BAB
I
PENDAHULUAN
Penulis : Rahmad F
Penulis : Rahmad F
Manusia
menggunakan informasi untuk melakukan penalaran dan memecahkan masalah, dan
dilakukan dengan informasi yang terbatas. Kita mungkin tidak selalu dapat
menjelaskan proses berpikir yang dilakukan manusia, namun kita dapat mengidentifikasi
hasil pemikiran tersebut. Berpikir membutuhkan sejumlah pengetahuan yang
berbeda. Beberapa aktifitas berpikir bersifat langsung dan pengetahuan yang
dibutuhkan terbatas. Sedangkan aktifitas yang lain membutuhkan pengetahuan
dalam jumlah yang cukup besar dari domain yang lain.
abduktif
adalah penalaran untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang
kemungkinan kebenarannya masih perlu diuji coba lebih lanjut.
Sebagai contoh,
misalkan kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Sam selalu mengendarai
mobilnya dengan sangat cepat jika sedang mabuk. Maka pada saat kita melihat Sam
mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam
mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru
atau dalam keadaan gawat darurat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Abduktif
abduktif
adalah penalaran untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang
kemungkinan kebenarannya masih perlu diuji coba lebih lanjut.
Misalnya,
diketahui bahwa semua pohon mangga di kebun P Amat adalah jenis mangga
manalagi. Di dapur P Amat ada sekeranjang buah mangga, dan kesemuanya jenis
mangga manalagi. Bisa disimpulkan, ada kemungkinan bahwa mangga-mangga manalagi
itu dipetik dari kebun P Amat sendiri.
B. Mentode Abduktif
Tugas
utama Ilmu pengetahuan tidak berhenti dengan mengumpulkan data, melainkan lebih
dari itu coba mencarikan dan menemukan penjelsan atau eksplanasi atas data.
Ilmuan tidak pernah puas dengan hanya menerima data begitu saja. Data tidak
merupakan sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia (D.Hume).
Semua proses
yang tediri dari mencari dan merumuskan hopotesis yang terjadi dalam pemikiran
ilmuan. Proses yang terjadi dalam pikiran ilmuan ini adalah C.S. Peirce disebut
dengan abduksi.
a.
Pemikiran Pairce tentang Abduksi
Pemikiran
Pairce tentang Abduksi mengalami perkembangan panjang dan baru mencapai
kematangannya dalam karya-karya setelah tahun1983. Mula-mula ia memandang
abduksi sebagai suatu bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi,
yaitu, proposisi tentang suatu hukum (rule), proposisi tentang suatu
kasus (case), dan terakhir proposisi tentang kesimpulan (result).
Dalam Abduksi, hukum, kasus, kesimpulan dibentuk dalam silogisme hipotesis yang
terdiri dari premis mayor, minor dan kesimpulan. Bentuk silogisme hipotesis
dapat dilihat sebagai berikut:
Jika A, maka B
Dan
A: maka B
Namun
setelah tahun 1983. Peirce semakin sadar bahwa abduksi lebih dari sekedar
bentuk logis. Abduksi merupakan tahap pertama dari penelitian ilmiah. Minat
penelitian ilmuan berawal dari kebenarannya terhadap peristiwa tau fakta.
Pengalaman ini membangkitakan keraguan, pertanyaan dan karena itu ia mencoba
mencari penjelasan atau hipotesis. Oleh karena itu secara formal, abduksi sebenarnya
merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta atau kasus dari fakta
itu kita merumuskan suatu hipetesis untuk menjelaskan kasus tersebut. Hipetesis
tersebut mengandung makna general atau universal.
Sebuah
contoh dari ilmu kedokteran tentang Demam Racun Mayat dapat diambil sebagai
ilustrasi. Jika kita tahu bahwa di bangsal tertentu di rumah sakit 10% dari ibu
dan anak yang dirawat meninggal, pertanyaan tetang sebab kematian dapat
dirumuskan. Berbagai macam hipotesis lalu dirumuskan. Misalnya adanya epidemi,
pengaruh sinar bumi, maupun perlakuan yang kasar dari perawat. Jadi
hipetesis-hipetesis itu dirumuskan untuk menjelaskan fakta. Jika salah satu
fakta menentang hipetesis tersebut, maka hipetesis lain harus diajukan lagi.
Begitu
juga kita berbicara tentang temuan tentang tekanan udara dan pengakuannya. Jika
kita tahu bahwa sebuah sumur digali sedalam 15meter, dan pompa dimasukkan ke
dalam sumur itu tetapi air hanya berhasil diangkat 10 meter, di atas permukaan
air, pertanyaan pun mulai diajukan, dan
berbagai macam hipotesis bisa ditawarkan untuk menjelaskan fakta tersebut.
Misalnya, hipetesis horror wacui dan hipotesis tekanan udara atmosfir
bumi.
