umumnya berwatak konservatif. Misalnya  agama jika tidak didukung oleh pemikiran yang rasional, akan mudah terjerumus ke dalam penghayatan serba mistik dan ghaib yang extrim dan irrasional. Tujuan utama adalah bagaimana cara mengembangkan budaya yang memiliki keserasian nilai progresif dan ekspresif. Hal ini hanya mungkin jika nilai agama dijadikan sendi utama dan didukung oleh nilai teori dan ekonomi.

Religi animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya watak Indonesia khususnya masyarakat jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju. Keadaan ini memancing timbulnya teori kekentalan dan ketegaran kebudayaan asli Indonesia. Jadi masyarakat Indonesia asli khususnya masyarakat Jawa yang masih bersahaja, nilai agama menjadi utama yang bersifat mengikat dan mempengaruhi nilai-nilai yang lain. Nilai agama mengejala dalam kepercayaan serba mistik yang kemudian mempengaruhi adat-istiadat dengan berbagai tata cara dan rangkaiaan upacara yang kompleks. Berkaitan dengan masyarakat yang bersahaja tersebut, maka nilai solidaritas yang dalam ungkapan Jawa disebut dengan gotong-royong dan rukun cukup tinggi. Pola budaya Jawa menurut St. Takdir Alisjahbana, “masih dikuasai oleh nilai agama yang diikuti oleh nilai solidaritas dan nilai kesenian, sedangkan dalam sifatnya yang demokratis, nilai kuasa dalam susunan masyarakat adalah lemah. Nilai ilmu lemah karena pikiran rasional belum berkembang, sedangkan perasaan belum terlampau berkuasa dalam menghadapi alam selain itu nilai ekonomi juga belum berkembang”.
Interaksi antara islam dan budaya jawa menghasilkan bentuk islam yang singkretik, akan tetapi diperlukan sikap yang hati-hati dalam menyikapo relatifitas proses sosial interaksi islam dan budaya jawa ynag terjadi proses sintetik sangat serasi. Jika nilai agama menjadi dasar bagi pola budaya individu dan masyarakat, maka nilai agama itu tentu akan mewarnai tingkah laku seseorang masyarakat. Konsep beragama yang ideal adalah jika nilai agama berhasil menjiwai nilai budaya yang ada. Dan apabila belum tercapai maka berarti penghayatan agama belum dilakukan secara utuh atau belum sungguh-sungguh mengakar. Dalam agama animisme belum menjadi agama dalam pengertian agama yang sempurna, artinya animesme belum  membawa keagamaan secara utuh, tetapi masih dekat dengan kepercayaan tradisional.[1]    
Budaya lokal sebagai identitas budaya daerah, tidaklah sekedar mampu menyebutkan dan memahaminya, tetapi lebih daripada itu adalah untuk mengupayakannya sebagai sumber inspirasi atau  sumber perubahan. Pada tataran konsep seperti ini, kebudayaan adalah sistem gagasan yang harus dikembangkan dan diberdayakan. Selanjutnya, kebudayaan sebagai pola tindakan yakni menjadikannya sebagai acuan perilaku[2].
Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom ini. Sebagai sebuah kajian, kemudian saya pun mempelajari dan mencoba mengaitkannya pada konteks yang ada. Definisi budaya lokal yang pertama berdasarkan visualisasi kebudayaan ditinjau dari sudut stuktur dan tingkatannya. Yaitu sebagai berikut:
  1. Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Contoh: kebudayaan nasional;
  2. Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau daerah. Contoh : Budaya Sunda;
  3. Subculture, merupakan kebudyaan khusus dalam sebuah culture, namun kebudyaan ini tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya gotong royong
  4. Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture yaitu merupakan bagian turunan dari culture, namun counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya individualisme
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal berada pada tingkat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar (2006:150) mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
  2. Kebudayaan umum lokal
  3. Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna.
Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional, sedangkan Judistira mengatakan bahwa dalam pembentukannya, kebudayaan nasional memberikan peluang terhadap budaya lokal untuk mengisinya. Adapun definisi budaya nasional yang mempunyai keterkaitan dengan budaya lokal adalah sebagai berikut:
1.    Kebudayaan kebangsaan (kebudayaan nasional) berlandaskan kepada puncak-puncak kebudayaan daerah,
2.    Kebudayaan kebangsaan ialah gabungan kebudayaan daerah dan unsur-unsur kebudayaan asing,
3.    Kebudayaan kebangsaan menurut rekayasa pendukung kebudayaan dominan melalui kekuasaan politik dan ekonomi: dan
4.    Kebudayaan kebangsaan dibentuk dari unsur-unsur kebudayaan asing yang modern dalam mengisi kekosongan dan ketidaksepakatan dari berbagai kebudayaan daerah (Judistira, 2008:41)

