Monday, August 6, 2012

Positivisme



BAB I
PENDAHULUAN
Penulis : Rahmad f

Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam beberapa literatur ia sering disamakan dengan kerangka teori (theoretical framework). Sebenarnya paradigma lebih umum dan lebih abstrak karena ia merupakan kerangka logis dari teori. Sehingga satu paradigma bisa melingkupi beberapa teori. Meski demikian, paradigm ilmu lahir dari
akumulasi teori-teori yang saling mendukung dan saling menyempurnakan, serta menjadi satu kebulatan dan sebuah konsistensi yang “utuh”, sebaliknya dari satu paradigma ilmu dapat dilahirkan teori-teori baru, berdasarkan temuan-temuan dari para ilmuan.
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmiwan dalam menemukan ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Paradigma ilmu itu adalah: positivisme, post-positivisme, critical theory, dan  konstructivism. Perbedaan kempat paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka dalam memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologism, epistemologis, dan metodologis. Namun dalam hal ini kami hanya akan membahas tentang positivisme yang banyak mempengaruhi lahirnya dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Berfikir merupakan cirri utama bagi manusia, untuk membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan dasar berfikir ini, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa untuk mencapai keindahan dan kehendak untuk mencapai kebaikan. Berfikir banyak sekali macamnya, namun berfikir yang akan dibahas di sini ialah berfikir ilmiah dan khusus tentang sarananya, yaitu sarana ilmiah. Sarana ilmiah pada dasarnya ada tiga, yakni: bahasa ilmiah, logika dan matematika, serta logika dan statistika.
Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai perananpenting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum. Dalam pembahasan kali ini kami juga hanya akan terfokus pada sarana berfikir induktif yaitu logika dan statistika.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berasal dari paham ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas ada(exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam(natural laws).
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon(sekitar 1825). Prinsip positivisme dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis bacon (1600). Tesis positivisme adalah: ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Atas kesuksesan teknologi industry abad  XVIII positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang ethika, politik dan juga agama sebagai disiplin ilmu. Tentu menjadi ethika, politik dan agama yang positivistic.
Dalam perkembangannya ada tiga positivism, yaitu: positivism social, positivisme evolusioner, dan positivism kritis.
1.Positivisme Sosial
August Comte dan Jhon Stuart Mill merupakan tokoh-tokoh utama positivisme social. Sedangkan para perintisnya adalah Saint Simon dan penulis-penulis sosialistik dan utilitarian; yang karya-karyanya juga dekat tokoh besar dalam ekonomi: Thomas Malthus dan david Ricardo.
a.Positivistik August Comte
Filsafat positivistic Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam fikir manusia, yaitu: teologik, metafisik dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan. Jenjang teologik ini dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu: tahap animisme, tahap monotheisme, dan tahap polytheisme. Sedang pada jenjang metafisik, penjelasan mengenai sesuatu didasarkan atas pengertian-pengertian metafisik, seperti subtansi, form, sebab, dan lainnya.Pada jenjang positif, alam fikir manusia mengadakan pencarian terhadap ilmu absolute, mencari kemauan terakhir atau sebab pertama. Ilmu yang pertama menurut Comte adalah astronomi, lalu phisika, kimia, dan akhirnya phisiologo (biologi).
b.Metodologi A. Comte
Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi. Kita mengobservasi fakta dan kalimat yang penuh teotologi hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua , suatu proses regular phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu lain tertentu. Komparasi, untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.
Objek positif sebagaimana yang dimaksud Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi, yaitu: “yang nyata” dan “yang khayal”;”yang pasti” dan “yang meragukan”; “yang tepat” dan “yang kabur”; “yang berguna” dan “yang sia-sia”; serta”yang mengklaim memiliki kesahihan relatif” dan “yang mengklaim memiliki kesahihan mutlak”. Dari beberapa patokan”yang factual” ini, positivisme meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang fakta obyektif. Jika faktanya adalah “gejala kehidupan material” ilmu pengetahuanya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati” ilmu pengetahuannya adalah fisika.
c.Sosiologi A. Comte
Dengan memberikan penekanan pada aspek metodologi, positivism beranggapan bahwa ilmu-ilmu menganut tiga prinsip: bersifat empiris – obyektif, deduktif – nomologis, dan instrumental – bebas nilai. Ketiga prinsip tersebut tidak hanya berlaku pada ilmu alam, tetapi juga berlaku pada ilmu social (sosiologi).
