PENDAHULUAN
Penulis : Rahmad f
Penulis : Rahmad f
Rasionalisme
adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting dalam memperoleh pengetahuan. Jika empirisisme mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam
berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah kaidah logika.
Rasionalisme
ada dua macam : dalam bidang agama dan dalam bidangfilsafat. Dalam bidang agama
rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme adalah
lawan empirisisme.
Rasionalisme
dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkeritik ajaran agama,
rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan.
Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian
penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contohnya yang paling jelas
ialah pemahan tentang logika dan matemetika.
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam
filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan
tokoh-tokoh penentangnya (Scorates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa
tokoh sesudah itu. (lihat Runes,1971:275). Pada zaman modern filsafat,
tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes yang akan dibicarakan dalam makalah
ini.
Di
dalam makalah ini rasionalisme dilihat sebagai reaksi terhadap dominasi gereja
pada Abad pertengahan Kristen dibarat sebagaimana nanti dapat dilihat, pada
konteks itulah kepentingan Descartes dibicarakan agak panjang disini. Descartes
lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya : kebereaniannya melepaskan
diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan.
Rasionalisme
Rene Descartes (1596-1650)
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal
dunia pada tahun 1650. bukunya yang terpenting di dalam filsafat murni ialah Discours
de la Methode (1637) dan Meditations (1642). Kedua buku ini salaing
melengkapi satu sama lain. Di dalam kedua buku ini ia menuangkan metodenya yang
terkenal itu, metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Metode ini
sering juga disebut , Cogito Descartes, atau metode cogito saja.
Ia
mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat
haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh gereja waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat
haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligem dari
Anselmus itu. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah dengan akal,
ia menyusun argumentasi yang amat
terkenal. Argumentasi itu tertuang, tertuang dalam metode cogito tersebut.
Untuk
menenmukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu)
segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang
dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. inilah langkah
pertama cogito tersebut. Dua meragukan adanya badannya sendiri. Keraguaan itu
menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada
pengalaman roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keadaan
itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang
sesungguhnya. Didalam mimpi itu seseorang seolah-seolah seseorang mengalami
sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu
pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada batas
yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, “Aku
dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi keluar:
ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis seperti
itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang
jelas tegas antara mimpi (sedang mimpi) dan jaga. Tatkala mimpi, rasa-rasanya
seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan
sebagai jaga ini) sebagai mana kita alami adalah kejadian-kejadian yang
sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan
jaga : demikian yang dimaksud oleh Descartes.
Perhatikan
kutipan berikut ini (yang diambil dari koran Pikiran Rakyat 17 Desember
1981).
Kejadian aneh menimpa CHR (30),
penduduk RK III, Desa kerapyak, semarang barat, Jawa Tengah, ketika semalam
suntuk tidur bersama roh halus disebuah perkuburan. Sampai cerita ini ditulis
CHR masih termenung-menung dan tak bisa bicara lancar. Dalam keterangannya
kepada PR, isteri CHR mengatakan Senin malam yang lalu dilapangan Tugu ada
pertunjukan “Malam Qasidah” yang ramai. Pasangan suami-sitri itu sepakat akan
menonton sampai puas, tetapi karena masih menunggu tamu dan menyelesaikan
pekerjaan, maka sang istri disuruh pergi duluan. Cuma sekitar satu jam kemudian
CHR pergi ketempat pertujukan untuk menjemput sang istri, tetapi karena suasana
begitu ramai, agak sulit mencarinya. Mendadak di sebuah pojok Puskesmas ada
suara memanggil persis seperti suara istrinya: “Mas saya disini...” begitu
menoleh, CHR mengenali wajah orang itu adalah istrinya sendiri, hanya saja
pakaiannya bebau serba wangi. “Baumu begitu wangi, ada apa?” tanya CHR
yang segera dijawab “Memang, saya pakai kembang semboja.” Tanpa banyak cingcong akhirnya CHR mengikuti
kemana saja wanita itu pergi menonton. Bahkan sampai pulang dengan menumpang
kendaraan umum Daihatsu juga bersama-sama. CHR merasa sudah sampai dirumah dan
kemudian tidur bersama wanita yang dikiranya isteri itu sampai pulas. Keesokan
harinya seorang pengembala mendapati sesosok tubuh yang dikiranya sudah mati,
di Nisan kuno. Ternyata setelah dibangunkan masih hidup. Pemuda itu kemudian
menuntunnya pulang karena CHR masih belum bisa bicara. Setelah diberi minum
kopi beberapa gelas dan didatangkan “orang tua” yang cukup sakti, akhirnya baru
bisa bicara sedikit demi sedikit. Pada pokoknya CHR merasa tidur semalam
bersama istrinya yang semalaman juga tidak pulang karena terus-menerus mencari
CHR yang dikiranya menonton sampai akhir pertunjukan. Lebih aneh lagi, keesokan
harinya kernet Daihatsu juga mendatangi CHR dirumah karena uang RP. 150,00 yang
dibayarkan semalam, pagi harimya telah berubah menjadi delapan kuntum bunga
semboja. demikian
Benda-benda
dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: Yang manakah
sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam
mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus, bila dilihat dari
posisi kita sedang jaga , itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu
sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi,
ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kita melihat dan mengalami benda-benda itu;
dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi : adakah beda yang
tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pemikiran dalam metode cogito.