perbedaan antara budaya nasional dan budaya lokal atau budaya daerah
Dalam pengertian yang luas, Judistira (2008:113)  mengatakan bahwa kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala bentuk, dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran yang berada jauh dibelakang apa yang tampak tersebut.
Wilayah administratif tertentu, menurut Judistira bisa merupakan wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya daerah itu meliputi beberapa wilayah administratif, ataupun disuatu wilayah admisnistratif akan terdiri dari bagian-bagian satu budaya daerah. Wilayah administratif atau demografi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal dalam definisinya, namun pada perkembangannya dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang mengikis definisi tersebut.
Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang ditinjau dalam faktor demografi dengan polemik di dalamnya, Kuntowijoyo memandang bahwa wilayah administratif antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya menjadi sentral dari bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk dilakukan pengidentifikasian.
Dikota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada yang kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar.  (Kuntowijoyo,2006:42)
Dalam pengkritisan definisi yang berdasarkan pada konteks demografi ini, Irwan Abdullah memberikan pandangannya : Etnis selain merupakan konstruksi biologis juga merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mendapatkan artinya dalam serangkaian interaksi sosial budaya. Berbagai etnis yang terdapat diberbagai tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain yang antar mereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan atau bahkan berhimpitan. (Abdullah, 2006:86). Walaupun adanya interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya definisi budaya lokal berdasarkan konteks wilayah atau demografis pada hakekatnya tetap masih relevan walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini seperti yang dikatakan Irwan Abdullah selanjutnya :
Keberadaan suatu etnis disuatu tempat memiliki sejarahnya secara tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat disuatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang pada posisi yang relatif lemah. (Abdullah, 2006:84)
Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya dan atau antropolog diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya lokal dalam definisinya didasari oleh dua faktor utama yakni faktor suku bangsa yang menganutnya dan yang kedua adalah faktor demografis atau wilayah administratif. Namun, melihat adanya polemik pada faktor demografis seiring dengan persebaran penduduk, maka penulis akan lebih menekankan definisi budaya lokal sebagai budaya yang dianut suku bangsa, misalnya Budaya Sunda (budaya lokal) adalah budaya yang dianut oleh Suku Bangsa Sunda, hal ini bisa ditentukan oleh minimal bahasa yang digunakan.[3]
Keragaman Budaya Lokal Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Keragaman suku bangsa ini tentunya dapat menciptakan budaya yang beragam. Nah, kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam salah satu suku bangsa tersebut dapat dinamakan budaya lokal. Jadi, budaya lokal merupakan sebuah hasil cipta, karsa, dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang ada di daerah tersebut.
Keragaman Budaya Lokal Indonesia, antara lain, yaitu:
  • Pabarit
Pabarit merupakan sebuah budaya lokal yang berada di daerah Subang, Jawa Barat. Pabarit adalah sebuah tradisi yang dilakukan untuk menolak bala. Hal ini dilakukan agar terhindar dari setiap marabahaya yang terjadi. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Subang pada pukul 18.00 WIB di perempatan jalan. Ketika acara ini dimulai, masyarakat sudah mengetahui hal yang harus dilakukanya. Mereka mengumpulkan pakaian bekas sebagai simbol keburukan dari manusia. Pakaian bekas tersebut dikumpulkan dalam sebuah alat yang dinamakan sundung (alat yang berbentuk segitiga dan terbuat dari bambu) untuk kemudian disimpan di perempatan jalan.  Sesajen pun dibenahi dengan baik sebelum ketua kampung mulai berdoa. Jika menyan sudah dibakar, sang ketua kampung pun berdoa kepada Sang Pencipta. Tentunya maksud utama dalam acara tersebut adalah agar terhindar dari segala marabahaya. Acara pabarit ditutup dengan pembakaran sundung beserta pakaian bekas.    
  • Tarian Hudoq
Banyak cara yang dilakukan oleh setiap masyarakat untuk meminta keselamatan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Nah, salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan adalah menari. Tarian ini dinamakan dengan tarian hudoq. Sebuah filosofi yang terpatri dalam masyarakat kalimantan, khususnya suku Dayak, yaitu harus selalu berlindung kepada sang penguasa dewa, Silau Apau Lagaan. Karena merupakan penguasa yang tertinggi dari hudoq yang ada di dunia ini, Silau Apau Lagaan diberi gelar Buang Atut Uhut Mebang. 
Agar dapat memberi kesejahteraan bagi masyarakat di dunia ini, Buang Atut Uhut Mebang ini mengutus beberapa dewa ke dunia ini. Salah satu hudoq yang diutus ini adalah sang pembawa rezeki bagi pertumbuhan tanaman beserta pembasmi hama tanaman. Nama dewa yang ditugaskan ini adalah Jelifah Tao Hudoq yang berubah wujud, mulai dari wajah, pakaian, bahkan bentuk badannya. 
  • Teater dulmuluk
Untuk terlepas dari sebuah rutinitas adakalanya kita harus mencari sebuah hiburan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghibur diri. Salah satu alat hiburan masyarakat Sumatera Selatan adalah menyaksikan Teater Dulmuluk.
Teater dulmuluk merupakan seni tradisi masyarakat Sumatra Selatan yang berkembang sejak 1919. Ketika itu, pertunjukan teater Dulmuluk dilakukan di ruang terbuka. Kisah yang dibawakannya adalah cerita Dulmuluk yang ditulis oleh Raja Ali Haji.Masyarakat sangat antusias dalam menonton pertunjukan ini. Dalam perkembangannya, teater dulmuluk pun selalu membuat modifikasi dalam pertunjukannya. Hal ini terbukti dari para pemainnya yang menggunakan kostum dan tata rias yang beragam. Alat yang digunakan untuk mengiringi teater dulmuluk ini adalah biola, gendang, gong (tetawak), dan gendang yang berukuran besar (jidur). 


