Penulis : Rahmad F
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Nourouzzaman
Syidiqi dalam bukunya Sejarah Modern, Mesir, Syiria, Afrika Utara, dan Arabia,
sejarah umat islam dapat dibagi dalam tiga babakan.[1]
Babakan pertaama adalah periode klasik yang dimuai sejak lahirnya Islam sampai
runtuhnya dinasti Abbasiyah pada tahun 1258. Cirri periode ini adalah seluruh
wilayah Negara diperintah oleh seorang khalifah baik yang mempunyai wewenang
dan kedudukan maupun hanya sekedar symbol saja. Kedua adalah periode
pertengahan
yang dimulaidari runtuhnya dinasti Abbasiyah hingga penghujung abad XVIII. Periode ketiga adalah periode modern, periode ini diwarnai oleh kebangkitan nasionalisme dan cengkraman kuku penjajah barat yang berakhir sampai perang dunia kedua.
yang dimulaidari runtuhnya dinasti Abbasiyah hingga penghujung abad XVIII. Periode ketiga adalah periode modern, periode ini diwarnai oleh kebangkitan nasionalisme dan cengkraman kuku penjajah barat yang berakhir sampai perang dunia kedua.
Mesir merupakan salah
satu pusat peradaban Islam yang sangat termasyur dibidang ilmu pengetahuan dan
pergerakan, dimana para pemikir dan cendikiawan yang lahir dan tumbuh besar
disini, sehingga pemikiran dan ideology yang dibangun oleh mereka membawa pengaruh yang sangat besar dalam membangun
peradaban di kota mesir dan dunia islam.
Mesir dibangun oleh
Jauhar Al-siqili, panglima perang dinasti Fatimiyah yang beraliran syiah. Kota
ini dibangun sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Wilayah kekuasaan dinasti
Fatimiyah meliputi Afrika Utara, Sicilia dan Syiria. Berdirinya kota kairo
sebagai ibu kota kerajaan dinasti ini membuat bagdad mendapat saingan. Kota
yang terletak ditepi sungai nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu
pada masa dinasti Fatimiyah, dimasa Shalahuddin Al-Ayyubi dan dibawah Baybars
dan Al-nasir pada masa dinasti Mamalik.
Dalam pembahasan kali
ini, kami akan memaparkan sejarah perkembangan mesir serta peradaban yangbtelah
dibangun dari masa kemasa, yaitu dari pertengahan abad kedelapan belas sampai
pasca perang dunia pertama, yang meliputi: kerajaan besar Ottoman di Timur
Dekat, ekspedisi Prancis ke Mesir, westernisasi dan lahirnya nasionalisme,
reanisanse bangsa Mesir dan bangsa Mesir pasca perang dunia pertama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah Dan Perkembangan Mesir
Kota kairo dibangun
pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fatimiyah yang
beraliran sti’ah, Jawhar Al-Siqili, atas perintah khalifah Fatimiyah, Al-Mu’izz
Lidinillah(953-9750, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Bentuk kota ini hamper
merupakan segi empat. Disekelilingnya dibangun tembok besar dan tinggi, yang
sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini memanjang dari
masjid Ibn Thulun sampai ke Qal’at Al- Jabal, mamanjang dari jabal Al-muqattam
sampai ke sungai Nil. Daerah-daerah yang dilalui oleh dinding ini sekarang
disebut al-husainiyah, Bab al-Luk, Syibra dan Ahya Bulaq.[2]
Setelah pembangunan
koya kairo selesai lengkap dengan istananya, Al-Siqili mendirikan Masjid
Al-Azhar, 17 Ramadhan 359 H (970 M). masjid ini berkembang menjadi sebuah
universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Azhar
diambil dari al-zahra’, julukan Fatimah, puteri Nabi Muhammad saw dan istri Ali
ibn Abi Thalib, Imam pertama syi’ah.
Kota yang terletak
ditepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa
dinasti Fatimiyah, masa Shalah-Al-Din Al-Ayyubi dan dibawah Baybars dan
Al-Nasir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fatimiyah dimulai dengan Al-Mu’izz
dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, Al-aziz. Al- Rasyid di Bagdad. Selama pemerintahan Mu’izz
dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.
