BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sering dijumpai ada orang yang mengangkap aqiqah sebagai suatu
pekerjaan yang melanggar prinsip ekonomi, sebagai penghamburan untuk sesuatu
yang tidak nyata manfaatnya. Atau ada pula orang yang justru mengganti aqiqah dengan
pesta pora menyambut kelahiran bayi. Begitu pula dengan kurban, beberapa
dikalangan masyarakatbterkadang kurang memahami makna kurban dan tata caranya.
Oleh karena itu, makalah ini menjelaskan tentang Udhhiyyah dan aqiqah secara
lebih mendalam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
dasar hukum kurban?
2.
Bagaimana
proses pelaksanaan kurban?
3.
Bagaimana
dasar hukum aqiqah?
4.
Bagaimana
proses pelaksanaan aqiqah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar
Hukum Udhhiyyah
Udhhiyyah (kurban) yaitu hewan yang di sembelih pada hari raya
Idhul Adha dan hari-hari tasryiq, baik berupa unta, sapi, maupun domba, dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berkurban merupakan ibadah yang di
syariatkan bagi setiap keluarga muslim yang mampu. Sebagian ulama berpendapat
bahwa kurban itu wajib, sedangkan sebagian yang lain berpendapat sunat.[1]

Di kalangan para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai
kewajiban bekurban ini. Jumhur ulama berpendapat, bahwa berkurban merupakan
suatu amalan yang di sunatkan. Di antara yang berpendapat demikian itu adalah
Imam Malik, dimana ia mengatakan: “Aku tidak menyukai seseorang yang mampu
tapi tidak melakukannya” Pendapat ini juga dikemukakan Imam syafi’i.
Bagi orang yang melakukan umrah mufradah tidak diwajibkan
berkurban, dan juga bagi orang yang haji ifrad, menurut kesepakatan
semua ulama. Mereka juga sepakat dengan suara bulat tentang wajibnya berkurban
yang melakukan haji tamattu’ selain orang-orang Mekah.[2]
Keutamaan berkurban dalam hadits dikemukakan dari Aisyah RA bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Tidaklah anak
cucu Adam mengerjakan suatu amalan yang lebih disenangi Allah pada hari kurban
dari pada mengucurkan darah (penyembelihan hewan kurban). Sesungguhnya hewan
itu akan datang pada hari kiamat kelak dengan tanduk, bulu dan kukunya. Adapun
darah terdebut akan turun dari Allah pada suatu tempat sebelum turun ke bumi,
maka sucikanlah jiwa dengannya (berkurban).”[3]
(HR.Tarmizi).
Dan dalam Hadist di ceritakan dari Abu Ayyub Al-Ansori: “Pada
masa Rosulullah ada seorang laki-laki yang berkorban dengan seekor domba untuk
dirinya dan keluarganya” (HR. Ibnu Majah dan tarmizi)
Dan firman Allah SWT:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا
وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan
kamu bersyukur.” QS. Al-Hajj (22), ayat 36.
B.
Proses
Pelaksanaan Kurban
Waktu
penyembelihan hewan kurban adalah setelah Idul Adha. Hal ini berdasarkan pada
sabda Rosulullah SAW:

“Barang siapa yang menyembelih (hewan kurban) sebelum kita
mengerjakan shalat, maka hendaklah lain sebagai pengganti. Dan barang siapa
belum menyembelih sehingga kita selesai shalat, maka hendaklah dia
menyembelihnya dengan nama Allah.”
(Mutafaqun Alaih).
Telah
diterangkan dengan jelas bahwa penyembelihan hewan kurban sebelum sholat ‘Ied
sama sekali tidak diperbolehkan, baik waktu telah masuk atau belum. Akhir waktu
penyembelihan hewan berkurban adalah pada akhir hari tasyriq. Dalam hadits
Rosullah SAW bersabda “Seluruh hari-hari tasyriq adalah waktu
penyembelihan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Maliki, Hambali
dan Hanafi sepakat bahwa waktu kurban atau menyembelihnya adalah pada hari raya
dan hari-hari berikutnya, yaitu pada hari sebelas, dua belas Dzulhijah. Waktu
tersebut (hari raya, hari kesebelas, dan dua belas) adalah untuk kurban haji
qiran dan tamattu’. Kalau selain keduanya tidak ada terikat waktu, dan Maliki
tidak membedakan macam-macam qurban itu. Hambali berpendapat jika waktu
menyembelih lebih dahulu dari waktu yang ditentukan, maka ia wajib
menggantinya. Sedangkan menurut Hanafi, tidak boleh menyembelih kurban haji
tamattu dan qiran sebelum tiba hari raya tiga. [4]
Jika kurban itu
berupa unta atau lembu, maka satu unta bisa dibuat untuk kurban bagi tujuh
orang. Dalam hadits Rosulullah SAW bersabda: “Kami pernah menyembelih kurban
bersama Nabi di Hudaibiyah, yaitu satu
untuk tujuh orang dan satu lembu untuk tujuh orang pula.” (HR. Muslim)
Penyembelihan
lebih afdhal dilaksanakan di tempat pelaksanaan shalat, hal ini di maksud
sebagai siar agama, dalam hadits Ibnu Umar RA: “Nabi Shalallahualaihi
wasalam biasa penyembelih kurban di tempat pelaksanaan shalat ied” (HR.Bukhori).
Rukun sembelih ada 4 perkara yaitu:
1.
Sembelihan
2.
Penyembelih
3.
Hewan yang
disembelih
4.
Alat
penyembelih.
Sembelihan dianggap sah apabila dilakukan dengan sengaja dan putus
saluran pernapasan dan saluran makanan di leher hewan yang disembelih. Hal-hal
yang disunatkan ketika menyembelih, yaitu:
1.
Membaca
basmalah
2.
Membaca takbir
3.
Membaca
shalawat dan salam kepada Nabi Saw.
4.
Menghadap kiblat
5.
Berdo’a agar
kurbannya diterima di sisi Allah SWT
6.
Mengasah pisau
supaya lebih tajam
7.
Menyorong dan
menarik serta menekan pisau kuat-kuat ke leher hewan.
8.
Membaringkan
hewan itu dengan lambung kirinya ke tanah atau tangan kiri si penyembelih
sebelah kepala hewan.
9.
Mengikat semua
kakinya dengan tali kecuali kaki kanan sebelah belakang.
10. Menyembelih sendiri hewan kurbannya.
11. Mulai menyembelih dibaca

Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Yang
menjadikan langit dan bumi, dalam keadaan lurus (benar) dan aku tidak termasuk
orang musyrik. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan bagi
Allah segala puji. Dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang.
Allah Maha Besar.”
12. Daging kurban sebaiknya dibagikan kepada fakir miskin dalam keadaan
masih mentah, tetap tidak dilarang apabila ingin membaginya sesudah masak.[5]
Binatang yang sah untuk kurban ialah yang tidak bercacat, misalnya
pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga putus ekornya, dan telah berumur
sebagai berikut:
1.
Domba yang
telah berumur satu tahun lebih atau yang telah berganti giginya.
2.
Kambing yang
telah berumur dua tahun lebih.
3.
Unta yang telah
berumur lima tahun lebih.
4.
Sapi,
kerbau, yang telah berumur dua tahun
lebih.[6]
Sabda Rasulullah:

Pembagian
daging hewan kurban ulama menjelaskan bahwa lebih afdhal bagi orang yang
berkurban adalah memakan dagingya sepertiga, menyedekahkan sepertiga dan
menyimpannya sepertiga. Hal ini sesuai hadits Rosulullah SAW: “Makanlah,
sedekahkanlah dan simpanlah” (HR. Baihaqi)
Syafi’i
berpendapat bahwa setiap daging kurban wajib (yang mengeluarkan kurban wajib
tersebut) tidak boleh memakannya, tapi setiap daging kurban sunnah boleh
memakannya. Maliki beranggapan bahwa orang yang mengeluarkan kurban boleh
memakan daging kurbannya kecuali sebagai fidyah karena sakit, balasan memburu,
dan kurban nadzar untuk orang miskin. Dan kurban itu sunnah bila dilakukan
dengan segera sebelum sampai pada tempatnya. Imamiyah berpendapat bahwa harus
disedekahkan sepertiga kurban itu kepada orang-orang fakir mukmin, dan
sepertiganya dihadiahkan kepada orang-orang kafir mukmin, walau mereka itu
kaya, dan sepertiga sisanya dimakan sendiri.[7]
Diperbolehkan
menjual kulitnya dan menyedekahkan uang hasil penjualan tersebut serta di
perbolehkan juga membelanjakannya untuk sesuatu yang bermanfaat baginya
dirumah. Tukang sembelih tidak boleh mendapatkan upah dari daging hewan kurban.
Hal ini di dasarkan pada sebuah hadist yang di riwatkan dari Ali bin Abi Thalib
RA, dimana ia menceritakan,
“Rosulullah SAW bersabda pernah menyuruhku mengurus hewan-hewan
kurban, untuk selanjutnya dibagi-bagikan daging dan kulitnya, serta aku juga
diperintahkan agar tidak memberi tukang sembelih sesuatu darinya. Tetapi kami
membernya dengan sesuatu dari (harta) kami yang lainnya.”(Mutafakum Alaih).
C.
Dasar
Hukum Aqiqah
Aqiqah berarti
penyembelihan kambing pada hari ketujuh dari hari lahirnya anak. Menurut
bahasa, aqiqah berarti pemotongan.[8]
Hukum aqiqah adalah sunat, sesuai dengan hadits:

Dan hadits:

Jadi, jika
lahir seorang anak laki-laki maupun perempuan maka orang tuanya disunatkan
baginya mengaqiqahkan anaknya itu, baik ia dalam keadaan lapang, maupun dalam
kesempitan. Hukum aqiqah adalah sunat bagi orang yang wajib menanggung nafkah
si anak. Untuk laki-laki hendaklah disembelih 2 ekor kambing, sedangkan untuk
anak perempuan seekor kambing saja, dan hendaklah disembelih pada hari ketujuh
kelahiran anaknya. Tetapi kalau tidak dapat, boleh juga beberapa hari setelah
hari itu, asal anak belum sampai baligh (dewasa).[9]



Aisyah berkata, “Rasulullah Saw, telah menyuruh kita supaya
menyembelih akikah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk perempuan
seekor kambing.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Rasulullah itu,
melakukan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran cucunya. Karena dalam hadits
terdapat kata “tergadai”, maka sebagian ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah
itu sunat muakkad.[10]
Dan juga berdasarkan hadits:

Kebanyakan para
ulama berpendapat bahwa semua binatang yang dapat dijadikan binatang kurban,
yaitu unta, sapi, kerbau, kambing dan domba dapat pula dijadikan binatang
aqiqah. Mazhab Maliki berpendapat bahwa binatang aqiqah itu, ialah kambing dan
domba. Pendapat Malik dan ulama-ulama lain dapat dikompromikan, yaitu aqiqah
yang baik, ialah dengan binatang kambing, sesuai dengan perkataan Rasulullah.
Dalam rangka itu boleh pula dijadikan binatang aqiqah, semua binatang yang
boleh dijadikan binatang kurban.
Binatang yang
sah menjadi aqiqah sama dengan keadaan yang sah untuk kurban, macamnya,
umurnya, dan jangan bercacat. Kalau hanya menyembelih seekor saja untuk anak
laki-laki, hal itu sudah memadai.[11]
Disunatkan, dimasak lebih dahulu, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.
Orang yang melaksanakan aqiqah pun boleh memakan sedikit dari daging aqiqah
sebagaimana kurban, kalau aqiqah itu sunat, bukan nadzar.
Mengenai waktu
menyembelih aqiqah, jumhur fuqaha berpendapat bahwa aqiqah itu hanya berlaku
bagi anak kecil saja, berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa tiap-tiap anak
tergadai pada aqiqahnya, yaitu pada menyembelih binatang pada hari ketujuh dari
hari kelahirannya. Sedang sebagian fuqaha berpendapat bahwa aqiqah itu boleh
dilakukan setelah seseorang dewasa, berdasarkan hadits:

Dari kedua
pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa penyembelihan aqiqah paling baik
dilakukan adalah pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak, sedang bagi
orang yang belum diaqiqahkan, maka aqiqah itu dapat dilakukan setelah dewasa.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa apabila aqiqah itu dilakukan pada hari raya
kurban (‘Idul Adha), maka waktu menyembelih aqiqah itu dapat pula diniatkan
melaksanakan kurban. Alasan mereka ialah dibolehkan seseorang berniat mandi
sunat untuk hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, dan mandi sunat untuk hari
Jumat, jika hari raya itu jatuh pada hari Jumat.[12] Kedua
mandi itu adalah perbuatan sunat. Korban dan aqiqah perbuatan sunat pula. Jika
dua mandi sunat dapat dilakukan sekaligus, tentulah perbuatan sunat yang lain
dapat dilakukan dua atau lebih sekaligus asal perbuatan-perbuatan itu sama dan
dapat dilakukan dalam waktu yang sama pula.
D.
Proses
Pelaksanaan Aqiqah
Secara
berurutan prosesi akikah meliputi, mencukur rambut, memberi nama,
menyembelihkambing, dan makan bersama.
1.
Mencukur
rambut
Mencukur rambut
bayi sebaiknya dilakukan di hadapan sanak saudara agar mereka mengetahui dan
menjadi saksi. Boleh dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Atau jika tidak mampu
bisa dilwakilkan kepada ahlinya. Sunat hukumnya mencukur rambut anak yang baru
lahir, sekurang-kurangnya menggunting tiga helai rambut. Biasanya dilakukan
ketika mengakikahkan dan memberi nama. Menurut pendapat Imam Malik, disamping
mencukur rambut, sunat pula hukumnya bersedekah, sekurang-kurangnya seharga
perak rambut yang dipotong itu, sesuai dengan hadits:

2.
Menamai
Anak
Rasulullah
s.a.w. menganjurkan (hukumnya sunat) agar orang tua segera memberi nama anaknya
yang baru lahir. Sepakat para ulama bahwa perkataan yang dijadikan nama anak
yang baru lahir itu adalah perkataan yang mempunyai aryi baik. Dalam pandangan
agama, nama bisa berfungsi sebagai do’a. Sebagaimana yang diungkapkan
Jalaluddin Rahmat dalam buku Islam Aktual, para psikolog belakangan
menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep diri. Oleh karena itu,
ketika memberi nama bagi bayi yang baru lahir, ukuran baik buruknya nama tentu
saja menurut agama, bukan menurut selera.
3.
Menyembelih
Kambing
Menyembelih hewan
akikah harus sesuai cara yang telah di syariatkan. Secara lebih terurai, cara
untuk menyembelih hewan akikah adalah sebagai berikut:
a.
Mengasah pisau
hingga benar-benar tajam.
b.
Mengikat hewan
dengan tali
c.
Membaringkan
hewan dengan lambung kiri menempel ke tanah, sehingga tangan kiri orang yang
menyembelih berada di atas kepala hewa, dan kepala hewan berada di selatan.
d.
Penyembelih
menghadap kiblat
e.
Membaca do’a:
بِسْمِ اللهِ اللهُ اَكْبَرُهذِهِ العَقِيْقَةُ مِنْكَ وَ اِلَيْكَ تَقَبَّلْ
عَقِيْقَةُ
Artinya:
Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, akikah ini adalah
karunia-Mu dan aku kembalikan kepada-Mu. Ya Allah, ini akikah............
(sebut nama anak yang diakikahi), maka terimalah.”
f.
Pisau di tekan
kuat ke leher hewan, hingga saluran pernapasan dan saluran makanan benar-benar
putus.
g.
Penyembelihan
dilakukan sendiri atau boleh juga diwakilkan orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berkurban merupakan ibadah yang di syariatkan bagi setiap keluarga
muslim yang mampu. Sebagian ulama berpendapat bahwa kurban itu wajib, sedangkan
sebagian yang lain berpendapat sunnat. Waktu penyembelihan hewan kurban adalah
setelah Idul Adha. Maliki, Hambali dan Hanafi sepakat bahwa waktu kurban atau
menyembelihnya adalah pada hari raya dan hari-hari berikutnya, yaitu pada hari
sebelas, dua belas Dzulhijah. Sembelihan dianggap sah apabila dilakukan dengan
sengaja dan putus saluran pernapasan dan saluran makanan di leher hewan yang
disembelih. Binatang yang sah untuk kurban ialah yang tidak bercacat, misalnya
pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga putus ekornya.
Pembagian daging hewan
kurban ulama menjelaskan bahwa lebih afdhal bagi orang yang berkurban adalah memakan
dagingya sepertiga, menyedekahkan sepertiga dan menyimpannya sepertiga. Hukum
aqiqah adalah sunat. Binatang yang sah menjadi aqiqah sama dengan keadaan yang
sah untuk kurban, macamnya, umurnya, dan jangan bercacat. Penyembelihan aqiqah
paling baik dilakukan adalah pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak,
sedang bagi orang yang belum diaqiqahkan, maka aqiqah itu dapat dilakukan
setelah dewasa.
[1] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1986. Hal. 475.
[2] Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera, 2007), hal. 279.
[3] Syaikh Kamil
Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998),
hal. 476.
[5] Ahmad Ma’ruf
Asrori dkk, Ber-khitan, Aqiqah, Kurban, (Surabaya: Al-Miftah, 1998).
Hal. 40.
[6] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Hal. 476.
[8] Syaikh Kamil
Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, hal. 481.
[9] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam),hal. 479.
[10] Zakiyah
Daradjat dkk, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Waqaf, 1995), hal.
437.
[11] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam),hal. 481.
[12] Ibid.,
hal. 439.
No comments:
Post a Comment