Maka,
abduksi pertama-tama berfungsi menawarkan suatu hipetesis yang bisa memberikan
penjelasan terhadap fakta-fakta itu. Ada fakta, dan fakta itu harus dijelaskan
dengan sebuah hipotesis. Oleh karena silogisme abduksi selalu mulai dari fakta
dan dari fakta itu dirumuskan sebuah hipotesis untuk menjelaskan fakta
tersebut.
b. Beberapa syarat dalam pemilihan
hipotesis
Abduksi
merupakan proses yang sahih untuk merumuskan hipotesis. Namun, persoalan
mengenai abduksi, dan persoalan logic of discorvery, tidak berhenti
disini. Persoalan dasar dari abduksi adalah alasan logis sehingga hipotesis A
lebih preferable, lebih pantas
diuji dibandingkan dengan hipotesis B. Syarat-syarat manakah yang harus
diperhatikan sehingga suatu hipetesis lebih pantas diperhatikan dibandingkan
dengan hipotesis lainnya.
Syarat
yang paling penting dari semuanya adalah bahwa hipotesis yang dipilih adalah
yang dapat diverifikasikan secara eksperimental. Namun sebelum dapat
diverifikasi secara eksperimental, pemilihan hipotesis perlu mendapat
pertimbangan ekonomi. Kecintaan akan pengetahuan dari ilmuan akan menjadi lebih
terarah jika situasi ilmuan sendiri dipertimbangkan. Ia adalah seorang manusia
yang tunduk pada batas-batas finansial dan waktu. Oleh karena itu, seorang
ilmuan yang realitas sudah pada permulaan mengevaluasi hipotesis-hipotesis yang
ada hanya memilih hipotesis-hipotesis yang membuka jalan lebih beasar bagi
pengetahuan. Bahkan secara negatif, dengan pertimbangan ekonomi waktu, uang,
dan tenaga kita boleh berkata bahwa lebih menguntungkan hipotesis yang paling
cepat dan mudah ditolak dibandingkan dengan sebuah hipotesis yang memakan
banyak waktu dan tenaga untuk diverifikasikan tetapi belum jelas.
Dari
sudut pandang ini, kita bisa berbicara tentang nilai suatu hipotesis. Hipotesis
yang baik adalah hipotesis yang memilki karakter idealistik. Disebut idealistik
karena hipotesis itu tidak hanya bisa di uji, tetapi lebih dari itu harus bisa
dubuktikan dengan benar dengan berbagai macam alat pembuktian, dan dengan
demikian mendorong perkenbangan ilmu itu sendiri secara dinamis.
Lalu,
pertanyaan sekarang: atas dasar apa kita bisa mengekspektasi hipotesis
idealistik itu? Sebagai ilmuan, Peirce menolak idea apriori. Pengetahuan kita
harus didasarkan pada pengalaman. Namun berbeda dari pemikiran positivis,
Peirce menaruh kepercayaan yang beasr pada insting akal budi manusia untuk
mengenal kebenaran tau memilih eksplanasi yang benar atas fakata.
Maka”
hipotesis eksplanotaris” dipilih oleh insting akal budi kita, namun, itu tidak
berarti bahwa hipotesis itu tidak dapat dikritik. Kontrol dan kritik tetap
diperlukan, dan itu terjadi pada fase kedua dalam seluruh kegiatan ilmiah.
Insting hanyalah suatu tool ilmu pengetahuan ketika satu hipotesis harus
dipilih di antara banyak hipotesis. Untuk membuat pilihan itu, insting akal
budi (mind) merupakan instrumen yang lebih menyakinkan dibandingkan
semua bentuk penalaran (reason).
c. Kesimpulan: nilai teoretis fase
abduksi
1. Abduksi
menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas).
Abduksi adalah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulam
dari proses itu adalah suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus
tertentu dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis
mempertegas bahwa suatu kasus individual ditempatkan dalam suatu kelas yang
lebih umum.
2. Abduksi
merupakan suatu proses yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis penalaran
formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan
oleh penalaran kritis.
3. Proses
abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap
orsinalitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan ide imajinasi ilmiah,
hipotesis itu bagi ilmuan dan bagi banyak orang merupakan sesuatu yang baru.
Peirce sangat yakin bahwa abduksi
merupakan satu-satunya bantuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi
ilmu pengetahuan.
4. Interpretatif.
Abduksi yang berhasil mangandalakan keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi
yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman biasanya lebih berhasil
dari yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduksi merupakan suatu fase
interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil
dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuan terhadap fakta tau
pengalaman.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Ø Abduksi
sebagai suatu bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu,
proposisi tentang suatu hukum (rule), proposisi tentang suatu kasus (case),
dan terakhir proposisi tentang kesimpulan (result).
Ø Abduksi
sebenarnya merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta atau kasus
dari fakta itu kita merumuskan suatu hipetesis untuk menjelaskan kasus
tersebut.
Daftar Pustaka:
///H:/Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan - Google Book Search.htm#PPP1,M1
A.Sonny Keraf .Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filosofis,
No comments:
Post a Comment