Al-Mu’izz melaksanakan
tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi,
pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama (juga aliran). Dalam bidang
administrasi, ia manganagkat wazir (menteri)untuk melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia member gaji khusus kepada tentara,
personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.[3]
Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab
Syi’ah dan dua untuk mazhab Sunni. Al-Aziz kemudian mengadakan program baru
dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan dank anal-kanal baru.
Pada pemerintaha
Al-Hakim(996-1021 M), mendirikan Bait al- Hikmah, terinspirasi dari lembaga
yang sama yang didirikan oleh Al-Makmun di Bagdaad. Lembaga ini merupakan
puasat kajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran islam terutama Syi’ah.
Pada masa-masa
selanjutnya, dinasti Fatimiyahmulai mendapat gangguan-gangguan politik. Dinasti
Fatimiyah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Shalah
Al-Din, seorang pahlawan terkenal dalam perang salib. Ia tetap mempertahankan
lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan
oleh dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaan dari Syi’ah kepada
Sunni. Ia juga mendirikan lembaga baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan
tempat belajar teologi dan hokum.
Kekuasaan dinasti
Ayyubiyah di mesir diambil alih oleh dinasti Mamalik. Dinasti ini mampu
mempertahankan pusat kekuasaannya dari serangan bangsa Mongol dan mengalahkan
tentara mongol dibawah pimpinan Baybars (1260-1277 M). ia juga seorang pahlawan
islam dalam perang salib dan pendiri dinasti ini. Baybars memugar
bangunan-bangunan kota, merenovasi Al-Azhar, dan pada tahun 1261 M mengundang
keturunan Abasiyah untuk melanjutkan khilafahnya di Kairo. Pada tahun 1517 M,
dinasti ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani yang berpusat di Turki dan sejak
itu Kairo hanya menjadi ibu kota provinsi dari kerajaan Usmani tersebut.
B. Mesir; Pertengahan
Abad Kedelapan Belas Sampai Pasca Perang Dunia Pertama.
1.Negara Besar Ottoman
Di Timur Dekat
Pada akhir abad ke
tujuh belas dan selama masa abad ke 18, reputasi orang-orang Turki Ottoman
berkurang secara drastic dan Pasha di Mesir tidak dapat mengontrol
masalah-masalah dalam negeri negaranaya itu. Dia digangu pemimpin-pemimpin
pasukan tetap turki, sebagian dari para Janissari dan oleh pemimpin mamluk di
mesir yang kekuatannya berkembang secara berangsur-angsur.
Di akhir abad ke
delapan belas, dua orang tokoh penting muncul di dalam lapangan politik bangsa
mesir. Yang pertama ialah Ali Bey al-Kabir, pada mulanya merupakan seorang
Kristen berasal dari Georgia. Dengan bantuan hambanya, Muhammad Bey (Abu al-dahab)
Ali Bey bias menindas lawan-lawannya, memasuki kairo, memaksakan kekuasaannya
dan memulihkan peraturan-peraturan dan perdamaian.
Pemerintahan Ali Bey
merupakan periode yang berarti dalam sejarah bangsa mesir, sebuah periode
ketika kekacauan dan ketidakteraturan menguasai. Hal ini memberi kesempatan
baik baginya untuk mengembalikan besar mamluk dengan mengorbankan kemunduran
Negara besar ottoman. Ali bey dikalahkan dan dilukai oleh hambanya sendiri, Abu
Dahab, kepadanya sultan Ottoman bias mendapatkan pihaknya.
Abu dahab memerintah
mesir hanya dalam waktu yang singkat (1772-1775 M). kedudukan sultan Ottoman
yang lemah member unsure-unsur lawan di mesir suatu kesempatan untuk mengambil
lagi kekuasaan mereka. Kematian Abu Dahab member kesempatan kepada
penguasa-penguasa mamluk seperti Ibrahi Bey untuk menjalankan kekuasaannya,
namun mereka melanjutkanuntuk memerintah Mesir sampai Mesir diserbu oleh
Bonaparte pada bulan juli 1798 m.
