Penulis : Rahmad f
Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada
yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah
punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu
Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi'ah.
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa
mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan
dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan
berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab
populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh
Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra'yi serta faqih dari Irak yang
banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan
ra'yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam
nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan
qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam
menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits
mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum
Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, fatwa
sahabat, qiyas, istihsan, ijma'i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah
Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode
dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang
menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi
pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk
menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat
Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir
ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
Bagian kedua al-Jami' al-Kabir;
Bagian ketiga al-Jami' as-Sagir;
Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh
dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi
yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah
yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga
dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang
dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain
menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila,
dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpi lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga
dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu
al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama
Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia
kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak
sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama
Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke
pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2. Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam
Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan
fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik
dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa' yang disusunnya atas permintaan
Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma'mun. Kitab
ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika
fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan
metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh
belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di
tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh
para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam
al-Muwaththa'. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma',
Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas,
Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, 'Urf; Istihsan, Istishab, Sadd
az-Zari'ah, dan Syar'u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab
al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam
asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal,
yaitu Al-Qur' an, sunnah Nabi SAW, ijma', dan rasio. Alasannya adalah karena
menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya
adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah
al-Mursalah, Sadd az-Zari'ah, Istihsan, 'Urf; dan Istishab. Menurut para ahli
usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih
mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya
dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman
bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan
belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin
Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz
al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w.
214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain
Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim
al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296
H.).
Disamping itu, ada pula murid-murid Imam
Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu
Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan
Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.
3. Mazhab Syafi'i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam
asy-Syafi'i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan
hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman
meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra 'yi, Imam
asy-Syafi 'i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya,
ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra'yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat
dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi'i menjelaskan
kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah
(yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi'i pertama
sekali mencari alasannya dari Al-Qur'an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk
kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak
ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma' sahabat. Ijma'
yang diterima Imam asy-Syafi'i sebagai landasan hukum hanya ijma' para sahabat,
bukan ijma' seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh
mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma'
seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma' tidakjuga ditemukan
hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai
ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi 'i tidak seluas yang
digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu
cara meng-istinbat-kan hukum syara'
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi'i
berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya
ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab
Syafi 'i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga
orang murid Imam asy-Syafi 'i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan
pengembang Mazhab Syafi'i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.),
ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.),
yang diakui oleh Imam asy-Syafi 'i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan
ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam
penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi 'i tersebut.
4. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam
Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di
zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra'yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam
asy-Syafi'i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip
dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
An-Nusus (jamak dari nash), yaitu
Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma';
Fatwa Sahabat;
Jika terdapat perbedaan pendapat para
sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang
lebih dekat dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW;
Hadits mursal atau hadits daif yang
didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma'; dan
Apabila dalam keempat dalil di atas tidak
dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya
dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat
dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan
Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan,
sadd az-Zari'ah, 'urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi
awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar
Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin
Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w.
285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w.
324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad
bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar
Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam
menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan
pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan
pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada
zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah Syiah
Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali
Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di
zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang
fiqh ia menyusun kitab al-Majmu' yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah.
Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan
langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan
bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam
Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam
Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab
fiqh. Kitab al-Majmu' ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin
Haimi al-Yamani as-San'ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh
Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang
populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.),
yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan
dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di
antaranya Kitab al-Jami' fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi
al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w.
840 H.) yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami' li Mazahib 'Ulama'
al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak
banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara
lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang
disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu,
mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut'ah.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan
pemikiran fiqh ahlurra'yi
2. Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah
Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi 'i dengan beberapa perbedaan yang
mendasar.
Dalam berijtihad, apabila mereka tidak
menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur'an, mereka merujuk pada sunnah yang
diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh
Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan
Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara'. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan
menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di
kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari
kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma'
sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara', kecuali ijma' bersama
imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam
mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian
disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri
sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin Farwaij
as-Saffar al-A'raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah Imamiyah
dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya'ir ad-Darajat fi 'Ulum
'Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah
disebarluaskan dan dikembangkan oleh Mhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini
(w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi 'ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah
dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut'ah
yang diharamkan ahlus sunnah;
Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi
dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah tidak perlu; dan
Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah,
mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh
masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik
Islam Iran sekarang.
Mazhab fiqh yang Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini
menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut
yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian
ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang
menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut
dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak
terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab
yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza'i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman
al-Auza'i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah)
yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang
ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata:
"Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah
tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya
(selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza'i pernah dianut oleh
masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi'i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut
masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana.
Pemikiran Mazhab al-Auza'i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur
fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza'i dapat dilihat dalam
kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310
H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab
al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi'i. Dalam al-Umm, asy-Syafi'i mengemukakan
perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza'i, serta antara Imam Abu Yusuf
dan al-Auza'i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab
al-Auza'i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w.
161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah
seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia
juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat
lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin
Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab
as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
3. Mazhab al-Lais bin Sa'ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa'ad.
Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3
H.
Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang
sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang
hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di
Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan
Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan
urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang
diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu
dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang
hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu
memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut;
dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka
memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman
pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah
memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak
tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah
suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan
hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya,
hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara'.
Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash
menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut
semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan
berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais,
menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing
yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah
nash).
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja'far Muhammad
bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu
Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan
faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits
dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan
dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami'
al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah
buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah
belajar fiqh Mazhab Syafi'i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam
asy-Syafi'i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti
pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak
mempunyai pengikut lagi.
5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang
dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang
melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang
usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab
ini adalah memahami nash (Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW) secara literal,
selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud
dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai
hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma'. Ijma' yang mereka
terima adalah ijma' seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai
dengan pengertian ijma' yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad
Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan
ijma', karena ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan
Imam asy-Syafi'i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah
al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra'yu (rasio
semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri
banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut
fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat
mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab.
Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini,
maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah
Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan
Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba'ah (Mazhab
yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar)
No comments:
Post a Comment