BAB I
PENDAHULUAN
Penulis : Rahmad f
Penulis : Rahmad f
Dalam proses keilmuan, paradigma
keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan
kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam
beberapa literatur ia sering disamakan dengan kerangka teori (theoretical
framework). Sebenarnya paradigma lebih umum dan lebih abstrak karena ia
merupakan kerangka logis dari teori. Sehingga satu paradigma bisa melingkupi
beberapa teori. Meski demikian, paradigm ilmu lahir dari
akumulasi teori-teori
yang saling mendukung dan saling menyempurnakan, serta menjadi satu kebulatan
dan sebuah konsistensi yang “utuh”, sebaliknya dari satu paradigma ilmu dapat
dilahirkan teori-teori baru, berdasarkan temuan-temuan dari para ilmuan.
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah
mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam
mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya. Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat
paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmiwan dalam menemukan ilmu
pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Paradigma ilmu itu adalah: positivisme,
post-positivisme, critical theory, dan
konstructivism. Perbedaan kempat paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka
dalam memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologism, epistemologis, dan
metodologis. Namun dalam hal ini kami hanya akan membahas tentang positivisme
yang banyak mempengaruhi lahirnya dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Berfikir merupakan cirri utama bagi
manusia, untuk membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan dasar berfikir
ini, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Akal
merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping
rasa untuk mencapai keindahan dan kehendak untuk mencapai kebaikan. Berfikir
banyak sekali macamnya, namun berfikir yang akan dibahas di sini ialah berfikir
ilmiah dan khusus tentang sarananya, yaitu sarana ilmiah. Sarana ilmiah pada
dasarnya ada tiga, yakni: bahasa ilmiah, logika dan matematika, serta logika
dan statistika.
Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat
komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berfikir ilmiah.
Logika dan matematika mempunyai perananpenting dalam berfikir deduktif sehingga
mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika
mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif untuk mencari konsep-konsep
yang berlaku umum. Dalam pembahasan kali ini kami juga hanya akan terfokus pada
sarana berfikir induktif yaitu logika dan statistika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu
pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan
dasar aliran ini berasal dari paham ontology realisme yang menyatakan bahwa
realitas ada(exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum
alam(natural laws).
Istilah positivisme digunakan
pertama kali oleh Saint Simon(sekitar 1825). Prinsip positivisme dikembangkan
pertama kali oleh empirist Inggris Francis bacon (1600). Tesis positivisme
adalah: ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta
sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Atas kesuksesan teknologi industry
abad XVIII positivisme mengembangkan
pemikiran tentang ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang
ethika, politik dan juga agama sebagai disiplin ilmu. Tentu menjadi ethika,
politik dan agama yang positivistic.
Dalam perkembangannya ada tiga
positivism, yaitu: positivism social, positivisme evolusioner, dan positivism
kritis.
1.Positivisme Sosial
August Comte dan Jhon Stuart Mill
merupakan tokoh-tokoh utama positivisme social. Sedangkan para perintisnya
adalah Saint Simon dan penulis-penulis sosialistik dan utilitarian; yang
karya-karyanya juga dekat tokoh besar dalam ekonomi: Thomas Malthus dan david
Ricardo.
a.Positivistik August Comte
Filsafat positivistic Comte tampil
dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam fikir manusia, yaitu:
teologik, metafisik dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa
segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan. Jenjang teologik
ini dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu: tahap animisme, tahap monotheisme, dan
tahap polytheisme. Sedang pada jenjang metafisik, penjelasan mengenai sesuatu
didasarkan atas pengertian-pengertian metafisik, seperti subtansi, form, sebab,
dan lainnya.Pada jenjang positif, alam fikir manusia mengadakan pencarian
terhadap ilmu absolute, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama. Ilmu yang
pertama menurut Comte adalah astronomi, lalu phisika, kimia, dan akhirnya
phisiologo (biologi).
b.Metodologi A. Comte
Alat penelitian yang pertama menurut
Comte adalah observasi. Kita mengobservasi fakta dan kalimat yang penuh
teotologi hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Eksperimentasi menjadi metode yang
kedua , suatu proses regular phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu lain
tertentu. Komparasi, untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan
sosiologi.
Objek positif sebagaimana yang
dimaksud Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi, yaitu: “yang
nyata” dan “yang khayal”;”yang pasti” dan “yang meragukan”;
“yang tepat” dan “yang kabur”; “yang berguna” dan “yang
sia-sia”; serta”yang mengklaim memiliki kesahihan relatif” dan “yang
mengklaim memiliki kesahihan mutlak”. Dari beberapa patokan”yang factual”
ini, positivisme meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang fakta
obyektif. Jika faktanya adalah “gejala kehidupan material” ilmu pengetahuanya
adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati” ilmu
pengetahuannya adalah fisika.
c.Sosiologi A. Comte
Dengan memberikan penekanan pada
aspek metodologi, positivism beranggapan bahwa ilmu-ilmu menganut tiga prinsip:
bersifat empiris – obyektif, deduktif – nomologis, dan instrumental – bebas
nilai. Ketiga prinsip tersebut tidak hanya berlaku pada ilmu alam, tetapi juga
berlaku pada ilmu social (sosiologi).