2.Ekspidisi Perancis ke
Mesir
Ekspedisi Perancis ke
Mesir merupakan serangkaian rencana yang sudah lama dipertimbangkan atau
dipikirkan oleh perancis. Hal ini bias dikembalikan kepada masa pemerintahan
Louis XIV, yang pertama kali memikirkan tentang penyerbuan ke Mesir dan untuk
menghubungkan laut merah dan laut tengah, dengan begitu Perancis akan bisa
memperluas kemenangan mereka ke arah barat.[4]
Dengan dalih menghukum
penguasa-penguasa mamluk yang sudah berlaku sewenang-wenang, Napoleon Bonaparte
mendarat di Alexandria pada tanggal 2 juni 1789 dan keesokan harinya kota
pelabuhan ini jatuh. Kota Rasyid menyusul beberapa hari kemudian. Pada tanggal
22 juli napoleon telah dapat menguasai Mesir.
Untuk menarik simpati
penduduk pribumi Mesir, Bonaparte memilih 10 orang, sebagian besar dari
al-azhar, untuk membentuk sebuah dewan, dengan rector al-azhar, Sheikh Abdullah
Sharqawi sebagai pemimpin mereka.[5]
Bonaparte juga mendirikan “institute d’Egypte” agar para ahli dari perancis
bias mamberikan petunjuk mengenai teknik. Bonaparte mengadakan peringatan
maulid nabi dan mengadakan diskusi dengan para sarjana tentang masalah-masalah
islam. Tetapi ia gagal mendapatkan simpati dari orang-orang mesir yang
memandangnya sebagai orang kafir.
Perlawanan orang-orang
Mesir dan Ustmani maupun inetervensi Inggris menghalang-halangi pendudukan
perancis. Pada bulan agustus 1798 armada Inggris dapat mangalahkan armada
Perancis dalam pertempuran di Abuqir dekat Iskandaria. Kemenangan Inggris
mendorong orang-orang Ustmani untuk bersikap memusuhi Perancis.
Usaha Bonaparte untuk
menguasai daerah-daerah lainnya di Timur
Tengah tidak berhasil, sementara itu perkembangan politik di Peranvis
menghendaki kehadirannya di Paris.[6]
Pada tanggal 18 agustus 1798 ia meninggalkan Mesir kembali ketanah airnya. Dan
ekspedisi Bonaparte ke Mesir berakhir pada tanggal 31 agustus 1801 M.
Ekspedisi Perancis yang
dipimpin oleh Napoleon Bonaparte yang dimulai tahun 1798 ini tidak hanya
terdiri dari pasukan tempur tetapi juga diikuti oleh sejumlah sarjana di
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam rombongannya terdapat sekitar 500 kaum
sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa dua set alat percetakan dengan
huruf latin, arab dan yunani. Dengan demikian kedatangan mereka bukan hanya
untuk kepentingan militer tetapiu juga untuk kepentingan ilmiah. Institute
d’Egypte yang dibangun Bonaparte mempunyai empat bagian, yaitu: bagian ilmu
pasti, bagian ilmu alam, bagian ekonomi-politik
dan bagian sastra-seni.
Ekspedisi Napoleon ke
Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu:
a.
System pemerintahan
republic yang didalamnya kepala Negara yang dipilih untuk waktu tertentu,
tunduk kepada undang-undangdasar dan bias dijatuhkan oleh parlemen.
b.
Ide persamaan(egalite)
artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam pemerintahan.
c.
Ide kebangsaan. Umat
islam waktu itu adalah seluruh umat islam, yaitu bahwa tiap orang islam adalah
saudara, mereka tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.
3.Renaissance Bangsa Mesir
Pada pertengahan
pertama abad ke-19 sejarah mesir dibuat oleh Muhammad Ali yang lahir bulan
januari 1769 di kavala-Albania dekat pantai Macedonia. Dialah pendiri dinasti
Mesir yang keturunannya memerintah Mesir sampai tahun 1952. Selama masa
pemerintahan Muhammad Ali, hubungan interaksi antara Mesir dan eropa berkembang
khususnya dalam bidang ekonomi.
