Tasawuf
falsafi atau tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang memadukan visi mistis dan
visi rasional. Tasawuf ini mulai muncul dengan jelas dalam khasanah islam sejak
abad keenam hijriyah, meskipun para tokoh-tokohnya mulai dikenal setelah seabad
kemudian.
Tasawuf ini juga mempunyai bentuk
dan karakteristik yang berbeda dengan tasawuf yang lain terutama tasawuf sunni,
namun juga mempunyai ciri yang hampir sama yaitu memfokuskan dalam dzikir.
Ajaran tasawuf falsafi yang sangat terkenal ada empat bentuk diman antara yang
satu dengan yang lain saling berkaitan, yaitu: al-Fana, al-Ittihad, al-Hulul,
dan al-Wahdat as-Syuhud. Dalam pembahasan nantinya juga akan kami singgung
masalah tasawuf Ibn Arabi, diman ajarannya mempengaruhi ajaran al-Wahdat as-Syuhud
yang dibawa oleh Umar Ibn al-Faridh (w.632h).
Berikut
ini, secara umum akan kami bahas pokok-pokok ajaran para sufi falsafi dan
karakteristik ajaran mereka.
|
PEMBAHASAN
Tasawuf
filosofis ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf sunni, semisal tasawuf al-Ghozali,
tasawuf filosofis menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat,
yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya.
A. Obyek
Tasawuf Filosofis Dan Karakteristiknya
Para pengkaji tasawuf filosofis,
berpendapat bahwa perhatian para penganut aliran ini terutama diarahkan untuk menyusun
teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzawq), yang merupakan titik-tolak
ajaran tasawuf mereka.
Ibn Khaldun dalam karyanya,
al-muqoddimah, menyimpulkan bahwa ada empat obyek utama yang menjadi
perhatian para sufi filosof, yaitu:
a.
Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instrupeksi
diri yang timbul darinya.
b.
Iluminasi ataupun hakekat yang tersingkap dari alam
ghaib, semisal sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian,
ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan
susunan kosmos, terutama tentang penciptanya maupun penciptaannya.
c.
|
Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan.
d.
Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya
sepintas samara-samar (syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan
reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujuinya, atau
menginterprentasikannya.
Adapun
tentang latihan tingkatan (maqom) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa
(dzawq) yang ditimbulkannya, para sufi filosof cenderung sependapat dengan para
sufi sebelumnya. Sebab masalah tersebut, menurut Ibn Khaldun, adalah masalah
yang memang tidak seorang pun menolaknya, segenap rasa (dzawq) para sufi
filosof ini adalah benar, dan akan mengantarnya menuju kebahagiaan hakiki.
|
Mengenai iluminisasi ataupun tersingkapnya hakikat realitas
yang wujud, Ibn Khaldun dalam hal ini mengemukakan bahwa para filusuf tersebut
melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta
menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan zikir. Dengan zikir menurut
keyakinan mereka, jiwa bisa memahami hakekat realitas-realitas tersebut, dan
jika hal itu tercapai, maka yang wujud pun telah terkonsentrasikan dalam
memahami seseorang, yang berarti ia berhasil menyingkap seluruh realitas yang
wujud. Ibn Khaldun berpendapat bahwa iluminasi yang begini, tidak boleh tidak
timbul dari kelurusan jiwa. Kelurusan adalah jiwa seperti halnya cermin yang
rata, akan bisa memantulkan berbagai gambar. Menurutnya, para sufi yang juga
filosof tersebut disamping menaruh perhatian terhadap iluminasi, juga
memperbincangkan realitas-realitas wujud yang atas dan bawah. Namun mereka
menutup mata terhadap tujuan, sebab perbincangan mereka yang terutama adalah
apa-apa yang termasuk dalam ruang lingkup rasa serta intuisi, yang tidak tunduk
di bawah pengamatan atau pembuktian. Kerena itulah, maka orang-orang yang tidak
terlibat dengan mereka tidak mungkin
bisa memahami ucapan-ucapan mereka. Para sufi sengaja menimbulkan teka-teki
dengan meminjam terminologi-terminologi filosofis, yang umumnya tidak
dimengerti kalangan luar, sehingga ucapan mereka sering kali “sulit dimengerti
kaum rasionalis, saking samar dan tertutupnya ungkapan tersebut.” Untuk
memperkuat pendapatnya di atas, Ibn Khaldun selanjutnya mengemukakan pendapat
para sufi filosof ini tentang wujud, antara lain tentang hakekat Muhammad (al-Haqiqah
al-Muhammadiyyah), kesatuan wujud yang mutlak, serta terminologi-terminologi
lain.