Pada
langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat
diindera. Apa yang sekarang dapat dipercaya, yang sungguh-sungguh ada? Menurut
Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus),
juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu yang muncul, baik
dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah gerak, jumlah, dan
besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita
berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga
macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
Betulkah
yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran)benar-benar ada?lalu Descartes
mengujinya. Kemudian ia pun meragukannya. Yang tiga macam itu adalah
matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah
(angka), salah mengukur (besaran), juga demikan pada gerak. Jadi, ilmu pasti
pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih besar daripada benda, tetapi
saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti diragukan. Kalau
begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi
filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct. Sampailah ia sekarang
kepada langkah ketiga dalam metode cogito.
Masih
ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan
yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun yang mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas
sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct
saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya
bayangan, misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya ragu”
benar-benar tidak dapat diragukan adanya.
Aku
yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku
berfikir pasti ada dan benar. Jika aku
berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito
ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes itu dapat
diringkaskan sebagai berikut :
![]() |
Gerak,
jumlah, besaran (ilmu pasti ) tidak ada
|
![]() ![]() |
Saya
sedang ragu, ada
|
![]() ![]() ![]() |
Saya
ragu karena saya berpikir
|
![]() ![]() ![]() |
Jadi,
saya berpikir ada
|
1 2 3 4 5

Descartes
memulai filsafat dari metode. Metode keraguan itu bukanlah tujuannya. Tujuan
metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan. Sebaliknya, metode ini
bergerak dari keraguan menuju kepastian. Keraguan Descartes hanya ditujukan
untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang
tidak dapat diragukan. Ia sendiri tidak pernah meragukan bahwa ia mampu untuk
menemukan keyakinan yang berada dibalik keraguan itu. dan menggunakannya untuk
membuktikan suatu kepastian dibalik sesuatu. Keyakinan itu begitu jelas dan
pasti, clear and distinct, dan menghasilkan keyakinan yang sempurna.
Spinoza merujuk kepada ide ini dan memberinya nama adequate ideas,
sementara Leibniz merujuk juga dan memberinya sebutan truths reason
(Solomon, 1981:99).
Dalam
metode ini berjalan suatu deduksi yang tegas. Bila Descartes telah menemukan
suatu idea yang distinct, maka ia dapat menggunakannya sebagai premise
yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga distinct
seluruh proses penyimpulan itu terlepas dari empiris; keseluruhannya merupakan
proses rasional.
Setelah
pondasi itu ditemukan, mulailah ia mendirikan bangunan filsafat diatasnya. Akal
itulah basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat.
Inilah
titik awal kemenangan akal atas iman (hati) pada zaman modern. Ia merupakan
reaksi keras terhadap dominasi iman (hati) pada abad pertengahan. Cara ini
kemudian diikuti oleh filosof-filosf zaman itu. Laksana bendungan yang jebol,
dalam waktu yang relatif singkat sekali pemikir yang muncul dalam persentase
yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan filosof abad pertengahan. Akal
telah menang terhadap dominasi iman. Akankah tragedi Yunani terulang kembali?
Kemenangan
akal pada ronde ini telah menyebabkan tragedi Yunani terulang kembali: kaidah
sains menjadi guncang, ajaran iman menjadi goyah. Orang meragukan sains dan
agama. Orang kembali bingung. Tidak dapat dihindari, humanisme dan rasionalisme
yang dikembangkan oleh Descartes telah menimbulkan subjektivitisme dan
relativisme, persis seperti kebimbangan alam pikiran pada zaman sofisme tempo
hari.
Karena
dibukanya akal oleh Descartes, maka Voltaire telah berani mencanangkan kuasa
akal di Eropa. Oleh spinoza kuasa akal itu diperkuat. Pada Hobbes rasionalisme
itu berkembang menjadi ateisme materialisme yang kental. Jiwa telah dihilngkan
oleh Locke. Berkeley telah meniadakan materi. Pemikiran menjadi tenggelam dalam
puing-puing pemikiran. Tentu orang kebingungan. Akibatnya dapat ditebak, satu
demi satu dogma lama menghilang. Katedral Gotik yang biasanya gemerlap menjadi
tenggelam gelap. Tuhan kuno dari singgahsananya. Alam langit telah turun
derajatnya menjadi sekadar langit, dan neraka serta surga hanya pernyataan
emosi. Sains guncang, agama goyah, kedua-duanya diragukan. Oleh apa? Ya, oleh
dominasi akal.
Hume
memberikan lampu kuning. Katanya, bila akal telah menentang manusia, maka
segera manusia akan menentang akal. Akan tetapi, sebelum Hume kita tinjau lebih
dulu dua tokoh pembelah Descartes; ya, pembela mazhab rasionalisme.
No comments:
Post a Comment