Berkaitan dengan ilmu-ilmu social
ini, asumsi-asumsi positivistis tersebut berkonsekuensi tiga hal sebagai
berikut: pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat
langsung diterapkan pada ilmu-ilmu social. Kedua, hasil-hasil riset
dapat dirumuskan dalam bentuk “hukum-hukum” seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga,
ilmu-ilmu soaial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang
bersifat instrumental murni.
Sebagai bapak sosiolog, Comte adalah
orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan physique
social (fisika sosisl) dari Quetelet. Comte membedakan antara social static
dan social dynamics. Pembedaan tersebut hanyalah untuk tujuan analisis.
Keduanya menganalisis fakta social yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda,
yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah
tentang perubahan-perubahan jenjang tersebut.
2.Positivisme Evolusioner
Positivisme evolusioner berangkat
dari phisika dan biologi. Digunakan doktrin evolusi biologic.
a.Hebert Spencer
Konsep evolusi Spencer diilhami
konsep evolusi biologic. Dalam konsepnya, evolusi merupakan proses dari
sederhana ke kompleks. Pengetahuan manusia menurut Spencer terbatas pada
kawasan phenomena. Agama yang otentik mengungkapa kawasan yang penuh misteri,
yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal yang mana yang phenomena tunduk
kepada yang misteri. Sebagai perintis sosiologi, Spencer berpendapat bahwa
sosiologi merupakan disiplin ilmu teoretik yang mendeskripsikan perkembangan
masyarakat manusia.
3.Positivisme kritis
a.Mach dan Avenarius
Bagi Mach dan Avenarius, fakta
(sebagaimana positivist lain memandang), menjadi satu-satunya unsur untuk
membangun realitas. Realitas bagi keduanya adalah sejumlah rangkaian hubungan
beragam hal indrawi yang relative stabil. Unsur hal yang indrawi itu dapat
fisik dan pula psikis. Dengan demikian sesuatu itu adalah serangkaian relasi
indrawi, dan pikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu
itu.
Teori tentang konsep, hukum ilmiah,
dan kausalitas pada positivism kritis ini berbeda pada positivism tradisional.
Menurut Mach, konsep merupakan abstraksi selektif atas sejumlah fakta yang
pemilihannya lebih didomminasi oleh yang biologic. Oleh karena minat orang satu
berbeda dengan orang lain, maka konsep yang terbentuk pun menjadi berbeda.
Di bawah naungan positivisme,
ditetapkan bahwa, objek ilmu pengetahuan maupun pernyatan-pernyataan ilmu
pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat: dapat di/ter-amati(observable),
dapat di/ter-ulang(repetable), dapat di/ter-ukur(measurable),
dapat di/ ter-uji(testable) dan dapat di/ter-ramalkan(predictable).
Syarat tersebut pada bagian 1 sampai 3 merupakan syarat-syarat yang
diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan dua syarat terakhir
diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat itulah, maka
paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional dan
kuantitatif.
B.Sarana Berfikir Induktif; Logika
dan Statistika
Logika induktif adalah system
penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal
khusus sampai pada suatu kesismpulan umum yang bersifat boleh-jadi., logika ini
sering disebut logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang
bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya
hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulannya itu tidak ada bukti
yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar, dan tidak dapat dikatakan pasti.
1.Pola Induksi Ilmiah
Logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu
dapat ditarik kesimpulan, dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah.
Missal: jika selama bulan juli dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu
turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan juli tahun ini juga akan
turun hujan.
Penalara induktif dalam proses
penalaran dapatlah disusun sebagai berikut:
a.Observasi dan Eksperimen. langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus, metode
khusus yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi haru
dikerjakan seteliti mungkin dan observasi pendahuluan hanya sekedar bersifat
penjajakan untuk membatasi persoalannya, sedangka eksperimentasi terjadi untuk
membuat atau mengganti objek atau hal-hal yang harus dipelajari.
b.Hipotesis Ilmiah. Langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesa. Hipotesa
ialah suatu ndalil sementara yang diajuka berdasarkan pengetahuan yangterkumpul
sebagai petunjuk bagi penelitian lebih besar. Hipotesis ilmiah harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1.Hipotesis harus dapat di uji
kebenarannya.
2.Hipotesis harus terbuka dan dapat
meramalkan bagi pengembangan konsekkuensinya.
3.hipotesis harus runtut dengsn
dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang sudah dianggap benar.
4.Hipotesis harus dapat menjelaskan
fakta-fakta yang dipersoalkan.
c.Verifikasi dan Pengukuhan. Langkah ketiga dalam penalaran induktif ialah mengadakan
verivikasi yaitu membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya,
ini juga mencangkup generalisasi, untuk menemukan hokum atau dalil umum
sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.
d.Teori dan Hukum Ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk
sampai pada hukum ilmiah. Suatu hipotesis dapat dipandang sebagai
yang paling awal atau paling rendah di dalam urutan-urutan derajatnya. Bila
bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu dapat
memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling
berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang
diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hukum
ilmiah.
No comments:
Post a Comment