Muhammad Ali Pasya
membuka pintu mesir lebar-lebar untuk dimasuki kebudayaan barat. Angkatan
bersenjata dimodernisasikan, pasukan Albania yang dinilai lebih loyal kepada
usmani dibubarkan tahun 1816 dan kemudian dibentuk pasukan baru yang lebih
modern dengan pelitih colonel Stiev (orang Perancis yang telah masuk islam
bernama Sulaiman Pasya).
masa pemerintahan Ismail (1863-1879)
renaissance mengenai sastra di Mesir memasuki masanya yang paling berhasil. Ini
disebabkan beberapa factor, termasuk perhatian istimewa dari sekolah-sekolah
seperti dar Ulum (kampong ilmu pengetahuan) dalam pengajaran bahasa arab.
Renaissance Mesir ini
pada jaman pemerintahan Ismail tidak hanya disebabkan oleh sekolah-sekolah tetapi
juga disebabkan oleh keinginnannya untuk membuat Mesir sebagai bagian dari
eropa. Dia menggunakan uang dengan boros, dan ini disebabkan oleh inisiatifnya
agar cabang dari beberapa bank asing dan urusan prdagangan didirikan di Mesir.
Kerena Ismail memasukkan Negara kedalam hutang, pengaruh asing berkembang pesat
di Mesir, dan menjadi bahan pembicaraan untuk menyerangnya melalui pers.
Seorang pemimpin dan pembaharu besar, jamaludin al-Afgani, mendorong
pemberontakan melawan kekuasaan asing dan mengarahkan serangannya kepada Ismail
melalui pers dalam mempertahankan hak-hak bangsa Mesir. Para pemimpin bangsa
Mesir menyalakan api nasionalisme di dalam jiwa rakyat, menggunakan surat
kabar-surat kabar nasional seperti surat kabar(the mirror, the east/ mir’ap, al-Sharq),
diterbitkan oleh Ibrahim al-Laqqan.
4.Mesir Pasca Perang
Dunia Pertama
Akhir perang dunia
pertama mendatangkan revival semangat nasionalistik di Mesir yang mencapai
titik ulminasi dalam sebuah revolusi tahun 1919. Revolusi ini bertujuan u8ntuk
mendapatkan independen Negara Mesir dan pembentukan lembaga konstitusional
pemerintah.
Melalui dekelarasi
tanggal 28 febuari Ingris memberikan kemerdekaan kepada Mesir dan segera
setelah ini Mesir diperbolehkan memasuki liga bangsa-bangsa. Namun demikian, disana
masih ada empat buah tuntutan syarat tak terbatas dalam deklarasi: sudan,
konsesi-konsesi asingdi Mesir, semuanya ini menjadi penghalang bagi kemajuan
Negara. Konstitusi baru tahun 1924 tidak memenuhi(menepati) pengharapan dan
aspirasi-aspirasi Bangsa mesir, karena tidak mengambil tindakan pemerintahan
demokrasi lebih dahulu.
Alngkah baiknya dalam
hal ini menunjukkan bermacam-macam tahapan kamajuan-kemajuan konstitusional:
1.
ini Bembentukan dewan
nasional(al-diwan al-wathani) di kairo dan Cabang-cabang provinsi, perancis dan
Mesir di dalam dewan ini bekerja bersama-sama dengan kekuatan yang nyata
bersandar kepada kekuasaan perancis.
2.
Aspirasi-aspirasi
bangsa Mesir untuk memperoleh pemerintahan sendiri mewujudkan dirinya dalam
sebuah peranan dimainkan oleh pemuka religious dan pegawai-pegawai pilihan.
3.
Bermacam-macam dewan
penasehat didirikan oleh Muhammad Ali dan sebagian kecil dimainkan oleh
dewan-dewan ini dalam mengarahkan permasalahan-permasalahan Negara.
4.
Pergerakan-pergerakan
konstitusional yang bersifat tambahan selama masa pemerintahan Ismail
a.Sistem kabinet dan
tanggung jawab kementerian cabinet yang prinsipil menjadi realita.
b.bermacam-macam dewan
dan majelis didirikan selama masa pemerintahan.
Pada
tanggal 2 oktober 1952, dewan produksi nasional didirikan dengan tujuan
memajukan kekayaan nasional dan menambah produktivitas dalam lapangan pertanian
dan perdagangan, pengawasan pajak dan pelaksanaan proyek-proyek itu.