Pada
dasarnya Ibn Khaldun menolak pandapat mereka tentang kesatuan wujud.
Menurutnya, pendapat para sufi-filosuf ini timbul dari kekeliruan interpretasi
tentang kefanaan. Kesimpulan ini dapat kita baca dari apa yang ditulis Ibn
Khaldun tentang mereka: mereka, dalam hal ini, benar-benar menghindarkan diri
dari sintesa dan pluralitas. Dan pandangan mereka tantang kesatuan timbul dari
ilusi dan imaginasi mereka saja.
Dari
kutipan ini tampak jelas bahwa Ibn Khalduln, dalam kedudukannya sebagai
penganut sunni, menganggap betapa kelirunya para sufi yang mengatakan kesatuan
wujud. Sebab pendapat tersebut mereka nyatakan hanya berdasarkan keadaan fana
dan perpaduan semata. Ibn Khaldun dalam hal ini jelas seiring dengan al-Ghazali
dan para sufi-sunni lainnya.
|
Mengenai sythahhiyat, yaitu mengenai ungkapan-ungkapan ganjil
para sufi yang juga para filusuf tersebut, Ibn Khaldun berpendapat sebagai
berikut: kata-kata samara, yang mereka ungkapkan dengan nama syathahhiyat, telah
membuat mereka dikecam para fuqoha. Ketahuilah! Sebenarnya mereka itu
orang-orang yang sirna dari perasaannya. Apa yang menimpa mereka begitu
menguasai dirinya, sehingga mereka menuju arah yang tidak mereka niatkan. Orang
yang dalam keadaan sirna (tidak menyadari diri) tidak terkena perintah, dan
orang yang terpaksa pun bisa dimaafkan. Barang siapa diantara mereka merupakan
orang yang terkenal dengan keutamaan dan keteladanannya, maka ungkapannya hendaklah
diinterpretasikan bahwa hal itu dilakukan dengan niat baik. Sebab ungkapan
perasaan demikian sulit ditafsirkan, karena dia kehilangan susunannya
(maksudnya, sufi tersebut tidak dalam keadan sadar yang bisa menyusun
ungkapanya secara baik), seperti yang terjadi pada Abu Yazid al-Busthami atau para sufi sejenisnya. Dan
barang siapa di antara mereka merupakan orang yang tidak diketahuai keutamaanya
serta tidak pula terkenal, maka ungkapan-ungkapan yang bisa diinterpretasikan
itu hendaklah ditolak.begitu pula dengan orang yang menyatakan ungkapan sejenis,
padahal dia menyadari perasaanya ataupun tidak dirasuki keadaan rohaniah, maka
hendaknya ungkapanya juga ditolak. Atas dasar inilah maka para fuqaha dan para
tokoh sufi menjatuhkan fatwa hukum mati terhadap al-Hallaj, sebab dia telah
menyatakan ungkapannya yang terkenal itu dalam keadaan sadar serta menguasai
keadaan dirinya. Dan Allah yang lebih tahu.
|
Selain itu, Ibn Khaldun dalam karyanya al-Muqoddimah, juga
mengadakan perbandingan antara sufi filosuf dengan sekte isma’illiyah dari
syiah, yakni sekte yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam
mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini jelas terdapat keserupaan,
khususnya dalam persoalan quthb, dan abdal. Bagi para filusuf quthb adalah
puncaknya ‘Arifin, dan abdal adalah merupakan perwakilan. Ibn Khaldun menyatakan
bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah tentang imam
dan para wakil. Begitu juga tentang pakaian compang-camping, yang oleh para
sufi filosuf dinisbatkan dengan dengan asal tarikat mereka serta dirujukkan
kepada imam Ali, maka menurut Ibn Khaldun, hal ini juga adalah karena pengaruh
aliran Syi’ah.
