Pendahuluan
Penulis : Rahmad F
Penulis : Rahmad F
Dalam
kehidupan manusia Allah telah menentapkan jalan yang harus ditempuh oleh
manusia sesuai dengan syaria’t yang telah ditetapkan, sehingga seseorang
senantiasa istiqomah dan tegak diatas syaria’t-Nya, selalu menjalankan perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Sebagai seorang hamba Allah Swt. Yang mempunyai
kaitannya antara hablu minallah dan hablu minannas. Dalam kaitannya dengan sang
maha pencipta, seorang harus taat menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Begitu juga dengan hubungannya dengan hablu minannas manusia
sebagai seorang hamba diharapkan istiqomah dalam menjalankan hal-hal yang bagus
seperti beramal, menjaga tali silaturrahim, menjaga kelestarian alam, dan lain
sebagianya.
Disamping
itu dalam istiqomah itu sendiri diperlukan keikhlasan dalam menjalankan segala
amal-amalnya. Karena ikhlas merupakan amalan hati, yang paling penting, paling
tinggi dan paling pokok. Ikhlas merupakan hakikat agama dan kunci dakwah para
Rasul a’laihimus salam sejak dulu. Ikhlas adalah inti ibadah dan jiwanya.
Fungsi ikhlas dalam
amal perbuatan sama dengan kedudukan “Ruh” pada jasadnya.
Oleh karena itu, mustahil suatu amal iabadah dapat diterima bila tanpa ikhlas,
sebab kedudukannya sama dengan tubuh yang sudah tidak bernyawa.
PEMBAHASAN
- Istiqomah dan Ikhlas dalam beramal.
Istiqomah itu sendiri mempunyai
pengertian; terus menerus melakukan amal shalih dan komitmen dengannya serta
tidak merusak satupun diantara amal-amal tersebut. Imam Nawawi mengatakan bahwa
makna istiqomah adalah senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah. Istiqomah
merupakan satu kata yang ringkas, namun sarat makna dan dialah rambu-rambu
semua urusan.
Hal ini sesuai dengan janji Allah Swt.
Dalam surat Al-Ahqaf: 13-14
“sesungguhnya orang-orang
yang mengatakan: Rabb kami ialah Allah. Kemudian mereka tetap istiqomah, maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita
mereka itulah penghuni surga, mereka kekal didalamnya sebagai balasan atas apa
yang telah mereka kerjakan”.
Berdasarkan ayat diatas, Allah
menjanjikan surga yang kekal bagi hamba-hamba Allah yang menjalan segala amal
ibadahnya dengan istiqomah dan ikhlas dijalan-Nya.
Menurut pengarang Manazilus-Sa’ri’in,
ada tiga derajat istiqomah, yaitu: ( Ibnu Qayyim al-Jauziyah, madarijus
salikin buku kedua hal. 186-187 Pustaka Kautsar Jakarta.)
1. Istiqomah dalam
usaha untu melalui jaln tengah tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar
batasan ikhlas dan tiadak meyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini
meliputi lima perkara:
Ø Amal dan usaha yang dimungkinkan
Ø Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi
berlebih-lebihan atau
kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.
Ø Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak
berada pada tuntutan keadaan.
Ø Kehendak untuk mengesahkan sesembahan, yaitu
ikhlas.
Ø Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti
As-sunnah.
Lima perkara inilah yang
menyempurnakan istiqomahnya orang-orang yang berada pada derajat ini. Selagi
keluar dari salah satu diantaranya, berarti keluar dari istiqomah , entah
keluar secara keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya orang-orang salaf
menyebutkan dua sendi ini, yaitu jalan tengah amal dan berpegang kepada
As-Sunnah. Sesungguhnya syetan itu bisa mencium hati hamba dan mengintainya.