Upaya pelestarian budaya lokal
Beberapa contoh keragaman budaya lokal di atas kiranya dapat menyadarkan kita tentang pentingnya melestarikannya. Budaya lokal merupakan sebuah benteng pertahanan bagi kita terhadap gempuran kebudayaan asing. Sudah saatnya untuk melestarikannya agar nilai-nilai budaya bangsa tidak terus menerus melemah.
Bagaimana cara kita melestarikan budaya bangsa? Adakalanya kita sering bahkan selalu mengabaikan tradisi yang berasal dari nenek moyang. Sering kita mendengar bahwa jika kita selalu mempertahankan tradisi, pikirannya disebut ortodok. Padahal, banyak nilai-nilai luhur yang dapat kita ambil dari budaya lokal bangsa. Kita tidak akan terjebak lagi dengan gaya hidup yang serba modern karena telah dibentengi nilai-nilai leluhur. Dalam hal etika, kita akan merasa terpagari dengan nilai-nilai yang telah diterapkan nenek moyang dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, dari tradisi di atas. Kita akan selalu mensyukuri segala hal yang telah diberikan kepada kita, baik berupa harta, kekayaan, umur, bahkan ilmu pengetahuan. Nah, itu semua sebenarnya sudah ada dan mentradisi dalam setiap kebudayaan lokal yang telah diwariskan kepada kita.Sebagai masyarakat yang terdiri atas suku bangsa, sudah sewajarnya kita bersikap toleran terhadap perbedaan. Perbedaan jangan kita jadikan sebuah alat permusuhan. Perbedaan harus kita jadikan ciri khas masing-masing daerah. Hal ini nantinya akan menjadi nilai-nilai istimewa bagi kebudayaan nasional dan menjadi sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya.[4]






[1] Lebba pongsibanne, s. Ag, m.si, islam dan budaya lokal, 2008, hlm 5-6
[4] http://www.anneahira.com/pengertian-budaya-lokal.htm

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  الطريقة   المادة الترتيب (أقوم أمام الباب قائلا)   إلقاء السّلام ...