Dari
serangkaian pendapat Ibn Khaldun di atas, kini dapat kita simpulkan bahwa
tasawuf filosufis mempunyai beberapa karakteristik tertentu, antara lain:
tasawuf ini, seperti halnya dengan tasawuf lainnya, oleh para penganutnya
didasarkan pada latihan-latihan rohaniyah, yang dimaksudkan sebagai tangkatan
moral, yakni kebahagiaan. Tasawuf ini juga mengandung iluminasi sebagai metode
untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya bisa
dicapai dengan fana. Para pengikut tasawuf ini selalu menyamarkan
ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas-realitas ajaran mereka dengan
berbagai simbol.
|
Perlu dicatat bahwa dalam beberapa segi, para sufi filosuf ini
melebihi para filosuf sunni. Pertama, karena mereka adalah para teoritis
yang baik tentang wujud, sebagai mana terdapat dalam karya-karya atau
puisi-puisi mereka, yang untuk hal ini mereka tidak menggunakan
ungkapan-ungkapan syathahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan
lambang-lambang atau symbol , sehingga ajarannya tidak begitu saja bisa
dipahami oleh orang lain diluar mereka. Ketiga, kesiapan mereka yang
sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilmu-ilmunya. Kesiapan ini,
sekalipun tidak oleh mereka semuanya, tetapi paling sedikit dilakukan oleh
kebanyakan mereka.
B.
Ajaran-ajaran Dalam Tasawuf Falsafi
1. Fana
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada
hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu
meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak
menyadari pribadinya (fana’an nafs). Fana’an nafs adalah hilangnya
kesadaran kemanusiaannya dan menyatu dengan iradah Allah, bukan jasad tubuhnya
yang menyatu dengan dzat Allah.
Menurut al-Junaidi, pengertian al-Fana
ialah hilangnya daya kesadaran qalbu daru hal-hal yang bersifat indrawi karena
adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena
hilangnya sesuatu yang dilihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti
sehingga tiada lagi yang di sadari dan dirasakan oleh indera.
|
Dari
pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau yang fana itu adalah kemampuan
dan kepekaan terhadap yang bersifat materi atau indrawi, sedangkan materi atau
jasad manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi yang hilang
hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, hal ini sebagai mana
dikemukakan oleh al-Qusyairi “Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk
lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari
makhluk lainnya. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan
dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
Dalam proses al-Fana ada empat
situasi getaran psikis yang dialami seseorang, yaitu al-Sakar, al-Sathohat, al-Jawal
al-Hijab, dan ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat
penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa
yang dialami oleh Nabi Musa as di bukit tursina. Secara bahasa, sathohat
berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan
yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.
al-Zawal al-Hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia
keluar dari alam materi dan telah “berada” di alam ilahiyat sehingga getar
jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Sedangkan Ghalab al-Syuhud
diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa
pada dirinya dan alam sekitarnya.
Pada perkembangannya al-Fana terbagi
menjadi dua kelompok, yang pertama menggunakan paham moderat yang diwakili oleh
al-Junaid al-Bagdadi, aliran ini dikenal dengan sebutan Fana Fi’t Tauhid,
yaitu apabila seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari
segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid. Aliran fana yang
kedua dipelipori oleh Abu Yazid al-bisthami yang mengartikan fana sebagai
penyatuan dirinya dengan Tuhan.
2. al-Ittihad
|
Apabila sufi
telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada
saat itu ia telah menyatu dengan tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-Baqo’.
Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang
berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad. Paham ini timbul
sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran
dari nur-Ilahi, akunya manusia adalah pancaran dari yang maha esa. Barang siapa
yanag mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya, atau mampu meniadakan dari
dirinya dari kesadaran sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali
kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu dengan yang tunggal , yang dilihat dan
dirasakan hanya satu. Keadaan yang seperti itulah yang di sebut ittihad, yang
oleh Bayazid disebut tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa
diantarai sesuatu apapun.