Jika dia melihat suatu indikasi kebid’ah didalamnya dan berpaling dari
kesempurnaan ketundukan kepada As-Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya agar
tiadak berpegang kepada As-Sunnah. Jika Syetan melihat hasrat yang kuat
terhadap As-Sunnah, maka ia tidak akan
mamapu mempengaruhinya untuk mengeluarkannya dari As-Sunnah. Maka ia
memerintahkannya untuk terus berusaha, lalu bersikap sewenwng-wenang terhadap
diri sendiri dan keluar dari jalan tengah, seraya berkata kepadanya, “ ini
merupakan kebaikan dan ketaatan. Semakin semangat berusaha, semakin
menyempurnakan ketaatan itu.” Begitulah yang terus dibisikkan syetan hingga dia
keluar dari jalan tengah dan batasannya. Inilah keadaan golongan khawarij yang
melecehkan orang-orang yang istiqomah, dengan membandingkan sholat, puasa dan
bacaan Al-Qru’an diantara mereka. Kedua golongan ini sama-sama keluar dari
As-Sunnah ke bid’ah. Yang pertama keluar ke bid’ah pengabaian dan yang kedua keluar
ke bid’ah kelewat batas.
- Istiqomah keadaan, yaitu mempersaksikan hakikat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan mewaspadainya. Dengan kata lain, istiqomah keadaan dilakukan dengan tiga cara ini. Kaitannya dengan kesaksian hakikat, maka hakikat itu ada dua macam:hakikat alam dan hakikat agama, yang dipadukan hakikat ketiga, yaitu sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya.
3. Istiqomah
dengan tidak melihat istiqomah, tidak lengah untuk mencari istiqomah dan
keberadaannya. Sedangkan tidak lengah mencari istiqomah artinya tidak lengah
mencari kesaksian penegakan kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa
Allah lah yang menegakkan segala urusan dan istiqomanya berasal dari Allah,
bukan berasal dari dirinya dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan
merasa bahwa bukan dirinyalah yang mendatangkan istiqomah itu. Ini merupakan
kosekuensi terhadap asma Allah Al-Qoyyum. Artinya keyakinan bahwa Allah
sendirilah yang menangani segala urusan dan Dia tidak membutuhkan selain Nya,
tapi semua selain Nya tentu membutuhkan-Nya.
Sedangkan makna Ikhlas itu sendiri
yaitu “Kholaso”, akar katanya adalah Khuluuson/khulaason artinya
jernih, bersih dari pencemaran. Lafazh ikhlas menunjukkan jernih, bersih dan
suci dari campuran dan pencemaran.
Ungkapan ulam Salam sehubungan dengan
pengertian ikhlas beragam, seperti penjelasan berikut:
- Melakukan amal karena Allah semata, tiada bagian bagi selain Allah.
- Mengesakan Allah yang hak dalam berniat melakukan ketaatan.
- Membersihkan amal dari perhatian mahluk.
- Membersihkan amal dari setiap pencemaran yang dapat mengeruhkan kemurniannya.
Orang yang ikhlas adalah seseorang
yang tidak peduli meskipun semua penghargaan yang ada dalam kalbu orang lain
lenyap kalau memang harus demikian jalannya demi meraih kebaikan hubungan
kalbunya dengan Allah Swt. Sedangkan dia tidak mengingikan sama sekali ada
orang lain yang mengetahui amal kebaikannya.
Allah Swt. Berfiman:
Artinya: “ Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya dia menguji kalian siapa diantara kalian yang lebih baik
amalnya. (QS: Al-Mulk: 2)
Dari ayat diatas yang dimaksud dengan
yang paling baik amalanya ialah yang paling ikhlas dan paling benar. Hal ini
disebabkan bahwa amal perbuatan itu meskipun benar tetapi tidak ikhlas, maka
tidak akan diterima. Begitu juga halnya jika dilakukan dengan ikhlas tetapi
tidak benar maka tidak akan diterima pula. Jadi amal perbuatan harus dilakukan
dengan ikhlas dan benar.
