BAB I
PENDAHULUAN
Adapun dalam hal ini
filsafat adalah merupakan jenis pengetahuan yang bersumber pada aktivitas akal
(berfikir). Dan dalam kaitannya dengan ilmu, maka setiap ilmu adalah bermula
dari filsafat dan berakhir dengan seni. Dengan begitu maka, Filsafat adalah
dasar pijakan ilmu. Terbukti bahwa berbagai disiplin ilmu yang berkembang
dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat
alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral
(moral philosophy). Durant (1933).
Dalam perkembangan filsafat
menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian
filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak
mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada
unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara
konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat
Telah disebutkan bahwa
penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar
pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran (valid)
sebagai sebuah kesimpulan yang dihasilkan darinya, maka harus dilakukan suatu
cara tertentu. Inilah kemudian yang disebut dengan logika yang secara luas
dapat didefinisikan sebagai; ”sebuah bentuk pengkajian untuk berfikir secara
valid.”
Dalam dunia keilmuan,
dikenal terdapat 2 (dua) cara dalam menarik kesimpulan logis (logika), yaitu;
logika induktif dan logika deduktif. Ada pun logika induktif erat kaitannya
dengan proses menyimpulkan dengan cara melalui kasus-kasus individual nyata
yang kemudian menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Inilah yang dipergunakan
oleh kalangan empirisme dalam membangun pengetahuannya. Artinya seorang
empirisme akan mengatakan (menyimpulkan) bahwa “setiap manusia akan mati”
setelah terlebih dahulu dia menemukan beberapa kasus kematian. Sebagaimana dia
telah menemukan bahwa kakeknya mati.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Abduksi
Pemikiran mendasar di sini adalah bahwa sebuah hal yang mungkin untuk
melukiskan dan menggambarkan konsekuensi dari sebuah produk dalam iklan.
Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut dari produk yang diiklankan
ataupun hubungan nilai dari pengguna produk dapat disimpulkan (abduksi) oleh
penerima iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek
margarin (Blue Band). Orang yang langsing dan ramping akan ditampilkan sedang
menggunakan merek sebuah margarin yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi
dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Blue Band itu membuat makanan enak). Dari
iklan ini, sebagai contohnya, kita bisa mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif
yaitu Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
Aturan : Margarin dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik untuk bentuk tubuh.
Kasus : Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)
Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band adalah sebuah pilihan tepat untuk mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga mendapatkan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya dan tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yang baik akan dipuji oleh orang lain
Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk (akan tetap memiliki bentuk tubuh yang baik) dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).
Di sini, sejak kesimpulan abduktif disimpulkan dan diciptakan oleh penerima, sangat tampak bahwa dimungkinkan terdapat dua kesimpulan yang hadir di
Abduksi melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan event yang kita amati. Sebagai contoh, misalkan kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Sam selalu mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka pada saat kita melihat Sam mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.
Walaupun abduktif mungkin tidak dapat diandalkan, namun manusia seringkali menerangkan sesuatu hal dengan cara seperti ini, dan mempertahankan penjelasaannya hingga ada bukti lain yang mendukung penjelasan atau teori alternatif.
B. Kesimpulan: nilai teoritis abduks
Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
Aturan : Margarin dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik untuk bentuk tubuh.
Kasus : Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)
Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band adalah sebuah pilihan tepat untuk mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga mendapatkan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya dan tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yang baik akan dipuji oleh orang lain
Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk (akan tetap memiliki bentuk tubuh yang baik) dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).
Di sini, sejak kesimpulan abduktif disimpulkan dan diciptakan oleh penerima, sangat tampak bahwa dimungkinkan terdapat dua kesimpulan yang hadir di
Abduksi melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan event yang kita amati. Sebagai contoh, misalkan kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Sam selalu mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka pada saat kita melihat Sam mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.
Walaupun abduktif mungkin tidak dapat diandalkan, namun manusia seringkali menerangkan sesuatu hal dengan cara seperti ini, dan mempertahankan penjelasaannya hingga ada bukti lain yang mendukung penjelasan atau teori alternatif.
B. Kesimpulan: nilai teoritis abduks
Pemikiran peirce tentang pentingnya insting
pada fase abduksi memiliki implikasi teoritis yang besar. Pertanyaan kita
sekarang adalah apakah abduksi dan hipotesis eksplanatoris sebagai hasilnya
memiliki nilai-nilai ilmiah-teoritis? Atau dengan perkataan lain, apa ciri-ciri
dasar nilai dari abduksi dan hipotesis eksplanatoris?
Pertama-tama harus dikatakan bahwa
abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal
(generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduksi adalah suatu proses
penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulan dari proses itu adalah suatu
proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus tertentu dalam suatu kelas atau
kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu kasus
individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.
Kedua, abduksi merupakan suatu proses
yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja.
Hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran kritis. Lebih
lagi, seorang ilmuanakan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan
yang ekonomis dan berguna ketika menghadapi begitu banyak penjelasan yang harus
diuji. Hipotesis abduktif, karena itu, tidak muncul dari suatu proses logis
yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau ide, di bawah
imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa
ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena
hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan ide imajinasi ilmiah, hipotesis
itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang merupakan sesuatu yang baru. Peirce
sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-satunya bentuk penalaran yang bisa
menghasilkan ide bagi ilmu pengetahuan. Abduksi berhenti dengan menawarkan
suatu hipotesis yang harus diuji, bukan sesuatu yang sudah diketahui
kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an original way what the
explanation for the phenomena might be”.
Keempat, adalah interpretatif. Abduksi
yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi yang
bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman biasanya lebih berhasil dari
yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduksi merupakan suatu fase
interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil
dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau
pengalaman.
C. Penyelesaian Masalah (Problem Solving)
Jika penalaran merupakan mekanisme
untuk menarik kesimpulan atau
informasi baru
dari hal yang sudah diketahui, maka penyelesaian masalah merupakan proses
menemukan solusi suatu tugas dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki.
Penyelesaian masalah pada manusia dikarakterristikkan oleh kemampuan
mengadaptasikan informasi dengan situasi yang baru. Terdapat beberapa pandangan
mengenai cara manusia menyelesaikan masalah. Gesltat memandang bahwa proses
pemecahan masalah melibatkan penggunaan pengetahuan dan proses mental
(insight). Teori problem space melihat bahwa pikiran manusia adalah pemroses
informasi yang terbatas.
BAB III
PENUTUP
Pokok pembahasan dalam filsafat ilmu adalah
sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, hakikat dan sumber pengetahuan dan
criteria kebenaran. Di samping itu, filsafat ilmu juga membahas persoalan
objek, metode, dan tujuan ilmu. Yang tidak kalah pentingnya adalah sarana
ilmiah.
Demikianlah pembahasan penalaran
abduktif ini pemakalah sajikan, mudah mudahan mampu menggugah kita untuk terus
mencari, bertualang di dunia ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
1.Prof. Dr. Bakhtiar Amsal, M.A.,filsafat ilmu, Jakarta: PT Raja
Grafindo persada, 2004
5. http://massofa.wordpress.com/2008/01/30/siklus-belajar-pembelajaran-kooperatif-
dan-media-pendidikandalam-pembelajaran-fisika/
No comments:
Post a Comment