3. al- Hulul
Doktrin al-Hulil adalah salah
satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari
paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn
Mansyur al-Halaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H,
karena paham yang ia sebarkan dipandang sesat oleh pengusa pada masa itu.
|
Pengertian
al-Hulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana atau ekstase. Sebab menurut al-Hallaj manusia
mempunyai sifat dasar yang ganda yaitu sifat ke-Tuhan-nan atau lahut dan sifat
kemanusiaan atau nasut. Demikian juga Tuhan mempunyai sifat ganda yaitu
sifat-sifat ilahiyat atau lahut dan sifat insaniah atau nasut. Apabila seseorang
telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan
sifat-sifat ilahiyahnya melalui fana, maka Tuhan mengambil tempat dalam dirinya
dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan
hulul.
Konsepsi tentang lahut dan nasut di
dasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam surat al-Baqarah : 34. Menurut pemahamannya,
adanya perintah Allah pada malaikat sujud kepada Adam itu karena Allah telah
menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus di sembah sebagaimana ia menyembah
Allah. Bagaimana hulul itu, dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku
jadi satu, bagai anggur dan air bening berpadu, bila engkau tersentuh, terusik
pula aku, karena ketika itu, kau dalam segala hal adalah aku. Aku yang ku
rindu, dan yang ku rindu aku juga, kami dua jiwa padu jadi satu raga, bila kau
lihat aku tampak jua Dia dalam pandangan mu, jika kau lihat Dia, kami dalam
penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud
manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian,
nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung
dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah.
4. al-Wahdat as-Syuhud
|
Konsepsi al-Wahdat
as-Syuhud merupakan ajaran tasawuf yang mirip dengan paham al-Wahdat al-Wujud oleh
karenanya sebagian pengamat berpendapat, bahwa doktrin ini mendapat pengaruh
dari Ibn Arabi. Ajaran ini adalah karya mistis dari Umar Ibn al- Faridh(w.
632H).
Menurut Ibn al-faraidh, tasawuf
bukanlah hanya sekedar ilmu agama dan bukan pula sekedar amal ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan tidak saja sekedar ma’rifat, tetapi taswuf
adalah ilmu, amal serta ma’rifat sekaligus. Dalam perjalanan tasawufnya, Ibn
al-Faraidh dikenal sebagai orang yang memiliki kepekaan perasaan yang sangat
mendalam. Apabila ia melihat sesuatu yang indah, mak keindahan itu akan
langsung akan dilihat dan dirasakannya. Bahkan, dalam usahanya untuk mengenal
dirinya sebagai seorang sufi, ia mencari dirinya melalui penghayatan perasaan,
sehingga ia menemukan dirinya sebagai sesuatu yang lain.
Cinta Ibn al-Faraidh berpadu dalam
keindahan, terarah khusus kepada pencipta keindahan itu, yaitu Allah yang terus
bergerak dalam jiwa dan selalu menjagi dambaan kalbu. Oleh karena
karya-karyanya yang selalu bertemakan cinta, ia digelari sebagai “Sultan al-Asyiqin”
atau si raja cinta. Kesatuan dalam terminology Ibn al-Faraidh bukan penyatuan
dua wujud, tetapi penyatuan dalam arti disaksikan hanya satu, yaitu wujud yang
maha esa. Pluralitas yang tadinya nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu
nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu”menghadirkan” Tuhan dalam dirinya
melalui tajalliyatnya Illahi.
Menurut pemahaman Mustafa Helmi, tajalli
dalam konsep al-Faraidh ada dua segi, yang pertama ialah tajalli secara dzahir,
yakni melihat Yang Esa pada yang aneka; yang kedua, tajalli secara batin, ya’ni
melihat aneka pada Yang Esa.
|
5. al-Isyraqiyah
Konsep
tasawuf al-Isyraq, barangkali adalah tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil
diantara konsep-konsep tasawuf yang sealiran. Sebab ditinjau dari konseptornya
yaitu Suhrawardi al-Maqtul adalah seorang yang luas dalam berbagai aliran
filsafat Yunani maupun filsafat Persia dan India. Ia dilahirkan di Suhrawardi
dan dihukum bunuh karena ajarannya di Aleppo pada tahun 578 H atas pemerintahan
Shalahudin Ayyubi.
