Oleh : Rahmad Fitriyanto
Bidang yang
mengalami perbenturan paling keras dengan urusan lingkungan hidup (baca
ekologi) adalah ekonomi. Sebagian besar termologi ekonomi, mulai dari yang
Marxis sampai monetarian terbukti gagal mempertemukan keperdulian lingkungan
dengan kenyataan praktik berekonomi di dunia nyata.
Ekonomi global
yang tersusun saat ini tak mungkin lagi berkembang lebih lama jika ekosistem
yang menjadi gantungannya semakin rusak. Banyak sekali sumber-sumber alam yang
ada dikeruk/diabaikan sedemikian rupa sehingga berpeluang rusak dan habis dalam
waktu dekat. Kemana manusia bergantung jika obyek yang menjadi sumber
kehidupannya rusak/punah? Contoh yang paling umum adalah minyak bumi yang
cadangannya semakin menipis sementara bahan bakar alternatif belum sepenuhnyadi
kembangkan.
Manusia berusaha
mencari minyak ke tempat-tempat yang semula tidak dijamah, dari panasnya padang
pasir Arabia, badai Laut Utara, hingga dinginnya Alaska sampai ke luar planet
bumi ini. Tentu saja, biayanya sangat besar dan tidak sebanding. Untuk menekan
biaya produksi dari suatu sumberdaya alam apapun dilakukan untuk itu. Selain
proses dan aktivitasnya umumnya menghasilkan pencemaran dan merusak lingkungan,
terdapat juga kaitan antara tingginya aktifitas pertambangan (pengerukan suatu
‘massa
materil’) dengan gempa bumi saat ini yang makin intens. Pergerakan kerak bumi
yang normal menghasilkan beberapa penyimpangan disaat massa yang tersimpan normal dialam telah
disedot keluar. Contoh lain yang signifikan juga telah terlihat disekitar kita
dengan mengabaikan sumberdaya alam beserta ekosistem di dalamnya demi
kepentingan ekonomi.
Setelah revolusi industri 1900-an, pelaku ekonomi perusahaan multinasional memberlakukan alam sebagai sumber daya yang tak terbatas, dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk ‘kepentingan manusia’. Begitu halnya di negara kita, pengaruh ekonomi global dengan sistem kapitalis yang dianut negara-negara kreditor sangat mempengaruhi pula sistem perekonomian dan investasi serta gaya hidup. Maka terjadilah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, perusakan hutan dan daerah pesisir laut. Era pembangunan membawa persoalan lingkungan dan manusia semakin berbeda. Saat ini, konsep pembangunan telah berhasil membenarkan bahwa kemakmuran suatu negara dapat terwujud hanya melalui investasi modal dan utang luar negeri sebagai dasar membangun masa depan. Untuk itu, negara harus memberikan kemudahan berupa jaminan hukum, jaminan keamanan bagi para pemilik modal untuk mengakumulasi sumberdaya alam tanpa mengindahkan nasib lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan rakyat. Pembangunan secara keseluruhan hampir selalu dilihat sebagai fenomena ekonomi, GNP (Gross National Product) ataupun berorientasi pada PAD hingga kekhawatiran akan larinya investasi. Ada standard ganda yang diterapkan pemerintah, satu sisi melindungi investasi di pihak lain pemerintah harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Namun mitos tetap mitos, keyakinan kuat bahwa hanya investasi yang dapat meningkatkan kemakmuran negara dan rakyatnya membuat para pengambil kebijakan menempatkan pembangunan ekonomi di atas pilar-pilar lainnya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila kajian lingkungan seperti AMDAL dibuat seadanya hanya sebagai sarat formalitas berdirinya sebuah industri. Kemudian treatment sampah. Hasil industri ataupun IPAL (instalasi pengolahan air limbah) baik industri skala kecil maupun besar selalu mencari alternatif yang mudah dengan pertimbangan utama untuk menekan biaya tinggi yang memberatkan dan yang paling memalukan adalah pemerintah daerah sering tidak konsisten dalam menerapkan apa yang mereka suarakan demi kepentingan investasi.
