BAB I
Pendahuluan
Penulis : Rahmad F
Penulis : Rahmad F
Aliran Pragmatisme ini pertama kali
tumbuh Di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles Sanders Pierce (1839 –
1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir
ketika William James membahas makalahnya yang berjudul ”Philosophycal
Conceptions and Practical Result” (1898) dan mendaulat Pierce sebagai Bapak
Pragmatisme.
Selanjutnya
aliran ini makin berkembang berkat kerja keras dari William James dengan
berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain adalah, “A Pluralistic
Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to Believe”, dan “The
Varieties of Religious Experience”.
John
Dewey juga ikut mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya –
karyanya antara lain adalah “Democracy and Education”, “Reconstruction in
Philosophy”, “How We Think”, dan “Experience in Education”. Namun ia dan para
pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai Instrumentalisme.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian
Pragmatisme
berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang
berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian
isme – isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu
mengikuti tindakan. Pragmatisme
menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu bekerja.
Ini berarti
pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang makna kebenaran atau
theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James yang
berjudul The Meaning of Thurth.
Dengan demikian pragmatisme
adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria
kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain,
suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Menurut
James kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran
adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak. Dengan demikian kebenaran
adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah
contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori maka kebenaran teori masih
bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran dari teori itu.
Dalam
The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang
mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung
tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal
yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang
di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan. Kedua, kebenaran merupakan suatu
pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga,
kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan)
dari pernyataan fakta.
Yang
lebih menarik lagi adalah pragmatisme menjadikan konsekuensi – konsekuensi
praktis sebagai standar untuk menentukan nilai dan kebenaran. Menurut aliran ini hakikat dari
realiatas adalah segala sesuatu yang dialami oleh manusia. Ia berpendapat bahwa
inti dari realiatas adalah pengalam yang dialami manusia. Ini yang kemudian
menjadi penyebab bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat
keaktualan sehingga berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan
demikian nilai dan kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang
terjadi di lapangan dan tidak lagi melihat faktor – faktor lain semisal dosa
atau tidak.
Berbicara tentang suatu
aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di Amerika
Serikat, serta tokoh-tokohnya yang berpengaruh. Ini berarti bahwa kita di bawa
untuk melihat siapa pencetus dan tokoh-tokoh lainnya. Menurut Copleston, pemula
aliran pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914).[7]
Secara pasti, pragmatisme
lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah
yang mempopulerkannya. Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan
penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama
hidupnya.
B.Tujuan Pendidikan
Filusuf pragmatisme berpendapat bahwa
pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah
harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan
memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan
pendidikan tersebut meliputi
· Kesehatan yang baik
· Keterapilan-keterampian dan
kejujuran dalam bekerja
· Minat dan hobi untuk kehidupan
yag menyenangkan
· Persiapan untuk menjadi orang tua
· Kemampuan untuk bertransaksi
secara efektif dengan masalah-masalah sosial
Tambahan tujuan khusus
pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Menurut
pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru
dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial
-Menurut john dewey
Dalam menghadapi
industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan
sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku,
melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang
berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada
melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori
dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning
by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual,
tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat
dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah
harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah
dititiktekankan pada praktek. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali
bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan
sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah
hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang
sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada
alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan
kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang
dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem
demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan
bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep
demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa
harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak
hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus
menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Karena
pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat,
maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung
cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam
pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan
kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni,
kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta
pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat
menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang
dibutuhkan dalam kegiatan bersama. Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti
hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah
kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk
menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan
dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan
tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan
merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan
moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul
dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan
sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat
menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey
disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan
pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide
tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara
pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses
sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk
pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan
kelanjutan pikiran dan benda.
BAB III
Penutup
Pragmatisme berasal
dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang
berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian
isme – isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori
adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan
kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal.
Daftar
Pustaka
·
http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/02/25/merentang-nalar-pragmatisme
·
Abdullah, Muhammad, 2005 Makalah Pragmatisme:
Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika.
·
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2,
Kanisius, Yogyakarta, 1980
No comments:
Post a Comment