Al-Isyraq berarti bersinar atau
memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-Kasyf. Akan tetapi bila
dilihat pada inti ajaran ini, maka al-Isyraq lebih tepat diartikan penyinaran
atau illuminasi. Didalam karya tulisnya Hikmatul Isyraq dijelaskan bahwa
corak perenungannya yang dikombinasikan dengan pemikiran spekulatif, yaitu
merupakan gabungan tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran. Menurut
Suhrawardi, sumber dari segala yang ada ialah Cahaya Yang Mutlak yang ia sebut
dengan Nur al-Anwar, mirip matahari. Walaupun ia memancarkan cahaya
terus-menerus, namun cahayanya tidak pernah berkurang dan bahkan sama sekali
tidak terpengaruh. Nur dalam konsep ini nampaknya analogis dengan rahmat Tuhan.
Paham al-Isyraq ini menyatakan,
bahwa ala mini diciptakan melalui penyinaran atau iluminasi. Kosmos ini terdiri
dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya tertinggi dan
sebagai sumber dari segala sumber itu ialah Nurul Anwar atau Nurul A’dzam dan
inilah Tuhan yang azali.
|
Suhrawardi
mengajarkan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui agar dapat bersatu dengan
Allah sebagai berikut:
a.
La illaha illallah, yang pertama harus ada ikrar
dengan lidah dan pengakuan dalam hati tentang tidak ada Tuhan selain Allah.
b.
La hua illa Hua, hanya Allah yang berhak disebut
Dia. Yang sungguh-sungguh hanya Allah, sedangkan yang selainnya itu hanyalah
cahaya dari yang ada (Allah).
c.
La anta illa Anta, hanya Allah yang hanya pantas
disebut engkau.term engkau dalam kalimat ini menunjukkan, bahwa pada saat yang
demikian sudah terjadi syuhud dalam posisi saling berhadapan sehingga terbuka
dialog antara manusia dengan Tuhan.
d.
La ana illa Ana, hanya Allah yang disebut Aku.
Hal ini berarti, bahwa pada fase ini yang memiliki personaliti hanya Allah,
sedangkan aku manusia sudah lebur dari kesadarannya karena sudah fana dan pada
saat itu sudah tidak ada jarak antara manusia dengan Tuhan.
e.
Kullu syai halikun illa wajhahu, selain Allah
sudah lebur dan yang tinggal abadi hanya Dia. Karena manusia sudah fana
fi’illah, maka dia memasuki alam ilahiyat sehingga manusia kekal bersama Dia.
Menurut
paham ini, sarat mutlak yang harus dilalui agar bisa kembali kepada sumber
aslinya, adalah latihan rohaniyah sampai pada tingkat kemampuan mengidentifikasi
esksistensinya dengan Nur al-Anwar.
|
C. Tasawuf
Falsafi Ibn Arabi
Nama lengkap dari Ibn Arabi ialah
Abu Bakr Muhammad ibn Ali ibn Ahmad Ibn Abdullah al-Tha’I, lahir di Murcia,
Andalusia Tenggara, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan
ilmuan.
Ibn Arabi termasuk salah seorang
pemikir besar islam. Beberapa pemikir Eropa, antara lain Dante, terpengaruh
oleh ajarannya; sebagiman dikemukakan Asin Palacios dalam salah satu kajiannya.
Pikiran Ibn Arabi juga berpengaruh pada para sufi dan mistikus setelahnya baik
di barat maupun di timur. Diriwayatkan bahwa dia menyusun lima ratus karya di
bidang tasawuf, kebanyakan dalam bentuk manuskrip; dan dua ratus diantaranya
dikemukakan Brockelman dalam karyanya Geschichte Der Arabies Cen Literature.
Karyanya yang paling penting ialah al-Futuhat al-Makkiyyah, sebuah ensiklopedi
tentang tasawuf.