Ikhlas dalam beramal dalam riwayat
amirul mukminin, Umar bin Khatab RA. Berkata : “aku mendengar Rasulullah SAW.
Bersabda”:
Artinya:” sesungguhnya segala amal
perbuatan itu bergantung pada niat. Dan setiap orang mendapatkanm balasan
sesuai apa ynag diniatkan. Barang siapa yang menghijrakan kepada Allah dan
Rasul-Nya maka hijrahnya itu adlah pada Allah dan Rasul-Nya, tetapi barang siapa
yang berhijrah untuk meraih keduniaan atau karena perempuan yang akan
dinikahinya maka hijrahnya itu adalah sesuai dengan apa yang ditujunya.
(HR. Bukhori dan Muslim)
Segala perbuatan itu memang bergantung
pada niat, jika niatnya benar maka benar pula amal tersebut. Jika niat itu
rusak maka rusak pula amal itu dan segala tenaga yang dicurahkan untuk
melakukannya menjadi sia-sia belaka. Niat adalah memaksudkan sesuatu dan
disertai mengerjakannya. Seseorang dapat saja melakukan perbuatan yang sama
seperti yang dilakukan oleh orang lain, namun hanya niatnya saja yang
menjadikannya sebagai perbuatan yang destuktif.
Allah Swt.Allah Swt. Berfirman :
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnyadan menyakiti
(perasaan si penerima). Seperti orang yang menafkahkanhartanya karena riya’
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu lilin yang diatasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpah hujan lebat, lalu menjadikan dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS. Al-Baqoroh: 264)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa
amalan yang dilakukan seoarng hamba akan hilang jika menyebut-nyebut dan
menyakiti perasaan si penerima. Hal ini disebut dengan riya’. Dalam
sebuah hadits dijelaskan: Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Jundab bin
Abdullah RA. Ia berkata Nabi SAW bersabda : “barang siapa berbuat baik
dengan niat supaya didengar oarang lain, niscaya Allah akan membuat orang lain
mendengarkannya (hanya itulah balasannya). Barang siapa berbuat kebaikan dengan
niat supaya dilihat orang lain, niscaya Allah membuat orang lain melihatnya
(dan hanya itulah balasannya)
Dari hadits diatas dijelaskan yang
intinya amal perbuatan yang dilakukan tidak akan mendapat pahala jika niatnya
hanya ingin didengar, atau ingin dilihat oleh orang lain maka hanya sebatas itu
saja dan tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT. Hal inilah yang menjadi
bahaya yang jelas, yang menggangu ikhlas yaitu riya’. Bahaya yang
mengganggu ikhlas itu sebagian jelas, sebagian tersembunyi dan sebagian itu
lemah dari jelas, dan sebagian itu kuat beserta tersembunyi dan tidak dapat
difahami. Perbedaan derajat-derajat dalam hal tersembunyidan jelas. Sebagai
contoh: maka kami berkata : “Syetan memasukkan bahaya atas orang yang
mengerjakan sholat manakala ia ikhlas dalam shalatnya, kemudian suatu jama’ah
memandang kepadanya. Lalu Syetan membisikkan kepada orang yang sedang
beribadah: “baguskanlah sholatmu, sekarang orang yang hadir memandang kepadamu
dengan pandangan kewibawaan dan kebaikan, maka anggota badannya
khusu’, sendi-sendinya tenang dan shalatnya baik. Dan inilah riya yang tampak.
Daftar Pustaka:
- Qayim ibnu al-Jauziah, Madarijus Salikin, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Jilid 3.
- Al-Ghazali Imam, Ihya’ Ulumuddin, CV. Asy-Syifa: Semarang. Jilid 9.
- Muhammad Mustafa Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 2001.
- Bin Shalih Muhammad al-Mujahid, Silsilah Amalan Hati, Irsyad Baitus Salam: Bandung, 2006.
- Nawawi Imam. Ringkasan Riyadhus Shalihin, Irsyad Baitus Salam: Bandung, 2006.
No comments:
Post a Comment