Setelah revolusi industri 1900-an, pelaku ekonomi perusahaan multinasional memberlakukan alam sebagai sumber daya yang tak terbatas, dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk ‘kepentingan manusia’. Begitu halnya di negara kita, pengaruh ekonomi global dengan sistem kapitalis yang dianut negara-negara kreditor sangat mempengaruhi pula sistem perekonomian dan investasi serta gaya hidup. Maka terjadilah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, perusakan hutan dan daerah pesisir laut. Era pembangunan membawa persoalan lingkungan dan manusia semakin berbeda. Saat ini, konsep pembangunan telah berhasil membenarkan bahwa kemakmuran suatu negara dapat terwujud hanya melalui investasi modal dan utang luar negeri sebagai dasar membangun masa depan. Untuk itu, negara harus memberikan kemudahan berupa jaminan hukum, jaminan keamanan bagi para pemilik modal untuk mengakumulasi sumberdaya alam tanpa mengindahkan nasib lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan rakyat. Pembangunan secara keseluruhan hampir selalu dilihat sebagai fenomena ekonomi, GNP (Gross National Product) ataupun berorientasi pada PAD hingga kekhawatiran akan larinya investasi. Ada standard ganda yang diterapkan pemerintah, satu sisi melindungi investasi di pihak lain pemerintah harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Namun mitos tetap mitos, keyakinan kuat bahwa hanya investasi yang dapat meningkatkan kemakmuran negara dan rakyatnya membuat para pengambil kebijakan menempatkan pembangunan ekonomi di atas pilar-pilar lainnya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila kajian lingkungan seperti AMDAL dibuat seadanya hanya sebagai sarat formalitas berdirinya sebuah industri. Kemudian treatment sampah. Hasil industri ataupun IPAL (instalasi pengolahan air limbah) baik industri skala kecil maupun besar selalu mencari alternatif yang mudah dengan pertimbangan utama untuk menekan biaya tinggi yang memberatkan dan yang paling memalukan adalah pemerintah daerah sering tidak konsisten dalam menerapkan apa yang mereka suarakan demi kepentingan investasi.
Masalah kerusakan
lingkungan di Indonesia
lebih rumit lagi dengan pemerintahan yang lemah, tidak transparan dan penuh
KKN. Akibatnya, terjadi pengurasan sumberdaya alam dan perusakan lingkungan
yang seterusnya memberikan dampak negatif terhadap pemerataan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik
pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya
koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan ‘alasan’ terbatasnya
dana dalam mengelola lingkungan hidup. Parahnya lagi atas nama upaya maksimal
keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa
alam seakan memperoleh pembenaran. Pelestarian fungsi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup
kerugian ekonomi. Belum lagi proses desentralisasi yang menuntut agar daerah
dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan
yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi
kepentingan jangka pendek.
Pembangunan pada
masa lalu sampai sekarang memang cenderung untuk meminimalkan nilai lingkungan
bahkan menghilangkannya. Lingkungan dan ekosistem yang ada banyak
dialihfungsikan sehingga keadaan lingkungan suatu daerah berkembang secara
ekonomi, namun menurun secara ekologi.
Ekologi
diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai
ekonomi. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem,
langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan,
pencemaran udara (meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida,
oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah,
banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat
dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang
belum terasa. Efek peningkatan jumlah kendaraan bermotor, juga secara otomatis
akan meningkatkan jumlah gas emisi (penurunan kualitas udara). Ironisnya, tidak
semua orang bisa menikmati kemewahan atau fungsi kendaraan-kendaraan tersebut;
tak semua orang bisa menikmati pajak dari kendaraan tersebut; akan tetapi gas
emisi yang dihasilkan harus dirasakan oleh hampir semua orang. Belum lagi
bentuk ekplorasi alam misalanya pertambangan yang hanya menguntungkan
segelintir orang dan efek kerusakan alam yang ditanggung oleh banyak orang yang
tidak pernah mencicipi keuntungan tersebut (yang miskin lebih miskin, yang kaya
lebih kaya). Bencana alam: tanah longsor, banjir, dan pemanasan global,
merupakan akibat dari ekploitasi dan ekplorasi alam yang tidak mengindahkan
prinsip dan nilai ekologi. Manusia mengabaikan dan mengelola dengan rakus
ciptaan Tuhan, menciptakan kiamatnya sendiri. Atas nama peningkatan dan
pembangunan ‘ekonomi’ bentuk-bentuk eksploitasi alam yang ada masih terus
diperpanjang hingga nyaris tak berhingga. Perlu diingat ’Mineral’ itu sesuatu
yang unsustainable, tidak berkelanjutan dan suatu saat akan habis. Tapi kita
terus mengeksploitasi, menambang dan menjual bahan mentah, yang kemudian
diimpor lagi dalam keadaan harga yang sangat mahal.
Belum sepenuhnya masyarakat menyadari, bahwa banyak permasalahan pembangunan dan modernisasi kehidupan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan yang tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya. Contoh sederhana seperti degradasi lingkungan di sekitar suatu perusahaan justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Perusahaan harus mengalokasikan biaya ekstra untuk memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Biosfer bumi merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan manfaat ekologi
Belum sepenuhnya masyarakat menyadari, bahwa banyak permasalahan pembangunan dan modernisasi kehidupan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan yang tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya. Contoh sederhana seperti degradasi lingkungan di sekitar suatu perusahaan justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Perusahaan harus mengalokasikan biaya ekstra untuk memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Biosfer bumi merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan manfaat ekologi
No comments:
Post a Comment