Berkaitan dengan ilmu-ilmu social ini, asumsi-asumsi positivistis tersebut berkonsekuensi tiga hal sebagai berikut: pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu social. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk “hukum-hukum” seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu soaial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni.
Sebagai bapak sosiolog, Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan physique social (fisika sosisl) dari Quetelet. Comte membedakan antara social static dan social dynamics. Pembedaan tersebut hanyalah untuk tujuan analisis. Keduanya menganalisis fakta social yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda, yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah tentang perubahan-perubahan jenjang tersebut.
2.Positivisme Evolusioner
Positivisme evolusioner berangkat dari phisika dan biologi. Digunakan doktrin evolusi biologic.
a.Hebert Spencer
Konsep evolusi Spencer diilhami konsep evolusi biologic. Dalam konsepnya, evolusi merupakan proses dari sederhana ke kompleks. Pengetahuan manusia menurut Spencer terbatas pada kawasan phenomena. Agama yang otentik mengungkapa kawasan yang penuh misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal yang mana yang phenomena tunduk kepada yang misteri. Sebagai perintis sosiologi, Spencer berpendapat bahwa sosiologi merupakan disiplin ilmu teoretik yang mendeskripsikan perkembangan masyarakat manusia.
3.Positivisme kritis
a.Mach dan Avenarius
Bagi Mach dan Avenarius, fakta (sebagaimana positivist lain memandang), menjadi satu-satunya unsur untuk membangun realitas. Realitas bagi keduanya adalah sejumlah rangkaian hubungan beragam hal indrawi yang relative stabil. Unsur hal yang indrawi itu dapat fisik dan pula psikis. Dengan demikian sesuatu itu adalah serangkaian relasi indrawi, dan pikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu itu.
Teori tentang konsep, hukum ilmiah, dan kausalitas pada positivism kritis ini berbeda pada positivism tradisional. Menurut Mach, konsep merupakan abstraksi selektif atas sejumlah fakta yang pemilihannya lebih didomminasi oleh yang biologic. Oleh karena minat orang satu berbeda dengan orang lain, maka konsep yang terbentuk pun menjadi berbeda.
Di bawah naungan positivisme, ditetapkan bahwa, objek ilmu pengetahuan maupun pernyatan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat: dapat di/ter-amati(observable), dapat di/ter-ulang(repetable), dapat di/ter-ukur(measurable), dapat di/ ter-uji(testable) dan dapat di/ter-ramalkan(predictable). Syarat tersebut pada bagian 1 sampai 3 merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional dan kuantitatif.
B.Sarana Berfikir Induktif; Logika dan Statistika
Logika induktif adalah system penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesismpulan umum yang bersifat boleh-jadi., logika ini sering disebut logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulannya itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar, dan tidak dapat dikatakan pasti.
1.Pola Induksi Ilmiah
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik kesimpulan, dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Missal: jika selama bulan juli dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan juli tahun ini juga akan turun hujan.
Penalara induktif dalam proses penalaran dapatlah disusun sebagai berikut:
a.Observasi dan Eksperimen. langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus, metode khusus yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi haru dikerjakan seteliti mungkin dan observasi pendahuluan hanya sekedar bersifat penjajakan untuk membatasi persoalannya, sedangka eksperimentasi terjadi untuk membuat atau mengganti objek atau hal-hal yang harus dipelajari.
b.Hipotesis Ilmiah. Langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesa. Hipotesa ialah suatu ndalil sementara yang diajuka berdasarkan pengetahuan yangterkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih besar. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.Hipotesis harus dapat di uji kebenarannya.
2.Hipotesis harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekkuensinya.
3.hipotesis harus runtut dengsn dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang sudah dianggap benar.
4.Hipotesis harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan.
c.Verifikasi dan Pengukuhan. Langkah ketiga dalam penalaran induktif ialah mengadakan verivikasi yaitu membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya, ini juga mencangkup generalisasi, untuk menemukan hokum atau dalil umum sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.
d.Teori dan Hukum Ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Suatu hipotesis dapat dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam urutan-urutan derajatnya. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hukum ilmiah.






     
    

No comments:

Post a Comment

Post Terbaru

  الطريقة   المادة الترتيب (أقوم أمام الباب قائلا)   إلقاء السّلام ...