Diantara
aspek-aspek kemajuan di Mesir Modern, bias disebutkan yaitu perkembangan
perhatian pendidikan kaum wanita, aktivitas-aktivitas social penganut
perjuangan kaum wanita, pusat-pusat social, undang-undang reformasi tanah,
eksploitasi sumber-sumber alam dan dewan nasional.
Itulah
hasil-hasil yang telah dicapai Mesir dalam membangun sebuah peradaban. Bangsa
mesir memang telah maju dan menjadi pusat peradaban islam yang telah dikenal
dunia. Ilmu pengetahuan mendapatkan lahan yang subur di Mesir, sehingga banyak
para ilmuan yang pergi merantau ke Mesir untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di
kota ini juga banyak pergerakan-pergerakan yang mempengaruhi dunia islam untuk
membebaskan diri dari cengkraman penjajah eropa seperti Inggris dan Perancis.
BAB III
PENUTUP
C.Kesimpulan
Kota kairo dibangun
pada tanggal 17 sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fatimiyah yang
beraliran syi’ah, Jauhar Al-Siqili, atas perintah khalifah Fatimiyah, Al-Mu’izz
Lidinillah.
Kota yang terletak di
tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti
Fatimiyah, di masa Shalah Ad-Din Al-Ayyubi dan di bawah Baybars dan Al-Nasir
pada masa dinasti Mamluk.
Kondisi Mesir dari
pertengahan abad ke-18 sampai pasca perang dunia pertama banyak mengalami
perubahan baik di bidang ekonomi, politik, social dan budaya. Perubahan
tersebut terjadi sejak berkuasanya Bangsa Ottoman sampai renaissance bangsa
eropa ke Mesir.
Di akhir abad ke-18
muncul tokoh penting di dalam lapangan politik bangsa Mesir, Ali Bey.
Pemerintahan Ali bey merupakan periode yang berarti dalam sejarah Mesir, sebuah
periode ketika kekacauan dan ketidak tentraman menguasai.
Ekspedisi bangsa
Perancis ke Mesir yang di pimpin oleh Napoleon Bonaparte banyak menghasilkan
ide-ide baru dalam membangun peradaban di Mesir. Ide tersebut ialah: system
pemerintahan republik yang di dalamnya kepala Negara yang dipilih untuk waktu
tertentu, tunduk kepada undang-undang dan dapat dijatuhkan oleh parlemen; ide
persamaan artinya persamaan keduddukan dan turut sertanya rakyat dalam
pemerintahan; ide kebangsaan.
Akhir perang dunia
pertama mendatangkan revival semangat nasionalisme di Mesir yang mencapai titik
kulminasi dalam sebuah revolusi tahun 1919. Revolusi ini bertujuan untuk
mendapatkan independen Negara Mesir dan pembentukan konstitusional pemerintah.
Tahapan kemajuan
konstitusional di Mesir sebagai berikut: pembentukan dewan nasional,
aspirasi-aspirasi bangsa mesir memperoleh pemerintahan sendiri mewujudkan
dirinya dalam sebuah peranan yang dimainkan oleh pemuka religius, didirikannya
bermacam-macam dewan penasehan, pergerakan-pegerakan konstitusional yang
bersifat tambahan, dalam revolusi nasional mempunyai dua tujuan penting ;
Independen dan konstitusi.
Diantara aspek-aspek kemajuan di mesir
modern, bisa disebutkan yaitu perkembangan perhatian pendidikan kaum wanita,
aktifitas-aktivfitas social penganut perjuangan kaum wanita, pusat-pusat
social, undang-undang revormasi tanah, eksploitasi sumber-sumber alam dan dewan
nasional.
DAFTAR PUSTAK
[1]
Nourouzzaman shiddiqi, Sejarah modern, Mesir, Syiria, Afika Utara dan Arabia
(Yogyakarta: Matahari Masa, 1980),
hlm.1.
[2]
A.Mukti Ali dkk. (Ed), Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid 2, (Jakarta:
departemen Agama RI, 1998), hlm.464.
[3]
Philip K. Hitti, op.cit, hlm.114.
[4] Siti
Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam,(Yogyakarta: LESFI,2002), hlm.299.
[5] Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Yogyakarta: Kota Kembang,1997),
hlm.352.
[6]
Nasution,Pembaharuan Dalam Islam, hlm.30.
No comments:
Post a Comment