- Al-Wahdat
al-Wujud
Paham
ini merupakan perluasan dari paham hulul, yang dibawa oleh Muhyi al-Din ibn
Arabi. Paham ini dikatakan sebagai perluasan dari konsepsi al-hulul karena
nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan khalq (makhluk), sedang lahut
menjadi al-Haqq (Tuhan).
|
Dalam teorinya tentang wujud, Ibn Arabi mempercayai terjadinya
emanasi, yaitu Allah menampakkan segalasesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud
materi. Ibn Arabi menginterpretasikan wujud segala yang ada sebagai” teofani
abadi yang tetap berlangsung, dan tertampaknya Yang Maha Benar di setiap saat
dalam bentuk-bentuk yang terhitung bilangannya.
Paham kesatuan wujud Ibn Arabi telah membut mustahil mengatakan hal yang
mungkin sebagai kebalikan dari hal yang wajib. Yang dimaksud dengan hal yang
mungkin ialah hal yang ada, baru, dan selalu berubah. Dengan demikian, menurut
Ibn Arabi, terdapat dua peringkat, yaitu hal yang perlu serta hal yang tidak
perlu. Dalam hal ini Ibn Arabi seiring dengan alirannya. Seandainya alam
merupakan hal yang mungkin, menurutnya, maka hal ini bermakna bahwa, alam
mengada pada suatu masa serta ia (alam) yang mengadakannya. Ini bertentangan
dengan alirannya, yang menyatakan bahwa, dalam kenyataanya wujud adalah satu
dan menjadi banyak hanya secara ilusif.
Jelasnya, menurut Ibn Arabi, realitas wujud ini hakikatnya tunggal.
Sedangkan pembedaan antara dzat dan hal yang mungkin hanyalah sekedar pempedaan
relative, sementara pembedaan hakiki yang dilakukan terhadap keduanya adalah
akibat pembedaan yang dilakukan oleh akal-budi yang terbatas.
Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung dengan
wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada, maka wujud yang selan Tuhan juga tidak
ada. Dengan demikian, wujud yang lain itu tergantung pada wujud tuhan dan oleh
karenanya yang memiliki wujud hakiki hanyalah Allah. Kalau demikian, nampaknya
konsepsi Wahdatul Wujud ini bukanlah kesatuan subtansial atau kesatuan
dzatiyah, sebab adanya yang selain Tuhan itu hanyalah bayangan belaka dari
wujud mutlak, yaitu Tuhan.
|
D. Kesimpulan
Dalam
bukunya, al-Muqoddimah, menyimpulkan bahwa ada empat obyek utama yang menjadi
perhatian para sufi falsafi, yaitu: latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi,
serta intrupeksi diti yang timbul darinya, iluminisasi ataupun hakikat yang
tersingkap dari alam ghaib, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang
berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan, dan
penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya samar-samar (syattahiyyat).
Sedangkan
karakteristik dari tasawuf ini ialah; ia merupakan suatu kondisi pemahaman, ia
merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, ia
merupakan suatu kondisi yang cepat sirna, dan ia merupakan suatu kondisi pasif.
Dalam
ajarannya, tasawuf falsafi memuat lima macam ajaran, yairtu: al- Fana, al-Ittihad,
al-Hulul, al-Wahdat as-Syuhud yang pada intinya mendapat pengaruh dari ajaran
Ibn Arabi dan al- Isyrakiyah.
Dalam
teori Ibn Arabi tentang al-Wahdat al-Wujud realitas wujud hakikatnya tunggal
sedangkan pembeda antara dzat dan hal yang mungkin hanyalah sekedar penbedaan
relative, semantara pembedaan hakiki yang dilakukan terhadap kedunya adalah
akibat perbedaan yang dilakukan oleh akal- budi yang terbatas.
|
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Perbabdingan Agama.
Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991.
Djam’annuri. Agama Kita ( Perspektif
Sejarah Agama-Agama). Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2000.
Groenen. Sejarah Dogma Kristologi.
Yogyakarta : Knisius, 1992..
Muhammad, Arifin. Menguak Misteri
Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta : Golden Terayon Press, 1986.
|
Rosihan Anwar
dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2006.
No comments:
Post a Comment